Saturday, February 22, 2014

Still around the Academic Writing


Second class review                     
Still around the Academic Writing

            Dipertemuan kedua mata kuliah writing hari Jum’at, 14 Februari 2014 Mr. Lala mengawali dengan bercerita mengenai sebuah seminar Di Jakarta.  At America, sebuah seminar yang dihadiri oleh profesor-profesor handal salah satunya dari Amerika, seminar tersebut akan diadakan hari Minggu esok tanggal 16 Februari.  Beliau mengajak semua mahasiswa untuk turut serta berpartisipasi dalam seminar tersebut, namun apa daya, tempatnya cukup jauh belum bisa terjangkau oleh kami.

            Pembicaraan terus berlanjut, dari sebuah seminar menuju the real materi.  Saat itu Mr. Lala menyuguhkan berbagai pertanyaan untuk semua mahasiswa.  Siapa dirimu di kelas writing ini? Apakah hanya sekedar terdaftar di kelas writing tanpa tujuan? Apakah hanya sekedar mahasiswa yang datang ke kelas, mengerjakan tugas, untuk mncari nilai?  Melakukan semuanya tanpa penjiwaan? Tanpa ruh?  Semoga saja kami semua tidak termasuk yang seperti itu.
            Ya, betapa bahagianya ketika Mr. Lala mengatakan bahwa menurut pandangannya kami semua adalah “ Multilingual Writer ”.  Yaitu, seorang penulis yang hebat dalam menggunakan L1 dan L2.  Penulis yang mampu berpikir kritis dalam setiap bahasa (L1 dan L2).  Seorang penulis yang mampu mentransformasikan dirinya dari seorang “student of language” menjadi “student of writing”.  Seorang penulis yang mampu merubah dunia.  Hebat bukan?  Yang sesungguhnya kami masih dalam proses menuju semua itu.
            Masih di academic writing.  Pembahasan Mr. Lala selanjutnya masih seputar academic writing.  Dimulai dari teaching orientation.  Kata Beliau, jangan menganggap bahwa teaching orientation di kampus tempat kami belajar kalah dengan kampus swasta sekitar  karena teaching orientation yang digunakan juga tidak kalah hebat.  Teaching orientation tersebut diantaranya :

1.      Academic writing
Academic writing ini memiliki banyak jenis, contohnya essay, jurnal, dan sebagainya.  Dalam menulis academic writing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni sifat – sifat academic writing.  Sifat-sifat tersebut diantaranya :
a)      Impersonal
Maksudnya pemunculan point of view pada tulisan ini tidak boleh terpaku pada satu subyek yang personal, tetapi harus bersifat umum dan luas.  Kalimat-kalimatnya menggunakan kalimat pasif.  Contoh :
I conducted this research in a years → bersifat personal
Harus diubah menjadi :
This research was conducted in a years
Impersonal
b)      Reference – based
Pembahasan dalam academic writing ini bukan hanya sekedar ide atau gagasan tanpa dasar yang jelas.  Melainkan harus dilandasi fakta, atau informasi dari buku, atau penelitian secara langsung (contoh : wawancara).
c)      Formal
Bahasa yang digunakan dalam setiap pernyataan yang tercantum dalam sebuah teks academic bukanlah bahasa yang sering digunakan sehari-hari, akan tetapi bahasa formal.  Bahasa dengan struktur yang jelas dan baku.
d)     Rigid (kaku)
Gaya bahasa yang digunakan dalam academic writing ini bersifat kaku, agak sulit dicerna.  Memang bagi sebagaian besar pembaca beranggapan bahwa bahasa yang kaku itu membosankan, namun seperti inilah gaya bahasa dalam academic writing.  Struktur kalimatnya benar-benar tunduk pada aturan bahasa baik dan benar .
                        Sedangkan dalam buku Hyland “English for Academic Purposes” menyatakan bahwa fitur-fitur academic writing dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni :
a.       Menggunakan makna leksikal yang tinggi
b.      Style bahasa yang tinggi
c.       Impersonal      : menghindari penggunaan kata “aku” dan ekspresi perasaan.

2.      Critical Thinking
Seorang akademisi dituntut untuk memiliki pemikiran kritis, tidak mudah percaya pada suatu hal tanpa adanya dasar atau bukti yang jelas.  Seorang yang memiliki critical thinking akan terus mencari sumber-sumber, referensi untuk menguatkan argumen atau pengetahuannya.  Dan dia akan menggunakan kecermelangannya dalam berpikir dengan menulis atau berbicara.
3.      Writing
Dalam pandangan Mr. Lala writing ini berarti tiga hal, yaitu:
ü  A way of knowing something (cara untuk mengetahui sesuatu)
ü  A way of representing something (cara untuk menyajikan sesuatu)
ü  A matter of producing something (cara untuk memproduksi sesuatu)

Dari ketiga makna diatas, kata kunci utamanya adalah “something”.  Something disini maksudnya adalah information, knowledge, dan pengalaman (experience). 
Dengan melihat semua penjelasan diatas, terbersit dalam benak satu pernyataan “writing is so complicated”.  Ya, seperti yang dikatakan Hyland “writing is a practice based on expectations : the reader’s chances of interpreting the writer’s purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous texts he or she has read of the same kind” (Hyland 2004 : 4)
Sedangkan Hoey (2001) yang dikutip dalam Hyland (2004)  menggambarkan atau mengibaratkan penulis seperti penari yang mengikuti langkah masing-masing, setiap rasa, ruh, keterkaitan antar teks dikoneksikan dengan sebuah konteks.   Dengan kata lain, penulis-pembaca dikaitkan dengan sebuah konektor bernama “seni”.
Lehtonen (200:74) pada Barthes mengungkapkan bahwa bahasa meurut Saussure adalah suatu sistem yang mendefinisikan makna dirinya sendiri, Barthes melihat peran orang-orang yang berlatih aktivitas linguistik juga menjadi pusat dalam pembentukan makna.  Barthes memang mendeklarasikan “did indeed declare the death of the author, simultaneously signifying the birth of the reader.”  Maksudnya kematian penulis, sekaligus menandakan kelahiran pembaca.  Tulisan itu sama halnya seperti kuburan, jika tidak dibaca.  Pembaca yang membaca tulisan tersebut bisa me-re-born tulisan jika ia menjadi seorang critical reader.
Lain halnya dengan Lehtonen , dia lebih jauh berpendapat bahwa pembaca adalah inti dari pembentukan makna, yang merupakan inti dimana makna itu berada.  Teks dan pembaca adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lehtonen mengungkapkan bahwa :
Ø   Teks
Merupakan artefak-artefak komunikatif, dengan kata lain, teks merupakan instrumen komunikasi yang dihasilkan oleh manusia.  Sebagai artefak, teks telah dihasilkan melalui bantuan dari berbagai teknologi. 
Ø  Konteks
Merupakan bagian dari teks.  Konteks dan teks selalu ada bersamaan. Setiap teks selalu memiliki konteks yang mengelilingi dan menembus keduanya temporally dan locally dan berhubungan dengan teks-teks lain, serta dengan praktek manusia liannya.  Sebanyak makna tanda-tanda linguistik bergantung pada posisi mereka dalam kaitannya dengan tanda-tanda lain, makna dari teks yang pada akhirnya tidak mungkin untuk belajar teks terlepas dari konteks mereka, karena teks sebagai makhluk semiotik tidak ada tanpa pembaca, intertexts, situasi dan fungsi yang setiap saat terhubung ke mereka.
Dalam pemikiran tradisional tentang teks dan konteks, konteks dilihat sebagai bagian terpisah ' latar belakang ' dari teks, yang dalam perannya sebagai tambahan informasi yang dapat dijadikan bantuan dalam memahami teks itu sendiri.


Ø  Pembaca
Menurut Lehtonen, teks dan pembaca itu tidak bisa berdiri sendiri, keduanya saling berhubungan dan saling menguntungkan satu sama lain.
Ø  Meaning
Meaning merupakan sesuatu yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca.  Makna akan terbentuk oleh dua agen aktif yang dinamakan penulis dan pembaca, mereka akan mampu membentuk makna tekstual.
Sedikit menggeser pembahasan, dari kepenulisan ke literasi.  Literasi merupakan kualitas hidup seseorang.  Dengan memiliki literasi yang tinggi, maka akan dapat meningkatkan SDM dan meningkatkan daya saing, juga semangat untuk maju.  dengan literasi maka akan tercipta orang-orang yang “qualified” yakni orang yang berkualitas. 
Nah, literasi ini salah satunya dapat dicapai dengan menjadi seorang pembaca dan penulis yang kritis.  Contohnya dengan menulis academic writing, yang telah dipaparkan sebelumnya.  Jika semua itu diusahakan, maka akan tercipta seorang yang qualified, berliterasi tinggi, dan bukan  hal yang mustahil akan tercipta pula seorang “Multilingual Writer” yang handal seperti apa yang diungkapkan Mr. Lala. 

First Chapter Review

Implementasi Literasi sebagai Sebuah Penawar

In the 21st century, world class standards will demand
that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play their part as a citizen of a democratic society.

~    Michael Barber  ~


Literasi, literasi, dan literasi.  Lagi, kata tersebut masih terpampang dalam buku A.  Chaedar Alwasilah yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi”.  Kata literasi ini acap kali tertuang dalam goresan-goresan tinta Dr. Chaedar. Kepedulian beliau terhadap bangsa ini untuk berubah menjadi bangsa yang berliterasi tampaknya masih terus membara. Dalam buku tersebut kata literasi, bagai seorang artis hiburan yang tengah tenar, menjadi perbincangan hangat Dr. Chaedar dan salah satu sub bab inti di dalam buku ini adalah “Rekayasa Literasi”.  Rekayasa Literasi bagai penawar untuk penyakit rendahnya literasi yang menggerogoti negeri ini, untuk berlari, mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa yang telah lebih berliterat.
Rekayasa literasi mengungkapkan tentang makna literasi yang terus berkembang dari waktu ke waktu.   Perkembangan yang terus melaju mengikuti arus zaman.  Genre, wacana, literasi, teks, dan konteks saat ini tengah menjadi buah bibir dalam perbincangan hangat metodologi pengajaran di kalangan guru bahasa.  Lalu, apakah sebenarnya literasi itu?  Berdasarkan definisi lama literasi memiliki arti kemampuan membaca dan menulis (7th edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005:898).   Sedangkan dalam persekolahan Indonesia istilah sering menggunakan istilah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa ( Setiadi: 2010).  Pada masa silam membaca dan menulis dianggap “cukup” sebagai pendidikan dasar (pendidikan umum) untuk membekali manusia kemampuan menghadapi tantangan zamannya.  Namun, untuk sekarang pendidikan dasar tidak cukup jika hanya mengandalkan kemampuan membaca dan menulis.  Selama bertahun tahun literasi dianggap hanya persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampilan baca – tulis, padahal sebenarnya literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.  
Para pakar pendidikan dunia telah berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya.  Kini, makna lietrasi merambah kedunia yang lebih luas. Buktinya, kini ada ungkapan literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA, dan sebagainya.  Berdasarkan tantangan zaman yang ada, Freebody dan Luke menawarkan empat model literasi yakni:
1.      Memahami kode dalam teks (breaking the codes of texts)
2.      Terlibat dalam memaknai teks (participating in the meanings of text)
3.      Menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally)
4.      Melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing  and transforming texts)
Keempat model litersi tersebut dapat diringkas kedalam lima verba yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformai teks.  Hal yang demikian itulah yang merupakan hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Dilihat dari beberapa definisi literasi sejak tahun 1991 sampai dengan 2003 terjadi perubahan makna literasi, yang sudah pasti mengakibatkan perubahan pengajaran.  Makna dan rujukan literasi  terus berevolusi, dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks.  Lain halnya dengan rujukan linguistik dan sastra yang relatif  konstan.   Dalam banyak hal objek studi literasi literasi bertumpang tindih dengan objek studi budaya, yang berfokus pada hubungan hubungan antara variabel-variabel sosial dan maknanya atau lebih tepatnya bagaimana divisi-divisi sosial dibermaknakan ( O’ Sulivan, 1994 :71).  Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.   Tujuh dimensi tersebut diantaranya :
a.      Dimensi geografis ( lokal, nasional, regional, dan internasional)
Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring dan vaokasionalnya.
b.      Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya)
Tingkat dan efisiensi layanan publik dan militer, misalnya, bergantung pada kecanggihan teknologi dan persenjataan yang digunakan.  Sedangkan pendidikan, akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi apabila pendidikannya berkualitas tinggi pula.


c.       Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
Literasi seseorang tampak dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung, berbicara.  Setiap sarjana pasti mampu menulis.  Kualitas tulisan bergantung pada “gizi” bacaan.  “Gizi” akan terlihat saat berbicara.  Untuk menjadi sarjana, orang tidak cukup mengandalkan literasi, ia perlu memiliki numerasi (keterampilan menghitung).

d.      Dimensi fungsi ( memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencaapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
Orang yang literat karena pendidikannya, ia akan mampu memecahkan persoalan, menghadapi setiap tantangan dalam hidup, dan memproduksi ilmu pengetahuan.

e.       Dimensi media (teks, cetak, virtual, digital)
Penguasaan IT (Information technology) sangat penting untuk dimiliki, sehingga kini kehebatan universitas antara lain diukur lewat webometrics.  Zaman sekarang, literat tak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis.

f.        Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk pada banyak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilu, media, dan sebagainya.

g.      Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Ada literasi yang singular dan ada literasi yang plural.

Dalam definisi literasi yang telah disebutkan sebelumnya, ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, diantaranya :
1)      Ketertiban lembaga-lembaga sosial
2)      Tingkat kefasihan relatif
3)      Pengembangan potensi diri dan pengetahuan
4)      Standar dunia
5)      Warga masyarakat demokratis
6)      Keragaman lokal
7)      Hubungan global
8)      Kewarganegaraan yang efektif
9)      Bahasa Inggris ragam dunia
10)  Kemampuan berpikir ksitis, dan masyarakat semiotik

Setelah pengkajian terhadap tujuh ranah literasi dan 10 kunci literasi, seperti apa yang telah dipaparkan di atas, seyogyanya pendidikan literasi dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :
Ø  Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
Ø  Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan
Ø  Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah
Berbaca tulis adalah kegiatan mengetahui hubungan antarkata dan antar unit bahasa dalam wacana serta teks dan dunia tanpa batas.
Ø  Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya
Berbaca tulis selalu ada dalam sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya).
Ø  Literasi adalah kegiatan merefleksikan diri
Penulis dan pembaca senantiasa melibatkan berpikir ihwal bahasa dan mengaitkannya dengan pengalaman subyektif dan dunianya.
Ø  Literasi adalah hasil kolaborasi
Berbaca tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi.


Ø  Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Penulis memaknai (menginterpretasikan) alam semesta dan pengalaman subyektifnya lewat kata-kata, dan pembaca memaknai interpretasi penulis.

Rapor Merah Literasi Anak Negeri

Pembahasan mengenai literasi diatas diharapkan bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan literasi anak negeri, yang pada faktanya literasi anak negeri mendapatkan rapor merah.  Rapor merah anak negeri ini diketahui melalui proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Student Assessment), dan TIMSS (the Third International Mathemathics and Sciences Study) yang diikuti oleh indonesia sejak tahun 1999.  Proyek ini dilakukan untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.  Dari proyek penelitian tersebut terdapat temuan-temuan terpenting dari PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni prestasi membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa dari negara peserta lainnya.  Dalam penelitian itu tujuan membaca meliputi Literary Purposes dan  international purposes, sedangkan proses membaca meliputi interpreting, intergrating, dan evaluating.  Berikut ini adalah temuannya :
1.      Skor prestasi membaca di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan, dan 398 untuk laki-laki.  Indonesia menempati urutan ke-5 dari bawah, yakni sedikit lebih tinggi daripada Qatar (356), Quwait (333), dan Afrika Utara (304).
2.       Ditemukan tiga kategori berdasarkan perbandingan skor membaca literary purposes (LP), dan informational purposes (IP).
Temuan tersebut diantaranya :
a.       LP > IP adalah Hungaria, Quwait, Lituania, Georgia, dan Israel.
b.      LP < IP adalah Indonesia (tertinggi), Maroko, Afrika Utara, Moldania, dan Singapura.
c.       LP relatif sama dengan IP adalah Luxemburg, Latvia, Skotlandia, Austria, dan Inggris.
3.      Di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk kedalam kategori sangat tinggi, 19% masuk kategori menengah, dan 55 % masuk kategori rendah.
4.      Tercatat 44% orang tua Indonesia (bandingkan dengan Skotlandia 85 %) terlibat dalam early home literacy activities, yaitu membaca buku, bercerita, menyanyi, bermain kata, dan membaca nyaring.
5.      Indonesia masuk kedalam kategori paling bawah, yaitu hanya sekitar 1 % dalam kategori high, 62% dalam kategori medium, dan 37% dalam kategori low.
6.      Orang tua siswa negara peserta PIRLS yang lulus universitas 25%, lulus SMA 21%, lulus SMP 31%, lulus SD 15%, dan tidak tamat SD 8%.

Tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa negara-negara lain.  Untuk mengejar ketertinggalan itu maka perlu adanya peningkatan SDM-nya.  Kemudian dalam hal produksi buku, Indonesia masih rendah hanya 6000 buku pertahun, padahal jumlah dosen Indonesia banyaknya sekitar 232.786, harusnya dari jumlah ini dapat menghasilkan 77000 buku/tahun. 
Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru dengan langkah-langkah profesionalnya yang terlihat dalam enam hal :
1.      Komitmen profesional
2.      Komitmen etis
3.      Strategi analitis
4.      Efikasi diri
5.      Pengetahuan bidang studi
6.      Keterampilan literasi dan numerasi
( Cole dan Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi, 2010)
            Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.
            Rekayasa literasi adalah merekayasa pengajaran membaca dan menulis kedalam empat dimensi, yakni:
1.      Dimensi pengetahuan kebahasaan (fokus pada teks)
2.      Dimensi pengetahuan kognitif (fokus pada minda)
3.      Pengetahuan perkembangan ( fokus pada pertumbuhan)
4.      Pengetahuan sosiokultural ( fokus pada kelompok)
Wacana pembelajaran bahasa asing selalu hiruk pikuk dengan dialog dan debat tiada henti, mengenai ihwal (dimensi) literasi metode mengajar literasi sebagai konsekuensi logis dari paradigma.  Tabel berikut akan menggambarkan perubahan paradigma pengajaran bahasa :
Tabel
Perubahan Paradigma Pengajaran Literasi

No
Tadinya
Kini
1.
Bahasa adalah sistem strukur yang mandiri
Bahasa adalah fenomena sosial
2.
Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi
Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung
3.
Berorientasi ke hasil
Berorientasi ke proses
4.
Fokus kepada teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa
Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi
5.
Mengajarkan norma-norma perspektif dalam berbahasa
Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran
6.
Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah
Fokus pada ekspresi diri
7.
Menekankan makna denotatif dalam konteksnya
Menekankan nilai komunikasi

            Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap literasi objek pandang (baca : literasi).
Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai ke metode dan tekhnik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur.  Misalnya perubahan orientasi dar hasil ke proses, guru akan melihat bagaimana tulisan diproses oleh sang siswa dar A sampai Z.  Dan guru tidak akan menentukan target yang sama lagi bagi semua siswa, misalnya seribu kata esay naratif karena dalam proses menulis setiap siswa memiliki hobi dan gaya yang berbeda. 
            Rekayasa literasi ini, mengajak untuk mengintrospeksi diri.  Mengubah rapor merah literasi anak bangsa, menuju generasi-generasi yang berliterat.  Bangsa yang kaya, maju tidak hanya dilihat dari jumlah penduduk dan kekayaan alam yang dimilikinya, tapi dari kualitas SDM-nya.  Salah satu obat, penawar penyakit rendahnya literasi yang dimiliki di negeri ini adalah dengan memberikan pendidikan literasi sejak dini, yang saling sambung-sinambung, tidak setengah-setengah untuk menanam fondasi yang kuat.  Agar literasi dapat terus berkembang sampai ke tahap berikutnya.  Dengan demikian, akan tercipta pribadi, wrga negara, kemudian menjelma menjadi negara yang berliterat, bangsa yang memiliki budaya literasi.




Comments
1 Comments

1 Comments:

Uzik Rifai said...

gak sia-sia buka blog ini... suka banget sama isinya.. bermanfaat sekali kak ... terima kasih

Post a Comment