Sunday, March 16, 2014
Created By:
Aam Amaliah
5th Class Review
بسم ا لله ا لر حمن الر
حيم
Ruang Saji untuk Mengeksplore Critical
Review
اقرأ با سم ر بك الذ ي خلق
Qur’an (96:19)
“It is during our darkest moments that
we must focus to see the light”
-Aristotles Onossis-
Lihat,
baca, resapi, dan rasakan. Beberapa kata
tersebut tak akan lepas dari proses belajar yang dilakukan setiap orang. Begitupun dalam kelas writing, setiap proses
produksi kata, membaca referensi-referensi yang akan menguatkan tiap kata yang
tertoreh. Jari jemari ini kembali
menari, menorehkan kata demi kata dalam sebuah tumpukan kertas bersampul
biru. Menorehkan rangkaian kata yang terekam
dari penjelasan Mr. Lala dikelas
hari jum’at (07 Maret
2014).
Speechless,
ketika Mr. Lala mengungkapkan bahwa hasil critical review kedua sudah mendekati
apa yang Beliau maksudkan. Ada rasa
senang, namun tak terlalu membuncah dalam dada karena memang masih banyak hal
yang perlu diperbaiki, diantaranya :
Ø Kekurangan dalam
critical review :
1.
Generic
structure yang belum tersaji dengan jelas
Generic
structure critical review yang meliputi; introduction, summary, main body
(critique), conclusion dan references belum tergamblangkan dalam text critical
review kemarin.
2.
Referensi
yang kurang jelas
Penulisan
sumber kutipan dalam teks tersebut masih “ngambang”. Memang referensinya telah dicantumkan
dibagian akhir teks, namun ada pola penulisan referensi yang hilang.
3.
Pemunculan
jati diri penulis, kritikan yang harusnya lebih banyak muncul, belum
teraplikasikan. Voice tiap-tiap
mahasiswa-pun belum matang, dan belum terlihat di dalam ratusan bahkan ribuan
kata yang telah diproduksi.
4. Terjebak dalam hal-hal sepele yang seharusnya tidak diutamakan banyak dibahas
dalam critical review tersebut.
5. Tidak akrab dengan kata kunci yang disebut classroom discourse.
6. Menceritakan fakta-fakta tentang konflik
agama tanpa menunjukkan titik pandang yang jelas dan tegas.
Selain kesalahan dalam critical review
yang telah dipaparkan diatas, ada pula kesalahan-kesalahan dalam penulisan
class review. Ada beberapa poin yang
hilang, yakni “referensi” khususnya pembahasan tentang classroom discourse
analysis yang harusnya dijelaskan lebih dalam di class review yang diambil dari
beberapa sumber. Untuk melengkapinya
dibawah ini akan dijelaskan sedikit tentang classroom discourse analysis dari
Betsy Rymes dalam bukunya “Classroom Discourse Analysis : A Tool for Critical
Reflection”.
Classroom discourse analysis
diparafrasekan sebagai bahasa yang digunakan dalam situasi kelas, konteks kelas
(dengan pemahaman bahwa konteks ini dipengaruhi oleh beberapa konteks sosial di
luar dan didalam kelas) untuk memahami bagaimana konteks dan komunikasi yang
memepengaruhi satu sama lain. {Betsy Rymes (2008:17)}
"The Classroom" adalah konteks utama dan paling jelas
untuk discourse yang dibahas dalam sesi ini. Namun, " konteks " untuk
classroom disccourse analysis juga meluas di luar kelas, dan dalam komponen
yang berbeda pembicaraan kelas, untuk mencakup konteks yang mempengaruhi apa
yang dikatakan dan bagaimana hal itu ditafsirkan di dalam kelas.
Konteks dapat dibatasi oleh batas-batas yang sesuai
fisik bahasa di rumah mungkin berbeda dari bahasa yang sesuai di sekolah,
tetapi konteks juga tidak dapat dibatasi oleh batas-batas fisik, tetapi oleh
batas-batas yang sesuai wacana bahasa dalam pelajaran yang mungkin berbeda dari
bahasa yang sesuai setelah pelajaran berakhir (bahkan, sekalipun sambil duduk
di meja yang sama). Meskipun kita akan
melihat pembicaraan yang terjadi di dalam kelas, semuanya mengatakan dalam
kelas juga dipengaruhi oleh berbagai tingkat konteks di luar kelas. Dan, banyak
bentuk discourse memiliki arti yang berbeda jika terjadi dikelas dibandingkan
jika mereka terjadi di luar kelas.
Manfaat mempelajari classroom discourse
analysis adalah :
a.
Untuk memehami, secara umum,
perbedaan komunikasi antara kelompok-kelompok sosial.
b.
Belajar bagaimana melakukan
Classroom discourse analysis (bukan hanya analisis wacana membaca yang
dilakukan oleh orang lain) adalah setelah dilengkapi dengan metode analisis
wacana, guru terbaik terletak untuk mempelajari wacana lokal dan selalu merubah
pola khusus untuk kelas mereka sendiri.
(Betsy Rymes, 2008:8)
c.
Akan memfasilitasi proses komunikasi
di kelas dan juga proses belajarnya.
d.
Akan meningkatkan prestasi sekolah
jika guru memahami berbagai bentuk komunikasi di kelas mereka, misalnya:
·
Ketika guru menemukan bahwa
mahasiswa asli Amerika mereka belajar terutama dari saudara dan rekan-rekan di
rumah, mereka menemukan bahwa proyek kelompok pekerjaan daripada instruksi guru
- fronted difasilitasi keberhasilan sekolah (Phillips,1993).
·
Setelah guru dalam studi Heath dari
Appalachia pedesaan belajar tentang pola pertanyaan yang berbeda di kalangan
siswa tertentu , mereka mampu mengubah pola mengajar mereka dengan cara yang
mendorong pembicaraan di kalangan mahasiswa (Heath,1982) dan kinerja kelas
ditingkatkan.
·
Dalam meninjau beberapa studi,
Cazden menemukan bahwa sekali kita mempertimbangkan aspek interaksi belajar
seperti topik, tugas, siapa yang mengajukan pertanyaan, dan bagaimana mereka
berbingkai siswa lebih mampu memberikan kontribusi yang berarti tanggapan (Cazden
, 1972)
Studi-studi diatas menunjukkan untuk berhati-hati
mempelajari interaksi di kelas dan menata ulang cara bicara yang harusnya sesuai
karena dapat menyebabkan lebih produktif dan interaksi - interaksi inklusif
yang mungkin untuk memberikan kontribusi untuk keberhasilan siswa.
d. Untuk mempelajari
teknik classroom discourse, yang berarti bahwa berlatih wacana kelas di kelas
Anda dapat meningkatkan pengalaman mengajar secara keseluruhan, dan membuat
Anda terlibat secara intrinsik dalam kegiatan profesional Anda sebagai seorang
guru.
Sementara itu, kita tidak harus
mengabaikan fakta bahwa prestasi siswa meningkat seringkali merupakan hasil
dari analisis yang cermat dan refleksi yang terlibat dalam discourse analysis,
dalam banyak kasus penelitian guru dan classroom discourse analysis, proses itu
sendiri adalah produk yang berharga. Cerita dan penelitian dari para guru yang
melakukan analisis wacana di kelas mereka sendiri menunjukkan bahwa classroom
discourse analsysis dapat menumbuhkan kecintaan mengajar seumur hidup.
Dalam buku tersebut Betsy Rymes juga menunjukkan mengapa harus buang-buang waktu untuk menganalisis hal
tersebut, alasannya yaitu:
a.
Wawasan yang diperoleh dari analisis
wacana kelas (classroom discourse analysis) telah meningkatkan saling pemahaman
antara guru dan siswa;
b.
Dengan menganalisis wacana kelas (classroom
discourse analysis) sendiri, guru telah mampu memahami perbedaan lokal dalam
wacana kelas, dan akan melampaui stereotip atau generalisasi budaya lainnya;
c.
Ketika para guru menganalisis wacana
di kelas mereka sendiri, maka prestasi akademik mereka meningkat; dan
d.
Proses melakukan analisis wacana
kelas dengan sendirinya menumbuhkan kemauan intrinsik dan cinta seumur hidup
untuk praktek mengajar dan umumnya meneguhkan potensial hidupnya. (Betsy Ryms, 2008:5)
Itulah sedikit gambaran tentang classroom discourse
analysis menurut Betsy Rymes. Kembali ke pembahasan kekurangan-kekurangan dalam
class review juga critical review yang telah dikoreksi oleh Mr. Lala. Semua itu (harusnya) bisa menjadikan
tulisan-tulisan kita kedepannya lebih baik lagi karena jika tidak, maka weakness yang masih diampuni oleh Mr. Lala akan
terulang lagi. Dan hal itu akan membuat
kita dicap “mistake” kemudian jika
kesalahan itu diulang lagi maka akan dianggap “ignorance”,
apalagi jika kemudian diulang-diulang lagi maka predikat terparah akan
menghampiri kita, yakni “Insane”. Semoga kedepannya bisa lebih baik lagi, dan
kekurangan-kekurangan tersebut tidak terulang lagi.
Kemudian dalam slide power pointnya Mr. Lala
menunjukkan beberapa kata kunci writing research and teaching menurut Ken Hyland, dalam bukunya Teaching
and Researching Writing yang mengatakan ada 6 persoalan kunci dalam
menulis. Enam persoalan tersebut adalah
mengenai context, literacy, culture,
technology, genre dan identity.
Berikut merupakan penjabaran dari isu-isu tersebut :
1.
Context
Dalam menulis, membentuk suatu teks tidak akan
terlepas dari yang namanya context. Context
dilihat sebagai latar belakang yang terpisah dari teks, yang dalam peran dan jenis
tertentu merupakan informasi tambahan yang bisa dijadikan bantuan dalam
memahami teks (Lehtonen : 2000).
Guy Cook dalam Lehtonen (2000:114) menyebutkan dimensi yang berbeda
dari context dalam bukunya yang berhubungan dengan iklan. Menurutnya
Konteks mencakup semua hal berikut :
Konteks mencakup semua hal berikut :
1. substansi
: materi fisik yang membawa teks
2. musik
dan gambar
3. paralanguage
: perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti
kualitas suara, gerak tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan, dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf ( secara tertulis )
kualitas suara, gerak tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan, dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf ( secara tertulis )
4. Situasi
: sifat dan hubungan objek dan orang-orang di sekitar
teks, seperti yang dirasakan oleh pembaca.
teks, seperti yang dirasakan oleh pembaca.
5. co
- teks : teks yang mendahului atau mengikuti analisis, sebagai penilaian dari
pembaca
6. intertext
: teks yang dianggap sebagai milik wacana lain
7. participant
: niat dan interpretasi penulis, pengetahuan dan keyakinan ,
sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan.
sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan.
8. Function : apa yang dimaksudkan teks
Makna dari teks tidak terletak di dalam kata yang
dituliskan oleh penulis dan dikirimkan kepada pembaca. Akan tetapi makna akan
tercipta antara penulis dan pembaca selama mereka merasakan teks dalam cara-cara yang berbeda,
masing-masing menduga maksud/tujuan dari yang lain (Hyland : 2009).
Van Dijk (2008 : viii). Dalam bukunya melihat konteks sebagai
sekelompok variable statis yang mengelilingi penggunaan bahasa. Kita harus melihatnya dilantik sebagai
interaktif social berkelanjutan dan terikat oleh waktu (Duranti and Goodwin,
1992). Konteks mungkin intuitif meliputi
segala sesuatu. Cutting (2002:3)
menyatakan bahwa ada tiga aspek utama konteks dalam penafsiran ini.
a.
situasional context: apa yang
diketahui masyarakt tentang apa yang dapat mereka lihat disekitar mereka.
b.
background knowledge : apa yang
diketahui masyarakat tentang dunia, aspek kehidupan, saling mengenal satu sama
lain.
c.
Co-textual : apa yang masyarakat
ketahui tentang apa yang mereka telah katakan.
2.
Literacy
Menulis dan
menbaca adalah action dari literasi.
Bagaimana kita menggunakan sebuah bahasa dalam kehidupan kita. Konsep modern literasi melihat menulis
sebagai practice of literasi bukan sebagai skill abstrak dimana seseorang
menggunakan sebuah teks. (Hyland : 2009).
Scribner dan
Cole (1981 : 236) mengatakan bahwa literasi tidak hanya mengetahui cara membaca
dan menulis maskah tertentu, tetapi menerapkan pengetahuan ini untuk tujuan
tertentu dalam konteks tertentu yang digunakan.
Ini adalah layak dipertimbangkan.
Peran keaksaraan membantu kita untuk memahami bagaimana orang hidup yang
masuk akal melalui praktik rutin menulis dan membaca. Pandangan keaksaraan sosial : literasi adalah
kegiatan social dan jauh lebih baik dijelaskan dalam hal praktik keaksaraan. Praktik keaksaraan masyarakat terletak dalam
hubungan social yang lebih luas sehingga perlu untuk menggambarkan pengaturan
peristiwa keaksaraan, praktik keaksaraan berpola lembaga-lembaga social dan
kekuasaan hubungan dan beberapa kemahiran yang dominan, terlihat dan
berpengaruh daripada yang lain. Litersi
didasarkan pada system symbol sebagai cara untuk mewakili dunia kepada orang
lain dan diri sendiri. Sikap dan
nilai-nilai yang berkaitan dengan panduan keaksaraan tindakan kita untuk
komunikasi.Sejarah kehidupan kita mengandung banyak peristiwa keaksaraan
darimana kita belajar dan yang memberikan kontribusi hingga saat ini, sebuah peristiwa
keaksaraan juga memiliki sejarah social yang membantu menciptakan arus praktek.
Contohnya seejarah tentang Amerika, penemu benua Amerika.
3.
Culture
Budaya
secara umum dipahami sebagai historis ditransmisikan dan jaringan sistematis
makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan
mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia. (Lantolf :
1999). Akibatnya, bahasa dan
pembelajaran dikepung oleh budaya. Hal
ini sebagian karena nilai-nilai budaya kita tercermin dalam dan dilakukan
melalui bahasa (Hyland : 2009)
4.
Technology
Zaman
sekarang merupakan zaman serba canggih dimana orang dapat dikatakan berliterate
bukan hanya dari kemampuan membaca dan menulis saja tetapi juga berdasarkan
kemampuannya dalam menguasai teknologi.
Technology memiliki dampak yang besar dalam cara kita menulis, genre yang kita buat. Teknology sangat berpengaruh pada writing,
salah satu pengaruhnya adalah membantu menciptakan, mengedit, dan
mempublikasikan teks ke khalayak umum. (Hyland, 2009)
5.
Genre
Genre adalah
istilah untuk mengelompokkan teks bersama-sama, mewakili bagaimana penulis
biasanya menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi berulang. Genre
mendorong kita untuk mencari pola organisasi, atau cara-cara yang teks retoris
terstruktur untuk mencapai tujuan sosial. {Hyland (2009:15)}
Genres are recognized types of communication actions,
which means that to participate in any social event, individuals must be
familiar with genres they encounter there.
Because of this genre is now one of the most important concepts in language
education today {Hyland (2009: 63)}.
6.
Identity
Identitas
mengacu pada cara-cara orang menampilkan
siapa mereka pada satu sama lainnya (Benwell dan Stokoe, 2006 : 6). Hubungannya dengan menulis, identitas
memperkenalkan siapa penulis yang dapat dilihat dari voice dalam tulisannya. Identitas
buka sesuatu yang kita miliki tetapi sesuatu yang kita lakukan. Identitas
dipandang diskontruksi oleh terlibatnya teks kita dan pilihan bahasa yang kita
buat sehingga identitas bergerak dari pribadi ke ranah public. (Hyland: 2009).
Kemudian mengenai
intertekstualitas, Bakhtin dalam Hyland menunjukkan bahwa wacana lain, baik
saat mereka berubah dari waktu ke waktu dan mereka sama di setiap titik waktu.
Intertextualitas merupakan hal yang teks bisa dihindari, sebab setiap teks
bergantung, mengucap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya. {Culler
(1981:104)}
Culler
(1981:103) menekankan intertextualitas dalam dua fokus bagian yakni:
1. Penyadaran
posisi penting prior teks (teks-teks terdahulu)
2. Intelligibility
(tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna yang ditentukan oleh
kontribusi teks-teks terdahulu.
Setelah
menjelaskan tentang kekurangan-kekurangan yang masih nampak di critical review
dan juga class review sebelumnya, Mr Lala memberikan semua mahasiswa untuk
menulis teks tentang Howard Zinn.
Dan
dibawah ini adalah sebagian isi “creative process” dikelas writing kemarin :
Dari
semua penjelasan diatas dapat dijadikan pelajaran dan pedoman untuk mengerjakan
tugas-tugas berikutnya, tidak hanya tugas class review, critical review, tapi
juga tugas-tugas lainnya. Yang pada
intinya harus bersungguh-sungguh dalam meengerjakan setiap tugas, tidak hanya
asal jadi, dan asal selesai, tapi harus sebaik mungkin. Dan untuk mencapai hal tersebut diperlukan
berbagai upaya salah satunya membaca, melihat semua aspek yang ada
disekitarnya, mencari referensi dari sumber lain.
“The
best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched -
they must be felt with the heart.”
-Hellen
Keller -


Subscribe to:
Post Comments (Atom)