Saturday, February 22, 2014
Created By:
Aam Amaliah
Second class review
Still
around the Academic Writing
Dipertemuan
kedua mata kuliah writing hari Jum’at, 14 Februari 2014 Mr. Lala mengawali
dengan bercerita mengenai sebuah seminar Di Jakarta. At America, sebuah seminar yang dihadiri oleh
profesor-profesor handal salah satunya dari Amerika, seminar tersebut akan
diadakan hari Minggu esok tanggal 16 Februari.
Beliau mengajak semua mahasiswa untuk turut serta berpartisipasi dalam
seminar tersebut, namun apa daya, tempatnya cukup jauh belum bisa terjangkau
oleh kami.
Pembicaraan
terus berlanjut, dari sebuah seminar menuju the real materi. Saat itu Mr. Lala menyuguhkan berbagai
pertanyaan untuk semua mahasiswa. Siapa
dirimu di kelas writing ini? Apakah hanya sekedar terdaftar di kelas writing
tanpa tujuan? Apakah hanya sekedar mahasiswa yang datang ke kelas, mengerjakan
tugas, untuk mncari nilai? Melakukan
semuanya tanpa penjiwaan? Tanpa ruh?
Semoga saja kami semua tidak termasuk yang seperti itu.
Ya,
betapa bahagianya ketika Mr. Lala mengatakan bahwa menurut pandangannya kami
semua adalah “ Multilingual Writer ”.
Yaitu, seorang penulis yang hebat dalam menggunakan L1 dan L2. Penulis yang mampu berpikir kritis dalam
setiap bahasa (L1 dan L2). Seorang
penulis yang mampu mentransformasikan dirinya dari seorang “student of
language” menjadi “student of writing”.
Seorang penulis yang mampu merubah dunia. Hebat bukan?
Yang sesungguhnya kami masih dalam proses menuju semua itu.
Masih
di academic writing. Pembahasan Mr. Lala
selanjutnya masih seputar academic writing.
Dimulai dari teaching orientation.
Kata Beliau, jangan menganggap bahwa teaching orientation di kampus
tempat kami belajar kalah dengan kampus swasta sekitar karena teaching orientation yang digunakan
juga tidak kalah hebat. Teaching
orientation tersebut diantaranya :
1.
Academic writing
Academic writing ini memiliki banyak jenis,
contohnya essay, jurnal, dan sebagainya.
Dalam menulis academic writing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yakni sifat – sifat academic writing.
Sifat-sifat tersebut diantaranya :
a) Impersonal
Maksudnya pemunculan point of view pada tulisan ini
tidak boleh terpaku pada satu subyek yang personal, tetapi harus bersifat umum
dan luas. Kalimat-kalimatnya menggunakan
kalimat pasif. Contoh :
I conducted this research in a
years → bersifat personal
Harus diubah menjadi :
This research was
conducted in a years
↓
Impersonal
b) Reference
– based
Pembahasan dalam academic writing ini bukan hanya
sekedar ide atau gagasan tanpa dasar yang jelas. Melainkan harus dilandasi fakta, atau
informasi dari buku, atau penelitian secara langsung (contoh : wawancara).
c) Formal
Bahasa yang digunakan dalam setiap pernyataan yang
tercantum dalam sebuah teks academic bukanlah bahasa yang sering digunakan
sehari-hari, akan tetapi bahasa formal.
Bahasa dengan struktur yang jelas dan baku.
d) Rigid
(kaku)
Gaya bahasa yang digunakan dalam academic writing
ini bersifat kaku, agak sulit dicerna.
Memang bagi sebagaian besar pembaca beranggapan bahwa bahasa yang kaku
itu membosankan, namun seperti inilah gaya bahasa dalam academic writing. Struktur kalimatnya benar-benar tunduk pada
aturan bahasa baik dan benar .
Sedangkan
dalam buku Hyland “English for
Academic Purposes” menyatakan bahwa fitur-fitur academic writing dibagi menjadi
tiga bagian utama, yakni :
a. Menggunakan
makna leksikal yang tinggi
b. Style
bahasa yang tinggi
c. Impersonal : menghindari penggunaan kata “aku” dan
ekspresi perasaan.
2.
Critical
Thinking
Seorang akademisi dituntut untuk memiliki pemikiran
kritis, tidak mudah percaya pada suatu hal tanpa adanya dasar atau bukti yang
jelas. Seorang yang memiliki critical
thinking akan terus mencari sumber-sumber, referensi untuk menguatkan argumen
atau pengetahuannya. Dan dia akan
menggunakan kecermelangannya dalam berpikir dengan menulis atau berbicara.
3.
Writing
Dalam
pandangan Mr. Lala writing ini berarti tiga hal, yaitu:
ü A
way of knowing something (cara untuk mengetahui sesuatu)
ü A
way of representing something (cara untuk menyajikan sesuatu)
ü A
matter of producing something (cara untuk memproduksi sesuatu)
Dari ketiga makna
diatas, kata kunci utamanya adalah “something”. Something disini maksudnya adalah information, knowledge, dan pengalaman
(experience).
Dengan melihat semua
penjelasan diatas, terbersit dalam benak satu pernyataan “writing is so
complicated”. Ya, seperti yang dikatakan
Hyland “writing is a practice based on
expectations : the reader’s chances of interpreting the writer’s purpose are increased
if the writer takes the trouble to anticipate what the reader might be
expecting based on previous texts he or she has read of the same kind” (Hyland
2004 : 4)
Sedangkan Hoey (2001)
yang dikutip dalam Hyland (2004)
menggambarkan atau mengibaratkan penulis seperti penari yang mengikuti
langkah masing-masing, setiap rasa, ruh, keterkaitan antar teks dikoneksikan
dengan sebuah konteks. Dengan kata
lain, penulis-pembaca dikaitkan dengan sebuah konektor bernama “seni”.
Lehtonen
(200:74) pada Barthes mengungkapkan bahwa bahasa
meurut Saussure adalah suatu sistem yang mendefinisikan makna dirinya sendiri, Barthes
melihat peran orang-orang
yang berlatih aktivitas linguistik juga menjadi pusat dalam pembentukan makna. Barthes memang mendeklarasikan “did indeed declare the
death of the author, simultaneously signifying the birth of the reader.” Maksudnya kematian penulis,
sekaligus menandakan kelahiran pembaca. Tulisan itu sama halnya seperti kuburan, jika
tidak dibaca. Pembaca yang membaca
tulisan tersebut bisa me-re-born tulisan jika ia menjadi seorang critical
reader.
Lain halnya dengan Lehtonen , dia lebih jauh berpendapat
bahwa pembaca adalah inti dari pembentukan makna, yang merupakan inti dimana
makna itu berada. Teks dan pembaca
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lehtonen mengungkapkan bahwa :
Ø Teks
Merupakan artefak-artefak komunikatif, dengan kata
lain, teks merupakan instrumen komunikasi yang dihasilkan oleh manusia. Sebagai artefak, teks telah dihasilkan
melalui bantuan dari berbagai teknologi.
Ø Konteks
Merupakan
bagian dari teks. Konteks dan teks
selalu ada bersamaan. Setiap teks selalu memiliki konteks yang mengelilingi
dan menembus keduanya temporally dan locally dan berhubungan dengan teks-teks
lain, serta dengan praktek manusia liannya. Sebanyak makna tanda-tanda linguistik
bergantung pada posisi mereka dalam kaitannya dengan tanda-tanda lain, makna
dari teks yang pada akhirnya tidak mungkin untuk belajar teks terlepas dari
konteks mereka, karena teks sebagai makhluk semiotik tidak ada tanpa pembaca, intertexts,
situasi dan fungsi yang setiap saat terhubung ke mereka.
Dalam pemikiran tradisional tentang teks dan konteks, konteks dilihat sebagai bagian terpisah ' latar belakang ' dari teks, yang dalam perannya sebagai tambahan informasi yang dapat dijadikan bantuan dalam memahami teks itu sendiri.
Dalam pemikiran tradisional tentang teks dan konteks, konteks dilihat sebagai bagian terpisah ' latar belakang ' dari teks, yang dalam perannya sebagai tambahan informasi yang dapat dijadikan bantuan dalam memahami teks itu sendiri.
Ø Pembaca
Menurut
Lehtonen, teks dan pembaca itu tidak bisa berdiri sendiri, keduanya saling
berhubungan dan saling menguntungkan satu sama lain.
Ø Meaning
Meaning merupakan sesuatu yang ingin disampaikan
penulis kepada pembaca. Makna akan
terbentuk oleh dua agen aktif yang dinamakan penulis dan pembaca, mereka akan
mampu membentuk makna tekstual.
Sedikit menggeser pembahasan, dari kepenulisan ke
literasi. Literasi merupakan kualitas
hidup seseorang. Dengan memiliki
literasi yang tinggi, maka akan dapat meningkatkan SDM dan meningkatkan daya
saing, juga semangat untuk maju. dengan
literasi maka akan tercipta orang-orang yang “qualified” yakni orang yang
berkualitas.
Nah, literasi ini salah satunya dapat dicapai dengan
menjadi seorang pembaca dan penulis yang kritis. Contohnya dengan menulis academic writing,
yang telah dipaparkan sebelumnya. Jika
semua itu diusahakan, maka akan tercipta seorang yang qualified, berliterasi
tinggi, dan bukan hal yang mustahil akan
tercipta pula seorang “Multilingual Writer” yang handal seperti apa yang
diungkapkan Mr. Lala.
First Chapter Review
Implementasi Literasi
sebagai Sebuah Penawar
In the 21st
century, world class standards will demand
that everyone is
highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning
constantly, and confident and able to play their part as a citizen of a
democratic society.
~ Michael Barber ~
Literasi,
literasi, dan literasi. Lagi, kata
tersebut masih terpampang dalam buku A.
Chaedar Alwasilah yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi”. Kata literasi ini acap kali tertuang dalam
goresan-goresan tinta Dr. Chaedar. Kepedulian beliau terhadap bangsa ini
untuk berubah menjadi bangsa yang berliterasi tampaknya masih terus membara.
Dalam buku tersebut kata literasi, bagai seorang artis hiburan yang tengah
tenar, menjadi perbincangan hangat Dr. Chaedar dan salah satu sub bab inti di
dalam buku ini adalah “Rekayasa Literasi”.
Rekayasa Literasi bagai penawar untuk penyakit rendahnya literasi yang
menggerogoti negeri ini, untuk berlari, mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa
yang telah lebih berliterat.
Rekayasa literasi mengungkapkan
tentang makna literasi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan yang terus melaju mengikuti
arus zaman. Genre, wacana, literasi,
teks, dan konteks saat ini tengah menjadi buah bibir dalam perbincangan hangat metodologi
pengajaran di kalangan guru bahasa. Lalu,
apakah sebenarnya literasi itu? Berdasarkan
definisi lama literasi memiliki arti kemampuan
membaca dan menulis (7th edition Oxford Advanced Learner’s
Dictionary, 2005:898). Sedangkan dalam persekolahan Indonesia
istilah sering menggunakan istilah pengajaran
bahasa atau pembelajaran bahasa ( Setiadi: 2010). Pada masa silam membaca dan menulis dianggap “cukup”
sebagai pendidikan dasar (pendidikan umum) untuk membekali manusia kemampuan menghadapi
tantangan zamannya. Namun, untuk
sekarang pendidikan dasar tidak cukup jika hanya mengandalkan kemampuan membaca
dan menulis. Selama bertahun tahun
literasi dianggap hanya persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental
dan keterampilan baca – tulis, padahal sebenarnya literasi adalah praktik
kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Para pakar pendidikan
dunia telah berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigma baru dalam
upaya memaknai literasi dan pembelajarannya.
Kini, makna lietrasi merambah kedunia yang lebih luas. Buktinya, kini
ada ungkapan literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi
IPA, dan sebagainya. Berdasarkan
tantangan zaman yang ada, Freebody dan
Luke menawarkan empat model literasi yakni:
1.
Memahami kode
dalam teks (breaking the codes of texts)
2.
Terlibat dalam
memaknai teks (participating in the meanings of text)
3.
Menggunakan teks
secara fungsional (using texts functionally)
4.
Melakukan
analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming texts)
Keempat model litersi
tersebut dapat diringkas kedalam lima verba yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformai teks. Hal yang demikian itulah yang merupakan
hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Dilihat dari beberapa
definisi literasi sejak tahun 1991 sampai dengan 2003 terjadi perubahan makna
literasi, yang sudah pasti mengakibatkan perubahan pengajaran. Makna dan rujukan literasi terus berevolusi, dan kini maknanya semakin
meluas dan kompleks. Lain halnya dengan
rujukan linguistik dan sastra yang relatif
konstan. Dalam banyak hal objek
studi literasi literasi bertumpang tindih dengan objek studi budaya, yang berfokus
pada hubungan hubungan antara variabel-variabel sosial dan maknanya atau lebih
tepatnya bagaimana divisi-divisi sosial dibermaknakan ( O’ Sulivan, 1994 :71). Literasi tetap berurusan dengan penggunaan
bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi
yang saling terkait. Tujuh dimensi tersebut diantaranya :
a.
Dimensi
geografis ( lokal, nasional, regional, dan internasional)
Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring dan
vaokasionalnya.
b.
Dimensi
bidang (pendidikan, komunikasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya)
Tingkat dan efisiensi layanan publik dan militer,
misalnya, bergantung pada kecanggihan teknologi dan persenjataan yang
digunakan. Sedangkan pendidikan, akan
menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi apabila pendidikannya berkualitas
tinggi pula.
c.
Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
Literasi seseorang tampak dalam kegiatan membaca,
menulis, menghitung, berbicara. Setiap
sarjana pasti mampu menulis. Kualitas
tulisan bergantung pada “gizi” bacaan.
“Gizi” akan terlihat saat berbicara.
Untuk menjadi sarjana, orang tidak cukup mengandalkan literasi, ia perlu
memiliki numerasi (keterampilan menghitung).
d.
Dimensi
fungsi ( memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencaapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
Orang yang literat karena pendidikannya, ia akan
mampu memecahkan persoalan, menghadapi setiap tantangan dalam hidup, dan
memproduksi ilmu pengetahuan.
e.
Dimensi
media (teks, cetak, virtual, digital)
Penguasaan IT (Information technology) sangat
penting untuk dimiliki, sehingga kini kehebatan universitas antara lain diukur
lewat webometrics. Zaman sekarang,
literat tak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis.
f.
Dimensi
jumlah (satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk pada banyak hal, misalnya
bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilu, media, dan sebagainya.
g.
Dimensi
bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Ada literasi
yang singular dan ada literasi yang plural.
Dalam definisi literasi
yang telah disebutkan sebelumnya, ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang
menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, diantaranya :
1)
Ketertiban
lembaga-lembaga sosial
2)
Tingkat
kefasihan relatif
3)
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
4)
Standar dunia
5)
Warga masyarakat
demokratis
6)
Keragaman lokal
7)
Hubungan global
8)
Kewarganegaraan
yang efektif
9)
Bahasa Inggris
ragam dunia
10)
Kemampuan
berpikir ksitis, dan masyarakat semiotik
Setelah pengkajian
terhadap tujuh ranah literasi dan 10 kunci literasi, seperti apa yang telah
dipaparkan di atas, seyogyanya pendidikan literasi dilaksanakan dengan
mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :
Ø Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
Ø Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan
Ø Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah
Berbaca tulis
adalah kegiatan mengetahui hubungan antarkata dan antar unit bahasa dalam
wacana serta teks dan dunia tanpa batas.
Ø Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya
Berbaca tulis
selalu ada dalam sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya).
Ø Literasi
adalah kegiatan merefleksikan diri
Penulis dan
pembaca senantiasa melibatkan berpikir ihwal bahasa dan mengaitkannya dengan
pengalaman subyektif dan dunianya.
Ø Literasi
adalah hasil kolaborasi
Berbaca tulis
selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi.
Ø Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Penulis memaknai (menginterpretasikan) alam semesta
dan pengalaman subyektifnya lewat kata-kata, dan pembaca memaknai interpretasi
penulis.
Rapor
Merah Literasi Anak Negeri
Pembahasan mengenai
literasi diatas diharapkan bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan literasi
anak negeri, yang pada faktanya literasi anak negeri mendapatkan rapor
merah. Rapor merah anak negeri ini
diketahui melalui proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress
in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International
Student Assessment), dan TIMSS (the Third International Mathemathics and
Sciences Study) yang diikuti oleh indonesia sejak tahun 1999. Proyek ini dilakukan untuk mengukur literasi
membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
Dari proyek penelitian tersebut terdapat temuan-temuan terpenting dari
PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni
prestasi membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan
siswa dari negara peserta lainnya. Dalam
penelitian itu tujuan membaca meliputi Literary Purposes dan international purposes, sedangkan proses
membaca meliputi interpreting, intergrating, dan evaluating. Berikut ini adalah temuannya :
1.
Skor prestasi
membaca di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan, dan
398 untuk laki-laki. Indonesia menempati
urutan ke-5 dari bawah, yakni sedikit lebih tinggi daripada Qatar (356), Quwait
(333), dan Afrika Utara (304).
2.
Ditemukan tiga kategori berdasarkan
perbandingan skor membaca literary
purposes (LP), dan informational
purposes (IP).
Temuan
tersebut diantaranya :
a. LP
> IP adalah Hungaria, Quwait, Lituania, Georgia, dan Israel.
b. LP
< IP adalah Indonesia (tertinggi), Maroko, Afrika Utara, Moldania, dan
Singapura.
c. LP
relatif sama dengan IP adalah Luxemburg, Latvia, Skotlandia, Austria, dan
Inggris.
3.
Di Indonesia
hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk kedalam kategori sangat
tinggi, 19% masuk kategori menengah, dan 55 % masuk kategori rendah.
4.
Tercatat 44%
orang tua Indonesia (bandingkan dengan Skotlandia 85 %) terlibat dalam early
home literacy activities, yaitu membaca buku, bercerita, menyanyi, bermain
kata, dan membaca nyaring.
5.
Indonesia masuk
kedalam kategori paling bawah, yaitu hanya sekitar 1 % dalam kategori high, 62%
dalam kategori medium, dan 37% dalam kategori low.
6.
Orang tua siswa
negara peserta PIRLS yang lulus universitas 25%, lulus SMA 21%, lulus SMP 31%,
lulus SD 15%, dan tidak tamat SD 8%.
Tingkat literasi siswa
Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa negara-negara lain. Untuk mengejar ketertinggalan itu maka perlu
adanya peningkatan SDM-nya. Kemudian
dalam hal produksi buku, Indonesia masih rendah hanya 6000 buku pertahun,
padahal jumlah dosen Indonesia banyaknya sekitar 232.786, harusnya dari jumlah
ini dapat menghasilkan 77000 buku/tahun.
Ujung tombak pendidikan
literasi adalah guru dengan langkah-langkah profesionalnya yang terlihat dalam
enam hal :
1.
Komitmen
profesional
2.
Komitmen etis
3.
Strategi
analitis
4.
Efikasi diri
5.
Pengetahuan
bidang studi
6.
Keterampilan
literasi dan numerasi
(
Cole dan Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi, 2010)
Rekayasa literasi adalah upaya yang
disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat
penguasaan bahasa secara optimal.
Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan
pembudayaan.
Rekayasa literasi adalah merekayasa
pengajaran membaca dan menulis kedalam empat dimensi, yakni:
1. Dimensi
pengetahuan kebahasaan (fokus pada teks)
2. Dimensi
pengetahuan kognitif (fokus pada minda)
3. Pengetahuan
perkembangan ( fokus pada pertumbuhan)
4. Pengetahuan
sosiokultural ( fokus pada kelompok)
Wacana
pembelajaran bahasa asing selalu hiruk pikuk dengan dialog dan debat tiada
henti, mengenai ihwal (dimensi) literasi metode mengajar literasi sebagai
konsekuensi logis dari paradigma. Tabel
berikut akan menggambarkan perubahan paradigma pengajaran bahasa :
Tabel
Perubahan Paradigma Pengajaran
Literasi
No
|
Tadinya
|
Kini
|
1.
|
Bahasa adalah
sistem strukur yang mandiri
|
Bahasa adalah
fenomena sosial
|
2.
|
Fokus
pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi
|
Fokus pada
serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung
|
3.
|
Berorientasi
ke hasil
|
Berorientasi
ke proses
|
4.
|
Fokus kepada
teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa
|
Fokus pada
teks sebagai realisasi tindakan komunikasi
|
5.
|
Mengajarkan
norma-norma perspektif dalam berbahasa
|
Perhatian pada
variasi register dan gaya ujaran
|
6.
|
Fokus pada
penguasaan keterampilan secara terpisah
|
Fokus pada
ekspresi diri
|
7.
|
Menekankan
makna denotatif dalam konteksnya
|
Menekankan
nilai komunikasi
|
Paradigma
adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap literasi objek pandang (baca :
literasi).
Perubahan sudut pandang membawa sejumlah
konsekuensi sampai ke metode dan tekhnik pengajaran yang kasat mata dan
hasilnya dapat diukur. Misalnya perubahan
orientasi dar hasil ke proses, guru akan melihat bagaimana tulisan diproses
oleh sang siswa dar A sampai Z. Dan guru
tidak akan menentukan target yang sama lagi bagi semua siswa, misalnya seribu
kata esay naratif karena dalam proses menulis setiap siswa memiliki hobi dan
gaya yang berbeda.
Rekayasa
literasi ini, mengajak untuk mengintrospeksi diri. Mengubah rapor merah literasi anak bangsa,
menuju generasi-generasi yang berliterat.
Bangsa yang kaya, maju tidak hanya dilihat dari jumlah penduduk dan
kekayaan alam yang dimilikinya, tapi dari kualitas SDM-nya. Salah satu obat, penawar penyakit rendahnya
literasi yang dimiliki di negeri ini adalah dengan memberikan pendidikan
literasi sejak dini, yang saling sambung-sinambung, tidak setengah-setengah
untuk menanam fondasi yang kuat. Agar
literasi dapat terus berkembang sampai ke tahap berikutnya. Dengan demikian, akan tercipta pribadi, wrga
negara, kemudian menjelma menjadi negara yang berliterat, bangsa yang memiliki
budaya literasi.


1 Comments:
- Uzik Rifai said...
-
gak sia-sia buka blog ini... suka banget sama isinya.. bermanfaat sekali kak ... terima kasih
-
March 19, 2017 at 10:56 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)