Saturday, February 22, 2014
Created By:
Latifah Nurhasanah
Class
review II
Name
: Latifah Nurhasanah
Class
: PBI-D/4
UPAYA MENINGKATKAN CITA RASA LITERASI
Pertemuan pertama begitu mendebarkan, tetapi rasa itu masih bisa
teratasi karena pada pertemuanya hanya membicarakan Satuan Acara Perkuliahan
(SAP) dan mengulas sedikit mengenai apa yang dimaksud dengan akademik
writing. Hal ini juga akan menjadi bekal
untuk suasana yang pastinya semakin hari akan semakin ekstrim.
Beranjak pada pertemuan kedua kemarin, tak pernah bisa dipungkiri
bahwa ketika mendengar kata-kata writingnya saja sudah membuat hati terasa akan
berpisah dengan raga. Keringat dingin
dan segala macam hal bisa saja keluar dengan sendirinya, karena rasa grogi dan
ketidak percayaan diriku. Tidak akan
pernah merasa lega jika season tanya jawab bersama Mr. Lala belum mendapat
giliran.
Sulit untuk dipahami memang, jika kita sendiri tidak mengetahui
bagaimana situasi yang sekarang ini terjadi pada pendidikan di Indonesia
ini. Apalagi ketika kita diberikan
sebuah pertanyaan mengenai hal itu.
Seperti halnya ketika pembahasan class review dan appetizer yang
pertama, saya diberikan sebuah pertanyaan yang saya sendiri belum memahami
betul bagaimana pendidikan kita sebenarnya.
Adapun pertanyaanya sebagai berikut:
“Apakah hanya dari penghasilan produknya saja yang tertinggal
dengan negara lain?”
Awalnya memang bingung dan kurang mengerti dengan pertanyaan ini,
tetapi saya hanya mencoba menjawab pertanyaan tersebut, yakni tidak hanya dari
produknya saja yang tertinggal, tetapi dari segi kedisiplinanpun sudah sangat
tertinggal dengan negara lain, maksud dari kedisiplinan disini yaitu disiplin
dalam membaca dan menulisnya. Setelah
selesai menjawab, serasa semua beban telah berlalu, lepas jauh, walaupun patut
disadari jika dilihat dari jawabannya sedikit tidak sesuai dengan harapan.
Setelah sesi tanya jawab selesai, lanjut pada pembahasan tiga pilar
utama dalam akademik writing dan membahas beberapa slide. Adapun tiga pilar tersebut, yakni:
1.
Akademik
writing
Akademik writing merupakan sebuah tugas utama seorang mahasiswa atau
akademisi. Akademik writing itu
dihasilkan dan dibuat berdasarkan research atau penelitian-penelitian dengan
data yang tidak diragukan lagi (validity), realistis, masuk akal dan dapat
dipertanggung jawabkan. Didalam akademik
writing, mencantumkan referensi-referensi itu sangat penting dan wajib
hukumnya, agar bisa dijadikan bukti valid yang bisa meyakinkan kualitas laporan
atau jurnalyang telah dibuat. Tujuan
utamanya adalah untuk menemukan sebuah data paling akurat dan benar
(truth). Sedangkan sifat-sifat yang
dimiliki oleh akademik writing, terdiri dari:
a.
Impersonal : Didalam akademik writing, sifat
impersonal ini akan selalu ditonjolkan
oleh si penulis. Sifat impersonal itu sendiri memiliki maksud bahasa si penulis
tidak akan memunculkan identitas dirinya dalam tulisannya tersebut. Lalu
dibagian mana penulis menonjolkan identitasnya?
Penulis akan memunculkannya pada bagian argumen. Maka bisa dibilang bahwa itu bukan termasuk
kedalam akademik writing, melainkan termasuk kedalam writing biasa.
b.
Reference
based : Maksud dari reference based disini adalah
jika didalam akademik writing referensi sangat dibutuhkan, karena memiliki
tujuan untuk mengakuratkan data dan informasi yang didapatkan.
c.
Formal : Formal dalam akademik
writing adalah formal dari segi bahasanya. Bahasa yang digunakan dalam
penulisan akademik writing harus menggunakan bahasa yang formal dan akademik.
d.
Rigid : Rigid yang dimaksud
disini adalah baku, yaitu kata-kata yang sesuai dengan EYD dalam setiap
penulisan akademiknya. Seperti halnya di
impersonal tadi. Jika disini penggunaan
kata baku itu wajib hukumnya seperti referensi.
Karena untuk membedakan dengan writing biasa, yang pada umumnya
menggunakan tulisan informal.
2.
Critical
thinking
Critical thinking merupakan sebuah pemikiran kritis yang dimiliki
oleh seseorang. Peran dan posisi kita
sebagai seorang mahasiswa juga harus memiliki pemikiran kritis yang sama dengan
orang yang bukan mahasiswa. Jika tidak
seperti itu kita tidak akan pernah tau dan berkembang dalam hal pendapat dan
pemikiran.
Selain berfikir kritis juga harus berliterasi, khususnya dalam hal
baca-tulis. Selain critical thinking dan
literasi kita sebagai mahasiswa juga harus bisa berperan sebagai critical
reader dan critical writer.
3.
Writing
Didalam writing ada tiga siklus yang harus dibangun, yaitu:
a.
Away
of knowing “something”
b.
Away
of representing “something”
c.
Away
of reproducing “something”
Adapun “something” disini yang
dimaksud, yakni:
Ø Information
Ø Knowladge, dan
Ø Experience
Selain membahas
mengenai semua itu, ada juga pembahasan dari slide yang isinya itu adalah
pendapat-pendapat dari para ahli, yaitu:
“writing is a practice based on expectation: The reader’s chances of interpreting the
writer’s purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate
what the reader might be expecting based on previous texts he or she has read
of the same kind.” (Hyland 2004:4). Maksudnya
adalah sebuah pengertian menulis yang merupakan tulisan yang dapat memunculkan
beberapa harapan, ekspektasi itu yang diberikan kepada pembaca dari seorang
penulis untuk mencapai sebuah tujuan yang penulis tuangkan kedalam tulisannya.
Adapun
pernyataan yang diungkapkan oleh Hoey (2001) yang dikutip dari Hyland (2004),
yaitu: “Likenes the reader and writer to
dancers following each other’s steps, each assembling sense from a text by
anticipating what the other is likely to do by making connections to prior
text.” Maksudnya adalah writer dan
readers akan selalu berjalan beriringan layaknya sebuah pasangan dansa yang
saling mengikuti satu sama lain, yang hubungannya ada pada teks. Bedanya jika reader mengkonsumsi teks,
sedangkan writer memproduksi teks, hubungan antar keduanya antara writer dan
reader dapat disebut dengan seni.
Lehtonen
(2000:74) juga menjelaskan bahwa bagian terpenting dalam sebuah penulisan
adalah meaning. Jangan pernah jadikan
tulisan hanya bagaikan sebuah kuburan yang tidak ada seorangpun yang berkunjung
untuk membaca, mengkritik, dll. Menurut
Lehtonen juga kita akan menjadi seorang penulis itu hanya pada waktu kita
menulis saja, berdekatan dengan kertas
dan pena, selepas itu tidak. Tetapi jika
seorang pembaca itu membaca sesuatu akan dapat diingat sampai akhir dengan
jangka yang sangat panjang.
Menurut
Lehtonen juga inti dari sebuah bacaan adalah formasi meaning dan readinglah
yang menjadi tempat masuknya sebuah pemahaman.
Sedangkan teks dan reader tidak pernah berdir sendiri tetapi saling
memproduksi satu sama lain. Sebuah
kegiatan membaca itu meliputi pilihan bacaan/teksnya, kemudian menyusun bacaan
hingga dapat memproduksi ilmu pengetahuan pembacanya.
Adapun hubungan
dan tujuan antara teks, konteks, reader, writer dan meaning adalah untuk
menetahui, memproduksi, serta memberi pemahaman tentang meaning dari sebuah
wacana, dan seorang pembaca akan memahami konteks (isi) bacaannyan namun dapat
berbeda, pemahamnnya lebih luas dari pada apa yang penulis maksudkan.
Jadi
kesimpulannya adalah bahwa menulis adalah salah satu alat yang paling utama
untuk menuju sebuah perubahan, penanaman dan memproduksi informasi dan ilmu
pengetahuan. Mengapa harus seperti
itu? Karena ketika kita akan menulis
atau ingin menjadi penulis hebat maka hal pertama yang harus kita lakukan
adalah menjadi pembaca hebat terlebih dahulu karena dari membaca kita akan mendapatkan
banyak informasi dan ilmu pengetahuan, yang nantinya informasi dan ilmu
pengetahuan tersebut dikembangkan kembali dalam sebuah tulisan. Hal ini yang akan menjadikan atau
meningkatkan literasi kita, yang akan diwujudkan dengan dengan teks, konteks,
reader, writer dan terakhir meaning.
CHAPTER REVIEW
MENINGKATKAN LEVEL DENGAN REKAYASA
LITERASI
Ø In the 21st century, world class standards will demand
that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, cable of
learning constantly, and confident and able to play their part as a citizen of
a democratic society. (Michael Barber)
Ø Human minds can not be proporationally developed unless they can
learn language, math, social and natural sciences in an integrated way. (Artes
Liberal)
Hal pertama
kali yang dibahas dalam rekayasa literasi ini adalah pengelompokan periodisasi
penggunaan metode dan pendekatan kedalam lima pendekatan yang dilakukan oleh
ahli bahasa, yaitu:
1.
Pendekatan
struktural dengan grammar translation methodes memiliki beberapa beberapa
fokus, yaitu:
-
Fokus
pembelajarannya menggunakan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa
-
Fokus
pada bentuk yang nantinya akan terfokus pada struktur pembentukan kalimatnya
2.
Pendekatan
audilingual atau dengar-ucap (1940-1960), yang memfokuskan pada latihan
dialog-dialog pendek, sedangkan penguasaan bahasa tulis terabaikan.
3.
Pendekatan
kognitif dan transformatif sebagai implikasi dari teori-teori syntatic struture
(domsky, 1957), memfokuskan pendekatannya pada pembangkitan potensi berbahasa
siswa yang sesuai dengan kebutuhan lingkungan disekitarnya.
4.
Pendekatan
communicative competence memiliki tujuan pengajaran berbahsa, yaitu menjadiakn
siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa yang sudah ditargetkan sebelumnya, yang
mampu berkomuniksai dengan spontan dan alami.
5.
Pendekatan
literasi/genre-based sebagai implikasi dan studi wacana. Dengan tujuan
pembelajarannya adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai
dengan tuntutan konteks komunikasi, dan dapat dilakukan melalui empat tahapan,
yaitu:
1.
Membangun
pengetahuan
2.
Menyusun
model teks
3.
Join
construction of text
4.
Menciptakan
teks sendiri
Adapun pengertian dari literasi itu sendiri secara umum adalah
kemampuan membaca dan menulis (7th edition oxford advanced learner’s
dictionary, 2005:898). Pada masa silam
literasi itu dianggap “cukup” sebagai pendidikan dasar untuk membekali manusia
untuk mampu menghadapi tantangan zamannya, dan pada zaman itu literasi diartikan
sebagai pendidikan, karena dasar dari pendidikan itu sendiri tidak cukup
mengandalkan baca tulis saja. Adapun
model literasi menurut freebody dan luke, yaitu:
Ø memahami kode dalam teks
Ø Terlibat dalam memakai teks
Ø Mengguanakan teks secara fungsional
Ø Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Dari keempat peran tersebut dapat di simpulkan dalam sebuah
ringkasan, yakni: Memahami, melatih,
menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks, dengan demikian inilah
hakikat berliterasi secara kritis.
Seperti yang telah tampak dari beberapa definisi literasi terus
berevolusi, semakin luas dan kompleks, dan literasipun masih berkaitan dengan
penggunaan bahasa, yang kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki
tujuh dimensi yang saling berkaitan.
Adapun dimensinya adalah sebagia berikut:
1.
Dimensi
geografris (lokal, nasional, regional, dan internasional). Dimensi ini bergantung pada tingkat
pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya
2.
Dimensi
bidang (pendidikan, komunikasi,
administrasi, hubungan, militer, dsb), contohnya dalam sebuah bidang
pendidikan, jika pendidikannya berkualitas tingga maka akan menghasilkan
literasi yang berkualitas tinggi pula.
3.
Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara. Seseorang terlihat berliterasi ketika
seseorang terlihat berliterasi ketika seseorang tersebut sedang membaca,
menulis menghitung dan berbicara. Jika orang tersebut berliterasi maka setiap
tindakannyapun akan berkualitas.
4.
Dimensi
fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, dan menegmbangkan potensi diri). Jadi orang yang berliterasi menurut dimensi
fungsi ini adalah orang yang menguasai dan memiliki ketrampilan.
5.
Dimensi
media : pada zaman sekarang orang yang
berliterasi itu tidak cukup hanya membaca dan menulis saja, tetapi harus
menguasai IT (Information technology) juga, sesuai perkembangan dan kemajuan
zaman.
6.
Dimensi
jumlah : literasi seperti halnya
kemampuan berkomunikasi, yaitu bersifat relatif.
7.
Dimensi
bahasa : literasi dalam dimensi bahasa ini ada monolingual, bilingual dan
multilingual. Contohnya jika orang jawa
masuk jurusan bahasa inggris dan banyak memiliki teman orang sunda maka dia
bisa dikatakan multilingual.
Adapun sepuluh gagasan kunci mengenai literasi yang akan merubah
paradigma sesuai tuntutan zaman dan perkembangannya, yakni:
1.
Ketertiban
lembaga-lembaga sosial
2.
Tingkat
kefasihan relatif
3.
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
4.
Standar
dunia
5.
Warga
masyarakat demokratis
6.
Keragaman
lokal
7.
Hubungan
global
8.
Kewarganegaraan
yang efektif
9.
Bahasa
inggris dalam dunia
10.
Kemampuan
berfikir kritis dan masyarakat semiotok
Setelah kita mengetahui dan mengkaji lebih jauh mengenai ketujuh
dimensi dan sepuluh kunci literasi, kita juga harus mengikuti tujuh prinsip
literasi, yakni:
1.
Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi secara
maksimal sebagai anggota masyarakat dan mampu memfungsikan bahasa sesuai dengan
fungsinya dalam kehidupan nyata seperti cara membuat CV, surat lamaran kerja,
dll.
2.
Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun lisan.
3.
Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah.
Maksudnya adalah baca-tulis merupakan kegiatan mengetahui hubungan antar
kata dalam sebuah wacana dan membangun pemikiran secara kritis.
4.
Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Dalam sistem budaya, baca-tulis selalu
berkaitan erat dengannya, karena dalam pendidikan bahsapun ada pengetahuan
mengenai budaya.
5.
Literasi
adalah kegiatan refleksi diri. Maksudnya
adalah selalu berfikir tentang bahasa dan mengaitkannya dengan pengalaman
subjektif dan dunianya, kemudian mencoba mengkomunikasikannya secara spontan.
6.
Literasi
adalha hasil kolaborasi. Maksudnya
adalah hasil kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi, yaitu penulis dan
pembaca.
7.
Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Interpretasi itu sendiri adalah proses memaknai sesuatu. Maksudnya
adalah penulis memaknai alam semesta dan pengalaman subjektif lewat kata-kata
dan pembaca akan mengerti dari penjelasan yang diberikan oleh sang
penulis. Interpretasi itu meliputi
mencari, menebak dan membangun sebuah makna.
Pengukuran kemampuan berliterasi suatu bangsa, salah satunya dengan
ikut serta kedalam proyek dunia yang dikenal dengan PIRLS (Program in
international reading literacy study). PISA (Program for international student
Assessment) dan TIMSS (The third international methematics and science
study). Ketiganya merupakan metode untuk
mengukur literasi suatu bangsal.
Indonesia mengikuti proyek penelitian tersebut sejak 1999. Pada PIRLS 2006b meneliti aspek literai pada
siswa kelas VI. Penelitian tersebut
memfokuskan pada bidang membaca, meliputi interpreting, integreting, dan
evaluating. Hasilnya bisa dibilang cukup
mengecewakan. Literasi siswa Indonesia
itu masih jauh tertinggal dengan siswa-siswa dari sekolah luar negeri. Ditaraf international, literasi bangsa
indonesia belum kompetitif, yaitu belum bisa bersaing, faktornya dalah
pendapatan perkapita negara, orang tua, fasilitas dan lamanya belajar. Persolan ini tidak lepas dari tanggung jawab
dan peran seorang guru dan orang tua siswa untuk menumbuhkan literasi sejak
dini kepada anak anak didiknya seperti pada wacana 6.1. ini juga terjadi karena
ujung tombak pendidikan literasi yaitu guru dan keenam langkah profesionalitasnya,
yaitu:
1.
Komitmen
profesional
2.
Komitmen
etis
3.
Strategi
analisis dan reflektif
4.
Efikasi
diri
5.
Pengetahuan
bidang studi, dan
6.
Ketrampilan
literasi dan numerisasi (cole and chan, 1994 dikutip oleh setiadi, 2010).
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa
saat ini literasi bangsa kita masih sangat rendah, untuk itu dibutuhkan adanya
rekayasa literasi, guna meningkatkan literasi yang kurang ini. Pengertian dari rekayasa literasi itu sendiri
adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk merubah kebudayaan
danpengajaran bahasa baca-tulis melalui empat dimensi, yakni:
1.
Dimensi
linguistik (fokus of text)
Dalam literasi itu diperlukan adanya pengetahuan yang mencakup:
Ø Sistem bahasa untuk membangun makna seperti jenis dan struktur
teks, sintaks dan morfologi.
Ø Persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan tulisan
Ø Ragam bahasa yang mencerminkan kelompok yang maknanya adalah
mengajarkan literasi mesti membekali mahasiswa
2.
Dimensi
kognitif (fokus of mind)
Literasi juga membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu:
Ø Aktif, selektif, dan konstruktif saat membaca dan menulis.
Ø Memanfaatkan pengetahuan yang ada untuk membangun makna.
Ø Menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna.
3.
Dimensi
socicultural (fokus kelompok)
Dimensi ini mengemukakan bahwa untuk menjadi seorang yang literate,
pasti melalui proses untuk “menjadi”. Disini yaitu tahapan untuk menguasai
sejumlah pengetahuan, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Ø Pembelajaran aktif-konstraktif
Ø Pemakaian strategi dan mengkonstruksi berbagai dimensi
Ø Menggunakan dukungan dan mediasi dari pelaku literasi
Ø Pemanfaatan pengetahuan
Ø Mampu menegosiasi makna tekstual.
4.
Dimensi
perkembangan dan pertumbuhan
Pada dimensi ini literasi memerlukan pengetahuan tentangan:
1.
Tujuan
dan pola literasi yang beragam sesuai kelompok
2.
Aturan
dan norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis
3.
Fitur-fitur
linguistik dari berbagai macam tujuan dalam bentuk silang
4.
Menggunakan
literasi untuk memproduksi menggunakan, mempertahankan dan mengontrol
pengetahuan.
5.
Bentuk
dan fungsi literasi yang bernilai tinggi dan dipertahankan
6.
Kemampuan
melakukan kritk teks.
Adapun paradigma pembelajaran
literasi, yaitu: Decoding, skills, dan
whole language (kucer, 200). Adapun paradigmanya adalah:
Ø Paradigma 1 : Decoding
Menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi,
dalam paradigma ini berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar ihwal literasi -> belajar
literasi -> belajar melalui literasi
Ø Paradigma 2 : Keterampilan
Rumusnya : Perkembangan
literasi = belajar ihwal literasi belajar literasi -> belajar melalui literasi
Ø Paradigma 3 : Bahasa secara utuh
Paradigma ini menolak pembelajaran yang memfokuskan pada bagian
atau serpihan bahasa saja tetapi paradigma ini lebih suka memfokuskan pada
bahasa secara utuh. Paradigma ini ini
menolak urutan: belajar ihwal literasi
-> belajar literasi -> belajar melalui literasi
Paradigma ini mengajukan rumus berikut ini perkembangan literrasi
adalah belajar melalui literasi -> belajar litersi -> belajar ihwal
literasi.
Dari pembahasan diatas, tampak bahwa wacana pengajaran bahasa
selalu rumit dengan dialog dan debat tiada henti antara pendukung paradigma
ihwal (dimensi) literasi dan metode mengajar literasi sebagai konsekuensi logis
dari sebuah paradigma literasi.
Adapun tabel yang menggambarkan perubahan sudut pandang (paradigma)
pengajaran literasi akan dijelaskan pada tabel berikut ini:
Tadinya
|
Kini
|
-Bahasa adalah system struktur yang mandiri.
-Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang
terisolasi.
-Berorientasi ke hasil.
-Fokus pada teks sebagai displaykosakata dan struktur
tata bahasa
-Mengajarkan norma-norma perspektif dalam berbahasa.
-Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah
(discreate).
-Menekankan makna derotatif dalam konteksnya.
|
-Bahasa adalah fenomena sosial.
-Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling
terhubung.
-Berorientasi ke proses.
-Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan
komunikasi.
-Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran.
-Fokus pada ekspresi diri.
-Menekankan nilai komunikasi.
|
Dilihat dari paradigma yang telah dibuat dan dirubah dalam rangka
perbaikan pengajaran bahasa itu, kita tidak boleh melakukan sebuah
kesalahan. Jangan sampai seorang sarjana
ahli linguistik tidak mampu menulis.
Jangan juga menyalahkkan guru bahasa karena literasi yang telah dibangun
memiliki dimensi lain sesuai dengan politik sosial. Perubahan paradigma adalah langkah baru untuk
hijrah ke masa yang lebih mjaju dan menghadapi tantangan zaman.
Jadi kesimpulannya adalah literasi merupakan sebuah ketrampilan
membaca-menulis yang terus berevolusi, hingga saat ini banyak rekayasa dimensi
yang bermunculan dari literasi harus dijalankan dari pengajaran bahasa dengan
definisi, kunci gagasan, ranah dan
prinsip literasi itu sendiri.
Permasalahan pendidikan yang ada saat ini memang masih jadi
permasalahan pendidikan yang ada saat ini memang masih jadi permasalahan utama,
yaitu bisa jadi karena metode dan teknik pengajaran yang kurang mencerdaskan
dan tidak mempu mencetak orang-orang yang literate. Belum maksimalnya pendidikan untuk
menghasilkan akademisi yang berliterasi yang dapat ditunjukan dari kemampuan
baca-tulisnya.
Dalam buku rekayasa literasi ini sangat jelas bahwa pemerintah
selalu berusaha untuk bisa merekayasa literasi bangsa yakni merekayasa pengajaran
membaca dan menulisnya dengan melakukan perubahan paradigma pengajaran bahasa
melalui empat dimensi, yaitu:
linguistik, kognitif, sociocultural dan perkembangan. Sehingga dapat
menuju ke bangsa yang memiliki cita rasa literasi yang tinggi dan mampu serta
layak bersaing.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)