Sunday, March 9, 2014
Created By:
Aam Amaliah
Sebuah Kajian untuk Menunjang Critical
Review Satu
Menulis adalah pergulatan hidup. Dalam
intinya yang terdalam, semacam upaya untuk menemukan identitas kita yang paling
oriental.
Saat mentari telah mencapai sepertiganya pukul
07.00, kelas writing-pun mulai berlangsung.
Jauh berbeda dengan
pertemuan-pertemuan sebelumnya. ini
merupakan catatan sejarah untuk kelas PBI-D/IV, karena ini merupakan kali
pertama masuk pukul 07.00 pagi. Mencoba
mengukir sejarah baru jadwal perkuliahan di institut ini. Saat waktu hampir menunjukkan pukul 07.00,
sang dosen (mr.lala) tengah bersiap untuk mengajar, memprsiapkan peralatan yang
dia perlukan (infokus, laptop) dibantu oleh beberapa mahasiswa. Saat itu-pun,
sudah cukup banyak mahasiswa yang telah bersiap. Hampir sebagian telah datang dan siap di
bangku masing masing. Menunggu waktu
berjalan ke angka 07.00, dengan diiringi alunan lagu cinta satu malam versi jazz
dari laptop Mr.Lala. Di detik-detik
terakhir menuju pukul 07.00 beberapa mahasiswa yang baru tiba, lari-lari kecil
menuju ruang kelas dengan nafas terengah-engah.
Tepat
pukul 07.01 alunan lagu pun tak terdengar lagi, telah dimatikan oleh sang
empunya. Mr.Lala pun memulai mata
kuliah writing kali itu, pertemuan keempat tanggal 28 Februari 2014. Setelah selesai mengecek kehadiran mahasiswa,
Mr. Lala menyuguhkan pada kami deretan sajak dari salah seorang dosen beliau
dulu “Budi Hemawan” yakni;
Deretan
kata yang indah dan sarat akan makna.
Saat itu Mr. Lala mempersilahkan dua orang mahasiswa untuk membaca
deretan kalimat tersebut. Dari untaian
kata tersebut kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa dalam hidup ini
sebaiknya kita meluangkan waktu tertentu untuk mengenali diri sendiri.
Kemudian
pembahasan bergerak menuju materi pembelajaran.
Mr Lala mengatakan bahwa tugas-tugas yang lalu adalah untuk mengukur “endurance”
dan seberapa jauh, dan bagus content tulisan yang kami produksi. Sontak terkejut, ketika Mr Lala mengatakan “saat
ini, kalian telah menulis critical review, seharusnya kalian sudah membaca
buku-buku ini dong (menunjukkan beberapa buku tentang discourse analysis, salah
satunya buku berjudul “Classroom Discourse Analysis a Tool for Critical
Reflection”).” Buku-buku yang belum terjamah sama sekali karena sibuk
memikirkan apa yang akan dibahas dalam critical review pertama tersebut dan
bagaimana cara menyelesaikannya tepat waktu.
Content
dari critical review tersebut-lah yang akan menunjukkan dimana posisi kami,
apakah masih sebatas reader? Qualified reader? Writer? Or qualified
writer?. Dan ternyata, menurut Mr Lala,
kami masih ditingkat reader. Masih ditingkat terendah.
Kemudian
setelah itu, Mr. Lala menjelaskan tentang inti dari wacana milik Prof. Chaedar
yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Beliau menjelaskan harusnya di tulisan kami
yang mengkritik Prof. Chaedar membahas
tentang:
1. Classroom
discourse
2. Religious
Harmoni
3. Multikultural
tiga
kata kunci yang harusnya tersaji apik dalam tulisan kami. Namun kenyataannya kami masih belum
menyajikannya dengan apik.
Classroom
discourse merupakan bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi satu
sama lain di kelas yang memerlukan perhatian yang sangat luas. Classroom merupakan :
1. Secret
site
Karena
yang tahu mengenai apa saja yang terjadi, yang dipelajari didalamnya adalah
siswa dan gurunya. Tidak mungkin tukang
bakso, tukang nasi diluar sana tahu dan paham jika mereka tidak termasuk
diantara keduanya.
2. Complicated
Ada
beberapa hal yang membuat kelas begitu complicated yaitu:
a. Different
background
Adanya
perbedaan disetiap individu yang ada didalamnya yakni perbedaan dalam aspek :
education, culture, character, dan lain-lain.
b. Interaksi
Didalam
kelas jika tidak terjalin interaksi yang baik akan mengakibatkan kelas
bubar. Why interaksi so complicated?
Karena didalamnya harus terjalin toleransi, kepercayaan satu sama lain,
kedisiplinan, dll. Yang didalamnya memerlukan
participan, talk (untuk berkomunikasi satu sama lain). Dan kesemuanya itu tidak bisa dicontohkan
hanya dengan teori, semuanya hanya bia ditanamkan dengan memberi contoh melalui
diri sendiri.
3. Meaning
– making practice
Didalam kelas sangat diperlukan
kedua praktik ini karena dengan memberikan suatu makna dan menangkapnya dari
orang lain, maka akan membantu proses kelancaran interaksi. Dengan demikian dapat terbangun kelas yang
harmonis dan dinamis.
Setelah menjelaskan apa yang
seharusnya kami tulis di critical review, Mr Lala menyuruh kami untuk
mengevaluasi paper critical review kami dengan beberapa hal yang perlu kami
perhatikan yakni :
1. Unity
(kesatuan)
Apakah paragraf-paragraf yang kami
tulis saling menyatu satu sama lain ataukah tidak. Dalam aspek ini harus menjawab empat
pertanyaan yakni :
a. Does
every detail I have selected support the main idea?
b. Have
I organized the supporting details in the most logical way?
c. Have
I included any sentences that are unnecessery because they simply restate the
main point without adding any new information or meaning?
d. Havi
I made the relationship between my ideas clear?
2. Koherensi
Maksudnya adalah kesinambungan tiap
kalimat. Serasi atau tidaknya hubungan
antar unsur yang ada dalam satu kalimat dengan yang kalimat yang lainnya. Ada
tiga kata kunci untuk membentuk koherensi dalam suatu text, yakni :
a. Arrange
ideas to achive emphasis
b. Arrange
ideas to achive coherence
c. Connect
your ideas to achive coherence
Dari semua yang telah dibahas
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa interaksi, toleransi, sikap saling
menghargai, dan menerima di dalam kelas tidak dapat ditanamkan hanya dengan
teori. Namun, harus dicontohkan,
memulainya dari diri sendiri. Dan poin
penting dalam artikel milik Prof. Chaedar (Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” adalah “Classroom discourse”.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)