Monday, March 31, 2014
Created By:
Alfat Prastowo
Name : Alfat
Prastowo
Class : PBI-D 4th
Semester
Nim : 14121330382
Class Review 7
“Tugas Berat Historian,
Linguist, dan Poet”
Hari demi hari kulewati. Dengan begitu beratnya
kulewati arus kehidupan ini. Begitu juga pada Mata Kuliah Writing and Composition
ini, tidak mudah kulewati dan selesaikan setiap tugas yang diberikan oleh dosen
yang bersangkutan. Tak terasa Mata Kuliah Writing ini sudah pertemuan ketujuh
dan menuju kedelapan. Sebuah tamparan keras serta membuat hati dan jiwa saya
semakin tergoncang. Karena pada dasarnya bertambahnya pertemuan maka bertambah
pula tantangan kedepannya. Saya bukan tipe orang yang bertele-tele yang mau
gono-gini. Yang terpenting bagi saya adalah mencari jalan keluar dan
menyelesaikan setiap tugas yang diberikan serta faham atas tugas yang
diberikan.
Berbicara seputar minggu kemarin, perihal tugas utama
yang diemban oleh seorang penulis. Pertama,
tugas seorang penulis adalah mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang dipahami. Kedua, ada tiga tingkatan penting untuk
mencapai sebuah pemahaman bentuk-bentuk yang baru: Emulate – Discover – Create.
Ketiga, menulis adalah sebuah cara
menciptakan affordances (kesempatan) dan menyelidiki potensial-potensial yang
dimaksudkan. Keempat, Menulis adalah
sebuah semogenesis. Kelima, Thesis
Statement merupakan tahapan yang sangat penting untuk membuat dialog permulaan
dengan pembaca yang diinginkan.
Keterkaitan peran Ahli Linguistik
(Linguist), Sejarawan (Historian), dan Penyair (Poet) sebagai pendongkrak
values dan sejarah terhadap praktek literasi. Dalam sebuah tulisan, pasti
terdapat value atau nilai di dalamnya. Selain value, sebuah tulisan pasti
mengikuti ideology penulisnya. Bahasa sebagai sebuah susunan gabungan dari
perilaku sosial yang akan secara pasti dan inextricably diikat dengan konteks
sociopolitical pada fungsinya. Bahasa tidak digunakan dalam contextless vacuum.
Melainkan, digunakan dalam host of discourse contexts, konteks-konteks yang
dibuahi dengan ideology dari system social dan institusi-institusi. Hal itu karena
bahasa bekerja dalam dimensi social tersebut. Hal itu harus dari reflek
keharusan dan beberapa pendapat, yang dinamakan construct ideology (Simpson,
1993:6).
Menurut Fowler (1996: 10): “Like
the historian critical linguist aims to understand the values which underpin
social, economic, and political formations, and diachronically, changes in values
and changes in formations. Fowler mengatakan, “Layaknya seperti historian,
critical linguist bertujuan untuk memahami values yang berhubungan dengan
social, ekonomi, susunan politik dan secara diakronik mengubah nilai-nilai dan
mengubah susunan”. “Ideology is of course both a medium and an instrument of
historical processes.” Selain itu, ideology juga merupakan perantara antar
instrument dan proses historical (Fowler, 1996:12). Ideology is
omnipresent in every single text (spoken, written, audio, visual or the
combinations of all of them). Ideologi terdapat dimana-mana di setiap teks
tunggal (lisan, tertulis, audio, visual atau kombinasi dari semua itu.
Menurut Milan Kundera, selain
Historian dan Linguists, Poet juga turut berperan dalam hal pengkajian sejarah.
Ketiga aspek tersebut memiliki tujuan yang sama dalam mengkaji sejarah. Hanya
saja cara pengkajiannya, masing-masing memiliki cara yang berbeda. Disinilah
tugas kita untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi serta
menemukan hal baru dalam hal tersebut. Selain itu, kita tidak boleh
menerima mentah-mentah asumsi-asumsi yang telah lama beredar dan nyata di depan
gerbang. Tugas kita yaitu menelaahnya dan membuktikan kebenarannya.
Milan Kundera
mengomentari (Dalam L’Art Duroman, 1486) menyatakan bahwa “Menulis berarti
sebagai penyair atau penulis untuk menghancurkan dinding yang dibaliknya
terdapat sesuatu yang selalu tersembunyi disana”. Dalam hal ini, peran seorang
penyair itu kurang lebihnya sama dengan Historian dan Linguist yang sama-sama
menemukan (discover) daripada menciptakan. Jejak histori itu adalah proses yang
tidak pernah berakhir dari kreasi manusia, bukankah hal itu juga merupakan alasan
yang sama dalam proses tanpa akhir dari penemuan pribadi manusia. Dalam hal ini
tentunya selagi sejarah itu terus berlanjut, pasti akan ada hal-hal baru
yang selalu di temukan di dalamnya. Milan Kundera sendiri merupakan seorang
penulis yang mengembangkan literasi lewat karya sastranya. Kebanyakan
pemikirannya dalam seni dan politik merupakan objek dari literary
experimentation dalam novel-novelnya.
Terdapat beberapa hal yang membuat
bapak Lala memperoleh inspirasi, yaitu apa permasalahan sejarah sebenarnya,
apakah sebagai sebuah misi bagi para puisi. Untuk mengangkat misi ini, seorang
puisi mesti menolak pelayanan untuk kebenaran-kebenaran yang sebelumnya
diketahui, kebenaran itu sudah jelas karena mengapung di atas permukaan. Jadi
memanglah tugas seorang puisi sejarah , karena mesti mengungkap hal-hal yang
masih terpendam diperdalaman.
Setelah menjabarkan hal-hal di atas, selanjtunya adalah perihal sebuah critical
review yang diinginkan oleh bapak Lala yaitu: Pertama, di dalam introduction
mahasiswa mesti menawarkan sebuah pandangan dan wawasan yang kritis terhadap
artikel Howard Zinn “Speaking Truth to Power with Books”. Kedua, ada beberapa
point yang dituliskan oleh Zinn dalam artikelnya mengenai Columbus, yang mana
secara absurd kita merasakan sebagai pahlawan atau penemu America. Ketiga, di
dalam bagian kritik, ada empat point terhadapa Columbus yang diabaikan dalam
artikel Howard Zinn. Keempat, di dalam kesimpulan dikatakan ada dua point dasar
yang dapat disimpulkan dari artikel Howard Zinn.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
ideology kait eratanya dengan literasi. Literasi ada karena adanya suatu
ideology. Ideologi sendiri tidak lepas dari kepentingan social dan politik,
serta aspek- aspek lain yang berpengaruh dalam kehidupan social. Dari banyaknya
suatu ideology maka akan menghasilkan suatu nilai. Nilai-nilai dari ideology
inilah yang nantinya akan mendarah daging dan menjadi sebuah budaya di
masyarakat.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)