Sunday, March 9, 2014

PROBLEMATIKA CRITICAL REVIEW PERDANA


4th Class Review (Writing & Conversation 4)
On Friday, February 28, 2014
RASDENI (14121320256)
PBI-D/4
                                                                                                                                   

PROBLEMATIKA CRITICAL REVIEW PERDANA

Beriringan dengan terbitnya sang fajar dipagi hari, saat itu pula semuanya dimulai.  Seakan bersaing dengan matahari pagi, semua mahasiswa kelas PBI-D Semester 4 berusaha keras untuk hadir tepat waktu pada mata kuliah Writing and Conversation 4.  Tepat pada hari Jum’at, 28 Februari 2014 pukul 07.00 WIB diberlakukan jam masuk kuliah baru khusus pada mata kuliah Writing and Conversation 4 saja.
Hari demi hari yangdijalani sepanjang mata kuliah ini, semakin menambah pengetahuan baru atau pembahasan penting yang dibahas setiap pertemuannya.  Mr. Lala Bumela selaku dosen, dating lebih awal ke kelas walaupun pembelajaran dimulai pukul 07.00 WIB.  Dengan sangat pagi-pagi sekali, perkuliahanpun dimulai dengan pembahasan masih dan akan selalu seputar tulis-menulis.

Tidak jauh dari menulis, seperti yang telah dikatakan pada class review sebelumnya bahwa Endurance menjadi dasar yang penting dalam menulis.  Kini, endurance dan content menjadi daya tarik tersendiri dalam sebuah tulisan.  Seorang penulis akan meletakkan apa yang menjadi daya tarik pada tulisannya dengan endurance yang kuat dan content yang menarik.  Demikian pula dalam menulis critical review (tugas kita di minggu sekarang).  Penulis tentu mempunyai kewajiban agar teks yang mereka tulis mampu memenuhi kebutuhan pembaca.
Menulis critical rview yang terdiri dari 2500 kata bahkan lebih, merupakan pekerjaan yang sangat massive (very massive).  Critical review tentunya memiliki unsur-unsur pembangun teks yaitu critical review dibangun mulai dari Reader—Quality reader—Writer—Quality writer.  Oleh karena itu, menulis critical review perlu diasah dan dilatih agar tulisan yang kita buat lebih baik dari sebelumnya.  Pergerakan pelatihan menulis critical review sudah dimulai pada minggu ini, tetapi mulai minggu depan kita akan bekerja dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.  Minggu depan masih membuat critical review dan latihan di dalam kelas dengan masing-masing orang membawa laptop.  Kita akan dilatih menulis sebanyak 500 kata dalam waktu 30 menit dengan menggunakan Bahasa Inggris.  Kita akan dilatih bekerja sebagaimana layaknya penulis sungguhan.  Penulis yang professional tercermin dalam tulisan yang menarik dan memenuhi sasaran yang tepat untuk pembacanya.
Ada sebuah penggalan-penggalan kalimat puitis yang menggambarkan sedikit tentang kehidupan penulis dari Budi Hermawan.  Berikut akan diungkap beberapanya.
“Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi ada (momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari.  Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang membombardir indera kita.  Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu-satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita.
Berkariblah dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekak.
Berkariblah dengan sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih.” (Budi Hermawan)
           
            Suasana sepi memang sangat menunjang untuk berpikir jernih, menangkap ide dan inspirasi, kemudian menuangkannya ke dalam tulisan.  Suasana yang hanya terdapat bunyi detak jantung dan rangkaian-rangkaian ide untuk dikembangkan dalam tulisan.  Sebagai penulis, tentu membutuhkan suasana sepi karena akan sulit menulis ketika dalam suasana yang ramai.
            Salah satu bukti akibat kurangnya konsentrasi dalam menulis yaitu ketika terjadi kesalah pahaman dalam menulis critical review, dimana hasilnya kurang sesuai dengan yang diharapkan Mr. Lala Bumela.  Critical review untuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” seharusnya berisi lebih banyak tentang classroom discourse dengan contentnya yaitu post-reformasi, karena yang dimaksud dengan content yaitu post-reformasi dan content tersebut bersifat ajeg.
            Setujukah anda jika classroom discourse dapat dikatakan sebagai:
  1. Classroom is a sacred site
Artinya, classroom merupakan sesuatu yang sacral.  Tidak sembarang orang dapat melakukan classroom jika mereka tidak mempunyai kriteria-kriteria tertentu.  Classroom jika diibaratkan dengan shalat, memiliki banyak ritual di dalamnya, diantaranya wudlu, rukun shalat, syarat sah shalat, dan sebagainya, tetapi yang terpenting yaitu Islam terlebih dahulu.  Begitupun dengan classroom, yang terpenting dalam classroom discourse yang harus dibangun oleh pelakunya yaitu interaksi terlebih dahulu, antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa, barulah kemudian bisa ke bertanya, menanggapi, dan sebagainya.
  1. Classroom is a complicated
Classroom merupakan sesuatu yang rumit (complicated), disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a.       Background
Salah satu faktor penyebab sulitnnya membangun classroom discourse yaitu dikarenakan baik siswa maupun guru memiliki dan berasal dari latar belakang atau background yang berbeda-beda, seperti perbedaan:
·         Etnik
·         Education
·         Ekonomi
·         Politik, dll.
b.      Interaction
Main point atau inti utama pada classroom discourse yaitu interaksi. Interaksi yang terjadi harus melibatkan participants, karena tidak akan terjadi adanya interaksi tanpa participants.  Dalam interaksi selain melibatkan participants, juga harus ada TALK.  Talk inilah yang merupakan inti yang dibahas pa Chaedar pada artikelnya yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony.”
Tatapi pada kenyataanya, masih banyak yang belum membahas tentang interaksi melalui TALK dalam critical rview.  Kebanyakan dari mahasiswa kela PBI-D lebih membahas kea rah toleransi, pendidikan multikultural, dan konflik social.  Permasalahan ini merupakan “the biggest missing link.” Classroom discourse merupakan situs suci yang berisi interaksi dimana discourse terdiri dari text dan context.
  1. Meaning Making Practice
Classroom discourse dapat dikatakan sebagai meaning making practice yang dapat terjadi karena:
a.       Ideology classes       : merupakan sets of believe kita.
b.      Values                      : merupakan nilai tinggi rendahnya minat kita untuk belajar.  Semakin kita belajar maka akan semakin bagus values yang kita bangun.

Dari penjelasan di atas, berarti classroom discourse dapat dikatakan sebagai a sacred site, complicated, dan meaning making pracrice.  Hal terpenting dalam sebuah classroom discourse yaitu TALK.  Banyak sekali pertentangan tentang disiplin ilmu yang diakibatkan karena kurangnya talk atau interaksi.  Berbicara mengenai perbedaan di suatu kelas, maka classroom discourse mengajarkan tentang bagaimana membangun penyamarataan perbedaan tersebut di dalam kelas.
Sebagai seorang kritikus atau lebih tepatnya sedang belajar mengkritisi sebuah tulisan, kita ditugaskan untuk tidak menjadi helpless reader yang kebingungan menentukan apa yang harus dikritik.  Minggu depan tugas kita masih membuat critical review untuk artikel yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books” karya Howard Zinn, yang membahas mengenai seorang penemu benua Amerika, Columbus.
Semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika kita akan menulis sebuah atau lebih critical review, yang harus ada dan dibangun serta diperkuat pertama kali yaitu endurance (daya tahan) dan content.  Content memberikan daya tarik untuk tulisan yang kita buat.  Setelah membangun endurance dan content, kita juga harus mempunyai kejelasan dan ketepatan dalam mengkritisi sebuah teks.  The biggest mistaken link terjadi pada minggu ini akibat kurang memahami teks, jadilah akibatnya kita salah mengkritik kelemahan pada critical rview “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony.” Kesalahan ada pada kesalahan tema yang kita kritik, yaitu bukan mengenai classroom discoursenya akan tetapi lebih kepada toleransi dan agama. Kurangnya informasi mengenai KEMENAG yang membahas tentang toleran pada classroom discourse, yang mana pembahasan mengenai KEMENAG inilah yang menjadi stricker pada critical review dan kekurangan lainnya dalam penulisan critical review yaitu banyaknya kalimat yang restatement.  Sebagai seorang penulis, memang saya akui masih banyak kekutangannya, tetapi penulis yang baik, dia tidak malu menunjukkan kelemahan tulisannya dan tidak lupa untuk berusaha memperbaiki ketidak sempurnaan tulisannya.

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment