Sunday, March 16, 2014
Created By:
Devi Risnawati
Class
Review 5
REVISI
LAGI
Ilmu semakin diketahui maka akan
semakin bermunculan dan banyak pulalah
yang tidak diketahui. Sadar atau tidak,
dalam belajar tidak akan ada kata stop di situ saja, akan timbul berbagai hal
yang belum diketahui. Kenapa hasilnya
seperti ini, bagaimana bisa seperti ini atau sebagainya. Seperti kita saja belajar setiap hari,
memasukkan setiap materi yang diberikan. Pernahkah kita merasa lengkap dalam
menulis itu semua?? Tentu tidak. Masih banyak kekurangan di tulisan ini. akan bermunculan hal-hal baru setelah menulis
satu hal, mengaitkan dengan berbagai sumber atau pun memperbanyak referensinya
masih kurang. Kadang saya berfikir apa
yang saya tulis sudah lebih dari cukup, tapi ternyata masih sangat banyak
kekurangannya.
Jum’at pagi pukul 07.01, 7 Maret
2014. Kali kedua kita menantang sang
mentari, beradu cepat dengan anak-anak SD.
Mr. Lala berkata bahwa reader
yang baik yaitu:
-
Selalu bissa menemukan
sesuatu ketika reader lain tidak bisa menemukannya.
-
Bisa mempresentasikan
apa yng ada dalam fikiran orang.
Kemudian
juga, dalam menuliskan sebuah teks kita harus memerhatikan general structurenya. Jika
tidak memerhatikan hal ini, maka dapat dikatakan tulisan kita weakness.
Masih
terdapat kekurangan yang saya tulis dalam critical review tentang Howard
Zinn. Kurang immpresive dalam membahas
materi yang didapat tentang Howard Zinn.
Kita mendapat tugas untuk mengkritik Zinn, tentu untuk mengkritik itu
harus mencaari kekurangan atau kelemahan apa yang dimiliki Zinn. Tentu bukan hal mudah, tapi tidak adda yang
tidak mungkin. Sama seperti ketika
Howard Zinn mengkritik Morrison (buku : Mariner). Zinn mengungkapkan “. Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia
bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks.
Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur
dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan
untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta
pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah
kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah
pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi.” Ada yang menarik ketika kita sebenarnya juga
bisa melempar kritik yang serupa pada Zinn. Bahwa ia juga sedang mengambil
sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejarah, bahwa ia menekankan fakta fakta
yang ia suka dan melewatkan yang lain. Lalu apa bedanya ia dengan Morison? Zinn
sebenarnya tak lebih dari petinju dari sudut ring yang berbeda. Jika Morison
menulis dari kacamata sang pemenang, Zinn lah corong sang pecundang.
Yang menarik dari buku
Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua
baru dan komitmen pada kaum subaltern
dala devinisi spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik.
Dibawah ini adalah hasil
pertama dari karya mendadakan dikelas tentang Howard Zinn, pandangan kita
terhadapnya. Masih sangat jauh dari
harapan memang, tapi ini akan saya jadikan sebagai pelajaran untuk membuat
adonan tulisan yang lebih mantap lagi.
HOWARD
ZINN
Howard zinn
is critical writer from Amerika. He was born in New York on August, 24th
1922. He is from Yahudi’s family, his
father name is Edward Zinn and mother is Jennie Zinn. A People’s History of the United States is
one of book which has maked a controversi in the world. Its because in his book, he made a statement
that Christopher Columbus isn’t inventor of America and so many people from
other country dissagree with it, especially for genuin citizen who was born and
grew up there. They beliefe that
Columbus is an inventor of America and Zinn is just nonsense.
I am proud of Zinn because he have a
strange to opened the truth of historycal American and he did’t afraid if every
people would be hating him. Zinn was
said that American must know about the TRUTH, historycal of America not TRUTH
about the falsehood Columbus. According
to Zinn, Columbus was liing american.
Columbus is liar, murderer, pillager, rasism, and he did genosid to
Arawaks. But, he just give statement that Columbus isn’t inventor never give
who is real inventor of America. Its a
weakness from Howard Zinn. If he write
who is real inventor of American (of course with strong evidence), I think
people can accept his critical. The
people will not refuse with evidence ..
Tulisan yang berwarna merah tidak
harus dimasukkan. Karenaa tidak semua
orang suka dan tahu tentang Howard Zinn.
Haruss informative dalam memberikan argument terhadap Zinn, jangan cuman
berisi “he iss..he is a writer... tapi bissa diganti dengan Howard Zinn, a
well-know United America anthropologist), ungkap Mr. Lala.
Mulai prepare untuk critical review
in english dalam bahassa ke 2, L2 yaitu bahasa Inggris cukup dengan 1000 kata
saja. harus impresssive. Tentu dengan mengharapkan hasil yang luar
biasa dan hebat. Ingat, kita hebat bukan
karena otak kita tapi karena kemauan belajar untuk mendapatkan apa yang kita
tuju.
Ada 4 tingkatan kesalahan yang harus
diketahui. Dari yang masih bisa
dimaklumi dan diperbaiki samapi ke tingkat kronis.
Pembahasan berikutnya yaitu tentang key issue in writing researchand teaching
(Hyland 2002;2009). Ada 6 point
penting yang harus diketahui dalam menulis, yaaitu:
1. CONTEXT
Dalam
sebuah tulisan ada sebuah pengembangan yang nantinya akan sampai ke ranah
konteks yang lebih tinggi lagi. Context
tidak/bukan terletak pada kata yang terdapat dalam tulisan, tapi terbentuk
melalui interaksi yang diciptakan. Kita
mengenali maksud/arti bukanlah dari kata-kata yang ditulis kemudian dibaca oleh
orang lain begitu saja, tetapi melalui adanya interaksi yang dihasilkan antara
penulis dan pembaca tersebut didalam tulisan.
Seorang penulis harus bisa melihat
sasaran variabel dari tulisan tersebut,
seperti dilihat dari tingkatan kelass, jenis kelamin, ras dan lainnya. Penting untuk para penulis memerhatikan hal
tersebut.
Van Dijk
(2008)menyatakan bahwa context adalah “It is not the social situation that
influences (or is influenced by) discourse, but the way the participants define
such a situation. Contexts thus are not some kind of ‘objective’ condition or
direct cause, but rather (inter)subjective constructs designed and ongoingly
updated in interaction by participants as members of groups and communities. If
they were, all people in the same social situation would speak in the same way.
Contexts are participant constructs”.
Van Dijk menggolongkan context kedalam 3 aspek, yaitu:
1. Situational
Context
Dilihat dari situasi tentang apa
yang dilihat dan dirasakan dalam situasi itu.
2. Background
Knowledge
Megetahiu secara global aspek hidup
melalui sebuah interaksi.
3. Co-textual
context
Apa yang sudah diucapkan
Jika diatas adalah
menurut Van Dijk, maka berbeda dengan pandangan Halliday. Ada 3 aspek tentang context menurut Halliday
(1985), yaitu:
1. Field
:interaksi sosial, apa yang terjadi
2. Tenor
: lebih terhadap participant, peran dan hubungan
3. Mode
: peranan bahasa
2. LITERACY
Menurut Scriber
and Cole (1981;236) literasi adalah “literacy is not simply knowing how to read
and write a particular script but applying this knowledge for specific purpose
in specific context of us”. Jadi,
literasi tidak hanya membaca-tulis saja tetapi mampu menerapkan bac-tulis untuk
tujuan tertentu dalam konteks tertentu.
Menulis yang
dibarengi dengan membaca adalah sebuah literasi tentang bagaimana kita
menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep literasi modern mendorong kita untuk melihat tulisan sebagai
praktik sosial, bukan hanya sebagai keterampilan abstrak.
Pandangan
Sosial Literasi:
1. Literasi
adalah kegiatan sosial
2. Orang0orang
memiliki kemahiran yang berbeda-beda yang berhubungan dengan nilai kehidupan
3. Praktek
literassi masyarakat terletak dalam hubungan/ interaksi sosial yang lebih luas
4. Literasi
didasarkan pada sistem simbol
5. Sikap
dan nilai-nilai yang berkaitan dengan literasi merupakan tindakan untuk
berkomunikasi
Barton dan
Hamilton (1998:6) mendefinisikan praktek literasi sebagai cara umum berbudaya
dalam memanfaatkan bahasa. Kemudian
Barton dan Hamilton (1998:7) menyatakan “ bagaimana teks diproduksi dan
digunakan dalam berbagai aktivitas adalah aspek kunci literasi.
3. CULTURE
Culture memiliki
peraan yang penting dalam perkembangan literasi. Seperti yang dikatakan Lantolf (1993) “
Budaya secara umum di pahami sebagai historis yang ditransmisikan dan jaringan
sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan
mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia”. Hal ini sebagai bukti karena nilai-nilai
budaya kita tercermin dan dilakukan melalui bahasa. Kramsch (1993) menyatakan bahwa pelajaran dan
bahasa dibalut oleh culture.
4. TECHNOLOGY
Orang berliterat tidak hanya mahir
baca-tulis saja, tapi juga harus melek teknologi. Teknologi memiliki dampak yang besar dalam
perkembangan tulisan kita, genre dan identitas.
Dengan teknologi, akan lebih memudahkan untuk menulis karena kita dapat
mengakses lebih luas lagi tentang sumber yang tengah dikaji; mencari tambahan
referensi misalnya. Teknologi juga
mempermudah tulisan untuk dikenalkan ke dunia luar secara lebih luas lagi
(menggunakan social network).
Efek teknologi pada writing
·
Teknologi dapat
mengubah-menciptakan karya tulis, mengedit teks ddan mengoreksi
·
Mampu mengkombinasikan
teks tertulis dengan media visual dan audio
·
Cepat dan mudah
mengakses dan mempublikasikan
·
Memperluas ruang
lingkup pembaca
·
Memfasilitasi massuk ke
komunikasi wacana online
Secara nyata, kita telah meraskan
manfaat teknologi dan peranan teknologi
terhadap dunia literasi. Contohnya saja,
tugas writing baik itu class review, critical review harus kita upload ke blog
yang memungkinkan tulisan kita dibaca oleh semua orang, tanpa dibatasi ruang.
5. GENRE
Genre disini sebagai
komunikasi tindakan. Yang berarti
kegiatan partisipan dalam acara sosial, diskusi, dan sebagainya. Ini akan dihadapkan pada aliran/genre dari
tiap-tiap individu itu sendiri (Hyon, 1996: Johrs, 2002).
Ada 3 pendekatan
dalam genre, yaitu:
1. System
Functional Views
2. English
for Specific Purpose
3. The
“New rhetoric”
6. IDENTITY
Identitas adalah
cara seseorang menampilkan siapa mereka terhadap orang lain (Benwell dan
Stokoe, 2006: 6). Identitas juga
dipandang sebagai constructed (sesuatu yang dibangun oleh kedua teks yang
saling berkaitan → keterkaitan antara penulis dan teks yang ditulisnya). Dari hubungan itulah terjadi pergerakan
/perkembangan dari yang tadinya identitas pribadi merambah ke ranah publik.
Pengertian
identitas itu sendiri dalam dunia writing adalah bukan sesuatu yang kita miliki tetapi sesuatu yang kita
lakukan. Seperti yang Bloemmaert (2005)
katakan bahwaa bagaimanpun identitas kita, hanya akan sukses/berhasil jika
diakui oleh orang lain.
Dari ke enam
point diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam dunia writing mengandung cakupan
yang sangat luas, yang harusnya dimiliki dan mampu dipahami oleh para
calon-calon penulis. Dengan tujuan agar
tulisan tersebut diterima masyarakat.
Selain harus
mahir membaca dan menulis, kita juga harus mementingkan aspek-aspek penting
para pembacanya, seperti Bakhtin (1986) yang dikutip dalam Hyland (2002)
mengenai isu interteksualitas: bahasa ideologis: percakapan antara penulis dan
pembaca dalam suatu kegiatan yang sedang berlangsung.
Intertekstualitas
menurut Bakhtin menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana yang
lainnya, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu dan dalam kesamaan mereka
dalam setiap titik waktu.
Pendekatan intertekstual pertama
diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang
mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual
menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan
sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi,
jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5). Kemudian, pendekatan
intertekstual tersebut diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva.
Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan
oleh Julia Kristeva (Worton 1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya
dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap
teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan
dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa
setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain.
Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang
lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan
diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi
sebuah karya yang utuh.
Untuk
lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama,
pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan
karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis
rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui
proses pembacaan. Kemungkinan adanya
penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan
(Worton, 1990: 1).
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri
dalam penelitian karya sastra, antara lain: (1) interteks melihat hakikat sebuah
teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah
karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur
struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar
struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari
komposisi teks; (3) interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan
aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; (4)
teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan
karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca,
tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke
dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji; (5) yang dipentingkan dalam
interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur
lain ke dalam sebuah karya (melalui Napiah, 1994: xv).
Berdasarkan prinsip dan
kaidah intertekstual yang dikemukakan Kristeva, Napiah membuat beberapa
rumusan, antara lain: (1) pendekatan interteks ternyata mempunyai kaidah atau
metodologi tersendiri. Kaidah itu mencoba meneliti bahwa sastra merupakan suatu
proses pengolahan, pembinaan, dan pencemaran dua aspek, yaitu aspek dalaman dan
aspek luaran, yang saling membantu untuk membentuk sebuah karya; (2)
intertekstualitas juga melihat adanya berbagai bentuk hadirnya sebuah teks yang
menjadi dasar motif dan aspirasi pengarangnya. Pengambilan atau penggunaanteks
luaran menunjukkan kesediaan pengarang untuk memperkukuh karyanya, atau merupakan
penolakan terhadap ide, makna, dan unsur lainnya yang bertentangan dengan paham
atau aspirasi pengarang; (3) proses intertekstualitas tidak dapat dipisahkan
dari hasrat, aspirasi, dan ideologi pengarang. Oleh karena itu, penelitian
terhadap sebuah teks akan mencerminkan sikap dan aspirasi pengarang itu sendiri
(1994: xv-xvi).
Dalam konsep intertekstual,
teks yang menjadi dasar penciptaan teks, yang ditulis kemudian, dipandang
sebagai bentuk hipogram (Riffatere 1978: 23). Karya yang diciptakan berdasarkan
hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena mentransformasikan
hipogram itu.
Unsur-unsur yang diserap
sebuah teks dari teks-teks hipogram yang mungkin berupa kata, sintagma, model
bentuk, gagasan, atau berbagai unsur intrinsik yang lain, bahkan dapat pula
berupa sifat kontrakdisinya, akan menghasilkan sebuah karya yang baru sehingga
hipogramnya mungkin tidak dikenali lagi, atau bahkan dilupakan (Riffatere
1978:165). Hal itu memungkinkan lahirnya dua buah karya yang mempunyai tema
sama, tetapi berbeda cara penyajian ceritanya. Demikian sebaliknya, terdapat
cara penyajian ceritanya yang sama, tetapi berbeda dari segi temanya (Culler
1977: 241).
Menurut Kristeva setiap
teks, termasuk teks sastra, merupakan mozaik kutipan- kutipan dan merupakan tanggapan
atau penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Oleh karena itu, suatu teks baru
bermakna penuh dalam hubungannya dengan teks-teks lain (Teeuw 1983:65). Menurut
Riffatere, teks tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu disebut
hipogram. Selain itu, teks yang menyerap (mentransformasi) hipogram itu disebut
teks transformasi. Hubungan antara teks yang terdahulu dengan teks yang
kemudian itu disebut hubungan intertekstual. Intertekstual adalah fenomena
resepsi pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibacanya dan dilibatkan dalam
ciptaannya.
Hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram
aktual (Riffatere 1978:23).
-
Hipogram
potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks.
Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada sebuah teks sehingga
makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang
sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial itu adalah matrik yang merupakan inti
dari teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat
sederhana.
-
Hipogram
aktual adalah teks nyata, yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa,
atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi
teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada
sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks
lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama dan bahkan alam semesta
(dunia) ini adalah teks (Pradopo 2003:132).
Oleh sebab itu, hipogram
yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau
teks lisan, tetapi juga dapat berupa adat-istiadat, kebudayaan, agama, bahkan
dunia ini. Hipogram tersebut direspons atau ditanggapi oleh teks baru.
Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan atau penentangan tradisi atau
konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks sastra
adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan kepada pembaca (Soeratno dalam
Jabrohim 2003:147).
Untuk mengungkapkan adanya hubungan interteks dalam penelitian biasanya
didasarkan pada resepsi aktif pengarang dan resepsi pembaca sebagai pengkaji.
Maksudnya, pembaca dalam hubungan ini adalah pembaca sebagai pengkaji. Pengkaji
pada dasarnya juga pembaca yang dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalamannya
berada dalam rangkaian pembacaan yang terakhir. Dengan demikian, latar belakang
pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memengaruhi makna yang diungkapkannya
(Soeratno dalam Jabrohim 2003: 150).
Setelah membahas
beberapa materi, saya akan kembali membahas ranah classroom discourse yang
belum dan masih kurang lengkap dari pembahasan terdahulu.
Discourse
analysis adalah studi bagaimana language-in-use dipengaruhi oleh konteks
penggunanya (seluruh wacana buku didefinisikan sebagai “language-in-use”). Didalam kelas, konteks dapat berkisar dari
pembicaraan dalam sebuah pelajaran.
Discourse analysis class akan menjadi analisis wacana kritis ketika para
peneliti kelas mengambil efek ddari konteks variabel tersebut menjadi
pertimbangan dalam analisis mereka (Betsy Rymes, 2008).
Discourse
analysis melibatkan penyelidikan bagaimana wacana (language-in-use) dan
konteksmempengaruhi satu sama lain.
Itulah kenapa terkadang seseorang akan mengatakan sesuatu dengan cara
tertentu dan memasukkan konteks sebelumnya yang telah digunakan/previous
context (Rymes)
Shirley Brice
Heath (1983) mendokumentasikan bagaimana sosialisasike beberapa rumah dalam
pemecahan masalah akan bisa mempengaruhi prestasi dari siswanya. Hal ini digambarkan dalam sebuah contoh
workbook di Piedmont Carolinas.
Dalam satu
kelas,banyak siswa memberikan jawaban pada workbook (dimana siswa harus
melingkari nomor yang benar dibawah setiap gambar) sebagai 2+2=2. Walau bagaimanapun jawaban yang tepat adalah
4. 2+2=4, pada pendidikan sekolah. Tapi
pada prakteknya, 2 traktor + 2 trailer = 2 kombinasi traktor/trailer. Lalu, siapa yang salah?nnguru memiliki
kewenangan yang sah di dalam kelas, para siswa tidak memahaminya. Karena, padda kenyataannya guru adalah orang
luar dalam sebuah interaksi siswa dan tidak mengetahui situasi kerja siswa,
benarlah jika dia disalah pahami oleh anak-anak.
Dengan memahami
sumber missunderstood tersebut, guru akan memahami bagaimana cara berinteraksi
dan belajar yang baik dengan siswanya.
Dari pemaparan
di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam dunia writing, kita harus mengetahui
banyak aspek untuk menyelesaikan tulisan yang akan diciptakan. Aspeek tersebut terdiri dai context,
literacy, culture, technology, genre dan identity. Hadirkan disetiap tulisan yang dibuat dengan
ciri khas kita, yang hanya dimilki oleh kita.
Ini bertujuan agar pembaca akan mudah mengenalinya.
REFERENSI
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics, Structuralism,
Linguistics, and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan
Paul.
Hyland, Ken. 2009. Teaching and Researching writing (second
edition).
Jabrohim (ed.) 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language a Semiotic Approach
to Literature and Art.
Oxford: Basil Blackwell.
Riffaterre.
Michael. 1978. Semiotic of Poetry. London: Metheun & Co. Ltd.
Rymes, Betsy. 2008. Classroom Discourse Analysis: A Tool for
Critical Reflection. Cresskill, NJ: Hampton Press.
Worton, Michael dan Judith Still.
1990. Intertextuality and Practices. New York: Manchester University
Press.
Teori_intertekstual.pdf


Subscribe to:
Post Comments (Atom)