Thursday, March 6, 2014
Created By:
Reni Harliani
CRITICAL REVIEW 2
Nama : Reni Harliani
Class : PBI-D
Sang Penulis Penakluk Dunia yang Melegendaris
Buku
adalah jendela dunia, dengan membuka buku berarti kita membuka jendela dunia,
kita dapat melihat jauh keluar sesuatu yang baru atau pemandangan yang berbeda dengan apa yang ada dirumah
kita. Yang dimaksud rumah adalah pikiran kita saat ini. Sebagian orang
mengatakan bahwa dengan membaca sebuah buku kita membuka cakrawala. Dan Semakin
kita sering membuka buku maka kita akan dapat menyelami dunia lain, dan melihat
sebuah pelangi yang tersimpan dalam untaian-untaian sebuah kalimat itu. Yaitu
sebuah pelangi yang ada dalam pikiran orang lain yang akan memberikan kita
kebijakasanaan yang lebih mendalam dalam menghadapi hidup.
Manfaat ketika membaca,
disatu sisi kita memahami suatu sudut pandang penulis buku tersebut, dan disisi
lain kita akan mendapatkan wawasan dan kebijaksanaan yang lebih baik dan
mendalam dalam kehidupan. Tidak ada satu bukupun yang pernah ditulis di dunia
yang tidak membawa manfaat. Setiap buku akan membawa manfaat kepada kita jika
mampu menangkap makna dan hikmah. Tapi jika kita masih kesulitan menangkap
makna dan hikmah dari suatu buku, berarti kita harus meningkatkan keterbukaan
pikiran kita, karena hikmah dan makna
sebuah buku tidak akan masuk ke dalam pikiran yang tertutup. Tapi yakin lah
kita adalah salah seorang yang memiliki pikiran terbuka, karana anda mampu
membaca sampai paragrap ini. Satu-satunya buku yang tidak membawa manfaat
adalah buku yang tidak pernah kita baca. Tapi kita tidak boleh melupakan bahwa
sebuah buku mempunyai sebuah majikannya, dan isi dari sebuah buku harus dapat di
pertanggung jawabkan kebenarannya karena isi dari suatu buku dapat mempengaruhi
pola pikir pembacanya.
Kita harus berhati-hati sebelum membaca khususnya
tetang buku sejarah, karena sebuah peristiwa sejarah terjadi pada masa lampau
yang sulit untuk kita tengok kebenerannya, karena sejarah dapat dibuat oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri, maka
disini literasi sangat berperan penting terhadap sejarah.
literasi sangat berpengaruh
terhadap sejarah. Ketika peristiwa atau sejarah terjadi tanpa di catat atau di
bukukan maka sejarah tersebut tidak akan bertahan lama. Dalam artian sejarah
tersebut akan hilang terkubur oleh waktu. Sungguh disayangkan jika literasi
sangat rendah, sejarah tidak akan di catat dan hilang begitu saja atau di
karang oleh seseorang yang mengaku mengetahui sejarah tersebut. Maka literasi
adalah salah satu ujung tombak dari keabadian sebuah sejarah.
Kemudian, Kali ini saya akan
mengupas sebuah artikel secara tajam dan terpercaya yang berjudul “ Speaking Truth to Power with
Books” yang ditulis oleh Howard Zinn untuk mencoba menunjukan kebenaran sejarah
tentang Christopher Colombus melalui bukunya, dan kita juga akan membongkar sejarah yang melegendaris,
mengemparkan para ilmuan untuk berlomba-lomba menemukan sebuah kebenaran yang
terkandung dalam buku tersebut. Tapi harus kita ketahui bahwa sejarah sama
artinya dengan sebuah pohon, pohon yang terus berkembang dari tingkat yang
sangat sederhana ketingkat yang lebih
komleks, atau ketingkat yang lebih maju. Ini sebabnya sejarah
diumpamakan seperti pohon yang terus berkembang dari ranting hingga akar yang
terkesil sekalipun.
Artikel
ini menunjukan bahwa buku sangat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan
kita. Buku Howard
Zinn yang berjudul “Speaking Truth to Power with Book” mengatakan bahwa buku
memiliki efek yang sangat penting dalam mepengaruhi dan mengubah kesadaran
seseorang di dalam hidupnya. Ketika sesorang menginjak usia 15, 16 , dan 17 tahun
disinilah buku memiliki efek kekuatan yang kuat untuk mepengaruhi pembacanya.
Seperti yang terjadi pada Howard zinn, ketika berusia 14 tahun ternyata mulai
tertarik kepada buku. Dan kemudian buku tersebut mampu mempengaruhi kehidupan
yang ia jalani dalam hidupnya. Howard zin membayangkan orang lain memiliki
pengalaman yang sama dengan dirinya. Ternyata buku dapat mengubah hidup
seseorang yang ditemuinya, sebagai contoh yang telah membaca buku The Color Purple dari Alice Walker. Jika
buku mengubah hidup seseorang dengan
mengubah kesadaran seseorang, itu akan memiliki efek pada dunia, cepat atau
lambat dengan cara yang anda tidak bisa mengelak.
Christoper Colombus telah tercatat dalam buku sejarah dunia
bahwa dia adalah tokoh penemu Amerika, dengan adanya bukti bahwa setiap tahun, satu hari
khusus yang disebut “Columbus Day”, sebagai peringatan atas jasanya jadi penemu
Benua Amerika. Pada buku Howard
Zinn yang berjudul “Anthropology off the Shelf : Speaking Truth to Power with
Book” menjelaskan tentang Christopher Columbus. Ketika beliau menulis buku
mengenai sejarah Amerika, ia menuliskan bahwa Columbus sebagai pembunuh,
penyiksa, penculik, mutilator orang pribumi, munafik, orang yang tamak mencari
emas, bersedia untuk membunuh orang dan mencincang orang-itu mengejutkan. Hal
ini berlawanan sekali dengan pendapat orang-orang amerika yang beranggapan
bahwa Columbus adalah seorang pahlawan, penemu besar dari benua mereka, serta pembaca Alkitab yang saleh.
Howard Zinn, sang sejarahwan radikal Amerika meninggal dunia
dalam usia 87 tahun, karena serangan jantung yang
menyerangnya selagi berenang. Ia meninggalkan seorang istri dan nama besar dari
sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United
States. Buku tersebut yang ketika diterbitkan pertama kali di
tahun 1980 hanya terjual empat ribu kopi, kini telah terjual habis hampir
mencapai dua juta kopi dan dicetak ulang lima kali. Ia menempatkan sang
penulis, saat itu seorang profesor sejarah di Boston University, di jajaran
elit tradisi kritis kaum liberal-progresif Amerika.
Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk
mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam
definisi Spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan sejarah.
Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung: Christoper Colombus dan para
sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya
termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Ketika
distorsi atau bias para kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan
biasnya tiada lain adalah bias ideologis. Dalam kata-kata Zinn, setiap
penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan.
Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial ataupun nasional. Namun sayangnya
dalam penuturan historis, bias ini tidak seterang sebagaimana dalam penulisan
peta. Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama
yang tunggal. Para penulis tertentu seakan lupa bahwa produksi pengetahuan
adalah alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa
bangsa.
Inilah kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan
Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar,
Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut
sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn,
fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman
lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih
menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal
yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala
pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk
menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Seandainya Morison
adalah seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi
begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang
intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan
sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu
untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah
terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding
dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang
kemudian direproduksi di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para
siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi
sejarah yang berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang
pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata
suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum
Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum
Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.
Lalu apa bedanya ia dengan Morison? Zinn sebenarnya tak lebih dari petinju dari
sudut ring yang berbeda. Jika Morison menulis dari kacamata sang pemenang, Zinn
lah corong sang pecundang.
Jawaban pada kritik inilah yang menunjukkan kebesaran seorang Howard
Zinn. Pertama, ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak
senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan
sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya
sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s
History ia menulis:
If history is to be creative, to
anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe,
emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past
when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join
together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our
future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in
its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to
the history of the United States. The reader may as well know that before going
on.
Ini membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar
bahwa pembaca butuh tahu. Lalu apa pembelaannya atas posisinya tersebut? Ini hal kedua yang perlu dicatat dari seorang
Howard Zinn: ia menolak konsekuensi empatik definisi nasion Andersonian! Bangsa
bukan dan memang tak sekalipun pernah jadi sebuah komunitas, tungkasnya tajam.
“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga
menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang,
tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan
dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor,
adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk
tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata kata Zinn yang saya
terjemahkan dari halaman 10 bukunya untuk menjelaskan sudut pandang
penulisan sejarahnya yang berbeda. Kata-kata ini pula yang hampir
mengalihagamakan saya menjadi seorang radikal kembali.
Tapi kali ini Sejarah
menyebutkan bahwa Benua Amerika pertama kali ditemukan oleh Christopher
Columbus. Hal yang telah menjadi pengetahuan umum semua anak manusia dibumi
ini. Namun berbagai literatur dan bukti-bukti fisik berupa prasasti, manuscript
dan kabar berita lainnya menyebutkan lain, Bukan Colombuslah penemu benua
amerika. Kenapa? Karena 70 tahun sebelum Columbus menjejakkan kaki di amerika,
daratan yang disangkanya India, Laksamana Muslim dari China bernama Ceng Ho
(Zheng He) telah mendarat di Amerika.
Ini menunjukan bahwa sejarah
dunia memiliki adil terhadap literature, pada dasarnya tulisan yang terdapat
dalam sebuah buku adalah mengenai beberapa hal-hal yang disukai penulisnya
saja.
Menurut artikel Howard Zinn ada
beberapa cara untuk membangun kesadaran manusia,yaitu : Pertama, buku dapat memperkenalkan
sebuah ide yang pembaca tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kedua, buku dapat menyadarkan bahwa
penulis memiliki jalan yang berbeda, sehingga pembaca akan mencari literature
lain untuk mengetahui kebenarannya dan akan mempengaruhi cara mereka
mengaktualisasikan diri.
Timbal balik dari sebuah buku adalah akan membuat generasi penerus
bangsa memiliki pikiran sama sesuai
dengan buku yang mereka baca. Oleh karena itu kita sebagi pembaca harus
mempunyai wawasan yang sangat luas dan jauh memandang kedepan, sehingga kita
akan menyimpan isi buku itu dalam hati. Supaya kita mengetahui kebenaran
sesungguhnya isi dari buku yang kita
baca maka kita harus lebih banyak membaca buku Ketika kita menemukan banyak
buku yang memiliki sudut pandang yang
sama mengenai hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa isi buku tersebut adalah
benar dalam kenyataan sesungguhnya dan
generasi penerus tidak akan mengikuti jejak-jejak para pendahulu yang
salah.
Masyarakat benua Amerika yang melek
sejarah dan memiliki kemampuan literasi yang tinggi akan mudah menjadikan buku
sebagai alat yang memiliki power untuk mengetahui sebuah kebenaran yang
sesungguhnya, serta bisa mengubah kesadaran manusia, tetapi bagaimana dengan negara
kita Indonesia yang literasinya masih rendah. Masyarakat negeri ini
penduduknya masih jauh dari jangankan
melek sejarah melek huruf pun masih rendah, masih banyak korban penduduk Indonesia yang mempunyai penyakit
buta aksara untuk membaca buku, apalagi untuk mengkritisinya, sungguh teragedis.
Budaya baca-tulis yang masih sangat rendah menyebabkan negeri ini menjadi
tertinggal dari negara-negara lain.
Literasi adalah ujung tombak untuk
bisa meningkatkan kualitas dan memajukan suatu bangsa, sehingga jelas peran
perpustakaan dalam aspek pendidikan
sangat memiliki peran yang penting.
Pembaca akan terbentuk sesuai dengan buku bacaan yang mereka baca atau
bahkan akan mengubah pola pikir mereka secara tidak sadar.
Howard Zinn dengan artikelnya
memberikan sebuah pencerahan dan menyadarkan para pembaca di belahan bumi ini,
yang memandang bahwa buku yang dianggapnya sebagai benda yang hanya penuh
dengan tumpukan-tumpukan kertas tak bermakna dan tak bernyawa ternyata sangat
memiliki power dalam berbagai aspek kehidupan.
Literasi (literacy) kerap didaulat
menjadi kunci yang mampu membuka pintu datangnya modernisasi, partisipasi,
empati, demokratisasi, desentralisasi ilmu pengetahuan, perbaikan taraf hidup
terutama ekonomi, serta kemajuan bangsa. Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul
“Literacy for life” menyebutkan bahwa adanya hubungan antara illiteracy (ketidakberaksaraan)
dengan kemiskinan. Di banyak negara dengan tingkat kemiskinan tinggi, seperti
Bangladesh, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambik, tingkat
ketidakberaksaraannya juga tinggi.
Penyebab pertama dari ketidakberaksaraan
terkhusus di Indonesia adalah masih kurangnya buku di Indonesia. Ketika
melansir perkembangan penerbitan buku di Indonesia yang merujuk pada laporan
UNESCO (Statistical Yearbook, 1993). Kenyataan bahwa Indonesia (masih) kurang
buku. Bila dibandingkan dengan Vietnam. Indonesia yang berpenduduk 225 juta
hanya memproduksi 8000 judul buku baru setiap tahun, sementara Vietnam dengan
80 juta penduduk telah memproduksi 15.000 judul buku. Padahal Vietnam baru
merdeka pada tahun 1968, 23 tahun setelah Indonesia merdeka (Tajuk Rencana Kompas,
31 Januari 2009).
Penyebab kedua dari ketidakberaksaraan
adalah rendahnya minat baca anak Indonesia. Berdasarkan riset lima tahunan Progress
in International Reading Literacy Study (PIRLS), yang melibatkan siswa SD,
Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia
hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.
Berangkat dari data-data
ketidakberaksaraan (Illiteracy) dan pertanyaan di atas. Gol A Gong yang
merupakan pendiri Rumah dunia (Taman Baca Masyarakat) bersama dengan Agus M.
Irkham Instruktur dari FIM (Forum Indonesia Membaca), membuat mereka mengambil
langkah kongkrit dengan menerbitkan buku yang berisikan 99 essai bergizi bagi
para pembaca dan pegiat literasi.
Sebuah tulisan akan menjadi sebuah
sejarah yang terukir keabadiannya, maka dengan menulis kita dapat memberikan
sebuah jembatan dimana agar seseorang dapat mengenang tentang kita, mengingat
kita, dan merasakan kehadiran kita meskipun kita sudah tidak ada lagi
disampingnya.
Setiap ribuan manusi yang hidup
dimuka bumi ini mempunyai wawasan yang sangat luas, tetapi tidak semua orang
menuangkan wawasannya kedalam sebuah tulisan dalam hidupnya. maka orang yang
terus menulis akan tetap muda karena kekayaan wawasannya terjaga dalam pena,
yang mengikat ilmunya dalam sebuah tulisan. Sedangkan orang yang berhenti
menulis maka akan menjadi tua.
Sebagian orang yang
mempunyai wawasan yang luas, pengetahuan yang tinggi dengan bergelarkan Master
bahkan mungkin Profesor, tetapi Tidak
ada tulisan yang diciptakan oleh mereka, hilanglah setengah ke Masteran dan ke
Profesoran mereka, ini sungguh sangat disayangkan sekali. Maka kita harus berpikir “apa yang sudah kita
berikan pada negara ini? Bukan “apa yang
sudah kita dapatka dari negara ini!, kita harus menyadari dan bangun dari mati
suri ini, bahwa pendidikan merupakan faktor penting yang berpengaruh besar terhadap pembangunan literasi. Tidak ada pembanguan jika tidak ada
pendidikan, tidak ada pendidikan jika tidak ada perpustakaan, tidak ada perpustakaan jika tidak ada buku,
tidak ada buku jika tidak ada penulis, dan tidak ada penulis jika tidak ada
budaya baca tulis (literasi). Selain itu, buku
juga berpengaruh dalam pembuatan UU, pasal-pasal yang terdapat di dalamnya.
Ingat jangan paksa masyarakat membaca jika itu belum menjadi budaya.
Masuklah mengikuti budaya yang ada, perlahan tapi pasti “membiasakan membaca”
akan mudah bagi masyarakat jika kita sudah mengenal budayanya, kita sudah
mengenal tokoh masyarakat, kita sertakan partisipasi masyarakat. Perlu keahlian
khusus bagi pustakawan jika memang
tujuan mencerdasakan masyarakat melalui TBM.
Kekurangan yang terdapat pada
artikel “Speaking Truth to Power with Books” dalam bukunya, sang penulisnya tidak
memperkenalkan buku apa yang hendak dia tulis? dan untuk siapa buku itu di
tulis? Dan ketika saya membaca paragrap awal disana terdapat banyak menanyakan
sesuatu, tapi sesuatu itu kurang dijelaskan
jawabannya. sang penulis terlalu asyik dalam dunianya tentang peristiwa yang dialaminya.
Kesimpulannya :
kita dapat ketahui dalam pembahasan oleh howard zinn yang mengatakan
bahwa bukan columbus yang menemukan benua Amerika, memang kritikan ini sangat
mengguncangkan semua orang di dunia, apalagi orang Amerika yang dahulu sangat
membangggakan Columbus sampai mereka memperingati sebagai hari besar dan
dijadikan sebagai hari libur nasional pada waktu itu, akan tetapi Howard Zinn
tidak mengungkapkan bahwa penemu benua Amerika adalah orang muslim, dan dari
data biografi Howard Zinn dia seorang yahudi, jadi kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa Howard Zinn sangat membenci umat Islam dia tidak ingin
masyarakat dunia tahu bahwa penemu benua Amerika adalah umat Islam. oleh karena itu literasi disini sangat
berperan untuk mengikat kebenaran sebuah peristiwa sejarah agar tidak ada lagi
yang mengklain penemuan orang.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)