Saturday, February 22, 2014

Literacy = Life Quality


Name               : Nur Komariyah
Class                : PBI - D
Writing and Conversation 4
           
Class Review 2
Literacy = Life Quality

            Jum’at, 14 Februari 2014. Pukul 07.30 WIB. Masih di ruang yang sama yaitu ruang 46 lantai tiga di gedung Tadris Bahasa Inggrish. Kami mahasiswa-mahasiswi didikan Mr.Lala Bumela mempersiapkan diri untuk menerima pelajaran Writing and Conversation 4 dengan penuh semangat. Terlalu bersemangatnya banyak anak-anak PBI – D yang sudah stand by dari pagi hari, ada yang berlari menuju lantai tiga hingga nafasnya terengah-engah dan ada juga yang santai tetap keep calm tanpa menunjukan raut wajah yang tegang, gelisah, dan khawatir.

            Akan tetapi ketika pukul 07.31 WIB mahasiswa-mahasiswi mulai merasa dag-dig-dug karena Mr.Lala sudah menuju ruang 46 dengan bergegasnya. Perasaan ini semakin terasa aneh, kelas pun menjadi sunyi-senyap tanpa adanya suara. Setelah infokus dan laptop Mr.Lala menyatu disitulah kami merasa sedikit tenang. Tibalah  saatnya Mr.Lala untuk mempresentasikan Power Pointnya yang berjudul Knowing Who We Really are.
            Namun sebelum beranjak menuju powerpoint, Mr.Lala memberitahu tentang adanya At America dijakarta dan free untuk kalangan apapun atau umum pukul 10.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB. Di acara At America tersebut membahas tentang Curriculum, Business, School dan program-program khusus. Setelah itu Mr.Lala membahas tentang Teaching Orientation. Teaching Orientation itu sendiri memiliki pondasi besar di antaranya Academic Writing, Critical Thinking, dan writing. Berikut adalah penjelasannya :

1.      Academic Writing
Di mulai dari Reseach yang harus Validity (valid) terdiri dari :
1.      Inpersonal
Penulis akan menunjukan dirinya kuat di Pieces Of Arguments dan not using “I”. Maksudnya pemunculan  point of view pada tulisan ini tidak boleh terpaku pada satu subyek yang personal, tetapi harus bersifat umum dan juga luas
2.      Reference-Based
Pembahasan dalam academic writing ini tidak hanya sekedar ide atau gagasan tanpa dasar yang jelas.  Melainkan harus dilandasi dengan fakta, atau informasi dari buku, atau penelitian secara langsung seperti halnya wawancara.
3.      Formal
Bahasa yang digunakan dalam pernyataan yakni menggunakan bahasa yang formal.
4.      Rigid “kaku”
hanya orang-orang tertentu yang membacanya dikarenakan tidak mudah dicerna oleh pembacanya karena bersikap kaku.

2.      Critical Thinking
Critical Thinking dilihat sebagai Critical Reader dan Critical Writer
3.      Writing
1.      A way of knowing something (Focus People).
2.      A way of representing something (Describing).
3.      A way of reproducting something.
Kata Kunci di atas terletak pada kata something. Kata something ini bisa muncul di informasi – knowledge kemudian Experience (mengalami sesuatu).
            Setelah itu barulah menjelaskan powerpoint dengan judul “Who are you in my class” dari sekian banyak option ternyata kamu adalah A Multilingual Writer, who writes effectively in L1 and L2 effectively, who service as a critical reader both in L1 and L2, who transforms yourself from a student of language into a student of writing, and who can make in formed choices in life, who can change the world. Wow . . . amazing bukan .
            Ternyata Literasi (membaca-menulis) itu sesuatu yang sangat besar karena terkait dengan “Life Quality”. Life Quality itu terlihat dari sumber daya manusia yang akan menciptakan daya saing. Dari daya saing inilah yang akan menghubungkan ke Life Quality. Di slide selanjutnya Hyland berkata “Writing is a practice based on expectation; the readers chances of interpreting the writers purpose are increased the writer takes the trouble to anticipate what the reader might he expecting based on Previous Texts he or she has read of the same kind”. Jadi writing itu didasarkan oleh ekspektasi dimana teks itu sangat penting dan writer harus mengecek schemata untuk memuaskan pembaca (reader).
            Menurut Lehtonen (2000 : 74) On Barthes says “where language to Saussure was a system whischitself defined meanings. Barthes saw the role of the people who practiced linguistic activity as also being central in the formation of meaning. Pengertiannya peran dari orang yang melakukan latihan aktivitas linguistic juga sebagai pusat dalam formasi dari meaning. Barthes juga sangat membandingkan pembaca kemudian seorang penulis bukan lagi penulis sebelum untuk melakukan seni dengan menulis, but takes shape as one while writing. Barthes juga menambahkan kalau tulisan itu seperti kuburan dari kata-kata the death of the author simultaneously signifying the birth of the reader.
            Di slide selanjutnya mengenai lehtonen further argues yakni pembaca menaik menuju ke nucleus formasi dari meaning karena pembaca adalah kuncig penting dan membaca menjadi tempat dimana meanings akan dimilikinya dan terakhir membaca memasukan pemilihan apa untuk dibaca, to form meaning, as well as bringing the readers own knowledge into texts.
            Dalam class review dua ini kami diminta untuk menemukan sebuah hubungan yang jelas antara texts, contexts, reader, writer and meaning dari buku referensi Mr.Lala yaitu Lehtonen (2000). Kemudian didalam buku lehtonen memaparkan bahwa bukunya mempelajari tentang the formation and study of meaning, dan berusaha untuk memberi gagasan contextual and cultural nature of textual meaning. Buku ini juga dikontribusikan untuk mengembangkan sebuah teori dari meaning yaitu berdasarkan pada sebuah teori Artikulasi.
            The researcher must construct an image of them piecemeal; an image which will largely resemble the cognitive and conceptual frame works that were utilized in its production. In this sense, to research the meanings of the world is in itself to produce meanings. Jadi the researcher harus membangun dari piece meal. Lehtonen menganalisis hubungan antara teks, conteks dan pembaca diformasi dari meaning. Kemudian beliau mencari metode secara menyeluruh dari tiap tiga elemen agar bisa menjadi analisis dalam hubungan untuk ke elemen lainnya. Ini adalah keperluan untuk alasan yang banyak itu dari formasi of meanings, tak satupun dari elemen yang ada dalam sendirinya, sendiri dari elemnt lainnya. Sebaliknya text, context, and readers tentu saja mendapat identitas mereka di dalam interaksi yang lainnya.
            In the pages of this book Lehtonen memberitahu tentang dimana dan bagaimana “meanings” itu terbentuk? ternyata beliau mencari sebuah jawaban dari mengkombinasikan the tools of the poetics of the texts, the hermeneutic of context and notions concerning the subjectivity and identity of readers, viewers, and listener. All in all lehtonen deal with six issues that are present in one way or another in the formation of meanings : culture, language, media texts, contexts, and readers.
            Baiklah, mungkin cukup sekian penyajian tentang buku lehtonen (2000), semoga bermanfaat dan apabila ada kekurangan mohon kritik dan sarannya. Terima kasih



Name               :  Nur Komariyah
Classs              :  PBI-D
Chapter Review 1
Literasi yang fleksibel

            Chapter review pertama ini akan diawali dengan Quotes dari Artes Liberal yang menyatakan manusia tidak bisa menjadi secara proposional perkembangannya kecuali mereka biosa mempelajari bahasa, matematika, sosial, dan pengetahuan alam dalam sebuah penggabungan tersebut. Sehingga dari Quotes diatas kita akan mempelajari betapa pentingnya literasi dalam kehidupan manusia. Sebelum kita mempelajari hal tersebut, ada beberapa pengelompokkan periodesasi penggunaan metode dan pendekatan (approach), khususnya terhadap pengajaran bahasa asing kedalam lima kelompok besar, yaitu :

1.      Pendekatan Struktural dengan grammar translation methods
Pendekatan ini meletakkan focus pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulisan dan penguasaan tata bahasa. Contohnya tata bahasa tradisional yang focus pada bentuk yang bertujuan untuk mengidentifikasikan jenis kota, unit-unit sintaksis (kata, Fase, klausa) dan cara menggabungkannya. Pendekatan ini melatih siswan untuk menganalisis kesalahan berbahasa (error analysit), sintaksis kalimat, dan wacana. Akan tetapi pendekatan ini tidak menjamin siswan mampu menganalisis persoalan sosial (bahasa pejabat yang munafik, bahasa yang bias gender, dan bahasa iklan yang terkadang sesat).


2.      Pendekatan Audiolingual (dengar – ucap)
Pendekatan ini focus pada latihan-latihan dialog pendek untuk dikuasai siswa untuk beranalogi pada dialog tersebut. Pendekatan ini kurang memberi ruang terhadap variasi ujaran untuk berbagi fungsi selain itu, dalam pendekatan ini penguasaan bahasa terabaikan.

3.      Pendekatan Kognitif dan Transformative.
Pendekatan ini sebagai implikasi dari teori-teori syntactic structure (Chomsky, 1957). Focus pengajarannya terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya. Materi yang diajarkan kepada siswa berorientasi ke sintaksis.

4.      Pendekatan Communicative Competence
Pendekatan bahasa ini betujuan menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas sampai dengan komunikasi spontan dan alami. Dalam komunikasi manusia tidak sekedar memproduksi ungkapan yang komunikatif. Komunikasipun harus bernalar. Pendekatan komunikatif juga dianggap kurang eksplisit dalam upaya menjelaskan bentuk dan fungsi, sehingga lahir tata bahasa fungsional.

5.      Pendekatan Literasi atau Genre-based
Sesuai dengan kurikulum 2004 di Indonesia, tujuan pembelajaran adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks komunikasi. Ada empat tahapan pembelajaran yaitu :
1.      Membangun Pengetahuan.
2.      Menyusun model-model teks.
3.      Menyusun teks bareng-bareng.
4.      Menciptakan sendiri teks.

Definisi Literasi
            Dalam perbincangan metodologi pengajaran di kalangan guru bahasa saat ini adalah genre, wacana, literasi, teks, dan konteks. Menurut oxford advanced learner’s dictionary, 2005 : 898. Bahwa definisi literasi adalah kemampuan membaca menulis. Akan tetapi istilah literasi jarang dipakai, hanya ada istilah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Istilah literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah literature dan leterar. Membaca dan menulis itu dianggap cukup pada masa silam, karena hanya sebagai pendidikan dasar untuk membekali manusia kemampuan. Akan tetapi untuk sekarang pendidikan dasar saja tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis karena literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik, sehingga para pakar dunia berpaling ke definisi baru memaknai literasi dan pembelajarannya kini ada ungkapan Literasi Komputer, Literasi Virtual, Literasi matematika, dan literasi IPA. Dari literasi tersebut Freebody & Luke menawarkan model literasi yaitu :
1.      Memahami kode dalam teks.
2.      Terlibat dalam memaknai teks.
3.      Menggunakan teks secara fungsional.
4.      Melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis
Keempat peran literasi ini dapat diringkas ke dalam lima verb : memahami, melibat, menggunakan, menganalisis, dan menstrasformasi teks. Itulah hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis. Ternyata makna literasi dan rujukan literasi terus berevolusi, dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks. Sementara itu rujukan linguistic dan sastra relative konstan. Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang terkait diantaranya
1.      Dimensi Geografis.
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi local, nasional, regional, dan internasional bergantung pada tingkat pendidikannya dan jejaring social dan vokasionalnya.

2.      Dimensi Bidang.
Literasi tampak di bidang pendidikan, komunikasi, administrasi, militer, dsb. Tingkat dan efisiensi layanan public dan militer. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.

3.      Dimensi Keterampilan.
Literasi tampak dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung, berbicara. Dalam tradisi barat, ketiga keterampilan ini lazim disebut 3R, yaitu reading, wrinting, dan arithmetic.

4.      Dimensi Fungsi.
Orang-orang yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan persoalan, tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan, memiliki potensi untuk mencapai tujuan hidupnya, dan gesit mengembangkan serta mereproduksi ilmu pengetahuan.

5.      Dimensi Media.
Untuk menjadi literat pada zaman sekarang, orang tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks, melainkan juga harus mengandakan kemampuan membaca-menulis teks cetak, visual dan digital. Penguasaan IT sangat penting, sehingga kini kehebatan universitas antara lain diukur lewat webometrics, yakni sejauh mana universitas memperbincangkan dalam dunia maya.

6.      Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk pada banyak hal, misalnya bahasa, vatiasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media. Literasi, seperti halnya kemampuan berkomunikasi bersifat relatife.

7.      Dimensi Bahasa (etnis, local, nasional, regional)
Ada literasi yang singular, ada literacies yang plural. Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual, bilingual dan multilingual.

            Literasi yang menunjukkan perubahan paradigm literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini yaitu :
1.      Ketertiban lembaga-lembaga sosial.
Lembaga menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa, sehingga muncul bahasa birokrat atau bahasa politik yang menunjukkan kekuasaan birokrat terhadap rakyat.

2.      Tingkat kefasihan relative
Kefasihan minimal atau literasi yang diperlukan untuk memainkan peran fungsional dalam setiap interaksi.

3.      Pengembangan potensi diri dan pengetahuan.
Literasi mampu mengembangkan potensi diri untuk berekspresi dan mengekspresikan dari bahasa ibu dan membekali mahasiswa untuk memproduksi ilmu.

4.      Standar dunia.
Literasi sebagai nilai ukur kualitas sebagai pendidikan bangsa.

5.      Warga masyarakat demokratis.
Literasi menfasilitasi warga Negara  dalam menjunjung tinggi nilai demokrasi.
            Setelah mengkaji pemaparan diatas, pendidikan bahasa berbasis literasi seyogyanya dilaksanakan dengan Tujuh Prinsip sebagai berikut :
1.      Kecakapan hidup manusia berfungsi sebagai anggota measyarakat.
Pendidikan bahasa seak tingkat dasar akan melatih dan mengfungsikan bahasa sesuai konversinya dalam kehidupan nyata.

2.      Kemampuan reseptif dan produktif (tulis – lisan)
a.       Pendidikan sejak dini = mampu berekspresi secara lisan dan tulisan
b.      Perguruan tinggi = mampu memproduksi ilmu pengetahuan (karya ilmiah)
Secara bertahap melakukan konstruksi dan rekonstruksi.

3.      Kemampuan memecahkan masalah.
Pendidikan bahasa      a) Mengajarkan dengan nalar.
b) Alat berfikir.
c) Melatih siswa berpikir kritis.
    Sesuai kurikulum pendidikan guru SD (PGSD)
    Writing reading arithmetic, dan reasoning

4.      Refleksi penguasaan dan aprosiasi budaya.
System budaya (kepercayaan, sikap, cara dan tujuan budaya). Pendidikan bahasa mengajarkan pengetahuan budaya.

5.      Kegiatan refleksi (diri).
Pendidikan bahasa menanamkan pada diri siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa orang lain, yakni kesadaran terhadap metakomunikasi.

6.      Interpretasi.
Pendidikan bahasa sejak dini akan melatih siswa melakukan interpretasi (mencari, menebak dan membangun makna) dan mengintregasikan bahasa untuk membangun literasi di berbagai bidang ilmu.

7.      Hasil Kolaborasi.
Pendidikan bahasa sejak dini melatih siswa menggunakan bahasa melalui kegiatan kolaboratif.
            Rapor merah literasi anak negeri.
                        Sebelumnya tujuan membaca meliputi literacy purposes, informal purposes, sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating dan evaluating.
Implementasi.
            Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penggunaan bahasa secara optimal. Perbaikan rekayasa literasi menyangkut empat dimensi :

1.      Kognitif atau focus mind.
2.      Linguistik atau focus teks.
3.      Sosiokultural atau focus kelompok.
4.      Perkembangan atau focus pertumbuhan.
Literasi meliputi keterampilan membaca dan menulis. Dengan demikian rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi itu.
            Bagaimana literasi diajarkan bergantung pada paradigm ihwal itu. Padahal pengajaran literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menulis, terdidik, cerdas dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Untuk mempelajari literasi, ada tiga paradigm yang harus dimiliki yaitu :
1.      Decoding.
Penguasaan kode bahasa awalnya di beri pengetahuan tentang kode-kode bahasa
Berlaku rumus :
Perkembangan literasi = belajar ihwal literasi => belajar literasi => belajar melalui literasi.

2.      Keterampilan.
Menguasai system morfemik bahasa (memaknai bentuk-bentuk bahasa)


3.      Bahasa secara utuh.
Menguasai teks otentik yang konstektual sehingga mendapatkan makna baru bukan kosakata baru.

Tadinya
Kini
-Bahasa adalah system struktur yang mandiri.
-Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
-Berorientasi ke hasil.
-Fokus pada teks sebagai displaykosakata dan struktur tata bahasa
-Mengajarkan norma-norma perspektif dalam berbahasa.
-Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discreate).
-Menekankan makna derotatif dalam konteksnya.
-Bahasa adalah fenomena sosial.
-Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung.
-Berorientasi ke proses.
-Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
-Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran.
-Fokus pada ekspresi diri.

-Menekankan nilai komunikasi.
Tabel 6.1 Perubahan paradigm pengajaran Literasi.

            Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pengajaran literasi. Ternyata rapor merah untuk literasi anak negeri bisa jadi karena metode dan teknik pengajaran literasi selama ini kurang mencerdaskan. Namun jangan menyalahkan guru yang terpenting adalah menumbuhkan jiwa literat dalam diri kita. Dengan demikian, perlu perubahan paradigm literasi dijajaran pengambil kebijakan. Perubahan paradigm adalah Hijrah intelektual, hijrah bernalar karena tantangan zaman.
“Learning Literature from Elementary Through High School”
            Melalui wacana 6.1 Pak Chaedar ingin memberitahu kepada kita sebagai mahasiswa mengenai pendidikan literasi yang ada di USA. Dalam wacana tersebut terlihat jelas bahwa system pendidikan di Amerika membiasakan siswanya dari mulai TK sampai tingkat SMA untuk selalu menulis, ini terlihat pada paragraph lima, yakni : Anne J.Arbau mulai untuk menulis jurnal tentang kegiatan sehari-harinya dan membaca essay yang sederhana.
            Kemudian Anne J.Arbau  mencoba untuk menuliskan kembali apa yang telah dia baca tersebut. Hal ini mulai dia lakukan sejak SD. Selain dukungan dari sistem pendidikan yang tertata, peran orang tua dan keluarga juga mendorong mereka untuk meningkatkan budaya literasi sejak dini dengan cara mengirimkan mereka ke perpustakaan umum.
            Bukan hanya dari SD, SMP, SMA tetapi hal itu berlanjut sampai bangku kuliah, dimana dia mengambil jurusan seni, yang menuntutnya untuk banyak membaca buku dengan tujuan untuk memperkaya pengetahuan kita dan menghasilkan perspektif yang berbeda dari sumbernya. Reading literary books lakes 2 lot of effort and commitment.
            Mungkin sekian Chapter review pertama diminggu kedua ini, semoga memberikan banyak manfaat. Apabila ada kesalahan mohon kritik dan sarannya. Terima kasih
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment