Thursday, March 6, 2014

Sejarah dalam Jendela Dunia



Crtical Review 2
Sejarah dalam Jendela Dunia

Speaking Truth to Power with Books –Howard Zinn-
 Dalam dunia kita, kita harus banyak membaca buku, sehingga pengetahuan kita akan terus meningkat.  Kita semua mengetahui bahwa buku adalah jendelanya dunia, bagaimana sebuah buku akan mengubah hidup seseorang dan bahkan dapat mengubah dunia. if a book changes somebody’s life by changing somebody’s consciousness, it is going to have an effect on the world, in one way or the other, sooner or later, in ways that you probably cannot trace” –Speaking Truth to Power with Books by Howard Zinn-.

Kami mempunyai sebuah artikel yang ditulis oleh Howard Zinn (1922-2010) yang berjudul “speaking Truth to Power with Books”.  Sebuah artikel ini akan kami buat critical review dan pembahasannya menurut artikel tersebut.  Sebelum kita membuat critical atau mengkritis artikel tersebut sebaiknya kita mengetahui siapa Howard Zinn tersebut.  Howard Zinn yang dilahirkan pada tanggal 24 Agustus 1922 dan wafat pada 20 Januari 2010, beliau meninggal pada usia yang ke-88 adalah seorang sejarawan amerika, penulis dramawan dan aktivis social.  Dia adalah seorang profesor politik di Boston University selama 24 tahun dan mengajar sejarah di Spleman Collage selama 7 tahun, Zinn menulis lebih dari 20 buku, salah satu karya terlarisnya yaitu A People’s History of the United States.
Ada sebuah ujaran yang menyatakan bahwa sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.  Saya percaya, ini adalah satu mitos yang hingga ,kahir hayatnya 20 januari lalu, Howard Zinn coba untuk patahkan.  Zinn, sang sejarahwan radikal Amerika, mangkat karena serangan jantung yang menyerangnya selagi berenang.  Buku legendaris yang ia tulis adalah: A People’s History of the United States.  Buku legendaris Howard Zinn tersebut yang ketika diterbitkan pertama kali di tahun 1980 hanya terjual empat ribu kopi, kini telah terjual habis hampir mencapai dua juta kopi dan dicetak ulang lima kali.  Begitu menariknya buku legandaris tersebut, bukan hanya itu Howard Zinn juga menempatkan sang penulis, saat itu seorang profesor sejarah di Boston University, dijajaran elit tradisi kritis kaum liberal-progresif Amerika.
Ada yang menarik dalam buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkapkan sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum sublatem dalam definisi spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menafsirkan sejarah.  Sasaran tembaknya Zinn tak tanggung tanggung yaitu: Chiristoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis.  Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.  Ada yang salah, ketika para sejarahwan menganggap profesi mereka sama dengan para kartografer, ujar Zinn.  Pembuat peta dengan sengaja menyederhanakan realitas, menunjukan bagian yang perlu, dan membuang tak terlihat.  Yang membuat di peta Indonesia, kepulauan kita jadi datar dan tak perlu ada gambar benua Amerika disana.  Menulis sejarah adalah hal yang sungguh-sungguh berbeda.  Namun ketika distrosi atau para kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan bias nya tiada lain adalah bias ideologis.  Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan.  Namun ada dalam penuturan historis, bias ini tidak seterang dalam penulisan peta.  Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca sebuah kepentingan bersama yang tunggal.  Para penulis seakan lupa bahwa produksi pengetahuan adalah alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa-bangsa.
Selain itu ada juga kritikan pedas dari Zinn untuk Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner.  Benar, Morison tak sedikit pun berbohong soal kekejaman Colombus.  Morison bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawks.  Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halamn ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut.  Arwaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis.  Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda ; sejarah dari sudut pandang dari orang-orang kalah, alias sang pecundang.  Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaiman dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum sosialisasi, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.  Ada hal yang menarik ketika kita sebenarnya juga bisa melempar kritik yang serupa pada Zinn bahwa ia juga sedang mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejerah, bahwa ia menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain.  Lalu apa bedanya ia denga Morison? Zinn sebenarnya tak lebih dari petinju dari sudut ring yang berbeda.  Jika Morison menulis dari kacamata sang pemenang, Zinn lah corong sang pecundang.   Jawaban pada kritik inilah yang menunjukkan kebesaran seorang Howard Zinn.
Pertama, ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.
Ada suatu hal yang perlu dicatat dari seorang Howard Zinn: ia menolak konsekuensi empatik definisi nasion Andersonian! Bangsa bukan dan memang tak sekalipun pernah jadi sebuah komunitas, tungkasnya tajam.
“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata kata Zinn yang saya terjemahkan dari  halaman 10 bukunya untuk menjelaskan sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan menjelang akhir hidupnya, Howard Zinn mengatakan, "Cara yang benar-benar penting di mana orang-orang yang tertipu oleh sejarah bukanlah kebohongan yang diberitahu, tetapi hal-hal yang dihilangkan". Dengan standar ini, Zinn menipu pembacanya. Tapi mungkin penerapan standar ini terlalu keras. A People’s History hampir pasti dimaksudkan untuk dibaca bersama rekening konvensional itu dimaksudkan berusaha untuk menantang. Pada akhirnya, kita dapat menerima pertahanan parsial ini, tetapi masih menemukan penafsirannya tidak memuaskan. Mungkin kita berharap lebih banyak nuansa dan lebih kejujuran dari sejarawan: mereka seharusnya berbicara kebenaran yang berkuasa. Ketika mereka meniru mode perawi yang tepat, membangun kebohongan mulia untuk hidup, kami kecewa. Atau bagaimana Howard Zinn melupakan pencantuman penemu benua Amerika yang sesungguhnya, jika memang Howard Zinn tidak mempercayai berita sejarah yang mengatakan Christopher Columbus. Kenapa Howard Zinn tidak mengatakan bahwa ilmuan yang pertama menemukan benua Amerika itu adalah seorang muslim dari Cina?
Dalam buku-buku sejarah di belahan dunia manapun tertulis sang penemu benua Amerika adalah seorang bernama CHRISTOPHER COLUMBUS. Tapi,,, ada fakta yang disembunyikan dibaliknya. bukanlah Columbus yang menemukan Amerika, melainkan orang Muslim.  Dalam beberapa catatan yang penulis dapat di internet. fakta menunjukkan 70 tahun sebelum Christopher berlayar ke Amerika, telah lebih dulu laksamana muslim dari China bernama CHENG HO yang menginjakkan kakinya di Amerika : the new land.
Namun, jauh 5 abad sebelum Columbus mengaku ‘membelah duren’ Amerika, terdapat juga fakta yang tak kalah pentingnya. Imigran muslim dari dinasti Umayyah di Andalusia telah lebih dulu menginjakkan kakinya di Amerika, tanahnya orang Indian. Tidak sampai disitu, imigran ini mendakwahkan Islam kepada suku-suku Indian di Amerika seperti Iroquois dan Alqonquin. salahsatu imigran itu bernama Khasykhasy Ibn Said Ibnu Aswad.
Dalam catatan harian Columbus sendiri, menyatakan jika pada hari Senin, 21 Oktober 1492, ketika berlayar di dekat Gibara di tenggara pantai Kuba, mereka mengaku telah melihat sebuah masjid dengan menaranya yang tinggi yang berdiri di atas puncak bukit yang indah.
            Literatur yang menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Colombus, antara lain pakar sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi (871-957M). Dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan tambang Permata), al-Masudi telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada 889M.
            Sejak itulah, pelayaran menembus Samudera Atlantik yang saat itu dikenal sebagai ”lautan yang gelap dan berkabut”, semakin sering dilakukan oleh pedagang dan penjelajah Muslim. Literatur yang paling populer adalah essay Dr. Yossef Mroueh dalam Prepatory Committe for International Festivals to Celebrate the Millenium of the Muslims Arrival to the America tahun 1996. Dalam essay berjudul Precolumbian Muslims in America (Muslim di Amerika Pra Colombus), Dr. Mroueh menunjukkan sejumlah fakta bahwa Muslimin dari Anadalusia dan Afrika Barat tiba di Amerika sekurang-kurangnya lima abad sebelum Colombus.
Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga, menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata-kata Zinn yang saya terjemahkan dari  halaman 10 bukunya untuk menjelaskan sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda. Kata-kata ini pula yang hampir mengalihagamakan saya menjadi seorang radikal kembali.
Pada tahun 2010, menulis sejarah dari bawah ke atas adalah sudah biasa, tapi ini tidak terjadi pada akhir tahun 1970. Dengan menantang kurikulum pada skor ini, jangka panjang signifikansi Zinn adalah aman. Namun, fakta bahwa ia bertujuan untuk tidak objektivitas atau netralitas tidak apa-apa untuk menyarankan kita harus menganggapnya serius sebagai seorang sejarawan. Pertanyaannya dapat cukup membuat orang bertanya: melakukan kesadaran, kelalaian yang disengaja dalam laporannya tentang sejarah-modern konservatisme Amerika, misalnya, atau yang populer anti-Katolik dari dekade pertengahan abad ke-19 secara fatal merusak klaimnya untuk dibaca sebagai sejarawan.
Pada pertengahan abad ke-10, pada masa pemerintahan Bani Umayyah Andalusia: Khalifah Abdurrahman III (929-961M), kaum Muslimin dari Afrika berlayar ke arah barat dari pelabuhan Delbra (Palos) di Spanyol menembus “samudera yang gelap dan berkabut”. Setelah menghilang beberapa lama, mereka kembali dengan sejumlah harta dari negeri yang “tak dikenal dan aneh”. Dalam pelayaran itu, ada sejumlah kaum Muslimin yang tinggal bermukim di negeri baru itu. Mereka inilah imigran Muslim gelombang pertama yang tiba di Amerika.
Dan bagaimana dengan faktanya? Tentu saja hal ini sudah di wanti-wanti oleh si peneliti bahwa di negara bahagian Inyo dan California, Dr. Barry menemukan beberapa kaligrafi Islam yang ditulis dalam bahasa Arab salah satunya bertuliskan ”Yesus bin Maria” yang artinya ”Isa anak Maria”. Kaligrafi ini dapat dipastikan datang dari ajaran Islam yang hanya mengakui nabi Isa sebagai anak manusia dan bukan anak Tuhan. Dr. Barry menyatakan bahwa usia kaligrafi ini beberapa abad lebih tua dari usia Negara Amerika Serikat. Bahkan lebih lanjut, Dr. Barry menemukan reruntuhan, sisa-sisa peralatan, tulisan, digram, dan beberapa ilustrasi pada bebatuan untuk keperluan pendidikan di Sekolah Islam. Tulisan, diagram dan ilustrasi ini merupakan mata p[elajaran matematika, sejarah, geografi, astronomi dan navigasi laut. Semuanya ditulis dalam tulisan Arab Kufi dari Afrika Utara.
Apapun itu, Zinn tetaplah seorang Howard Zinn. Penulis inspiratif dan aktivis yang teguh menerabas the road less travelled by. Untuk itu, hormat saya dan topi yang diangkat sementara mata terpejam.
Tingkat literasi pun masih di bawah negara tentangga, apa mungkin negara kita bisa mengubah dunia dengan karya-karya tebaiknya? Atau kita akan tetap dikenal sebagai negara terkorupsi di dunia? Mengingat tanda orang yang berliterat adalah orang yang mengerti hukum, jika di negara ini masih banyak para pejabat yang korupsi tentu saja itu artinya negara kita ini masih minim akan literasi. Tertinggal, berkembang dan terus saja seperti itu. Kapan negeri ini menjadi negara maju? Negara yang mampu diperhitungkan di kancah dunia.
                          Banyak yang mengatakan bahwa Colombus bukanlah yang mendarat yang pertama di benua Amerika, di pembahasan dia atas bahwa yang mendarat di benua Amerika yang pertama itu orang muslim.  Mengapa Howard Zinn tidak menyebutkan bahwa orang muslim yang pertama di benua Amerika, apa Howard Zinn itu lupa, banyak buku yang menyebutkan bahwa orang muslim lah yang pertama mendarat di benua Amerika.  Salah satu buku nya adalah
ahli sejarah Jerman, Alexander Von Wuthenan juga memberikan bukti bahwa orang-orang Islam sudah berada di Amerika tahun 300-900 M. Artinya, umat Islam sudah ada di Amertika, paling tidak setengah abad sebelum Colombus lahir. Bukti berupa ukiran kayu berbentuk kepala manusia yang mirip dengan orang Arab diperkirakan dipahat tahun 300 dan 900 M. Beberapa ukiran kayu lainnya diambil gambarnya dan diteliti, ternyata memiliki
kemiripan dengan orang mesir.
            Namun ada juga yang mengatakan salah satu buku karya Gavin Menzies, seorang bekas pelaut yang menerbitkan hasil penelusurannya, menemukan peta empat pulau di Karibia yang dibuat pada tahun 1424 dan ditandatangani oleh Zuanne Pissigano, kartografer dari Venezia, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Peta ini berarti dibuat 68 tahun sebelum Colombus mendarat di Amerika. Dua pulau pada peta ini kemudian diidentifikasi sebagai Puertorico dan Guadalupe.

Praktek literasinya ya...dengan membaca tulis itu, dengan membaca maka jendela dunia pun akan terbuka, dan dengan menulis kita akan memberi tahu bahwa seseorang di luar sana tidak pernah sendirian, dan ketika sebuah tulisan bisa bernafas dihati setiap manusia, berarti sejarah dunia mulai dibuka untuk maju kedepan. Saya sangat terkesan dengan paragraph terakhir dari teks Speaking Turth to Power with Books –Howard Zinn- yang mengatakan bahwa “Sebuah kata nalfi. Ada sesuatu yang penting yang dapat tulisan lakukan, selain dari semua hal lain. Hal ini dimasukkan ke dalam kata-kata oleh Kurt Vonnegut, yang sering bertanya, "Mengapa Anda menulis?" Vonnegut akan menjawab, "Saya menulis dengan begitu Anda akan tahu ada orang yang merasakan hal yang Anda lakukan tentang dunia, bahwa Anda tidak sendirian. "Itu adalah hal yang sangat penting untuk dicapai, untuk menyadarkan orang-orang bahwa mereka tidak sendirian”. Dan itu adalah sesuatu yang benar-benar harus kita lakukan.

Literasi sangat dibutuhkan, karena tanpa literasi kita tidak akan mengetahui sejarah colombus, dan tidak tau siapa yang mendarat pertama di benua Amerika. 
kesimpulannya adalah dengan buku, mata kita bisa terbuka, terbuka dengan kebenaran, kenyataan, dan fakta-fakta. Buku merupakan jendelanya ilmu, bahkan jendelanya dunia. Dengan satu buku maka kita bisa merubah hidup kita, cara pandang, bahkan kekuatan pikiran kita. Dengan membaca buku kebenaran akan terkuak, dan kegelapan akan pengetahuan akan sirna, bahkan dengan buku suatu negara bisa mengubah cara pandang pendidikan mereka, contohnya bagaimana mereka mengajarkan tentang kebenaran dan kekuasaan kepada para siswanya, seperti pendidikan yang terjadi pada abad kedua puluh satu di AS sudah termasuk mematikan birokrasi profesionalisme guru, otonomi, dan suara. Fitur tambahan dari reformasi saat ini melibatkan scripting ide-ide dan ekspresi siswa melalui langkah-langkah eksternal akuntabilitas, standar, dan high-stake testing. Kolom ini berusaha untuk mengeksplorasi pengalaman dan kemungkinan yang muncul ketika pendidik berbicara Kebenaran dan kekuasaan. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjadi jalan bagi guru untuk berbicara Kebenaran kekuasaan melalui narasi guru tentang " the bureaucratizing of the mind," tentang praktek terbaik dalam keaksaraan kritis terhadap scripted dan diuji melek huruf, dan tentang menciptakan ruang kelas yang mengajak siswa untuk menemukan, merangkul, dan mengembangkan suara dan pemberdayaan mereka sendiri. Dan bagaimana dengan Indonesia? Kegiatan membaca dan menulis masih terhitung minim di negara kita ini, bagaimana kita bisa mengubah dunia? Sedangkan mengubah dunia salah satunya itu bisa dengan cara membaca buku.  Buku adalah sumber ilmu untuk semua siswa, bukan hanya buku.  Kita sebagai calon guru yang baik, Guru mempunyai tanggung jawab untuk turut serta dalam membina kurikulum di sekolah. Menyalurkan ilmu pada murid sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit, namun membina murid supaya menjadi manusia berkarakter pasti bukan pekerjaan yang gampang. Seorang guru bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan kepada siswa. Bimbingan tersebut supaya siswa mengenal dirinya sendiri, menyelesaikan masalahnya sendiri, serta mempunyai emosional yang baik.

Referensi

Howard, Zinn. (1980). A People’s History of The United States. United States: Harper & Row; HarperCollins


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment