Friday, May 23, 2014
Created By:
Nani Fitriani
10th Class Review
On
May, 12nd 2014
Papua Expedition
(Nani
Fitriani)
Perjalanan masih terus berlanjut kita tidak berhenti
disini saja, akan tetapi kita masih bergelut dalam argumentative essay. Apakah
kita melepaskan Papua, dan apakah kita mempertahankan Papua dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Argumentative essay ini kita harus
memberikan pendapat kita, disertai dengan alasan yang kuat dan harus deep
research. Jumat, 9 Mei 2014. Mr. Lala kembali membimbing kami pukul 07.30 di
kelas PBI-D, Mr. Lala pada kesempatan ini masih menjelaskan mengenai
argumentative essay, serta menjelaskan bahwa dalam membuat argumentative essay
harus ada “GIST” atau benang merah. Dalam sebuah text itu mengandung berbagai
informasi. Dalam sebuah informasi yang kita dapat jangan mudah percaya begitu
saja akan tetapi kita harus melihat dari beberapa sisi, karena setiap penulis
itu mempunyai ideology tersendiri.
Menerima sebuah teks jangan menerima apa adanya akan
tetapi kita harus menjadi pembaca yang kritis. Critical literacy yaitu yang
mengajarkan listening, reading, speaking dan writing. Kita sebagai pembaca
harus menjadi qualify reader, harus deep research ibartnya teks itu adalah
intertexstuality. Dalam argumentative essay yaitu :
a. Reasoning
Reasoming
disini adalah kita dalam menulis argumentative essay memerlukan pemikiran atau
penalaran, serta bukti bukan emosi(Not emotion), dalam mengambil sumber harus
yang definitive atau yang sudah pasti tenntang isu-isu yang ada di Papua
misalnya. Yang diangkat dalam argemntative essay harus yang deep research.
Argumentative essay ini membahasa dua sisi antara pro dan kontra dari sebuah
topic pembahasan, dan mengapa alsan yang kita angkat ini adalah alasan yang
kuat mengenai pro atau kontra opini kita. Seperti topic yang sedang kita bahas
kali ini, kita mendukung Papua untuk tetap masuk kedalam Indonesia atu tidak.
b. Definite
evidence
Menulis
Argumentative Essay membutuhkan bukti-bukti yang mendalam seperti
kita harus melihat beberapa sumber dan kita jangan mudah begitu saja dengan
sumber yang kita dapat, akan tetapi kita harus melihat dari semua sisi, sumber itu
harus ada bukti
pasti yang dapat dipertanggung jawabkan. Kita lihat dalam Reasoning bahwa argumentative essay membahas kedua sisi (pro dan
kontra), maka memerlukan penelitian kedua sisi topik secara menyeluruh harus deep
research . Bahkan
jika kita tahu sisi mana yang ingin diperdebatkan, penelitian ini memberikan
ide-ide untuk counterarguments dan membantu keseimbangan tulisan dan
menunjukkan kita sebuah prasangka.
Contohnya jika kita perdebatkan masalah Papua Barat yang harus disatukan lagi
dengan Indonesia, kita harus mendukung bukti-bukti yang kuat supaya pembaca
berada dipihak kita dan berada dalam prasangka yang sama. Dengan cara memulai
penelitian, mengambil responden-responden dalam skala yang mecukupi,
fakta-fakta, contoh, opini para ahli atau pengalaman pribadi. Pada
akhirnya kita memulai dari history karena history is an asset and legacy.
c.
A working thesis
A Working
bisa juga disebut dengan Embryo atau nutrisi. Salah satu yang ada dalam kertas Argumentative adalah
mengembangkan tesis kerja. Menyatakan posisi kita pada masalah ini dan
meringkas alasan utama argumen kita dalam satu kalimat. Body Paragraph kita
harus menjelaskan alasan kita sepenuhnya, dalam thesis terdapat opini, reason
(dalam satu kalimat).
Pertemua
jumat kemarin Mr. Lala membagi kami dalam tiga kelompok, setiap kelompok
terdiri dari sebelas orang. Setiap kelompok maju kedepan sambil membawa class
review beserta outline di dalamnya. Kita berhadapan dengan Mr. Lala class
review kita diperiksa masing-masing oleh Mr. Lala, kemudia Mr. Lala memeriksa
outline kita mengani argumentative argumentative essay. Ini kesempatan outlione
saya diperiksa, kemudia Mr. Lala meberikan critic pada outline saya, yaitu
bahwa outline argumentative saya masih salah karena dalam introduction nakpak
seperti descriptive essay, dan saya sadar betul, dan akan memperbaikinya lagi
untuk mendapatkan teks argumentative essay lebih baik lagi dari sekarang.
Saya juga di
critic mengenai di body paragraph karena alasan saya mempertahankan Papua
karena ecology, geogris dan yang ketiga adalah natural resources, Mr. Lala
menjelaskan bahwa yang menjadi alasan saya itu kurang kuat, dan harus mempunyai
alsan yang konkrit dan harus deep research, dan pada akhirnya yang harus
menjadi alasan yaitu history dan politic karena kedua nalsan itu ada
keterkaitan antra yang satu dan yang lainnya, semua permasalahan bersumber dari
history seperti halnya history of Papua. Krtikan dari beliau sangat membangun
untuk mendapatkan hasil teks yang lebih baik lagi, dan saya yakin teks
argumentative essay kedepannya saya akan lebih baik lagi.
Peristiwa
Penting di Papua
Tahun
|
Peristiwa Penting
|
Sejak 1828
|
Irian
Barat merupakan koloni dari Belanda
|
1949
|
Kedaulatan
pindah ketangan Indonesia
|
|
Belanda
mempersiapkan Papua untuk merdeka
|
|
Dialakukan
pemilihan untuk West New Guinea Council, sebuah langkah penting menuju suatu
pemerintahan sendiri
|
|
TRIKORA
|
|
Anggota
dewan mengadakan KRP(Kongres Rakyat Papua) pertama. Mengahasilkan manifeso
kemerdekaan(Manifeso itu mengadopsi bendera Bintang Fajar atau bendera
Bintang Kejora sebagai symbol nasional, dan menyetujui nama Negara Papua
Barat, menamakan rakyatnya Papua serta lagu kebangsaannya.
|
|
Simbol-simbol
kedaulatan Papua Barat diresmikan dihadapkan Belanda. Diperingati sebagai
hari Kemerdekaan Papua
|
|
Perjuangan
bersenjata pecah antara Indonesia dan Belanda di pantai Irian
|
|
Perjanjian
damai antara Indonesia(Subandrio) dan Belanda(JH Van Roijen) dengan mediator
damainya Elsworth Bunker. Perjanjian ini d kenal dengan nama perjanjian New
York Agreement(masa depan Papua Barat)
|
|
Dibawah
perjanjian Belanda menyerahkan pemerintahan Irian ke UNTEA, eksekutif PBB
|
|
Berdirinya
OPM
|
|
FREEPORT
|
|
PEPERA
|
|
Act for
Choice(Tindakan Pilihan Bebas)
|
|
REFORMASI
|
|
KRP Ke-2
dilaksanakan menghasilkan penolakan atas isi dari PEPERA
|
|
Papua
menerima otonomi khusus dari pemerintah Indonesia, namun ditolak oleh warga
Papua
|
|
Peristiwa
wasior(aksi masyarakat menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang atau rampak
olehperusahaan pemegang Hak pengusahaan hutan(HPH)
|
|
Konferensi
perdamaian di selenggarakan oleh jaringan Papua damai menghasilkan
serangkaian “ Indikator Papua Tanah Damai” dibidang politik, HAM, Ekonomi dan
Lingkungan serta keamanan
|
|
KRP
ke-3(Untuk membahas hak-hak dasar mereka dan berkhir dengan pernyataan bahwa
Papua Barat telah merdeka sejak tahun 1961)
|
|
British
Petroleum bergabung dengan Amoco membentuk BP Amoco
|
|
Pembangunan
Kilang LNG oleh BP
|
|
Desa yang
baru secara resmi dibuka karena pemukiman warga tergusur karena pabrik LNG
yaitu di daerah sowai-wayuri dan simuna(Desa Tanah Merah)
|
|
Warga
Papua protes karena fasilitas yang dulu di janjikan dan dulu di fasilitasi
sekarang tidak lagi seperti air bersih, dan listrik, BP menang sendiri
|
|
Rakyat
Papua mengungkap persoalan ganti rugi atas tanah yang dipakai oleh BP yang
telah menelantarkan warga Papua, dampak tangguh BP terhadap masyarakat local.
|
Periode I: 1960
sampai 1969
Menurut beberapa korban
dan saksi, periode ini ditandai dengan kekerasan saat bentrokan antara tentara
Indonesia dan pasukan OPM, yang diikuti dengan serangan militer langsung
terhadap warga sipil, serta penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap
mereka yang dianggap menentang integrasi dengan Indonesia. Para saksi
melaporkan terjadinya sejumlah tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer
seperti penembakan, perkosaan, pemindahan paksa, serta perusakan dan pencurian
harta benda. Berdasarkan pernyataan para korban terungkap bahwa operasi militer
semakin intens menjelang Pepera dan masih terus berlangsung pada saat Pepera
dilaksanakan pada Juli – Agustus 1969.
Di Manokwari, OPM yang
baru dibentuk menyerang pos tentara Indonesia di Arfai pada 28 Juli 1965.
Serangan itu menewaskan 18 aparat Indonesia dan 4 gerilyawan OPM. Insiden ini
kemudian diikuti oleh serangkaian serangan lainnya di wilayah Manokwari dan
Sorong. Sebagai reaksi atas berbagai serangan tersebut, tentara Indonesia
melancarkan operasi militer dengan nama sandi Operasi Sadar yang dilakukan di
beberapa daerah, antara lain, di Kebar, Saukorem, Prafi, dan Ransiki. Tentara
memaksa penduduk untuk melapor setiap hari, membakar desa, dan melakukan
serangan udara, yang salah satunya merusak atap gereja di Kebar.38 Tekanan terhadap
penduduk sipil meningkat dalam bulan-bulan sebelum Pepera. Tentara dan polisi
melakukan penangkapan massal di Manokwari terhadap mereka yang dicurigai
memprotes Pepera atau memiliki hubungan dengan OPM.
Seorang korban ditahan
pada tanggal 5 Agustus 1969 dan dibawa ke markas KOPAL (Komando Pasukan
Angkatan Laut) di Manokwari. Interogator menanyainya malam itu sampai keesokan
harinya tentang spanduk pro-kemerdekaan dan pemimpin lokal OPM. Dia dibawa ke
Korem Manokwari dan dimasukkan dalam sel berukuran dua kali tiga meter yang
dipenuhi kotoran manusia. Para tahanan terpaksa tidur berdiri di sel yang penuh
sesak. Mereka diberi sedikit makanan selama tiga minggu, dan sering dipukuli
dengan tangan atau popor senapan dan ditendang. Luka pada kaki kirinya masih
terlihat ketika diwawancarai 40 tahun kemudian.
Seorang korban lainnya
menjadi bagian dari kelompok besar tahanan di Manokwari pada tahun 1968.
Beberapa orang dibebaskan kembali dengan segera, sementara dirinya yang
tergabung dalam 108 korban dibangunkan jam 4.00 pagi, dibawa ke pelabuhan
Manokwari, dan dinaikkan ke KM Brantas menuju Sorong untuk menaikkan tahanan
lain. Kapal kemudian bertolak menuju Surabaya dan lalu Semarang. Di sana mereka
dipenjara selama sekitar satu bulan. Beberapa tahanan dipaksa bekerja di
perkebunan karet, bersama para tahanan peristiwa 1965. Dia dan banyak orang
lain kembali ke Papua satu tahun kemudian, setelah Pepera selesai.
Mirip
dengan apa yang terjadi di Manokwari, korban dan saksi di Sorong melaporkan
bahwa dalam periode sebelum Pepera terjadi pelanggaran HAM. Pada tahun 1965,
tentara gabungan dari Kodam Pattimura, Cenderawasih, Hasanuddin, dan Udayana
melakukan operasi gabungan ke beberapa kampung untuk menangkap masyarakat yang
mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Seorang korban baru
berumur 16 tahun ketika ia ditangkap di kampung Sasnek oleh tentara dari Kodam
Pattimura. Pada saat penangkapan, tangannya diborgol lalu ia ditidurkan
telentang di tanah sementara beberapa anggota tentara menginjak dan berdiri di
atas tubuhnya. Dia dan beberapa tahanan lainnya kemudian dibawa ke Sorong
dengan menggunakan kapal Angkatan Laut, untuk selanjutnya ditahan di tahanan
Kodim (Komando Distrik Militer). Selama masa penahanan tersebut ia sering
dipukul dengan popor senjata. Dia menceritakan pengalamannya:
Selama saya dalam
tahanan, tentara masih saja memukul saya dengan kayu dan popor senjata secara
bergantian di kepala. Selain itu, tentara memaksa saya untuk minum air kencing.
Saya masih ingat nama anggota TNI yang menganiaya dan menyiksa saya di tahun
itu, namanya Kopral Paulus.
Dia dibebaskan lima
tahun kemudian, pada tahun 1970. Selain menceritakan kasus penahanan yang ia
alami, ia juga menceritakan kekerasan seksual yang terjadi secara meluas
terhadap perempuan dan anak perempuan:
Di kampung, tentara
Pattimura dan Udayana lakukan operasi ke Kampung Ayamaru, Kampung Kambuaya,
Kampung Jitmau, Kampung Aitinyo, tangkap orang-orang yang terlibat OPM (untuk)
dibawa ke Teminabuan lalu masukan dalam tahanan… Perempuan di Kampung Ayamaru,
personil Pattimura bawa kumpul di satu rumah lalu tiap malam bawa layani
kebutuhan seks mereka. Tiap malam tentara suruh perempuan-perempuan dansa
telanjang di depan mereka. Semua perempuan yang masih muda tentara tampung
dalam satu rumah. Saya lihat tentara suruh perempuan-perempuan itu buka pakaian
lalu jalan telanjang di depan mereka. Tentara jalan bawa mereka jadikan budak
seks tiap malam. Saya lihat tapi tidak bisa tegur atau marah karena mereka
pegang senjata. Orang-orang di Kampung Ayamaru juga tidak ada yang tegur, hanya
lihat saja apa yang tentara lakukan terhadap anak-anak mereka. Selain malam
hari, siang hari tentara bawa perempuan yang mereka suka jalan di tengah
kampung tanpa berpakaian. Saya lihat tapi hanya bisa menangis dan tidak berani
tegur atau marah.
Korban lain melaporkan
bahwa pada tahun 1968 dia merupakan salah satu dari sekitar 50 orang dari
desa-desa di selatan Sorong yang ditahan oleh Kodim. Mereka semua ditahan di
ruang yang sama. Tentara menuduhnya sebagai OPM karena kakaknya menentang
bergabung dengan Indonesia. Kejadian pada malam itu:
Mereka mengeluarkan
saya dari ruang tahanan dalam keadaan kaki dan tangan diborgol. Saya diikat di
pohon kasuari, lalu saya diinterogasi. Saya dipaksa untuk mengakui keberadaan
orang-orang Papua yang ada di kampung-kampung yang menolak bergabung. Sesudah
sebulan lebih ditahan, saya bersama tahanan yang lain dikirim ke Pulau Jawa.
Beberapa saksi lain
menceritakan kasus penahanan terhadap diri mereka. Seorang korban mengaku
ditahan bersama dengan 30 orang yang terdiri dari guru, kepala suku, pegawai,
dan kalangan Papua terpelajar lainnya. Mereka diberi makan hanya sekali dalam
sehari. Dia menceritakan bahwa kedua tangannya diborgol selama dalam penahanan
di Teminabuan dari 1965 hingga dipindahkan ke LP Manokwari pada 1968.45 Korban lain yang
ditahan di tahanan Kodim Sorong melaporkan banyak tahanan yang mati karena
tidak makan, dipukul, dan ditembak.
Selain penangkapan
massal, beberapa saksi menyebutkan ada warga sipil yang ditembak karena menentang
integrasi dengan Indonesia. Selama periode ini, ditemukan pula banyak kasus di
mana penduduk lari ke hutan-hutan untuk menghindari operasi militer untuk
pencarian
orang-orang yang diduga terlibat gerakan Papua Merdeka. Selama pelarian di
hutan, mereka hanya bertahan dengan ubi, buah-buahan, dan air sungai.
Biak juga mengalami
operasi militer. Seorang korban mengingat:
Bulan Maret 1963,
saya mulai ditahan karena masalah politik karena saya kasih turun bendera merah
putih. Dan ditahan di lembaga pemasyarakatan di Samofa Bak selama 3 bulan.
Sebagai reaksi terhadap
bentrokan dengan OPM dan perlawanan tidak bersenjata yang dipimpin oleh
kelompok guru yang diberi nama Gerakan Sampari, militer Indonesia melancarkan
Operasi Sadar pada tahun 1968, menahan anggota gerakan Sampari. Salah satunya
dialami oleh seorang guru yang juga anggota Sampari, yang ditahan pada tanggal
27 November 1967 karena menulis tentang anti-integrasi. Dia mengira akan
dilepaskan dalam waktu cepat, tapi ternyata ditahan selama lebih dari empat
bulan di kantor polisi di Biak. Pada tanggal 12 April 1968 dia dikirim dengan
dua orang lainnya ke Manokwari menggunakan kapal laut.
Sementara Baldus Mofu,
mantan anggota Dewan Neuw Guinea Raad, ditangkap pertama kali pada 1965. Saat
itu ia bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Biak. Ia ditahan di Polisi
Militer Angkatan Udara (biasa disebut POL AU) kemudian dipindahkan ke Markas
Angkatan Laut untuk menjalani pemeriksaan. Ia dibebaskan tahun 1966, tetapi
ditangkap lagi pada 1967. Ia dikurung di ‘kamar tikus’ di Markas Angkatan Laut
hingga dibebaskan pada tahun 1970. Pada1973 ia ditangkap untuk ketiga kalinya.
Kali ini ia ditahan di POM Biak, kemudian dipindahkan ke LP Biak dan dikirim ke
Jayapura. Pada 1978 ia dikembalikan ke Biak. Penahanan terakhir terjadi pada
tahun 1979. Namun selama menjalani masa penahanan di POM Biak, ia mengalami
gangguan kesehatan sehingga dikeluarkan dengan status tahanan rumah dan harus
menjalani wajib lapor sampai ia meninggal pada 8 Desember 1979. Seorang korban
yang ditahan bersama dengan Baldus Mofu di markas POL AU menceritakan
pengalamannya selama ditahan:
Tahun 1965 saya di tahan di
Angkatan Laut. Waktu itu malam hari saya di ambil dari rumah di Asrama
Pelayaran. Kami ditanya, dipukul, saya tinggal dalam satu ruang sel. Saya,
Baldus Mofu, Noak Rumaropen, Sem Wambrauw, kami dianggap orang yang berbahaya,
jadi tidak ditahan campur dengan yang lainnya. Pada jam 2 pagi saya dikasih
bangun, saya dikasih 3 tablet besar warna putih ditumbuk hancur seperti gula
dicampur dengan kopi hitam. Saya minum bukan rasa gula, rasa pahit. Sampai hari
ini saya bodok (pikun).
Waktu di POL AU saya
saksikan penyiksaan terhadap Baldus Mofu, ketika dia diperiksa oleh petugas.
Dia disetrum dan dimasukkan dalam bak air yang kotor, ada ulat dan sisa-sisa
makanan. Kalau saya disuruh lari dengan bawa gerobak penuh dengan kotoran. Ada satu
petugas yang jaga, kalau saya jatuh nanti ditembak. Kalau dipukul pakai popor
senjata, pakai kayu. Makanan yang dikasih ke kami itu dari sisa makanan mereka,
makan dicampur dengan makanan yang kita mau makan.
Pada tahun 1965 juga,
terdapat korban lain yang ditangkap oleh POL AU dan menjalani 6 bulan masa
penahanan di Lembaga Pemasyarakatan bersama dengan 150 orang tahanan lainnya.
Kekerasan yang mereka alami sangat berat:
Dan untuk pemeriksaan, saya tidak tahu mau cerita bagaimana…Kami
disetrum dengan baterai (dinamo yang) diterap (dikayuh dengan kaki) Ada kabel
hitam dan merah. Rasa sakitnya sampai ke dalam tulang-tulang. Rasanya rambut
dicabut satu persatu. Komandan intelijen waktu itu pak Saneb, orangnya kejam
sekali.
Sementara periksa, kaki meja yang bentuk
bulat ditaruh di atas kuku kaki dan beberapa orang, empat atau lima, naik duduk
di meja.
Selain penahanan
sewenang-wenang terhadap mereka yang dicurigai terlibat dalam Gerakan Papua
Merdeka dan Gerakan Sampari, di Biak para peneliti juga mengidentifikasi
berbagai insiden penembakan dan pembunuhan, kerja paksa, kekerasan seksual,
intimidasi dan teror, dan penghancuran harta benda. Kerabat anggota OPM,
termasuk istri, juga menjadi sasaran kekerasan, termasuk pemerkosaan dan
pembunuhan.
Seorang saksi menceritakan kejadian yang
dialami Yunia Mambenar. Yunia ditangkap oleh tentara karena dicurigai sebagai
OPM:
Para tentara ini
menangkap Yunia dengan dokumen tentang OPM dan dibawa ke pos induk di
Sorendiweri (Yunia dalam keadaan hamil). Yunia ditahan di Sorendiweri hingga ia
dibawa ke Waforesyor untuk diperkosa lalu ditembak mati. Setelah ditembak mati
ia diinjak di perutnya sehingga anak kecil dalam perut keluar. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1967, saat itu Yunia baru hamil anak pertamanya dalam kandungan
8 bulan. Ia ditahan di pos induk TNI di Sorendiweri selama satu minggu lebih
lalu ditembak mati tanpa kami keluarga tahu. Yang menjadi saksi dan lapor kami
yaitu ipar kami, Anius Manampaisem, dan adiknya. Selain Yunia Mambenar yang
turut ditembak mati saat itu adalah Neles Rejauw yang ditembak mati tanpa
dikubur oleh mereka. Sudah lama baru kami tahu tentang kematian ini. Kami saat
itu takut jadi tidak mencari. Sudah sekian tahun baru saya pergi ke tempat itu
tapi tidak ada tulang belulangnya karena mungkin dimakan binatang liar.
Peristiwa ini sangat menyakitkan bagi kami.
Saksi lainnya
menceritakan pembunuhan terhadap Ary Mnuwom pada 7 Juni 1967. Saat itu ada satu
orang tentara menyerang Ary Mnuwom dan anak lelakinya dari belakang. Tembakan
pertama meleset, namun tembakan kedua mengenai bagian punggung yang menyebabkan
ia meninggal di tempat. Anak lelakinya lari ke arah Kampung Roidifu, sementara
istri dan anak perempuannya ditangkap oleh tentara.
Pada periode ini, warga
sipil juga tidak lepas dari kerja paksa untuk kepentingan militer sehingga
banyak di antara mereka yang memilih lari (mengungsi) ke hutan. Seperti
dituturkan oleh salah seorang saksi:
Tentara semakin
banyak, kami semakin trauma. Mama juga semakin trauma karena kalau kami
mengungsi ke kampung lain nanti dilapor. Tentara bawa mama dengan kita terus,
tentara bawa ke Wardo, atau ke kota atau kembalikan untuk harus tetap tinggal
di dalam Kampung. Jadi kerja orang tua kami selalu siap bawa operasi tentara
masuk masuk hutan, walaupun perempuan. Tidur di hutan. Kami sudah tidak bisa
bertahan di pantai dan masuk hutan. Masyarakat para pejuang disuruh oleh
Melkianus Awom bikin pemukiman di hutan di dekat markas besar Perwomi, namanya
Siorsadai.54
Saksi lainnya, yang
juga bergabung dengan Melkianus Awom di hutan mengatakan, “Kami tidak bermaksud
masuk atau lari ke hutan. Tapi Indonesia datang dengan senjata menakutkan.
Kami, masyarakat lari masuk hutan, baru dia kejar dan bunuh di hutan.”55 Seorang perempuan yang
lari ke Mandoriai karena takut mendengar kabar bahwa tentara akan datang ke
Orkdori, menceritakan pengalamannya saat di pelarian sebagai berikut:
Waktu tentara operasi
sampai di Nasifu tempat kami berkebun, karena rumah-rumah di kebun kosong,
mereka bakar dan musnahkan semua kebun terus mereka memburu kami. Tentara
mengejar sampai di Mandoriai tempat kami bersembunyi, mereka menyerang dan
langsung menembak kami dalam rumah. Waktu kami ditembak pagi–pagi
sekali, waktu itu kami semua masih dalam keadaan tidur. Tentara menembak, kami
langsung kaget dan loncat dan lari. Saya kena tembak di tangan kiri. Waktu kami
ditembak ada 6 orang yang kena tembak, 3 orang menderita luka tembak sampai
meninggal. Setelah itu kami lari masuk hutan, selama kami bersembunyi di hutan
tidak makan dan minum yang baik. Pada siang hari kami sembunyi di hutan dan
malam hari kami datang tidur di pondok–pondok yang dibuat untuk berteduh. Di
hutan kami makan daun-daun genemo dan daun lain untuk bisa bertahan.56
Peneliti juga menemukan berbagai kasus
penghancuran harta benda milik warga. Seperti dituturkan seorang saksi:
Kamis, 3 Maret 1968,
Kampung Wodu dibakar. Semua rumah masyarakat dan harta benda, gedung gereja,
dan gedung sekolah semua dibakar. Hewan peliharaan ditembak dan dimusnahkan.
Berbeda dari wilayah
lain, perlawanan bersenjata di Paniai dimotori oleh aparat pemerintah lokal
yang ada saat itu, di bawah pimpinan Karel Gobay. Seperti yang terjadi pada
tanggal 1 Mei 1963, warga merusak landasan pacu di Waghete dan Enarotali untuk
menghentikan pendaratan pesawat Indonesia. Namun ternyata tentara Indonesia
mengirimkan pasukan terjun payung yang menyebabkan banyak warga sipil menjadi
korban.
Seorang korban yang
masih kecil saat peristiwa itu terjadi menceritakan:
Waktu perang di
Enaro, saya masih di sekolah dasar. Dan saat itu mau ujian. Dari Ekadide kami
ke Dogouto, lalu ada yang bertanya kepada kami… “Kamu mau bikin apa??” “Kami
mau ujian.” Lalu mereka, bilang, “Kamu tidak tahu kah??, sebentar ini mau
perang.” Pagi harinya, kami dengar bunyi tembakan… Saya tertembak di ujung mata
saya waktu saya lari bersama orang tua ke hutan, kami dikejar tentara.
Di Komopa, Pasir Putih,
menurut beberapa saksi, tentara menembak seorang pemimpin adat Owaka Nawipa dan
setidaknya menembak 13 lainnya. Seorang saksi ingat bahwa, “Dari Ekimani lalu
saya ke Epouwi gali ubi. Ada 10 perempuan dan 5 laki-laki, datang dari Mauwa ke
Epouwi. Setelah mereka tiba disitu (Epouwi), ada yang ditembak mati, oleh
tentara. Dua orang yang ditembak mati adalah, Dogoudabi Dogomo dan Pekeybi
Iyai.”59
Saksi
lain melihat lima korban tewas pada bulan Mei sampai Juli tahun 1963 dan dia
sendiri ditembak saat melarikan diri.60 Seorang saksi mengatakan “di kampung
saya ada tiga orang yang korban akibat konflik tersebut... Mika Kayame, Isack
Degei, dan Akapitake Gobay. Mika Kayame, ditikam lalu dibuang ke jurang namun
tersangkut di pohon. Hidup selama 3 minggu, kemudian mati di atas pohon.”
Seorang saksi
menceritakan peristiwa pemberontakan di Komopa, Pasir Putih pada tahun 1969 di
mana ratusan aparat pemerintah terlibat dalam pemberontakan tersebut.
…peristiwa di Komopa,
Pasir Putih, korbannya, Gibobi Gobay, Nawipatuma, Nawipa, Tenouye, Dumay, dan
Bunay. Korban-korban itu ditembak pada waktu peristiwa di mana rakyat menuntut
kebebasan… Waktu itu rakyat juga “keras” untuk meminta kebebasan, sedangkan tentara
juga menganggap bahwa ini sudah wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi
pemberontakan waktu itu. Banyak orang yang mati. Saya tidak bisa sebut jumlah.
Sedangkan saya punya kampung saja, saya lupa anak-anak yang mati.
Seorang saksi lain
menggambarkan penyerangan terhadap warga sipil sebagai balasan atas penyerangan
OPM yang dipimpin oleh Karel Gobay yang menyebabkan terbunuhnya 10 tentara. Ia
menceritakan:
Kemudian mereka (TNI)
masuk ke Moanemani, lalu perbaiki lapangan (landasan pesawat) sehingga pasukan
dari Enaro dan Wagethe bisa mendarat. Pasukan diarahkan untuk serang rakyat –
keluar malam, kepung pagi. Seperti di Tikidikebo, Dogimani. Terus siang harinya
masyarakat juga (di)serang, sehingga banyak pertumpahan darah. Dari penyerangan
itu mengakibatkan banyak jatuh korban, seperti di Ekemanida (di atas), terus
lain di Tikidekebo (di bawah), lain di desa Mauwa, Ikebo, dan Iyadimi
(perbatasan Deiyai dan Dogiyai). Adi Garis ditembak pada malam hari saat dia
jaga malam. Dia dtembak karena pasukan melihat api rokoknya. Dia tidak tahu
bahwa tentara ada datang. Dia adalah anggota Polisi Belanda. 63
Sementara itu, saksi lain mengemukakan
alasan mengapa rakyat Papua mengambil tindakan untuk memerangi aparat militer
Indonesia yang ditugaskan di sana:
Kami melakukan
peperangan karena mereka bunuh babi, cabut kami punya pagar (pagar kebun dan
rumah). Itu yang membuat kami melakukan peperangan. Padahal kami tidak membenci
mereka. Masyarakat dari kampung-kampung yang lain juga datang perang. Selain
itu, perang itu disebabkan karena anak-anak perempuan dan ibu-ibu diperkosa
oleh ABRI. Bila ada yang tidak mau ikut, dipaksa dan dipukul oleh ABRI.
Kejadian yang sama juga terjadi di Obano, Kebo, Paniai Timur, dan Komopa.
Setelah perang, masyarakat kembali ke kampung masing-masing. Walaupun mereka
sudah kembali, namun situasinya masih panas.
Menurut dia, setelah warga kembali ke
kampung masing-masing, kepala suku dibawa ke Nabire mewakili masyarakat untuk
mengikuti Pepera.
Periode II: 1969
sampai 1998
Pada periode setelah Pepera,
operasi militer lebih difokuskan untuk menghancurkan sisa-sisa anggota OPM yang
masih bergerilya di hutan-hutan. Orang Papua yang berada di perkotaan maupun di
pedesaan diawasi secara ketat dan harus mendapat ijin dari tentara jika ingin
berpergian. Korban yang pernah ditahan, dapat kembali ditahan tanpa alasan
penahanan yang jelas.
Di Manokwari seorang
saksi dulunya adalah orang Papua yang menjadi tentara di Batalyon 751 yang
ditempatkan di Puay, Jayapura pada 1972. Dia menceritakan bahwa dirinya dan
anggota tentara lainnya diperintahkan untuk menembak mati 10 penduduk setempat
dan 10 warga lainnya dari Telaga Maya (Sentani, Jayapura). Tentara lainnya
kemudian menutupi korban dengan daun dan kayu.
Operasi Tumpas
dilakukan 1971-1989 terhadap OPM di Biak Barat dan Biak Utara. Para saksi
melaporkan terjadinya penembakan dan pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan,
perkosaan, dan penculikan. Seorang saksi menceritakan pembantaian di Kali
Busdori pada tahun 1971 yang dilakukan oleh Kesatuan dari Kodam Udayana:
Pembantaian itu
berawal mula dari penyerangan Benyamin Mambenar terhadap tiga anggota tentara
yang dipotong dengan parang. Lalu seseorang diambil untuk menunjuk asal kampung
Benyamin di Krisdori. Pasukan tiba di Krisdori, Fredinand Kmur dan Yulianus Kmur
ditembak di tempat. Lalu yang sisa diperintahkan dua mayat ini dipikul ke Kali
Busdori. Mereka yang pikul adalah Albertus Swom dan Yunus Manan. Tawanan yang
lain diikat dan dibawa ke Kali
Busdori. Mereka disuruh
untuk turun menggali liang satu persatu, kemudian ditembak di dalam liang mulai
dari nomor 1 hingga 6, ditambah 2 orang jadi jumlah semua 8 mayat.66
Perempuan juga tidak lepas dari korban
tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer. Seorang saksi menuturkan
peristiwa pembunuhan dan perkosaan di Kali Simarsdo:
Saat itu kami
diserang dipingir kali yang bernama Simarsdo. Waktu itu hari mulai sore sekitar
jam 17.00,, saat itu cuaca hujan. Waktu penyerangan saya duduk di bawah bandar
kayu dan waktu mereka tembak satu peluru kena tiga orang; peluru masuk di
Dormina tembus masuk di kaki Bapak Amos dan kena di Beatriks. Saat itu kami
semua loncat dan lari masing–masing cari jalan. Saya lari terus sembunyi dan
melihat dengan mata, Nona Beatriks yang ditembak tapi tidak mati lalu dia diperkosa,
sesudah itu dipukul sampai mati. Termasuk Bapa Amos juga ditembak di kaki masih
hidup tapi dia dipotong dengan parang di kepala sehingga mati. Jadi saat itu
tiga orang yang di tembak mati. Tulang belulang mereka masih ada di sana dan
belum dikubur sampai saat ini.
Warga tidak dibedakan
dengan kombatan dan mengalami serangan. Seorang saksi mengingat:
Tanggal 26 Februari
1986, kami mau persiapan untuk beribadah di geraja (didirikan di Markas Melkias
Awom). Pada jam 5 pagi, tentara sudah kepung markas dan bunyi tembakan,
rumah-rumah terbakar, kami lari ke hutan dan terpencar di hutan hampir 1 bulan.
Pada saat kami lari, sekitar jam 9 sampai jam 10 pagi, ada 2 pesawat muncul
dari arah darat (hutan) dan dari arah laut. Bom silang dari arah hutan dan
laut. Markas (Siorsadai) itu terbakar sepanjang hari, kami lihat hanya asap
saja. Setelah pengecekan dari Bapa Konsup (Melkianus Awom), ada satu korban
meninggal, marganya Daundi, dari Kampung Orkdori karena tembakan peluru
tentara yang operasi di darat (saat pengejaran). Bapak Konsup Melkianus Awom
menghimbau kepada masyarakat yang ada di hutan untuk kembali ke kampung
masing-masing karena pertahanan di hutan sudah tidak bisa mengatasi karena
tentara sudah kuasai medan-medan. Kami keluar bersama keluarga pada Tahun 1987,
diterima oleh Babinsa yang di Kampung Adadikam (Biak Barat).
Tindak kekerasan dan
intimidasi juga banyak dialami oleh anggota keluarga OPM. Salah satunya dialami
oleh keluarga seorang mantan tentara Yonif 751 Sentani. Pada 8 April 1984, ia
keluar karena ingin berjuang untuk kemerdekaan Papua. Sejak itu, istri dan
ketiga anaknya yang masih balita dikenai wajib lapor setiap hari. Anak
pertamanya meninggal di tahun 1984. Menyusul pada 1985, anak keduanya. Pada
1985 istri dan anak bungsunya pulang ke Biak.
Pada 1987, dia dan sepuluh anak buahnya
menuju Biak dan mencari keluarganya ke kampungnya di Swaipak. Kedatangannya
membuat kampung itu dikepung tentara, menyusul insiden baku tembak antara
tentara dan kelompoknya di Yenbepioper. Penduduk satu kampung itu disuruh turun
ke pantai dan mengangkat tangan di kepala. Beruntung Dandim datang dan melarang
masyarakat untuk ditembak.
Setelah
itu ayahnya diinterogasi oleh Dandim dan ditampar, rumah mereka diobrak-abrik,
3 tas berisi pakaian mereka dibawa oleh tentara. Karena takut, istrinya
mengikuti suaminya ke hutan dan menitipkan anak mereka di kampung. Setelah
seminggu di hutan, dia keluar bersama anak buahnya. Istrinya mendengar berita
bahwa suaminya meninggal dalam baku tembak pada keesokan harinya. Ia juga
mendengar bahwa kepala suaminya dipotong dan dibawa ke Biak. Pada Pameran
Pembangunan Biak pada 1987, potongan kepalanya ditaruh di dalam kaca dan
ditutup kain putih dalam ruang khusus di stand TNI dan akan dibuka jika ada pengunjung
yang ingin melihat. Sang istri sendiri menyerah dan keluar dari hutan pada
waktu operasi Rabene (Rakyat Bela Negara) dan setelahnya sering mendapatkan
diskriminasi dari aparat kampungnya jika ada penyaluran bantuan dari pemerintah
karena dianggap telah membuat kacau kampung mereka.
Seorang saksi
mengatakan bahwa orang tua Soleman, yang menjadi pengikut Melkias Awom, disiksa
sebelum ditahan di Kodim Biak Numfor dan diestrum dengan tegangan listrik oleh
tentara pada tahun 1993. Tentara menuduh ayah Soleman, yaitu Alfius Daundi, menyuruh
anaknya pergi ke hutan untuk ikut Melkias Awom, sehingga mereka setiap hari
menyuruh orang tua Soleman untuk mencari Soleman di hutan. Melkias Awom
mendengar kabar tersebut dan bermaksud mengantar Soleman kepada orang tuanya ke
kampung Napdori. Di kampung itu mereka berdua diserang dan Soleman ditembak
mati oleh TNI dari Kodam 17 Trikora, Batalyon 753-752. Setelah ditembak,
tentara memotong kepala dan tangan Soleman, lalu potongan kepalanya dibawa
keluar dan dipertontonkan dari kampung ke kampung di Biak Barat. Sementara
ayahnya (Alfius Daundi) ditahan di Kodim Biak Numfor dan diestrum dengan
tegangan listrik.
Sama seperti di Biak,
banyak pelanggaran HAM selama periode ini di Paniai terkait dengan operasi
militer terhadap kelompok OPM lokal. Pada 1980an, operasi militer menargetkan
Tadius Yogi dan kelompoknya. Sejumlah saksi dan korban menjelaskan banyak warga
sipil yang ditahan, dikejar, dan disiksa, gereja dan rumah dibom dari udara dan
dibakar, perempuan diperkosa, dan anak-anak dipaksa bekerja sebagai pembawa
barang.
Seorang perempuan menceritakan
pengalamannya saat ia berusia 12 tahun:
Ada tiga pesawat
pemburu datang. Pesawat pemburu yang pertama, turunkan gernat (bom), dari
pesawat di Ipakiye – ditengah-tengah geraja KINGMI (Kemah Injil). Pemburu yang
kedua, membuang gernat, dan jatuh ditengah-tengah OPM, di Etendini. Pada waktu
itu, OPM, bubar. Lalu tentara campuran (gabungan), datang ke Madi, dan masuk ke
rumah Pesta Adat, kemudian membakarnya dengan korek api. Dan mereka juga
membakar rumah-rumah rakyat ... tentara menangkap serta mencurigai masyarakat,
di kampung-kampung, yang sedang bekerja di lapangan (kebun), bila tidak
menemukan Yogi. Bahkan rakyat yang tidak cukur kumis, yang tidak mandi, dan
yang tidak berpakaian ditangkap oleh ABRI, lalu ditembak, dipukul, dan
dipenjarakan. Tanpa salah, rakyat diperlakukan seperti itu.
Saksi ini juga, yang
berusia 30 tahun saat tinggal di Moanemani, Kabupaten Dogiyai pada tahun 1998,
ingat bagaimana tentara memburu Tadius. Mereka memaksa 20 anak SMP untuk
bekerja sebagai porter dari Moanemani ke Obano pulang pergi tanpa dibayar:
Kemudian, hampir
seluruh masyarakat di sebelah ini ... masyarakat dipaksa untuk cari Tadius
Yogi. Tentara menganggap bahwa kampung ini adalah, tempat persinggahan Tadius
Yogi. Sehinggga selalu jadi korban – diancam terus. Kampung-kampung yang selalu
diancam adalah Powouda, kampung Nuwa, Ugapuga, Yotapuga, Obayo, Puga 1 dan Puga
2, jadi korban waktu itu.
Saksi lain yang berusia
11 tahun pada saat kejadian tahun 1977, mengingat:
Saya ditangkap oleh tentara Indonesia di Debei. Satu tahun saya
ditahan. Enam bulan di dalam tahanan, dan enam bulan tahanan luar. Banyak
pukulan yang saya terima dan tidak di kasih makan selama tiga malam. malam
keempat, mereka kasih makan nasi yang busuk-busuk dengan garam satu bungkus
mereka campur dengan nasi.
Seorang saksi
melaporkan bahwa Kopassus membawa perempuan ke Camp Idakebo dan kemudian
diperkosa. Sumber yang sama ingat bahwa di desa Madi, Tuguwai, Kecamatan
Komopa, Zipur 9 sedang melakukan operasi:
Dalam suatu operasi,
tentara lewat di pinggir kebun. Saat itu ada dua ibu, dan satu laki-laki,
sedang berkebun. Laki-laki (Kudiyai) itu dibunuh/ditembak oleh TNI. Lalu
perempuan dua itu, diperkosa di situ.74
Sementara saksi lain menuturkan:
Ada tiga perempuan
dari desa Timida, sebelah desa Madi. Di pinggir kali Kogeye, tentara tangkap
ketiganya, lalu diperkosa di situ. Kejadian itu saya lihat bersama-sama dengan
saya punya mama. Kami dua lihat Zipur 9 (satu pos) dan Zipur 3 (satu pos).
Zipur yang perkosa.
Tindakan kekerasan
berupa penyiksaan juga marak terjadi pada periode ini. Seorang saksi
menceritakan kembali apa yang terjadi kepada korban bernama Ileuda Tobay:
Dia ditanya sambil
diikat. Dia berpakaian cawat – koteka. Tentara pukul dia punya koteka lalu
patah. Di dalam koteka itu ada satu penggal kertas. Mereka lihat kertas
tersebut, ternyata, ada nomor, tandatagan, cap, sudah ada di atas kertas tsb.
Setelah itu mereka buka tali, lalu pakai borgol… borgol dengan tangan ke
belakang, lalu dia dipukul di perut dari desa Papato, - dipukul sepanjang jalan
sampai di desa Madi. Kemudian dia diikat pada besi, dan dipukul dimuka, sampai
keluar darah dari hidung. Dia tinggal selama tiga malam di desa Madi. Malam
yang keempat, mereka bawa ke Enaro. Nokennya diisi batu besar, lalu digantung
pada lehernya. Mereka bawa sampai di pos mereka (sekarang rumah wakil bupati).
Di situ mereka ambil daging betis, daging paha, daging tangan, dengan pisau.
Setelah satu malam, kaki tangannya diikat, pada besi-besi. saat itu ada besi
yang sudah dipanaskan/dibakar di api sampai merah, lalu mereka masukan besi
panas tersebut dari pantat hingga keluar dimulut. Saat itu pun, dia meninggal.
Ia juga menjelaskan kejadian lain:
Ada
tiga masyarakat yang potong babi di desa Madi, Debeboutuma Mote (25), Eniatuma
Mote (25), dan M Yogi (30). Harga potongan babi, dijual 200.000 rupiah, kepada
Zipur 9. Mereka (Zipur 9), tawar dengan harga, 25.000 atau 50.000, namun
ketiganya tidak mau mengambil uang, tetapi tentara memaksa mereka untuk mengambil
uang tersebut. Ketiganya tetap tidak mau mengambil uang dan bertahan dengan
harga 200.000, karena menurut mereka bertiga, babinya sangat besar. Kemudian
mereka bermaksud jual ke Enaro. Sebelum mereka jalan, tentara, bilang tunggu
dulu, kami tulis, dan kamu serahkan ke tentara yang di Enaro... Mereka tunggu
tentara menulis surat. (Di dalam surat itu, ditulis “Babi itu kamu ambil, lalu
tiga orang itu, kamu bunuh”). Lalu sesampainya di Enaro, mereka sendiri bawa
surat itu ke tentara, dengan senang sekali… karena, mereka tidak tahu isinya.
Setelah baca surat, tentara, ambil babi lalu taruh di rumahnya tanpa bayar.
Mereka bertiga, bilang, bapa bayar… lalu mereka ditempeleng di pipi kiri dan
kanan. Karena ketakutan mereka lari sampai di kali, mereka dibunuh – ditembak
mati.
Periode
III: 1998, masa reformasi dan sesudahnya
Dengan
jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, tekanan untuk melakukan perubahan di Papua
maakin meningkat. Namun, gerakan sipil yang dilakukan oleh mahasiswa dan
kelompok politik untuk menunjukkan keinginan mereka untuk merdeka justru
dihadapi dengan kekerasan.
Pada 2-6
Juli 1998, pasukan keamanan menggunakan kekerasan untuk membubarkan demonstrasi
di menara air di belakang Puskesmas Biak, menembaki demonstran, menggiring
mereka ke Pelabuhan Biak, dan kemudian menginterograsi. Beberapa korban
meninggal atau hilang. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Biak Berdarah.
Seorang
korban yang juga ajudan Filep Karma bertugas menjaga pintu tower. Belakangan
Filep Karma dan beberapa orang lainnya ditangkap dan divonis melakukan makar.
Mereka dihukum penjara selama sepuluh sampai lima belas tahun.78 Ia
menceritakan kejadian yang dialaminya:
Mobil trek
datang dan kami 12 orang dipisah. Salah satu dari kami, Kapela, mati dalam sel.
Kami ditahan dan diperiksa oleh intel-intel ... Saya disidang selama 3 bulan.
Hukuman 3 tahun. Ada info, tapol napol dibebaskan oleh Gus Dur. Hari ini palu
jatuh, besok(nya) kita dibebaskan. Saya, Karma, dan dua orang lagi masa sidang
dipisah-pisahkan. Kami dapat pengacara, tapi dari polisi, saya tidak kenal. Ada
grasi dari presiden. Saya bebas murni. Kita bebas tapi kalau kita jalan takut
intelijen, karena kita ini kasus Papua merdeka jadi kita jalan takut-takut.
Sementara
korban lain yang juga ikut demonstrasi di menara air menceritakan:
Saya
ditendang dari belakang kepala, karena cukup keras saya hilang kesadaran, saya
disiksa tetapi saya tidak tahu,,, Saya diseret dan merasakan siksaan ... Lalu
kami dibawa ke Angkatan Laut. Waktu di Angkatan Laut kami diangkat ke satu
ruangan. Kami dijejer sekitar 14 orang, yang hidup 4 orang, terakhir satu orang
yang mati di AL. Bapak Wilhemus Rumpaidus, kena tembak. Sempat saya duduk
melihat dia sampai dia menghembuskan nafas terakhir, maut jemput dia … Kemudian
masuk lagi TNI AL dan mengatakan yang hidup ini masuk mobil. Saya sempat ingat,
Rumsowek dan ada dua orang laki-laki harus digotong, kita disuruh naik. Posisi
tangan tetap terikat. Saya lompat-lompat naik ke mobil. Dua teman naik di mobil
Angkatan Laut. Tentara di dalam mobil kokang senjata dan bilang ko coba-coba
lari sa tembak mati. Kita menuju kampung baru tapi masyarakat palang, jadi kita
diserahkan ke rumah sakit. Perawatannya standar saja, padahal kami mengalami
penyiksaan yang sangat brutal tapi waktu sampai ke RS hanya diberi antibiotik
biasa dan tidak ada pemeriksaan yang mendalam.
Korban
lainnya juga menceritakan tindak kekerasan oleh aparat:
Kami semua pada saat
itu dipukul di perumahan bulat di rumah warga. Ada rumah-rumah yang didobrak
dan ditembaki. Saya dipukul oleh anggota Brimob Kafiar pangkat Sersan Kepala.
Saya dipukul dengan popor senjata. Saya dikerumuni oleh Brimob ada 15 orang,
saya dipukul dan saya jatuh. Dengan kekuatan sisa yang ada saya lari di jalan
raya menuju Pompa Bensin, tapi ada satu regu Brimob yang hadang kami. Saya
dipukul lagi dengan popor senjata. Ada tembakan dan banyak korban, tapi saya
tidak sempat perhatikan. Saya sudah tidak bisa lari. Pada saat itu pasukan
TNI/Polri sudah buat bentuk seperti leter U untuk serang kami…Kami 102 orang
dikumpul di pelabuhan dan disuruh minum air kolam dan nasi basi. Sampai jam 6
sore kami dibawa ke Pelabuhan. Dari 102 orang, kami dibawa ke
Kepolisian (Polres Biak). Sampai di polisi kami dipukul lagi, disuruh buka baju
semua dan kami dihukum. Ada sebagian orang yang ditahan juga di Angkatan Laut,
di Kodim.81
Hingga tahun 1998, di Paniai tentara
menggelar operasi pengejaran terhadap anggota kelompok Tadius Yogi. Seorang
saksi mengatakan:
Waktu saya sebagai Kepala
Wilayah/Kepala Distrik, saat itu tentara datang. tentara itu sembarang – mereka
gertak sama masyarakat. Yang tidak masuk dalam anggota Yogi juga, mereka
tangkap sembarang. Masyarakat ketakutan, karena mereka dicurigai anggota
kelompok Tadius Yogi. Ada satu orang perempuan yang diperkosa tapi saya lupa
namanya. Ada juga yang dibawa malam-malam ke Kamp Idakebo oleh Kopassus, di
sana diperkosa, tapi saya lupa namanya juga, karena waktu itu, saya tidak ambil
data. Hanya saya lihat dan saya tahu.
Saksi lain
menggambarkan situasi di Kabupaten Dogiyai pada saat itu. Di beberapa kampung
seperti Powouda, Nuwa, Ugapuga, Yotapuga, Obayo, Puga 1, dan Puga 2, Kopassus
melakukan tekanan terhadap masyarakat karena kampung-kampung tersebut dianggap
sebagai tempat persinggahan Tadius Yogi. Mereka juga melakukan hal-hal yang
meresahkan masyarakat, antara lain mencuri ternak warga, mempekerjakan anak
sekolah sebagai tukang angkat barang tanpa dibayar, dan sebagainya.83
Para korban yang ditemui peneliti di
lapangan masih mengalami ketakutan dan trauma. Beberapa luka masih membekas,
bahkan peluru masih bersarang di tubuh mereka. Banyak dari mereka tidak pernah
menceritakan kisah mereka sebelumnya.
Salah seorang korban
menjelaskan betapa berharganya dirinya terlibat dalam pengumpulan kesaksian,
seberapa pun terbatasnya, “Saya merasa lega bisa menceritakan apa yang selama
ini menjadi beban saya kepada ELSHAM Papua. Selama ini saya tidak pernah cerita
kepada siapapun dan saya rasa sudah cukup buat saya, saya merasa lega sekali.”84
Korban lain menjelaskan bahwa sebagian
besar pelanggaran hak asasi manusia tidak pernah diucapkan oleh korban atau
diakui oleh pemerintah:
Masalah-masalah ini,
yang kita alami terpendam lama. Tidak pernah terungkap. Sehingga hal-hal ini
terungkap itu, supaya jadi fakta, bukti sejarah bahwa kami ini pernah jadi
korban dari sejarah ini. Harapan ke depan bapa dulu punya harapan begitu. Dan
akhirnya dari Elsham Papua ini, datang untuk ambil data mungkin ini bisa
dijadikan tulisan yang bermanfaat untuk orang Papua… Supaya pemerintah buka
mata, betapa dari tahun 1963 sampai sekarang, pelanggaran HAM di Papua ini,
luar biasa bahkan di luar batas-batas kemanusiaan. Memang banyak orang yang
jadi korban, tapi banyak yang tidak mau ungkapkan itu. Diam-diam saja, termasuk
korban perkosaan.
Rakyat Papua sudah bosan dengan pelanggaran HAM yang
ada di sana, dengan adanya pemberontakan tertsebut dan dulu hingga sekarang
terus mengalami kekerasan dan sampai akhirnya pada tanggal 27 April 2014 resmi
kantor OPM di Australia, yakin bahwa rakyat Papua sudah diiming-imingi oleh
Negara pro OPM yang ada maksud tertentu dibalik mendukungnya kemerdakaan Papua.
Dapat dismpullkan bahwa Negara lain ikut
berpartisipasi mendukung OPM yaitu seperti Amerika dan Australia membiayai
semua financial di balik OPM. Yang bermaskud untuk menguasai wilayah Papua yang
mengandung banyak sumber daya alam seperti kayu, tembaga, emas dan masih banyak
lagi yang lainnya. Seperti yang sudah dialami rakyat Papua pada tahun 2003,
yaitu warga Papua dialihkan tempat tinggalnya ayu digusur karena ada pembagunan
kilang baru oleh BP, yang menjanjikan akan memfasilitasi semua kebutuhan
seperti sumber air dan listrik dan faktanya hanya berjalan satu tahun kemudia
rakyat Papua dilupakan kembali setelah mereka merebut tanah Merah milik rakyat
Papua. Papua dimasa depan semoga jaya kembali dan tetap ikut kedalam Indonesia,
dan semoga tidak ada konflik lagi Dan tidak ada pelanggaran HAM lagi ditanah
surge Indoensia.
0 Comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)