Sunday, March 16, 2014
Created By:
Alfat Prastowo
Class Review 5
“The Power of Six Key”
“The Power of Six Key”
Sejarah adalah topik ilmu
pengetahuan yang sangat menarik. Tak hanya itu, sejarah juga mengajarkan
hal-hal yang sangat penting, terutama mengenai: keberhasilan dan kegagalan dari
para pemimpin kita, sistem perekonomian yang pernah ada, bentuk-bentuk
pemerintahan, dan hal-hal penting lainnya dalam kehidupan manusia sepanjang
sejarah. Dari sejarah, kita dapat mempelajari apa saja yang memengaruhi
kemajuan dan kejatuhan sebuah negara atau sebuah peradaban. Kita juga dapat
mempelajari latar belakang alasan kegiatan politik, pengaruh dari filsafat
sosial, serta sudut pandang budaya dan teknologi yang bermacam-macam, sepanjang
zaman.
Salah satu kutipan yang paling
terkenal mengenai sejarah dan pentingnya kita belajar mengenai sejarah ditulis
oleh seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana. Katanya: "Mereka yang tidak
mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya." Kekuatan sejarah sangatlah besar sehingga
tidak mungkin dapat diubah oleh usaha manusia. Atau, walaupun mungkin ada yang
dapat mengubah jalannya sejarah, orang-orang yang berkuasa biasanya terlalu
dipusingkan oleh masalahnya sendiri sehingga gagal melihat gambaran secara
keseluruhan.
Masih ada pandangan lain lagi yang menyatakan bahwa sejarah
tidak pernah berulang, karena setiap kejadian sejarah adalah unik. Dalam hal
ini, ada banyak faktor yang menyebabkan berlangsungnya suatu kejadian sejarah;
tidak mungkin seluruh faktor ini muncul dan terulang lagi. Maka, pengetahuan
yang telah dimiliki mengenai suatu kejadian pada masa lampau tidak dapat secara
sempurna diterapkan untuk kejadian pada masa sekarang. Tetapi banyak yang
menganggap bahwa pandangan ini tidak sepenuhnya benar, karena pelajaran sejarah
tetap dapat dan harus diambil dari setiap kejadian sejarah. Apabila sebuah
kesimpulan umum dapat dengan seksama diambil dari kejadian ini, maka kesimpulan
ini dapat menjadi pelajaran yang penting. Misalnya: kinerja respon darurat
bencana alam dapat terus dan harus ditingkatkan; walaupun setiap kejadian
bencana alam memang terjadi dengan sendirinya, dalam artian tak mengenal ruang,
tempat, dan waktu.
Dari berbagai macam jenis sejarah,
yang perlu kita hargai adalah seorang penulis sejarah baik sejarawan maupun
sejarawati. Tanpa adanya mereka kita tidak mungkin mengetahui suatu peristiwa
Mahadahsyat yang terjadi pada masa lalu. Tidak mudah untuk menulis sejarah,
perlu adanya kajian tentang fakta-fakta berdasarkan penelitian yang nantinya
bisa dipertanggung jawabkan kebenaranya. Oleh karena itu betapa lemahnya sebuah
sejarah, tanpa adanya bukti-bukti yang tertulis, kajian-kajian tentang fakta ,
dan hannya sebatas dari mulut ke mulut. Dengan adanya sejarawan dan sejarawati
di sini mereka mengikat sejarah dalam sebuah tulisan dan dibukukan, sehingga
kejadian Mahadahsyat masa lalu akan selalu terkenang sepanjang masa.
Tak terasa
sudah dua pekan kita belajar yang namanya mengkritik. Artikel yang kita kritisi
juga bukan sembarangan artikel yaitu karangan Prof. Chaedar Alwasilah dan
Howard Zinn. Suatu kehormatan bagi saya bisa mengkritisi suatu karya dari
profesor, tentunya dengan berbagai macam kekurangan. Disini saya akan
menuliskan perihal beberapa kelemahan kita dalam mengkritik, berdasarkan perspektif
dosen. Sebagai Berikut:
Ø Kita sering terjebak dalam hal-hal sepele.
Ø Kita tidak akrab dengan kata kunci yang disebut wacana
kelas, maksudnya belum banyak tau makna dari wacana kelas. Maksudnya belum
banyak tahu tentang wacana kelas.
Ø Menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa
menunjukkan titik sudut pandang.
Ø Struktur generik tidak dibangun dengan baik, maksudnya
belum sesuai dengan kaedah penulisan Critical yang baik dan benar.
Ø Pola Referensi yang hilang, maksudnya tidak adanya
sumber rujukan baik dari buku maupun dari internet.
Tidak mudah untuk menjadi seorang
penulis ulung, menulis
membutuhkan suatu
keahlian dan ilmu khusus. Seperti halnya kita meracik bumbu untuk sebuah
masakan, semakin kita pandai meracik bumbu maka semakin enak pula rasanya. Ken Hyland dalam bukunya yang berjudul “Teaching and Researching Writing”
mengatakan ada 6 Kunci persoalan dalam menulis. Kunci Persoalan tersebut adalah:
1.
Context,
Makna dari sebuah teks tidak
terletak di dalam kata yang dituliskan oleh sang penulis dan dikirimkan kepada
pembaca atau seseorang. Akan tetapi makna tercipta dari interaksi antara
seorang penulis dengan pembaca selama mereka merasakan teks dalam cara-cara
yang berbeda, masing-masing menduga maksud/ tujuan dari yang lain(Hyland :
2009). Menulis
tidak bisa terpisahkan dari konteks. Hal ini karena dalam pemikiran tradisional
tentang teks dan konteks, konteks dilihat sebagai “latar belakang yang terpisah
dari teks, yang dalam peran jenis tertentu merupakan informasi tambahan yang
bisa jadi bantuan dalam memahami teks tersebut(Lehtonen: 2000).
Cutting (2002:3) mengusulkan ada tiga aspek utama dalam
penafsiran konteks ini, yakni:
· The situational context (Konteks Situasi): what people ‘know about what
they can see around them’.
· The background knowledge context (Latar belakang konteks pengetahuan) :
what people ‘know about the world, what they know about aspects of life, and
what they know about each other’.
· The co-textual context (Co-Tekstual konteks) : what people ‘know about
what they have been saying’.
Tiga
aspek utama dalam penafsiran konteks di atas dapat diringkas dalam ide dari community atau komunitas. (Hyland :
2009)
Selain
itu juga, ada Dimensi konsep tentang konteks menurut Halliday, yaitu:
• Field: Mengacu pada apa yang
terjadi, jenis aksi sosial, atau apa yang
teks adalah tentang (topik bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan secara sosial dan pola biasanya digunakan untuk mengekspresikan itu).
teks adalah tentang (topik bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan secara sosial dan pola biasanya digunakan untuk mengekspresikan itu).
• Tenor: Mengacu pada
siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan
peserta (status dan kekuasaan mereka, misalnya, yang pengaruh
keterlibatan, formalitas dan kesopanan).
peserta (status dan kekuasaan mereka, misalnya, yang pengaruh
keterlibatan, formalitas dan kesopanan).
• Mode: Mengacu pada apa bagian
bahasa digunakan, (apakah lisan atau
tertulis,
bagaimana informasi terstruktur , dan sebagainya ).
bagaimana informasi terstruktur , dan sebagainya ).
2.
Literacy,
Yang namanya menulis kait eratanya dengan membaca. Hal
ini merupakan tindakan keaksaraan yaitu bagaimana kita menggunakan bahasa dalam
kehidupan kita sehari-hari. Menurut (Hyland:2009) Writing, together with reading, is a
act of literacy: how we actually use language in our everyday lives. Modern
conceptions of literacy encourage us to see writing as a practice rather than
as an abstract skill separated from people and the place where they use texts.
3.
Culture,
Pemikiran bahwa pengalaman menulis, dari praktik
literasi masyarakat yang berbeda akan mempengaruhi pilihan linguistic mereka, Menurut Lantolf (dalam Ken Hyland 1999),
budaya secara umum dipahami sebagai historis ditransmisikan dan jaringan
sistematis dari makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan, dan
mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia. Akibatnya, bahasa dan pembelajaran adalah
yang dikelilingi oleh budaya (Kramsch,1993). Demikian ini terjadi karena
sebagian nilai-nilai budaya kita tercermin melalui bahasa.
4.
Technology,
Dijaman modern saat ini, Tekhnology
berkembang begitu pesat. Setiap negara berlomba-lomba untuk menciptakan
tekhnology yang terbarukan nan canggih. Seakan kemajuan tekhnology ini sulit
untuk dibendung. Berikut adalah pengaruh yang disebabkan olek kemajuan
tekhnology pada bidang menulis, yaitu:
·
Mengubah creating, editing,
proofreading dan format proses.
·
Mengkombinasikan teks tertulis
dengan media visual dan audio lebih mudah
· Memperluas berbagai genre dan
peluang untuk mencapai pemirsa yang lebih luas
· Memperkenalkan
kemungkinan untuk membangun dan memproyeksika identitas sosial baru.
·
Memfasilitasi masuk ke komunitas
wacana baru on-line (Hyland: 2009)
Menurut Kress (2003), menulis sekarang berarti perakitan teks dan gambar
dalam desain visual yang baru, dan penulis sering perlu untuk memahami cara
tertentu.
5.
Genre,
Menurut, (Hyland:2009) Genre adalah istilah untuk
mengelompokkan teks bersama-sama, mewakili bagaimana penulis biasanya
menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi berulang. Setiap genre memiliki
sejumlah fitur yang membuatnya berbeda dengan genre lain: masing-masing
memiliki tujuan tertentu, struktur keseluruhan, fitur linguistik tertentu, dan
dibagi oleh anggota budaya. Bagi banyak orang itu adalah konsep intuitif
menarik yang membantu untuk mengatur label akal sehat kita gunakan untuk
mengkategorikan teks dan situasi dimana mereka terjadi.
6.
Identity,
Identitas
dipandang dikonstruksi oleh teks kita terlibat dalam dan pilihan bahasa yang
kita buat, sehingga bergerak identitas dari pribadi ke ranah publik. Identitas
itu adalah sesuatu yang kita lakukan, bukan sesuatu yang kita miliki. Hampir
segala sesuatu yang kita katakan atau tulis, pada kenyataannya, mengatakan sesuatu
tentang kita dan jenis hubungan kita ingin membangun dengan orang lain(Hyland :
2009).
Persoalan Key Issues yang akan kita bahas selanjutnya adalah
Intertextuality. Intertextuality Intertextuality
adalah unsur atau elemen dari sebuah teks yang mengambil maknanya dari sebuah
referensi kepada teks yang lain, contohnya adalah mengutip, echoing atau
linking (Hyland : 2009).
Fairclough (1992:117) membedakan 2 jenis intertextuality, yaitu :
1. Manifest intertextuality, mengacu pada berbagai cara untuk
menggabungkan atau menaggapi teks-teks lain melalui kutipan, paraphrase, ironi
dan sebagainya.
2. Interdiscursivity, menyangkut penggunaan penulis set konvensi ditarik dari jenis teks
dikenali atau genre. Teks kemudian berhubungan dengan beberapa makna social.
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan, Bahwa makna literasi disini cukup luas.
Litersi disini tidak hanya membaca dan menulis saja aka tetapi memang yang
paling utama itu membaca dan menulisnya. Dalam pembahasan ini Conteks membantu
dalam menciptakan sebuah makna. Literasi sebagai suatu tindakan keaksaraan.
Nilai-nilai literasi sebagai suatu tindakan keaksaraan. Nilai-nilai budaya
tercermin melalui bahasa. Tekhnology berpengaruh dalam perkembangan dibidang
menulis.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)