Sunday, March 16, 2014

REVISI LAGI



On March, 7th 2014
Class Review 5
REVISI LAGI

            Ilmu semakin diketahui maka akan semakin bermunculan dan  banyak pulalah yang tidak diketahui.  Sadar atau tidak, dalam belajar tidak akan ada kata stop di situ saja, akan timbul berbagai hal yang belum diketahui.  Kenapa hasilnya seperti ini, bagaimana bisa seperti ini atau sebagainya.  Seperti kita saja belajar setiap hari, memasukkan setiap materi yang diberikan. Pernahkah kita merasa lengkap dalam menulis itu semua??  Tentu tidak.  Masih banyak kekurangan di tulisan ini.  akan bermunculan hal-hal baru setelah menulis satu hal, mengaitkan dengan berbagai sumber atau pun memperbanyak referensinya masih kurang.  Kadang saya berfikir apa yang saya tulis sudah lebih dari cukup, tapi ternyata masih sangat banyak kekurangannya.

            Jum’at pagi pukul 07.01, 7 Maret 2014.  Kali kedua kita menantang sang mentari, beradu cepat dengan anak-anak SD.  Mr.  Lala berkata bahwa reader yang baik yaitu:
-          Selalu bissa menemukan sesuatu ketika reader lain tidak bisa menemukannya.
-          Bisa mempresentasikan apa yng ada dalam fikiran orang.
Kemudian juga, dalam menuliskan sebuah teks kita harus memerhatikan general structurenya.  Jika tidak memerhatikan hal ini, maka dapat dikatakan tulisan kita weakness.
Masih terdapat kekurangan yang saya tulis dalam critical review tentang Howard Zinn.  Kurang immpresive dalam membahas materi yang didapat tentang Howard Zinn.  Kita mendapat tugas untuk mengkritik Zinn, tentu untuk mengkritik itu harus mencaari kekurangan atau kelemahan apa yang dimiliki Zinn.  Tentu bukan hal mudah, tapi tidak adda yang tidak mungkin.  Sama seperti ketika Howard Zinn mengkritik Morrison (buku : Mariner).  Zinn mengungkapkan “. Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi.”  Ada yang menarik ketika kita sebenarnya juga bisa melempar kritik yang serupa pada Zinn. Bahwa ia juga sedang mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejarah, bahwa ia menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain. Lalu apa bedanya ia dengan Morison? Zinn sebenarnya tak lebih dari petinju dari sudut ring yang berbeda. Jika Morison menulis dari kacamata sang pemenang, Zinn lah corong sang pecundang.
            Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dala devinisi spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik.
            Dibawah ini adalah hasil pertama dari karya mendadakan dikelas tentang Howard Zinn, pandangan kita terhadapnya.  Masih sangat jauh dari harapan memang, tapi ini akan saya jadikan sebagai pelajaran untuk membuat adonan tulisan yang lebih mantap lagi.
                                                      HOWARD ZINN
            Howard zinn is  critical writer from Amerika.  He was born in New York on August, 24th 1922.  He is from Yahudi’s family, his father name is Edward Zinn and mother is Jennie Zinn. A People’s History of the United States is one of book which has maked a controversi in the world.  Its because in his book, he made a statement that Christopher Columbus isn’t inventor of America and so many people from other country dissagree with it, especially for genuin citizen who was born and grew up there.  They beliefe that Columbus is an inventor of America and Zinn is just nonsense.
            I am proud of Zinn because he have a strange to opened the truth of historycal American and he did’t afraid if every people would be hating him.  Zinn was said that American must know about the TRUTH, historycal of America not TRUTH about the falsehood Columbus.  According to Zinn, Columbus was liing american.  Columbus is liar, murderer, pillager, rasism, and he did genosid to Arawaks. But, he just give statement that Columbus isn’t inventor never give who is real inventor of America.  Its a weakness from Howard Zinn.  If he write who is real inventor of American (of course with strong evidence), I think people can accept his critical.  The people will not refuse with evidence ..

            Tulisan yang berwarna merah tidak harus dimasukkan.  Karenaa tidak semua orang suka dan tahu tentang Howard Zinn.  Haruss informative dalam memberikan argument terhadap Zinn, jangan cuman berisi “he iss..he is a writer... tapi bissa diganti dengan Howard Zinn, a well-know United America anthropologist), ungkap Mr.  Lala. 
            Mulai prepare untuk critical review in english dalam bahassa ke 2, L2 yaitu bahasa Inggris cukup dengan 1000 kata saja.  harus impresssive.  Tentu dengan mengharapkan hasil yang luar biasa dan hebat.  Ingat, kita hebat bukan karena otak kita tapi karena kemauan belajar untuk mendapatkan apa yang kita tuju.
            Ada 4 tingkatan kesalahan yang harus diketahui.  Dari yang masih bisa dimaklumi dan diperbaiki samapi ke tingkat kronis.
            Pembahasan berikutnya yaitu tentang key issue in writing researchand teaching (Hyland 2002;2009).  Ada 6 point penting yang harus diketahui dalam menulis, yaaitu:
1.      CONTEXT
Dalam sebuah tulisan ada sebuah pengembangan yang nantinya akan sampai ke ranah konteks yang lebih tinggi lagi.  Context tidak/bukan terletak pada kata yang terdapat dalam tulisan, tapi terbentuk melalui interaksi yang diciptakan.  Kita mengenali maksud/arti bukanlah dari kata-kata yang ditulis kemudian dibaca oleh orang lain begitu saja, tetapi melalui adanya interaksi yang dihasilkan antara penulis dan pembaca tersebut didalam tulisan.
            Seorang penulis harus bisa melihat sasaran variabel dari tulisan  tersebut, seperti dilihat dari tingkatan kelass, jenis kelamin, ras dan lainnya.  Penting untuk para penulis memerhatikan hal tersebut.
            Van Dijk (2008)menyatakan bahwa context adalah “It is not the social situation that influences (or is influenced by) discourse, but the way the participants define such a situation. Contexts thus are not some kind of ‘objective’ condition or direct cause, but rather (inter)subjective constructs designed and ongoingly updated in interaction by participants as members of groups and communities. If they were, all people in the same social situation would speak in the same way. Contexts are participant constructs”.  Van Dijk menggolongkan context kedalam 3 aspek, yaitu:
1.      Situational Context
Dilihat dari situasi tentang apa yang dilihat dan dirasakan dalam situasi itu.
2.      Background Knowledge
Megetahiu secara global aspek hidup melalui sebuah interaksi.
3.      Co-textual context
Apa yang sudah diucapkan

Jika diatas adalah menurut Van Dijk, maka berbeda dengan pandangan Halliday.  Ada 3 aspek tentang context menurut Halliday (1985), yaitu:
1.      Field :interaksi sosial, apa yang terjadi
2.      Tenor : lebih terhadap participant, peran dan hubungan
3.      Mode : peranan bahasa

2.      LITERACY
Menurut Scriber and Cole (1981;236) literasi adalah “literacy is not simply knowing how to read and write a particular script but applying this knowledge for specific purpose in specific context of us”.  Jadi, literasi tidak hanya membaca-tulis saja tetapi mampu menerapkan bac-tulis untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu.
Menulis yang dibarengi dengan membaca adalah sebuah literasi tentang bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.  Konsep literasi modern mendorong kita untuk melihat tulisan sebagai praktik sosial, bukan hanya sebagai keterampilan abstrak.

Pandangan Sosial Literasi:
1.      Literasi adalah kegiatan sosial
2.      Orang0orang memiliki kemahiran yang berbeda-beda yang berhubungan dengan nilai kehidupan
3.      Praktek literassi masyarakat terletak dalam hubungan/ interaksi sosial yang lebih luas
4.      Literasi didasarkan pada sistem simbol
5.      Sikap dan nilai-nilai yang berkaitan dengan literasi merupakan tindakan untuk berkomunikasi
Barton dan Hamilton (1998:6) mendefinisikan praktek literasi sebagai cara umum berbudaya dalam memanfaatkan bahasa.  Kemudian Barton dan Hamilton (1998:7) menyatakan “ bagaimana teks diproduksi dan digunakan dalam berbagai aktivitas adalah aspek kunci literasi.

3.      CULTURE
Culture memiliki peraan yang penting dalam perkembangan literasi.  Seperti yang dikatakan Lantolf (1993) “ Budaya secara umum di pahami sebagai historis yang ditransmisikan dan jaringan sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia”.  Hal ini sebagai bukti karena nilai-nilai budaya kita tercermin dan dilakukan melalui bahasa.  Kramsch (1993) menyatakan bahwa pelajaran dan bahasa dibalut oleh culture.

4.      TECHNOLOGY
Orang berliterat tidak hanya mahir baca-tulis saja, tapi juga harus melek teknologi.  Teknologi memiliki dampak yang besar dalam perkembangan tulisan kita, genre dan identitas.  Dengan teknologi, akan lebih memudahkan untuk menulis karena kita dapat mengakses lebih luas lagi tentang sumber yang tengah dikaji; mencari tambahan referensi misalnya.  Teknologi juga mempermudah tulisan untuk dikenalkan ke dunia luar secara lebih luas lagi (menggunakan social network).

Efek teknologi pada writing
·         Teknologi dapat mengubah-menciptakan karya tulis, mengedit teks ddan mengoreksi
·         Mampu mengkombinasikan teks tertulis dengan media visual dan audio
·         Cepat dan mudah mengakses dan mempublikasikan
·         Memperluas ruang lingkup pembaca
·         Memfasilitasi massuk ke komunikasi wacana online

Secara nyata, kita telah meraskan manfaat teknologi dan peranan  teknologi terhadap dunia literasi.  Contohnya saja, tugas writing baik itu class review, critical review harus kita upload ke blog yang memungkinkan tulisan kita dibaca oleh semua orang, tanpa dibatasi ruang.

5.      GENRE
Genre disini sebagai komunikasi tindakan.  Yang berarti kegiatan partisipan dalam acara sosial, diskusi, dan sebagainya.  Ini akan dihadapkan pada aliran/genre dari tiap-tiap individu itu sendiri (Hyon, 1996: Johrs, 2002).
Ada 3 pendekatan dalam genre, yaitu:
1.      System Functional Views
2.      English for Specific Purpose
3.      The “New rhetoric”

6.      IDENTITY
Identitas adalah cara seseorang menampilkan siapa mereka terhadap orang lain (Benwell dan Stokoe, 2006: 6).  Identitas juga dipandang sebagai constructed (sesuatu yang dibangun oleh kedua teks yang saling berkaitan → keterkaitan antara penulis dan teks yang ditulisnya).  Dari hubungan itulah terjadi pergerakan /perkembangan dari yang tadinya identitas pribadi merambah ke ranah publik.
Pengertian identitas itu sendiri dalam dunia writing adalah bukan sesuatu  yang kita miliki tetapi sesuatu yang kita lakukan.  Seperti yang Bloemmaert (2005) katakan bahwaa bagaimanpun identitas kita, hanya akan sukses/berhasil jika diakui oleh orang lain.

Dari ke enam point diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam dunia writing mengandung cakupan yang sangat luas, yang harusnya dimiliki dan mampu dipahami oleh para calon-calon penulis.  Dengan tujuan agar tulisan tersebut diterima masyarakat.
Selain harus mahir membaca dan menulis, kita juga harus mementingkan aspek-aspek penting para pembacanya, seperti Bakhtin (1986) yang dikutip dalam Hyland (2002) mengenai isu interteksualitas: bahasa ideologis: percakapan antara penulis dan pembaca dalam suatu kegiatan yang sedang berlangsung.
Intertekstualitas menurut Bakhtin menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana yang lainnya, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu dan dalam kesamaan mereka dalam setiap titik waktu.
 Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5). Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan  adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain: (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji; (5) yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya (melalui Napiah, 1994: xv).

Berdasarkan prinsip dan kaidah intertekstual yang dikemukakan Kristeva, Napiah membuat beberapa rumusan, antara lain: (1) pendekatan interteks ternyata mempunyai kaidah atau metodologi tersendiri. Kaidah itu mencoba meneliti bahwa sastra merupakan suatu proses pengolahan, pembinaan, dan pencemaran dua aspek, yaitu aspek dalaman dan aspek luaran, yang saling membantu untuk membentuk sebuah karya; (2) intertekstualitas juga melihat adanya berbagai bentuk hadirnya sebuah teks yang menjadi dasar motif dan aspirasi pengarangnya. Pengambilan atau penggunaanteks luaran menunjukkan kesediaan pengarang untuk memperkukuh karyanya, atau merupakan penolakan terhadap ide, makna, dan unsur lainnya yang bertentangan dengan paham atau aspirasi pengarang; (3) proses intertekstualitas tidak dapat dipisahkan dari hasrat, aspirasi, dan ideologi pengarang. Oleh karena itu, penelitian terhadap sebuah teks akan mencerminkan sikap dan aspirasi pengarang itu sendiri (1994: xv-xvi).
Dalam konsep intertekstual, teks yang menjadi dasar penciptaan teks, yang ditulis kemudian, dipandang sebagai bentuk hipogram (Riffatere 1978: 23). Karya yang diciptakan berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena mentransformasikan hipogram itu.
Unsur-unsur yang diserap sebuah teks dari teks-teks hipogram yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau berbagai unsur intrinsik yang lain, bahkan dapat pula berupa sifat kontrakdisinya, akan menghasilkan sebuah karya yang baru sehingga hipogramnya mungkin tidak dikenali lagi, atau bahkan dilupakan (Riffatere 1978:165). Hal itu memungkinkan lahirnya dua buah karya yang mempunyai tema sama, tetapi berbeda cara penyajian ceritanya. Demikian sebaliknya, terdapat cara penyajian ceritanya yang sama, tetapi berbeda dari segi temanya (Culler 1977: 241).
Menurut Kristeva setiap teks, termasuk teks sastra, merupakan mozaik kutipan- kutipan dan merupakan tanggapan atau penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Oleh karena itu, suatu teks baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan teks-teks lain (Teeuw 1983:65). Menurut Riffatere, teks tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu disebut hipogram. Selain itu, teks yang menyerap (mentransformasi) hipogram itu disebut teks transformasi. Hubungan antara teks yang terdahulu dengan teks yang kemudian itu disebut hubungan intertekstual. Intertekstual adalah fenomena resepsi pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibacanya dan dilibatkan dalam ciptaannya.

Hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual (Riffatere 1978:23).
-          Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial itu adalah matrik yang merupakan inti dari teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana.
-          Hipogram aktual adalah teks nyata, yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama dan bahkan alam semesta (dunia) ini adalah teks (Pradopo 2003:132).
Oleh sebab itu, hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat berupa adat-istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut direspons atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan atau penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan kepada pembaca (Soeratno dalam Jabrohim 2003:147).
Untuk mengungkapkan adanya hubungan interteks dalam penelitian biasanya didasarkan pada resepsi aktif pengarang dan resepsi pembaca sebagai pengkaji. Maksudnya, pembaca dalam hubungan ini adalah pembaca sebagai pengkaji. Pengkaji pada dasarnya juga pembaca yang dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalamannya berada dalam rangkaian pembacaan yang terakhir. Dengan demikian, latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memengaruhi makna yang diungkapkannya (Soeratno dalam Jabrohim 2003: 150).
Setelah membahas beberapa materi, saya akan kembali membahas ranah classroom discourse yang belum dan masih kurang lengkap dari pembahasan terdahulu. 
Discourse analysis adalah studi bagaimana language-in-use dipengaruhi oleh konteks penggunanya (seluruh wacana buku didefinisikan sebagai “language-in-use”).  Didalam kelas, konteks dapat berkisar dari pembicaraan dalam sebuah pelajaran.  Discourse analysis class akan menjadi analisis wacana kritis ketika para peneliti kelas mengambil efek ddari konteks variabel tersebut menjadi pertimbangan dalam analisis mereka (Betsy Rymes, 2008).
Discourse analysis melibatkan penyelidikan bagaimana wacana (language-in-use) dan konteksmempengaruhi satu sama lain.  Itulah kenapa terkadang seseorang akan mengatakan sesuatu dengan cara tertentu dan memasukkan konteks sebelumnya yang telah digunakan/previous context (Rymes)
Shirley Brice Heath (1983) mendokumentasikan bagaimana sosialisasike beberapa rumah dalam pemecahan masalah akan bisa mempengaruhi prestasi dari siswanya.  Hal ini digambarkan dalam sebuah contoh workbook di Piedmont Carolinas.

Dalam satu kelas,banyak siswa memberikan jawaban pada workbook (dimana siswa harus melingkari nomor yang benar dibawah setiap gambar) sebagai 2+2=2.  Walau bagaimanapun jawaban yang tepat adalah 4. 2+2=4, pada pendidikan sekolah.  Tapi pada prakteknya, 2 traktor + 2 trailer = 2 kombinasi traktor/trailer.  Lalu, siapa yang salah?nnguru memiliki kewenangan yang sah di dalam kelas, para siswa tidak memahaminya.   Karena, padda kenyataannya guru adalah orang luar dalam sebuah interaksi siswa dan tidak mengetahui situasi kerja siswa, benarlah jika dia disalah pahami oleh anak-anak.
Dengan memahami sumber missunderstood tersebut, guru akan memahami bagaimana cara berinteraksi dan belajar yang baik dengan siswanya.
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam dunia writing, kita harus mengetahui banyak aspek untuk menyelesaikan tulisan yang akan diciptakan.  Aspeek tersebut terdiri dai context, literacy, culture, technology, genre dan identity.  Hadirkan disetiap tulisan yang dibuat dengan ciri khas kita, yang hanya dimilki oleh kita.  Ini bertujuan agar pembaca akan mudah mengenalinya.


REFERENSI


Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics, Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
Hyland, Ken. 2009.  Teaching and Researching writing (second edition). 

Jabrohim (ed.) 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art.
Oxford: Basil Blackwell.
Riffaterre. Michael. 1978. Semiotic of Poetry. London: Metheun & Co. Ltd.
Rymes, Betsy. 2008. Classroom Discourse Analysis: A Tool for Critical Reflection. Cresskill, NJ: Hampton Press.
Worton, Michael dan Judith Still. 1990. Intertextuality and Practices. New York: Manchester University Press.
Teori_intertekstual.pdf
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment