Friday, March 7, 2014

Antara Misi dan Missing

Class Review keempat, On 28th February 2014
“Antara Misi dan Missing
            Jum’at 28 february 2014, merupakan tanggal yang paling terakhir pada bulan ini.  Tanggalan bisa saja berakhir, tetapi tidak dengan perjuangan saya dalam menempuh kehidupan khusunya dalam hal mencari ilmu.  Karena di akhir bulan February ini, saya melakukan espektasi terbaru dengan memulai jadwal perkuliahan lebih awal pada pukul 07.00WIB yang berbeda dari pada biasanya.  Semua ini hanya terjadi hanya pada mata kuliah writing 4, it’s really amazing for me!  Tetapi  disamping espektasi terbaru saya pada akhir bulan ini, tidak luput dari bimbingan dan motivasi yang diberikan oleh Mr. Lala.

            Mr.Lala mengatakan bahwa kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon membutuhkan revolution buka sekedar evolution.  Dan kampus IAIn jugmbutuhkan dosen dan mahasiswa yang mempunyai kekuatan  tahan banting.  Sehingga pada akhir bulan february ini Mr. Lala mengajak kami untuk berespektasi dan berevolusi ke arah yang lebih baik, sehingga kampus IAIN ini dapat menghasilkan mutu dan kualitas yang baik.  Setelah itu Mr. Lala mengatakan bahwa beliau bangga terhadap kami, karena dalam waktu satu bulan perkuliahan kami mampu menulis 2500 kata pada tugas critical review pertama yang kami buat kemarin.  Dan apabila di umpamakandengan pemain sepak bola, kemampuan yang kami miliki sudah bisa bermain pada liga champion.  Tetapi, saya pribadi menanamkan sifat yang tidak mudah puas dengan prestasi yang telah saya capai, karena pada pertemuan berikutnya masih ada lembah-lembah dan bebukitan yang terjal yang harus saya arungi dengan penuh perjuangan untuk mencapai puncak kesuksesan dan kebermaknaan hidup yang sesungguhnya.
            Untuk mengukur kemampuan kami dalam mengkritisi sebuah teks Mr. Lala menggambarkan skema di bawah ini: 


Next, Mr. Lala mulai memasuki area pembahasan tentang critical review yang telah kami buat, dari skema diatas Mr. Lala dapat mengukur kemampuan kami dalam menulis critical review kemarin. Beliau mengatakan seharusnya yang ada dalam paper kami kemarin, bukan hanya menghimpun ulang informasi, tetapi harus bisa mengkritisi teks yang kami baca khususnya artikel “Classroom discourse to foster religious harmony.”  Dan juga kami seharusnya fokus pada claim dan endurance yang ada pada tulisan kami jangan sampai pokok pembahasannya keluar dari topik yang seharusnya di bahas.  Sejauh ini, Mr. Lala        melihat bahwa kami    masih berada pada tahap “ reader”, karena kami masih belum fokus terhadap apa yang seharusnya di kritisi.   Tetapi, beliau juga mengatakan bahwa cara menulis itu dapat diperbaiki, hal terpenting adalah kami mampu untuk mengembangkan idea untuk menjadi kritikus yang baik.
            Selanjutnya Mr. Lala mulai  menjelaskan tentang benang merah  dari artikel yang berjudul “Classroom discourse to foster religious harmony.”

 
Wow..benang merahnya complecated juga yaaa????  Tetapi, ayo coba jelaskan satu persatu dari skema diatas.  Penjelasan pertama classroom is a “sacred sile”, maksudnya yaitu kelas merupakan tempat yang sakral dan juga suci.  Sehingga tidak bisa sembarang orang untuk masuk dan bergabung  dan ikut belajar dalam suatu kelas.  Yang kedua classroom is a complecated background.  Di dalam sebuah kelas tidak mungkin semua siswa mempunyai backgroud yang sama, tentu saja terdapat beberapa perbedaan diantaranya perbedaan etnis, misalnya etnis tionghoa, etnis batak, dan lain sebagainya.  Begitu juga dengan perbedaan latar belakang pendidikan(education), contohnya di dalam kelas XII IPA 4 terdapat beberapa siswa yang latar belakang pendidikannya berbeda, ada yang lulusan dari SMP terfavorit di daerahnya, ada yang lulusan dari MTS sambil belajar di pondok pesantren, ada juga yang lulusan dari SMP yang terletak di pedesaan. Kemudian di dalam sebuah kelas juga pasti terdapat latar belakang ekonomi yang berbeda, misalnya orang tua Rini bekerja sebagai TNI, orang tua Rossa bekerja sebagai guru, dan orang tua Rika bekerja sebagai petani.  Itu semua merupakan bukti bahwa di dalam sebuah rumpun sekecil apapun  pasti terdapat perbedaan, dan kita harus bisa menyikapi perbedaan tersebut dengan bertenggang rasa.
            Selanjutnya point yang ketiga pada classroom discourse juga terdapat “Meaning making practice”  maksudnya untuk mewujudkan religious harmony di butuhkan pembentukan makna yaitu pola pikir untuk saling menghormati antar agama, dan yang dimaksud dengan making practice itu sendiri yaitu perilaku/perbuatan yang dibangun dalam kelas untuk saling menghormati dan menghargai ditengah-tengah perbedaan yang ada.  Pada istilah meaning making practice terdapat pula ideologi dan value.   Menurut Thomas Hobbes ideologi adalah seluruh cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah, agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya.  Jadi, meskipun terdapat perbedaan di dalam dunia kehidupan ini jangan sampai perbedaan itu menguasai emosional kita, tetapi seharusnya emosional kita yang harus bisa mengendalikan perbedaan yang ada, dan kembali lagi kepada ideologi negara yaitu bhineka tunggal ika dan pancasila.  Setelah itu barulah melahirkan nilai (value) dari meaning making practice yang dibuktikan dengan sikap saling menghargai dan toleransi yang tinggi.
            Tetapi inti dari classroom discourse yaitu interaksi dan partipasi yang dibangun melalui “TALK”, karena interaksi manusia selalu berawal dari talk sehingga bisa melahirkan sikap toleransi dan disiplin.  Meskipun pada kenyataannya untuk membuktikan sikap toleransi dan disiplin bukan hanya “talk” tetapi membutuhkan juga “act”.
            Kemudian setelah Mr. Lala menjelaskan tentang inti dari classroom discourse, selanjutnya kegiatan pembelajaran kami dikelas dirubah menjadi berbentuk leter U, dan kemudian masing-masing mahasiswa di berikan kertas foto coppy’an yang di dalamya terdapat point-point penting yang harus diperhatikan dalam academic writing.  Maksud beliau memberikan foto coppy’an tersebut, agar kami mampu mengecheck sejauh mana tulisan yang kami buat, apakah sudah sesuai dengan standar penulisan academic writing atau bahkan masih kurang dan banyak mengandung restatement.  Dan setelah kami memeriksa critical review yang kami tulis, dan mengecheck point-point penting yang seharusnya ada pada paper kami, ternyata terdapat the biggest mising link pada critical review yang kami buat.  Context classroum discoursenya itu hilang, kebanyakan yang kami bahas pada paper kemarin adalah tentang keagamaan dan konflik-konflik yang menyertainnya.  Padahal yang Mr.Lala inginkan adalah context di dalam critical review kami bukan text, dan beliau juga mengatakan seharusnya pada critical review yang kami buat kemarin, kami harus bisa mengkritisi tugas kementrian agama dalam membentuk religious harmony.
            Upzz.. saya hampir lupa, sebelum pembahasan mengenai  point-pont yang harus diperhatikan dalam academic writing, Mr. Lala menampilkan sebuah slide yang di dalamnya terdapat quotes, atau kata-kata bijak yang harus kita renungi ketika membacanya.  Kemudian Mr. Lala menyuruh kedua teman saya, yaitu Iis dan Jefy untuk membaca teks yang ada pada slide power point Mr.Lala.  Pada saat Iis dan Jefy membaca quotes tersebut saya hanya bisa terdiam, merenungi, meresapi kandungan dari quotes itu.  Ternyata untuk menulis sangat dibutuhkan suasana hati yang tenang, hening, dan tentram.  Baik suasana nyata ataupun suasana hati, dan inti dari quotes tersebut adalah menulis itu sama seperti meditasi, yang membutuhkan ketenangan untuk berkonsentrasi.
            So, kesimpulan dari class review kali ini yaitu:  Kami masih berada dalam tahap reader, karena kami masih belum bisa menyajikan sesuatu yang baru dalam critical yang kami buat, karena Mr. Lala menginginkan kami untuk menjadi kritikus, bukan menghimpun ulang data!  Kemudian, inti dari classroom discourse yaitu “Interaksi” dan “Partisipasi” yang di bangun melalui “TALK”, karena pada hakikatnya interaksi manusia berawal dari “TALK”.
Thanks for nice attention
J

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment