Saturday, March 15, 2014
Created By:
Nurul Fatimah
Dalam
menulis hal yang sangat membahayakan adalah seperti yang saya tuliskan diatas
terutama dalam kategori “INSANE” sesorang yang gila, ketika berkomunikasi pasti
tidak akan nyambung, bagaimana jika ia menulis? Mungkin tulisannya akan kacau,
tidak jelas alur ceritanya dan membingungkan pembaca.
5th
Class Review
"Rakuslah
terhadap Karya-Karya Hebat"
(By.Nurul Fatimah)
Alhamdulillah sudah
pada pertemuan kelima, dalam mata kuliah writing for academic purpose. Masih
membahas mengenai critical review yang kedua. Kemudian masih dalam pembahasan
“revolution” juga, mengapa revolution ini sangat penting karena dengan
berevolusi sebagai mahasiswa yang notabene bukan seorang penulis kita dituntut
untuk bisa menjadi “Quality Writer”.
Perubahan demi
perubahan kita alami, dari yang sebelumnya tidak taundan pilon terhadap
kabar-kabar dunia, kini sedikit demi sedikit kita mengetahuinya menelaah dan
mencoba mengkritiknya namun, sangat tidak mudah menjadi “Quality Writer”
Perubahan
dari seorang reader ke quality reader itu sangat sulit dan butuh pemahaman yang
banyak dalam menjadi quality reader. Seorang reader tidak hanya membaca, namun
harus memahami, mengcompare dari semua bacaannya kemudian dapat menyimpulkan
dan juga mengkritisi, ketika itu semua sudah tercapai maka sampailah quality
reader pada writer. Sebagai writer seorang quality reader mungkin hanya dapat
menuangkan ide, gagasan dan kritiknya tapi belum bisa merangkainya dan
mengcompare dengan baik, maka apabila sudah dapat menulis dengan baik sampailah
si writer ini kedalam satu julukan yaitu “quality writer”
“penulis
yang baik adalah pembaca yang baik” apakah anda setuju dengan kata-kata
tersebut? Saya sangat setuju! Mungkin banyak dari kita yang terheran-heran dengan tulisan seorang Wartawan, Pujangga, Novelis, Cerpenis atau mungkin
juga para penulis artikel. Pertanyaan yang sering muncul dan
dilontarkan adalah, kok hebat yah ? kok
pinter yah ? kok ”renyah dan gurih” yah
tulisannya ?. Lalu, apa rahasianya mereka bisa seperti itu?
Jawabannya
adalah tidak jauh
dari apa yang saya tuliskan tadi, ”penulis yang baik adalah pembaca yang baik”. Kalau dipikir-pikir
mungkin ada benarnya, atau malah memang demikianlah kenyataannya. Bagaimana
mungkin orang yang malas membaca, malas belajar dan malas mencari tahu bisa
membuat tulisan yang baik, renyah dan enak untuk dinikmati. Tentunya sangat sulit
sekali bukan ?
Sebut saja misalnya Emha Ainun Najib, Chairil Anwar si pujangga itu,
cerpenis terkenal Agus Noor dan novelis sekaliber Andrea Hirata dan Dewi
Lestari. Mereka merupakan penulis-penulis hebat yang ”rakus” membaca
tulisan-tulisan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis tidak
datang begitu saja secara tiba-tiba melainkan ada suatu proses sebab-akibat.
Sebenarnya bukan hanya sekedar menulis yang dimaksud di sini. Kalau sekedar
menulis toh hampir semua bisa melakukannya. Kecuali keponakan saya yang berumur
2 tahun itu, jangankan menulis, bicara saja masih belepotan. Yang di
maksud di sini adalah sebuah tulisan yang menggugah, membawa pesan, membawa
pencerahan dan pengetahuan baru bagi pembacanya. Sehingga pembaca tulisan
tersebut akan berkata,”lho saya malah baru tahu” atau ”iya juga sih”,
bahkan yang lebih hebat lagi kalau tulisan Anda mampu menggerakkan
seseorang untuk berbuat lebih. Ke arah yang lebih baik tentunya. Kita harus
berusaha agar tulisan kita memiliki passion seperti demikian.
“menulis
tanpa membaca ibarat perang tanpa senjata” ketika
hal itu terjadi maka tulisan tersebut akan kosong dan tidak berbobot, tentunya
tidak memiliki passion maka dari membaca diibaratkan sebuah senjata yang akan
kita gunakan dalam tulisan kita. Banyak membaca memperkaya wawasan dan sangat
membantu untuk menjadi penulis yang hebat. Mengutip sebuah kalimat dari Stephen
King yaitu “if you want to be a writer, you must do two things above all others:
read a lot and write a lot” saya sangat berpendapat dengan perkataan
Stephen King banyak membaca dan menulis akan menjadi seorang penulis yang hebat
Menurut Mikko Lehtonen (2000:73)
“texts are not “neutral” but produced by effort; that
is fabricated” disini di jelaskan bahwa teks itu ada bukan dengan
sendirinya namun dengan usaha yaitu dibuat maka dari itu sejarah dan literasi
tidak dapat dipisahkan karena awl mula sebuah teks tidak alami, teks itu dibuat
dimasa lalu, sehingga hingga saat ini ada beberapa teks-teks sejarah yang
ditemukan dan disimpan sebagai sejarah negara.
Siapa penulis
pertama di dunia? Mungkin sampai saat ini kita bertanya-tanya siapa yang
pertama menulis di dunia, sehingga sekarang kita tau bagaimana menulis dan tau
bentuk tulisan. Jawabannya adalah Nabi
Idris as karena kepandaiannya dalam menulis, dan ketekunannya belajar, Allah
SWT menyebutnya Idris (bahasa arab: daras, artinya: rajin belajar) nabi
Idris as hidup sekitar tahun 4533 sampai 4553 SM dalam sejarah peradaban manusia ia merupakan penulis pertama di bumi, dialah
manusia pertama yang menemukan cara menulis pada umatnya.
Rasulullah
Muhammad SAW pernah bersabda (HR Muslim):
“dahulu, ada seorang nabi yang menulis dengannya (menulis diatas pasir) barang siapa yang sejalan dengan tulisannya
maka seperti itulah”. Para ulama dan sejarahwan muslim meyakini bahwa yang
dimaksud dalam hadist ini adalah Nabi Idris as. Dalam sejarah bukti-bukti
adanya karya tulis tertua memang ditemukan ditempat dimana Nabi Idris
berkiprah.
Bangsa Sumeria atau Babilonia
(sekarang Iraq) telah dikenal sebagai bangsa paling tua di dunia yang memiliki
kemampuan menulis (Sekitar 3500 – 3000 SM). Salah satu buktinya adalah Taman
Gantung yang masih bisa disaksikan hingga saat ini. Demikian juga Mesir,
diketahui sudah memiliki tradisi tulis menulis pada sekitar 3000 – 2000 SM.
Pada masa ini bangsa Mesir kuno sudah membuat Piramida dan sudah menggunakan
daun papyrus sebagai alat dan tempat menulis. Dengan adanya sejarah, kita dapat
mengetahui kejadian dimasa lampau dan mengetahui orang-orang terdahulu itu
seperti apa.
Seperti yang dikatakan Mr Lala,
sebagai writer, kita harus mengetahui masa lampau dan sekarang, jangan hanya
berdasarkan proyek, contohnya seperti tukang cukur, tukang jahit yang hanya
bergerak ketika ada proyek saja. Dalam tulisan kita juga harus mencari Gistnya (benang merah), benang merah
ini muncul lewat intertekstuality.
Kajian intertekstualitas dimaksudkan
sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan
unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya)
bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan
bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada
pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Secara luas
interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
lain.
Ujung-ujungnya
menulis itu membangun identity (identitas) disini saya akan menuliskan “Key
Issues in Writing Research and Teaching (Hyland
2002; 2009)”
- Context
- Literacy
- Culture
- Technology
- Genre
- Identity
Pertamaa,
context menurut Hyland (2002:44) : konteks
bukan terletak pada kata kata yang kita tulis dan dikirimkan pada orang lain,
tapi terbentuk melalui interaksi diantara writer dan reader dalam pemaknaan
kata dengan jalan yang berbeda, satu sama lain saling menebak dari intention.
Ada 3 aspek context (Vin Djik)
1. Situational context: dilihat dari
situasi, apa yang orang lihat tentang situasi disekitar mereka.
2.
Background knowledge:
apa yang
diketahui tentang dunia, aspek kehidupan, saling mengenal satu sama lain.
3. Co-textual context: apa yang telah diucapkan.
Pandangan tentang
context menurut halliday (1985):
·
Field: apa yang
terjadi, interaksi sosial.
·
Tenor: siapa yang
berpartisipasi, peran dan hubungan dengan partisipan.
·
Peran dari
bahasa, apa yang participant harapkan, context dalam berbahasa.
Kedua,
literacy and skill (literacy atau keaksaraan) merupakan
tindakan melek sama dengan literasi. Menurut Scrilener dan Cole (1981:236) mengatakan:
“lierasi tidak hanya membaca dan menulis naskah tertentu, tetapi menerapkan
baca dan tulis itu untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu”.
Tulisan itu bukan hanya sebagai
keterampilan abstrak saja, tetapi tulisan sebagai praktek sosial sama halnya
menurut A Chaedar Alwasilah ”literacy is social practice”
Sedangkan literasi menurut pandangan social (Hyland,
2009: 49) yakni:
- Literasi adalah kegiatan social dan jauh lebih baik dijelaskan dalam praktik keaksaraan.
- Orang-orang memiliki kemahiran yang berbeda-beda yang berhubungan dengan berbagai domain kehidupan.
- Praktik literasi masyarakat terletak dalam hubungan social yang lebih luas, sehingga perlu untuk menggambarkan pengetahuan peristiwa literasi.
- Praktik literasi berpola oleh lembaga-lembaga social dan kekuasaan hubungan dan beberapa kemahiran yang lebih domina, terlihat dan berpengaruh daripada yang lain.
- Literasi diasarkan pada system symbol sebagai cara untuk mewakili dunia kepada orang lain dan diri kita sendiri.
- Sikap dan nilai-nilai yang berkaitan dengan panduan literasi, tindakan kita untuk berkomunikasi.
- Sejarah kehidupan kita mengandung banyak peristiwa literasi darimana kita belajar dan memberikan konstribusi hingga saat ini.
- Sebuah peristiwa literasi juga memiliki sejarah social yang membantu menciptakan arus.
Ketiga yaitu
culture, budaya memainkan peranan penting dalam perkembangan
literasi seperti yang dikatakan (Lantolf,
1999). “Budaya
secara umum dipahami sebagai historis yang ditransmisikan dan jaringan
sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan
mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia”
Genre adalah sesuatu yang diakui secara social dari penggunaan bahasa yang
merupakan bagian dari tujuan (Hyland, 2003:18).
Menurut Hyland (2003:24), genre didalam menulis dan pengajaran menulis,
yaitu :
1. Ide pokok, yaitu menulis adalah aktifitas social dan terkait dengan hasil
atau karya akhir.
2. Focus pengajaran, yaitu lebih memerhatikan harapan pembaca dan hasil karya.
3. Manfaat, yaitu untuk menjelaskan tujuan social yang efektif membuat kaidah
teks jelas atau nyata dan contextual menulis antara pembaca dan hasil karya.
4. Kerugian, yaitu tidak membutuhkan pemahaman dari teks.
Untuk mengidentifikasi tiga pendekatan untuk aliran (Hyon, 1996; Johns, 2002):
a) Australia
bekerja dalam tradisi Fungsional sistemik bidang Linguistik.
b) Yang
mengajar Bahasa Inggris untuk tujuan-tujuan tertentu.
c) Yang baru
dikembangkan dalam studi retorika Amerika Utara composisi jatuhnya konteks.
Kelima yaitu technology, Untuk
menjadi orang literate harus ,enguasai tekhnology harus memiliki kontrol atas
berbagai media cetak dan elektronik. Banyak yang terakhir memiliki pengaruh
besar terhadap cara kita menulis, aliran kita membuat authorial identitas kita
menganggap bentuk-selesai produk kami dan cara kita berhubungan dengan para
pembaca.
Berikut adalah pengaruh
teknologi elektronik pada penulisan (Hyland, 2009: 58) yakni:
- Merubah kreasi, mengedit, proofreading, dan proses pemformatan.
- Mengkombinasikan teks tertulis dengan media visual dan audio lebih mudah.
- Mendorong menulis non-linear dan proses membaca melalui link hyper-teks.
- Tantangan pemikiran tradisional tentang kepenulisan, wewenang dan intelektual.
- Mengizinkan penulis mengakses informasi lebih lanjut dan menghubungkan informasi dengan cara-cara baru.
- Mengubah hubungan antara penulis dan pembaca, agar pembaca bisa menulis apa yang telah dibacanya.
- Memperluas berbagai genre dan peluang untuk mencapai sesuatu yang lebih luas.
- Blur tradisioanal lisan dan tertulis perbedaan perspektif.
- Memperkenalkan kemungkinan untuk membangun dan memproyeksikan identitas social yang baru.
- Memfasilitasi masuk ke komunitas wacana baru online.
- Meningkatkan marginisasi penulis yang terisolasi dari teknologi baru.
- Penawaran tantangan menulis bagi guru dan peluang untuk praktik di kelas baru.
Terakhir yaitu identity, Identitas adalah cara seseorang untuk menampilkan siapa
mereka kepada orang lain. (Benwell dan Stokoe, 2006:6) identitas juga dipandang
sebagai constructed yang sesuau dibangun oleh kedua teks yang saling berkaitan
(keterkaitan antara penulis dan text yang di tulisnya).
Seperti yang dikemukakan
oleh Hylland yakni “identity is something we do, not something are have”
(Hylland, 2009).
Masih
membahas Howard Zinn, Colombus dan kebenaran, Menurut Noam Chomsky “He changed
the consciousness of a generation” "Tulisan-tulisannya
telah merubah kesadaran satu generasi, dan membantu membuka jalan baru dalam
memahami serta memberikan makna yang penting bagi hidup kita," demikian
menurut Noam Chomsky. Kemudian mengenai tulisan revisi critical review 2 yaitu
mengenai Howard Zinn:
Kesimpulan yang saya dapat yaitu
tidak mudah untuk menjadi Quality reader, karena “penulis yang baik adalah
pembaca yang baik” rakuslah terhadap karya-karya orang hebat. Agar tulisan kita
bukan karya sampah belaka. Sebagai penulis kita harus menghindari danger yang
telah dipaparkan yaitu weakness, mistake, ignorance, dan insane. Itu yang harus
diwaspadai oleh penulis dan berbanggalah ternyata sejarah menemukan bahwa
penulis pertama dimuka bumi ini adalah Nabi Idris beliau juga merupakan penggala
literasi dimasanya. Kemudian pandangan Noam Chomsky terhadap Howard Zinn, dan
juga 6 kunci dalam writing menurut Ken Hyland (2002-2009) “Teaching and
Reaserching writing”.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)