Monday, May 19, 2014

argumentative essay


“Diperlukan suatu hentakan yakin yang akan melahirkan keberanian, keteguhan, dan kesabaran, bertolak dari jaminan yang tak pernah lapuk”
~ Rahmat Abdullah ~

Lagi, jemari ini menuliskan kata demi kata, bukti penjelas dari apa yang telah dipelajari di kelas writing hari jum’at lalu (9 Mei 2014). 
Saat itu, Mr. Lala tidak banyak menjelaskan materi, waktu di pertemuan kemarin banyak dihabiskan untuk konsultasi outline argumentative essay kami di minggu sebelumnya.   Hal ini guna menguatkan pemahaman kami mengenai argumentatavie essay, dan melihat progress proses pembuatan argumentative essay yang kami buat.  

Setelah selesai mengecek kehadiran semua mahasiswanya, Mr. Lala memberitahukan schedulenya dua minggu kedepan.  Tanggal 19-20 Mei Beliau akan pergi Ke Purwokerto, tanggal 21-23 Mei pun Beliau memilki jadwal diluar kota.  Karena itu, kami akan memiliki dua kali pertemuan mata kuliah writing di minggu depan, katanya.  Selain itu, proses pembelajaran-pun akan lebih dipercepat karena Beliau akan kembali ke Malaysia. 
Oleh karena itu beliau sangat berharap progress kami masih tetap bagus, usaha, kerja keras, tenaga kami selama dua minggu kedepan akan benar-benar dikuras agar apa yang telah kami pelajari dan perjuangkan satu semester ini tidak sia-sia.  Dan insyaallah dengan bekal keyakinan dan juga kerja keras pasti semuanya akan berhasil dan tidak akan ada yang ng’drop di akhir.
Usai membicarakan tentang jadwal, pembicaraan mulai bergilir ke argumentative essay.  Teks argumentative yang kita persipkan sejak kurang lebih satu bulan terkhir tujuan utamanya adalah mencapai satu inti (GIST), dan intinya adalah untuk mencapai  “Critical Language Awareness”.
Critical language awareness ini merupakan perhatian yang berupa kesadaran sifat bahasa dan penggunaan bahasa sebagai unsur pendidikan bahasa," (Fairclough, 1992) yang secara substansial dipengaruhi oleh pengalaman dan persepsi individu.  Sedangkan menurut Donmall (1985) “Critical Language Awareness” ini menggambarkan kesadaran bahasa dan perannya dalam kehidupan manusia.  Language awareness, menurut Donmall, ada pada tiga tingkat yang berbeda, yakni :
a.    Tingkat kognitif, mengacu pada kesadaran pola bahasa
b.    Tingkat afektif, yaitu, berkaitan dengan pembentukan sikap
c.    Tingkat sosial, yang referensi peningkatan efektivitas peserta didik sebagai komunikator
Arndt, Harvey dan Nuttall (2000) menganggap fokus pada kesadaran bahasa (Language Awareness/LA) sebagai pembawa banyak manfaat, seperti:
a.    speaker akan lebih menghargai kompleksitas dan kecanggihan komunikasi melalui bahasa
b.    metodologi LA (Language Awareness) menawarkan rute yang produktif dan bermanfaat untuk menjelajahi kekayaan dan kompleksitas bahasa
c.    Speaker didorong untuk mempertimbangkan apa yang terlibat dalam upaya untuk mentransfer keterampilan L1 ke bahasa lain dan dengan demikian untuk menarik hubungan yang disimpulkan antar bahasa, yang merupakan salah satu langkah pertama dalam mengembangkan keterampilan komunikasi antarbudaya.
d.    LA (Language Awareness) membantu, mungkin berda pada tingkat yang paling praktis, sehingga mereka yang terlibat dalam ELT menurunkan suatu perluasan, dalam memperdalam pemahaman tentang cara kerja bahasa Inggris.
To give a sense of how CLA (Critical Language Awareness) stands in relation to other approaches from Freire and his followers, I would quote Clark and Ivanic, whose work on the politics of writing provides a sense of the aims and scope of CLA, which, they say, looks to “empower learners by providing them with a critical framework to help them reflect on their own language experiences and practises of others in the institutions of which they are a part and in the wider society within which they live. (Clark and Ivonic, 1997, p.217)
      Seperti yang disarankan Ivonic, pemberdayaan peserta didik merupakan tujuan utama dari critical language awarenesskarena CLA akan membantu peserta didik merefleksikan pengalaman bahasa mereka sendiri dengan praktek bahasa lain di lembaga, dan masyarakat.

Intertextuality
Waktu bergilir, pembahasanpun menyinggung tentang intertextuality.  Mr. Lala mengungkapkan bahwa dalam membuat argumentative essay ini tidak mungkin kita hanya berhubungan dengan satu teks, akan ada banyak teks yang kita jumpai.  Dan sebuah teks yang bagus itu akan terkait dengan teks-teks yang  lain.  Disini akan dijelaskan sekilas tentang intertextuality.
Menurut Bakhtin yang dikutip dari Hyland (2002:33) intertextuality menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu.  Inilah yang menghubngkan pengguna teks dalam satu jaringan teks sebelumnya dan sebagainya untuk menyediakan sistem pilihan agar terciptamakna yang tersedia, yang dapat dikenali oleh teks-teks lainnya.  Karena mereka membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi dikembangkan dalam cara menutup interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih baik, dan membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan tertentu saat menulis.
Fairclough (1992:117) membedakan dua jenis intertextuality:
1.    Intertextuality manifest : mengacu pada cara penggabungan atau menanggapi teks-teks lain melalui kutipan, parafrase, ironi, dan sebagainya.
2.    Interdiscursivity : menyangkut penggunaan set konvensi penulis, ditarik dari jenis teks yang dikenali atau genre.  Teks disini kemudian berhubungan dengan beberapa makna kelembagaan dan sosial.
Intertextuality merupakan hal yang tidak bisa dihindari, sebab bergantung, menyerap, atau merubah rupa teks sebelumnya.
Selanjutnya, Mr. Lala mengungkapkan tiga point penting dalam argumentatitve essay, yaitu:
1.    Reasoning not emotion
Maksudnya disini, pendapat-pendapat yang diungkapkan dalam argumentative essay tidak boleh emosional, harus beralasan.  Contohnya judul : “Papua Oh Papua” (judul ini masih terpengaruh emosional, yang menandakan sisi emosionalnya adalah kata “oh”)
2.    Definite evidence
Setiap argumen, pendapat-pendapat yang ditulis dalam argumentative essay harus mengandung bukti yang kuat. 
Contohnya apa yang diungkapkann oleh Eben Kirksey dalam artikelnya “Don’t Use Your Data as A Pillow” tulisan-tulisan Eben tersebut bisa dikatakan “Definite Evidence” karena telah melalui penelitian dalam waktu bertahun-tahun, dengan metode yang dipakai juga beranekaragam.
Berikut sebagian peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan Papua:
·         Pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.
·         Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.
·         Pada tanggal 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland.
·         Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore.
·         Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat.
·         Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak.
·         Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan.
·         Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).
·         Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
·         PERJANJIAN LINGGARJATI (15 November 1946 - 25 Maret 1947)
·         PERJANJIAN RENVILLE (8 Desember 1947 - 17 Januari 1948)
·         PERJANJIAN ROEM-ROIJEN (14 April 1949 - 7 Mei 1949)
·         konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda.
·         Sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
·         Lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan
·         Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
·         Setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”.
·         Tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta
·         Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB.
·         Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih).
·         Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
·         28 Juli 1965    : berdirinya OPM
·         Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
·         Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan  dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia
·         Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat.
·         Freeport memulai operasinya pada tahun 1971
·         Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat.
·         Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”.
·         Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura.
·         Tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “maker”.
·         Terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye yang dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya.
·         Kontrak Kerja Freeport kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
·         Ada tiga peristiwa penting demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat selama bulan Mei dan Juni 1998, yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998. Ketiga demonstrasi tersebut menuntut pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah Indonesia atas segala pelanggaran HAM di Papua Barat.
·         Pada tanggal 22 Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika Serikat, dan
·         Tanggal 27 Mei 1998 (seminggu setelah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Roberth F. Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian dan dorongan bagi rakyat Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang isinya berbunyi sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan beritikat baik dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut perlindungan HAM serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status politik kedua daerah”.
·         Beberapa aksi pengibaran Bendera Bintang Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a.   Pengibaran Bendera Papua di Jayapura, tanggal 1 Juli 1998
b.   Pengibaran Bendera Papua di Biak, tanggal 2-6 Juli 1998
c.   Pengibaran Bendera Papua di di Sorong, tanggal 2 -3 Juli 1998
d.   Pengibaran Bendera Papua di Wamena, tanggal 7 Juli 1998
e.   Pengibaran Bendera Papua di Manokwari, tanggal 2 Oktober 1998
·         Tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda dan wakil mahasiswa membentuk Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor Elsham Kotaraja Jayapura.
·         pertemuan Tim Seratus (T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999
·         Pada tanggal 23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani, Jayapura.
·         Kongres Papua II (2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR) Jayapura
·         Mei/Juni 2000 : KRP ke-2 dilaksanakan menghasilkan penolakan atas isi dari Pepera
·         2001                : Papua menerima otonomi khusus dari pemerintah indonesia, namun ditolak oleh warga Papua
·         13 Juni 2001   : Peristiwa Wasior (aksi masyarakat menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang rampok oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
·         Juli 2011         : Konferensi perdamaian diselenggarakan oleh Jaaringan Papua Damai menghasilkan serangkaian “Inddikator Papua Tanah Damai” dibidang politik, HAM, ekonomi &lingkungan serta keamanan.
·         Oktober 2011  : KPR ke 3 (untuk membahas hak-hak dasar mereka dan berakhir dengan pernyataan bahwa Papua Barat telah merdeka sejak tahun 1961.)
3.    Working thesis
Thesis statement harus mengandung opini dan reason yang tergabung dalam satu single sentence.  Thesis statement ini harus kuat,  dan harus bisa menjadi “embrio” dan harus dipastikan kebenarannya.
Itulah ketiga point penting yang harus diperhatikan saat membuat argumentative essay yang harus diperhatiakn saat membuat argumentative essay, dan satu hal lagi yang perlu kami ingat “argumentative essay yang kami tulis, ujung-ujungnya harus mengungkapkan hubungan antara literasi dengan sejarah”.
Setelah itu, jam pelajaran dihabiskan untuk pengecekan Outline argumentative essay (langsung oleh Mr. Lala).  Seperti sesi konsultasi, saat iyu kami bisa menanyakan banyak hal tentang argumentative essay kami.  Dan dari sesi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kami harus mengeksplore sejarah dan politik yang berkaitan dengan Papua. Agar pendapat-pendapat dalam essay kami definite evidence.
Dari semua yang diungkapakan diatas, dapat disimpulkan bahwa inti dari argumentative essay yang kami buat adalah untuk mencapai “critical language awareness (CLA)”.   CLA ini merupakan perhatian yang berupa kesadaran sifat bahasa dan penggunaan bahasa sebagai unsur pendidikan bahasa. (Fairclough, 1992)
Dan dalam argumentative essay kita harus memperhatikan tiga point penting yakni:
a.    Reasoning not emotion
b.    Definite Evidence
c.    Working thesis
Ketiganya akan membantu kita menciptakan sebuah teks argumentative yang berbobot, melalui pendapat-pendapat yang ditulis.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment