Saturday, March 15, 2014

The Kindom of Writing


Class Review 5
The Kindom of Writing

Complicated Class

5th Class Review sebagai langkah lanjutan (advanced step) yang menjadi perkembangan pesat bagi mahasiswa melalui mata kuliah writing, setelah sebelumnya menggali semua informasi tentang literasi maka saat inilah the next level is begin membahas key issues dan intertextuality. Setiap pertemuan writing adalah pertemuan yang benar-benar crucial dan tidak patut untuk ditinggalkan karena konten dalam mata kuliah ini sangat universal bukan hanya melatih kemampuan menulis tapi tentu saja menggali wawasan lebih jauh tentang literasi, budaya, perkembangan dunia semua ada. Informasi yang disuguhkan kaya akan ilmu pengetahuan maka dari itu writing 4 bersama Mr. Bumela akan sayang untuk dilewatkan.

Berkiblat pada materi sebelumnya pada pertemuan minggu lalu yang membahas tentang critical review yang sebelumnya mahasiswa diinstruksikan untuk menciptakan paper kritiknya masing-masing. Ada beberapa kesalahan yang seringkali mahasiswa terjebak dalam belenggu tersebut, contohnya pada karya tulis sebelumnya justru mereka lebih fokus pada materi yang sebenarnya bukan pada inti permasalahan, hal inti yang harus difokuskan adalah Classroom Discourse yang sedang diperbincangkan oleh professor Chaedar. Bagaikan terbelenggu pada lingkaran yang sama, mereka lebih focus memperbincangkan konflik social yang terjadi, seperti konflik agama dan lain-lain. Kembali berhubungan dengan mata kuliah yang sedang dipelajari yaitu writing, kebanyakan dari mahasiswa dan hamper semuanya tidak mengindahkan adanya Generic Structure dalam membuat Critical Essay, maka dari itu sayang sekali semuanya terjebak dalam lubang  yang sama. Ketika semua informasi dapat berhasil terkumpul namun kekuatan suatu argumen tidak akan berarti tanpa sumber jelas yang tertulis, sehingga pada akhirnya Mr. Bumela hanya berkomentar “sebenarnya masih banyak tempat untuk kalian meningkatkan kualitas”. Kata-kata tersebut dapat menjadi motivasi untuk mahasiswa.
Dengan menyuguhkan beberapa informasi yang sepertinya keluar dari topik atau (out of topic) membuat boomerang kembali menyerang sang penulis. Ketika membahas sangat mendalam tentang Amerika, Columbus, Howard Zinn, apakah penulis sudah benar-benar paham akan sejarah Amerika? Sudah begitu mengenali siapakah itu Christopher Columbus dan Howard Zinn? Kemudian dalam paper sebenarnya aspek apa yang ditekankan dalam penulisan tersebut? Apakah sejarahnya, antropologinya, sosialnya namun kebanyakan mahasiswa tidak mengikuti alur perbincangan. Sebenarnya yang perlu jelas dikritisi adalah tindakan Howard Zinn, bukan sejarah tentang Zinn itu sendiri.
Key Issues dalam Writing
            Seperti yang telah diketahui bahwa aspek-aspek dalam writing itu sangat kaya akan pengetahuan, dan key issues merupakan satu dari sekian banyak aspek writing yang harus diperhatikan, dalam hal ini berkiblat pada ilmuan besar Mikko Lehtonen dan Ken Hyland yang membahas tentang beberapa poin mengenai key issues yang diantaranya: Context, Literacy, Culture, Technology, Genre dan Identity. Semuanya akan dikupas tuntas dalam beberapa poin berikut dengan mengacu pada sumber-sumber kuat Mikko Lehtonen dan Ken Hyland.
1.      Context
Menulis tidak bisa terpisahkan dari konteks. Hal ini karena dalam pemikiran tradisional tentang teks dan konteks, konteks dilihat sebagai “latar belakang yang terpisah dari teks, yang dalam peran jenis tertentu merupakan informasi tambahan yang bisa jadi bantuan dalam memahami teks tersebut. (Lehtonen: 2000). Makna dari sebuah teks tidak terletak di dalam kata yang dituliskan oleh sang penulis dan dikirimkan kepada pembaca atau seseorang. Akan tetapi makna tercipta dari interaksi antara seorang penulis dengan pembaca selama mereka merasakan teks dalam cara-cara yang berbeda, masing-masing menduga maksud/ tujuan dari yang lain. (Hyland : 2009). Dengan berdasarkan kedua pernyataan di atas, bahwa hubungan erat antara konteks dan menulis tidak dapat terpisahkan karena semuanya adalah bagian yang membangun sebuah teks.
Halliday juga mengembangkan analisis konteks berdasarkan gagasan bahwa teks adalah hasil dari pilihan kata yang digunakan oleh penulis dalam sebuah konteks situasi tertentu (Malinowski, 1949). Berikut adalah dimensi konteks menurut Halliday:
Ø  Fild: Refers to what is happening, the type of social action, or what the text is about (the topic together with the socially expected forms and patterns typically used to express it).
Ø  Tenor: Refers to who is taking part, the roles and relationships of participants (their status and power, for instance, which influences involvement, formality and politeness).
Ø  Mode: Refers to what part the language is playing, what the participants are expecting it to do for them (whether it is spoken or written, how information is structured, and so on).
            Pada kesimpulannya, bahasa yang kita gunakan untuk kebutuhan sesuai dengan situasi di mana kita menggunakannya, dan yang disebut dengan register adalah upaya untuk mengkarakterisasi konfigurasi menulis (atau berbicara) yang membatasi pilihan penulis dalam merefleksikan suatu situasi.
2.      Literacy
                  Ketika sudah kenyang membahas tentang literasi, ini merupakan makanan pokok yang sudah seharusnya ada dan tidak bisa dihilangkan dari ruang lingkup writing, kini masuk dalam kategori key issues.
            Writing, together with reading, is a act of literacy: how we actually use language in our everyday lives. Modern conceptions of literacy encourage us to see writing as a practice rather than as an abstract skill separated from people and the place where they use texts (Hyland:2009). Dapat diketahui bahwa implementasi dari literasi itu untuk dipraktekan bukan hanya sebagai prasasti yang pasif dan hanya benilai sejarah namun tidak direfleksikan pada kehidupan real-nya.
3.      Culture
            Budaya memiliki keterikatan dalam menulis karea nilai-nilai budaya kita tercermin dan dilakukan melalui bahasa, tetapi karena budaya juga membuat kita tersedia untuk pasti menggunakan cara mengorganisir persepsi dan harapan kami, termasuk yang kita gunakan untuk belajar dan berkomunikasi secara tertulis (Hyland : 2009).             Budaya mempunyai peran yang sangat crucial dalam hal menulis karena nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kita tercermin dan direalisasikan melalui bahasa.
4.      Technology
            Perhaps the most immediately obvious, and by now very familiar, feature of computer-based writing is the way that electronic text facilitates composing, dramatically changing our writing habits. Commonplace word-processing features which allow us to cut and paste, delete and copy, check spelling and grammar, import images and change every aspect of formatting mean that our texts are now longer, prettier and more heavily revised. (Hyland:2009)
Teknologi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan tersebut pula-lah yang menyebabkan seorang literate harus menguasi teknologi zaman sekarang, jangan sampai teknologi yang menguasai brainware-nya. Berikut ini adalah pengaruh yang disebabkan oleh teknologi kepada bidang menulis:
Ø  Mengubah creating, editing, proofreading dan format proses.
Ø  Mengkombinasikan teks tertulis dengan media visual dan audio lebih mudah
Ø  Mengizinkan penulis mengakses informasi lebih lanjut dan untuk menghubungkan informasi itu dalam cara-cara baru
Ø  Memperluas berbagai genre dan peluang untuk mencapai pemirsa yang lebih luas
Ø  Memfasilitasi masuk ke komunitas wacana baru on-line (Hyland: 2009)
5.      Genre
Genre adalah istilah untuk mengelompokkan teks bersama-sama, mewakili bagaimana penulis biasanya menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi yang berulang. Setiap genre memiliki sejumlah fitur yang membuatnya berbeda dengan genre lain: masing-masing memiliki tujuan tertentu, struktur keseluruhan, fitur linguistik tertentu, dan dibagi oleh anggota budaya. Bagi banyak orang itu adalah konsep intuitif menarik yang membantu untuk mengatur label akal sehat kita gunakan untuk mengkategorikan teks dan situasi dimana mereka terjadi. (Hyland : 2009)
6.      Identity
            Dalam arti luas, identitas mengacu pada 'cara-cara orang menampilkan siapa mereka pada satu sama lainnya' (Benwell dan Stokoe, 2006: 6). Oleh karena itu identitas dipandang dikonstruksi oleh teks kita terlibat dalam dan pilihan bahasa yang kita buat, sehingga bergerak identitas dari pribadi ke ranah publik. Identitas itu adalah sesuatu yang kita lakukan, bukan sesuatu yang kita miliki. Hampir segala sesuatu yang kita katakan atau tulis, pada kenyataannya, mengatakan sesuatu tentang kita dan jenis hubungan kita ingin membangun dengan orang lain. (Hyland : 2009)
            Dalam karya tulis sudah pasti tidak lepas dari menculnya identitas penulis tersebut, baik berupa kekhasan dalam mengungkapkan pendapat, penggunaan kata, sampai sifat yang tertuang pada teks tersebut dapat terlihat kontras. Berlanjut pada perjalanan berikutnya yang membahas tuntas tentang  Intertextuality.
Berkenalan dengan Intertextuality
Perjalanan dimulai dari pembahasan tentang apa dan sebenarnya untuk apa intertextual dalam writing itu? Intertextual adalah teks-teks yang berada di dalam sebuah tempat tertentu, sebuah teks yang merupakan hasil dari pengambilan teks-teks yang bersumber dari sumber lain. Maka lebih sederhananya yaitu teks yang sifatnya overwrite dan saling menetralkan satu sama lain.
Berdasarkan pada pernyataan Bakhtin yang dikutip dari Ken Hyland (2002: 33)  intertextuality menunjukkan bahwa wacana satu dengan yang lainnya selalu mempunyai relasi dengan wacana lain, baik ketika adanya perubahan dari waktu ke waktu maupun adanya kesamaan pada setiap poin tertentu. Hal ini menghubungkan teks-pengguna ke jaringan teks sebelum dan sebagainya menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh teks-pengguna lainnya. Karena pada dasarnya membantu menciptakan makna yang dalam suatu budaya, konvensi yang dikembangkan dengan cara menutup interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih paham, dan hal ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan retoris tertentu saat menulis.
Ada dua perbedaan mengenai intertextuality yang diungkap secara untuh oleh Fairclough (1992: 117) yaitu:
1)      Intertextuality Manifest, yang mengacu pada berbagai cara untuk menggabungkan atau menanggapi teks-teks lain melalui kutipan, parafrase, ironi, dan sebagainya.
2)       Interdiscursivity menyangkut pada hal penggunaan penulis, set konvensi yang diambil dari jenis teks atau genre. Teks di sini kemudian berhubungan dengan beberapa makna kelembagaan dan sosial.
Intertextual merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan, karena pada dasarnya sifat dari teks yaitu, menyerap atau merubah rupa dari teks sebelumnya. Proses pembacaan dan pemaknaan kemudian dapatlah dianggap sebagai hal yang sangat kompleks. Teks sendiri merupakan sekumpulan kode-kode yang nilai signifikannya ditentukan oleh teks pendahulunya, dan pembaca pun tidak berkaitan khusus dengan teks dalam keadaan benar-benar bersih.
Kemudian sumber lain dari Bennet dan Wollacot (Lehtonen 2000: 120) wacana dan intertextual mempengaruhi teks tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam bentuk-bentuk historis konkret dimana ketika berperan sebagai teks yang dapat dibaca.
Ada dua jenis intertextual menurut John Fisker yaitu:
1)      Horizontal, teks primer dengan teks primer (genre, konteks, dan isi)
2)      Vertical, teks premier dengan lainnya (sekunder) (teks berbeda yang merujuk ke premier)
                  Setelah menjalin perkenalan dengan intertextuality, saatnya mengetahui tujuan dari pembahasan intertextuality tersebut. Tujuan dari pembahasan interteks itu adalah untuk memberikan makna secara lebih terhadap karya, khususnya karya sastra. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu sendiri (Teeuw, 1983: 62-5).
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan secara hipogram berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya.
Dikutip dalam (Culler, 1981: 104) oleh Laurent Jenny “outside of intertextuality, the literary work would be quite simply impertceptible, in the same way as an utterance in an as yet unknown language”. 
Sehingga pada akhirnya dapat diketahui, kajian intertekstual berdasarkan pada budaya, sebuah karya tulis tidak akan tercipta tanpa adanya budaya. Karya sastra yang erat ikatannya dengan sejarah sehingga tidak dapat dipisahkan begitu saja, dan tentunya dibutuhkan pemahaman yang benar-benar matang tidak terbatas pada mengetahui sampai mana sejarah itu lahir. Setiap teks lahir dari sebuah background tidak mungkin teks lahir tanpa ada yang mendasari, layaknya seorang anak manusia yang lahir dari seorang ibu, begitupun teks yang lahir dari sejarah pendahulunya.
Kedua paket inti yang dibahas tersebut adalah merupakan hal yang benar-benar nyata bukan sebatas teori, semuanya telah terimplementasikan dalam sistem pembelajaran yang sedang dijalani oleh mahasiswa writing 4. Dengan intertekstual kita dapat mengetahui referensi yang digunakan seseorang melalui hasil karya tulisnya, dan melalui key issues in writing dapat diketahui poin-poin penting dalam writing dengan menggunakan writing research.
Demikian kekuatan pondasi writing yang terbagi ke dalam beberapa teori, sehingga membuat seperti apa karya tulis yang sempurna tidak berhenti pada sebatas teori, namun harus mencari referensi yang kuat dengan menyuguhkan data-data yang akurat serta penelitian yang berhubungan dengan teori writing sebagai salah satu implementasi dari pembelajaran writing dengan menggunakan writing research.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment