Thursday, March 6, 2014

Rangkaian Huruf yang Merubah Sejarah


Critical Review 2
Hilmi Salam
Rangkaian Huruf yang Merubah Sejarah
Huruf-huruf yang terangkai dalam sebuah buku seringkali menjadi referensi yang kuat dalam suatu apapun. Kekuatan buku tidak sebatas menjadi pemberi informasi dan pengetahuan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah buku dapat merubah ideologi seseorang. Kekuatan buku yang menjadi sumber informasi sejarah dan saksi bisu akan terjadinya masa lalu. Demikian hebatnya kekuatan dari sebuah buku, sehingga ini merupakan objek yang berdaya kuat dan permanen, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengubah setiap peristiwa-peristiwa yang telah atau akan terjadi. Arti dari kekuatan yang dimaksud adalah tidak hanya mencakup sektor positif saja namun efek yang ditimbulkan pun dapat berdampak negatif, karena bisa merubah paradigma seseorang yang berfikir bahwa sesuatu yang baik menjadi salah, demikian sebaliknya. Seperti artikel Speaking Truth to Power with Books yang mengungkap sebuah sejarah kontroversial berani dibuka oleh seorang sejarahwan Howard Zinn.

Sebelum menelusuk lebih dalam tentang problematika sejarah yang terjadi, Howard Zinn yang menjadi bahan sensasi dunia diketahui latar belakangnya Zinn dilahirkan di New York, 22 Agustus 1922. Kedua orang tuanya adalah Yahudi imigran. Ayahnya membuka kios permen kecil, yang tak pernah terlalu mendapat banyak penghasilan. Pada 1943, ia masuk Angkatan Udara, menjadi sepesialis bomber.
Rangkaian huruf disuratkan pada buku yang ditulis oleh Zinn, menggunakan penekanan yang begitu yakin mengungkap tentang apa yang harus diungkap. Konten yang dipersembahkan dalam buku itu nyaris semuanya merupakan hal yang memang benar-benar crucial. Mencakup dalam bidang politik, ekonomi, dan kebangsaan. Menurut beberapa sumber membuktikan bahwa seorang Howard Zinn adalah sejarahwan yang dipandang begitu radikal dari Amerika, ia menorehkan tinta emas dalam sebuah buku legendaris yang ia ciptakan “A People’s History of the United States. Tercata bahwa buku tersebut pertama kali diterbitkan pertama kali pada tahun 1980 dan sempat melakukan pencetakan ulang hingga lima kali banyaknya. Ia adalah seorang profesor sejarah di Boston University, namun sayangnya tercatat bahwa ia sempat memprovokasi para mahasiswanya untuk melakukan aksi radikal, dan ia termasuk pada elit tradisi yang kritis kaum liberal-progresif di Amerika Serikat. Dengan latar belakang tersebut tidaklah heran bila tindakan yang ia ambil dalam mengkritisi fakta kontroversial dengan begitu berani.
Tak dapat dipungkiri, usahanya dalam mengungkap sebuah sejarah memang sangat berani, sekalipun dari sudut gelap seseorang. Yang ditorehkan dan dikritisi dalam bukunya adalah seseorang yang menjadi panutan orang Amerika, menjadi orang nomor satu yang berjasa menemukan benua Amerika yaitu Christopher Columbus. Yang terlibat di dalamnya seorang sejarahwan dari Harvard University, Samuel Elliot Morison pada hal ini mengklaim bahwa benar benua Amerika tersebut memang ditemukan oleh Christopher Columbus. Pada awalnya Morison memaparkan tentang latar belakang yang sebenarnya dari seorang Columbus bahwa ia seorang genosida yang melakukan pembunuhan masal, ternyata ungkapan ini sejalan dengan jalan pemikiran dari Howard Zinn. Ada kerancuan ketika para sejarahwan menganggap pekerjaan mereka serupa dengan para ahli penggambar peta semata, ujar Zinn. Pembuat peta seolah dengan sengaja menyederhanakan realita yang ada, hanya menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang yang tak penting terlihat. Ketika pencitraan dengan gambar menjadi rancu maka jalan menulis sejarah adalah hal yang dipilih.
Ada perbedaan yang kontras antara apa yang direalisasikan para sejarahwan dan apa yang direalisasikan oleh para ahli pembuat peta, yaitu ketika sejarahwan mengandalkan pemikirannya berdasarkan dengan data warisan yang bersifat ideologis disamping itu para ahli peta hanya berorientasi pada teknis. Tentunya dari semua pihak mempunyai peran-peran yang crucial dan tidak bisa dipisahkan namun yang disesali adalah ketika sejarahwan dalam pengungkapannya tidak sejelas apa yang ditorehkan oleh para ahli peta dalam karya petanya. Sejarahwan menulis sejarah dan mempunyai pemikiran bahwa pembaca akan memiliki tujuan tertentu yang dapat terarah seolah dapat memprediksi. Padahal pada kenyataannya, penulis menjadikan buku sebagai wahana peran antagonisnya dalam cakupan sosial, ras, maupun kondisi bangsa.
Berdasarkan kritik tajam yang dilontarkan oleh Zinn terhadap Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. “Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi”.
Sanggahan yang begitu berani dilontarkan oleh Zinn membuat ia menulis versi sejarah yang terlihat berbeda. Sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah (, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon[1].
Ketika Zinn dengan bangga dan berani dapat memangkas habis fakta sejarah yang telah memvirusi pemikiran dunia tentang terlahirnya benua Amerika oleh Columbus, namun harus disadari bahwa pembaca adalah korban dari setiap bacaan, karena dengan buku dapat memperdaya pola piker seseorang. Saat itulah peran dari pembaca untuk menjadi seorang kritikus yang tidak mudah terpedaya dengan suatu referensi sehingga dapat mencari fakta yang benar-benar terbukti benar. Tindakan Howard Zinn dalam mengklaim bahwa ia yang paling benar dan menjatuhkan statement yang dituangkan ke dalam bukunya Morrison pun bisa saja ditentang oleh pembaca lainnya, tidak harus mengalir mengikuti air mengalir terhadap tanggapan keras dari Zinn. Ia juga sedang mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejarah, bahwa ia menekankan fakta-fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain, dari sinilah ketidak profesionalan terlihat sangat kontras. Lalu apa bedanya ia dengan Morison? Yang sangat disayangkan dari tindakan Zinn adalah tindakan beraninya tidak disalurkan pada hal yang baik, justru dengan semangat mencoba mematahkan sendi-sendi fakta yang diungkap oleh sejarahwan lain, ia hanya mengungkap kekurangan orang lain dengan tidak sadar bahwa Zinn sendiri akan terdampak dengan kelakukannya sehingga bisa diibaratkan dengan boomerang. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Howard Zinn adalah sorang yang kalah dengan tindakannya.
Menilik apa yang Zinn tulis dalam bukunya terdapat ungkapan yang begitu frontal dan percaya diri tertulis pada halaman 11 dari 729 halaman A People’s History of United State:
If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare. That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.
Memang tidak ada yang salah dengan pernyataannya, namun jika melihat sisi dari seorang Zinn yang latar belakangnya seorang yang radikal, terlihat jelas bahwa ia “menantang” sejarahwan lain untuk beradu pendapat seputar kebenaran dan seolah menganggap yang lain adalah salah. Seharusnya sebagai seorang penulis yang akan memberikan dampak kepada pembaca, dapat berfikir secara universal dalam pengembangan bukunya, karena setiap referensi tidak hanya didukung oleh argumen, namun dibutuhkan kepastian khususnya dari sumber lain. Yang disayangkan Zinn bersikukuh dalam argumennya yang radikal.
Tidak berhenti sampai di sana, ada hal kontras yang ia lakukan terhadap dunia, ia menolak konsekuensi saling peduli terhadap komunitas dalam sebuah bangsa. Dalam hal ini sudah jelas bahwa ia tidak menerima persatuan, tingkat egoism yang begitu tinggi mengalahkan kepeduliannya terhadap sesama. Berikut adalah ungkapan Zinn yang dikutip dari bukunya “Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!”. Keberpihakan Zinn terhadap suatu pihak ini menjadikan sebuah jarak antar sesame, seolah memberikan celah untuk tidak bersatu benar-benar hal yang di luar ekspektasi sebagai pembaca jika Zinn bertujuan hanya ingin merubah mindset dan paradigma para pembaca bukunya (korban).
Terungkaplah apa yang sebenarnya Howard Zinn lakukan terhadap dunia, dengan bukunya A People’s History of The United States yang mengundang banyak kecaman dari orang-orang yang mengaku tidak terima bahwa Colombus yang selama ini diagung-agungkan sebagai pahlawan, justru dikatai sebagai pembunuh, penyiksa, munafik dan lain sebagainya oleh Howard Zinn di bab pertama dalam buku tersebut. Ketika ia mencoba menggulingkan Morrison dengan statementnya, kini pembaca sudah pintar untuk memilih. Pembaca dituntut membandingkan suatu sumber satu dengan yang lainnya sebelum menjadikan apa yang telah dibaca menjadi paradigma yang berkembang dalam kehidupannya, terlebih jika ingin mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya. Memang fakta dari beberapa sumber mengatakan sebuah kontroversi jika Columbus adalah seorang yang berjasa menemukan benua Amerika, kenyataannya banyak sumber yang mengatakan bahwa masih banyak tokoh yang lebih dahulu menemukan benua Amerika. 

Seperti yang dikutip dari Literatur Islam, bahwa sebenarnya yang mendarat lebih dahulu itu memang bukan Columbus, Khashshash bin Said bin Aswad adalah tokoh yang disebut sebagai orang yang mendarat di benua itu pada tahun 889 masehi. Dia seorang navigator muslim yang berasal dari Qordoba, Spanyol. Sebagaimana kita ketahui, Spanyol saat itu merupakan pusat peradaban Islam di Barat, di bawah pimpinan Khilafah Bani Umayah II.
Analisa ini sedikit banyaknya bisa dipertanggung jawabkan dengan fakta yang ada, kekuatan armada Khilafah Bani Umayyah II di Spanyol saat itu memang sangat besar dan luar biasa luas pengaruhnya. Adalah sangat tidak mustahil buat para pelaut di masa itu untuk mengarui samudera Atlantik. Apalagi ada semangat juang yang sangat tinggi untuk menyebarkan agama Islam seluruh penjuru dunia.
Dengan fakta ini, maka benua Amerika termasuk benua yang sudah sejak awal mengenal ajaran Islam. Sungguh luar biasa kemampuan para pelaut muslim saat itu. Dengan menyeberangi lautan Atlantic yang luas itu, mereka tercatat sebagai di antara pembawa agama Islam ke Amerika. Dan jarak waktunya hanya terpaut 200-an tahun setelah Rasulullah SAW wafat.
Mungkin ke depan kita akan mengatakan bahwa bangsa muslim lah yang sesungguhnya berhak disebut sebagai penemu benua Amerika, bukan Amerigo Vespucci atau Colombus, sebab:
1. Vespucci baru menemukan benua itu di tahun 1499-1500 Masehi.
2. Colombus baru tiba di tahun 1492 Masehi.
3. Khashshash bin Said bin Aswad yang sudah mendarat di benua itu di tahun 889
    Masehi berarti 600 tahun lebih dulu dari kedatangan keduanya.
Kedatangan para pelaut muslim ke benua Amerika bukan sekedar bertujuan untuk piknik atau jalan-jalan, tetapi menyebarkan agama terakhir yang Allah turunkan, yaitu DIENUL ISLAM[2].
Kemudian ada sumber lain yang mengatakan laksamana Cheng Ho adalah tokoh yang ikut andil dalam penemuan benua Amerika, Klaim bukti bahwa laksamana China memetakan Belahan Bumi Barat (Western Hemisphere) lebih dari 70 tahun sebelum Columbus, adalah salah satu klaim yang dimuat penulis Gavin Menzies dalam buku barunya, 'Who Discovered America?'
"Kisah tradisional bahwa Columbus menemukan 'dunia baru' adalah fantasi belaka," kata dia seperti dimuat Daily Mail, 8 Oktober 2013.
Ia bahkan yakin, Columbus memiliki salinan peta Cheng Ho saat mengarungi samudera menuju Amerika. Menzies juga mengatakan, armada megah kapal China yang dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun sebelum Ferdinand Megellan orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia, orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik, dan orang pertama yang memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia.
Lebih jauh lagi, Menzies mengklaim, pemukim pertama Belahan Bumi Barat tidak berasal dari 'Jembatan Selat Bering', tapi pelaut China yang pertama melintasi Samudera Pasifik sekitar 40 ribu tahun lalu[3].
Diketahui pengakuan pengakuan dari Columbus, Selain itu juga ada catatan dari Colombus sendiri, bahwa pada 21 Oktober 1492 dia melihat masjid dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba. Ini menunjukkan bahwa Colombus pun mengakui bahwa sudah ada sejumlah masyarakat di Amerika yang memeluk agama Islam, sebelum kedatangannya. Colombus mengira bahwa pulau tersebut masih perawan, belum berpenghuni sama sekali. Mereka berorientasi menjadikan pulau tersebut sebagai perluasan wilayah Spanyol. Tetapi setelah menerobos masuk, Columbus ternyata kaget menemukan bangunan yang persis pernah ia lihat sebelumnya ketika mendarat di Afrika. Bangunan megah itu adalah Masjid yang dipakai oleh Orang-orang Islam untuk beribadah. Semula Columbus disambut dengan ramah oleh suku Indian, tetapi setelah ketahuan niat buruknya datang di pulau itu, Colombus banyak mendapat resistensi dari penduduk setempat. Beberapa armada kapal milik rombongan Colombus ditenggelamkan oleh suku Indian sebab mereka merasa terganggu dan terancam oleh kedatangan Colombus.
Dengan beberapa sumber yang lahir sekarang-sekarang seolah men-judge bahwa benar bukanlah Columbus yang menjadi penemu benua Amerika ini benar-benar menguatkan argumen dari Howard Zinn, namun dari penyampaian Zinn yang begitu frontal menjadikan kontroversi di kalangan sejarahwan dan tentunya merubah spekulasi yang berbeda dari setiap pembaca. Saat itulah Zinn menjatuhkan sejarahwan lain yang menganggap Columbus sebagai penemu Amerika, dengan kenyataan ini ketika Zinn menganggap yang lain adalah pecundang sebenarnya orang yang kalah itu adalah dirinya karena menangkis beberapa referensi dengan arogan dan radikal.
Masyarakat Amerika tentunya dengan mudah terpengaruhi karena menurut fakta data yang diambil dari Wikipedia mengenai List of Countries by Literacy Rate, United States menduduki peringkat yang tinggi. Di sana disajikan bahwa literacy rate untuk semua kalangan sudah mencapai 99%, male literacy 99%, dan female literacy 99%. Sudah dipastikan dengan data tersebut, orang Amerika tidak mengalami kesulitan untuk memahami sebuah buku dan dengan mudah untuk mengaplikasikannya ke dalam mindset mereka.
Literasi yang sangat kuat memang dimunculkan oleh orang Amerika dengan menjunjung tinggi buku hingga ditetapkanlah hari buku dunia “World Book Day” yang dicetuskan oleh UNESCO pada tanggal 23 April sebagai motivasi setiap orang untuk membudayakan kehidupan literasi. Namun bercermin pada Indonesia yang tingkat literasi yang mengkhawatirkan, bahkan untuk mengkritisi suatu buku saja sangat begitu berat.
Seperti yang terlihat dalam kenyataannya Amerika menjadi Negara Adikuasa karena kemampuan masyarakatnya yang tinggi dalam berlitersi. Kita tidak sadar, bahkan kita tidak tahu bahwa mereka bisa mengubah dunia lewat buku yang mereka klaim sebagai mahakarya mereka. Negara Baghdad kala itu menjadikan buku sebagai “pedoman”, padahal agama Islam yang mengajarkan bahwa kekuatan dari kitab suci Al-Qur’an adalah sebagai pedoman sudah seharusnya orang muslim lebih mendominasi dalam dunia literasi dan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Islam sering kali diberikan gambaran oleh orang-orang dan golongan yang tidak pernah mengenalnya sebagai agama yang mundur dan memundurkan. Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan saja tidak benar tetapi justru bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya. Sejarah adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam berbagai bidang keilmuwan.
Salah satu contohnya adalah Abu Raihan Al-Biruni, ilmuan ahli astronom dan fisika yang jarang tertangkap kamera sejarah. Sekarang yang kita tahu ahli astronom itu adalah Aristoteles, Nicolas Copernicus, dan ilmuan-ilmuan lain yang berbangsa barat. Dan dari orang-orang baratlah ilmu-ilmu itu kemudian dicuri, lalu dipatenkan atas nama mereka masing-masing untuk mencari keuntungan. Banyak sekali penemuan-penemuan dari kebudayaan Islam yang luput dari pandangan manusia.
Jalaludin Rakhmat dalam bukunya pernah menyatakan bahwa perubahan sosial seringkali disebabkan oleh empat hal, yakni ide besar, tokoh besar, gerakan sosial dan revolusi. Dua penyebab pertama mencerminkan kekuatan ide dan ketokohan dalam melemparkan sebuah wacana dalam masyarakat. Tetapi yang tetap diyakini adalah bagaimana kekuatan pikiran dalam buku sangat ’berpengaruh’ secara massif dalam masyarakat pembaca. Oleh karenanya wajar jika Napoleon Bonarparte begitu ketakutan dengan kekuatan tulisan ketimbang sejumlah tentara di medan laga.
Kebanyakan orang sering memungkiri bahwa buku tidak mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat. Padahal konten dari buku yang membuat kekuatan itu dapat terasa. Tapi buku sebenarnya hanyalah pemantik, buku hanya memberikan sebuah perspektif baru, yang seringkali mampu mengoyak tatanan masyarakat.
Problematika buku diawali pada era Soeharto yang merupakan era kedigdayaan sensor buku. Hampir semua buku bernada kiri diberangus dan tak mendapat ruang. Salah satu yang kita kenal adalah pelarangan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Ini menarik karena buku Hoakio di Indonesia karangannya dilarang pada zaman Sukarno dan berujung pemenjaraan Pram. Sementara buku Tetralogi Pulau Buru juga dilarang oleh Suharto. Ia adalah penulis yang dimusuhi dua rezim sekaligus.
Seusai Reformasi pelarangan buku tetap terjadi. Seperti yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Intelejen (JAM Intel) pada 2009 lalu. Dasar hukumnya adalah UU No. 4/PNPS/1963 sebuah undang undang yang kepalang bapuk dan uzur untuk digunakan pada hari ini. Setidaknya ada Lima buku yang dilarang oleh JAM Intek karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Di antaranya adalah Dalih Pembunuhan Masal oleh John Rossa dan Lekra Tak Membakar buku oleh Muhidin M. Dahlan.
Tapi manusia yang mencintai buku tidak tinggal diam. Ada upaya-upaya untuk melawan usaha pembungkaman terhadap buku. Salah satunya adalah Pekan Buku Terlarang atau Banned Books Week yang dimulai sejak 1982. Acara ini dilakukan sebagai sebuah respon dari berbagai buku yang dilarang atau diharamkan dibaca di sekolah atau oleh negara. Sejak berdiri terdaftar ada sekitar 11.300 terlarang yang telah dibaca secara publik sebagai usaha perlawanan.
Perubahan baku-pikir (mindset) dari para rohaniawan moderat juga turut membantu perang terhadap pengkerdilan buku. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Paus Paulus ke VI pada 14 Juni 1966 dengan mencabut Index Librorum Prohibitorum. Meski dengan catatan bahwa buku yang ada dalam daftar tersebut tetap memiliki potensi menggoyahkan iman dan merusak akidah. Namun siapapun yang membaca “Tak lagi berdosa dan harus dihukum”.
Demikian problema yang ditimbulkan dari rangkaian-rangkaian huruf yang mempunyai kekuatan yang dapat menggemparkan dunia. Dengan gagahnya Howard Zinn berteriak dalam bukunya A People’s History of The United States. Kecerdasan dari peran seorang pembaca sangat dipertaruhkan agar tidak mudah terprovokasi karena sebuah buku, Morrison yang mengungkap sejarah tentang Columbus mampu ditentang radikal oleh seorang Howard Zinn yang keturunan seorang pelayan dan ibu rumah tangga. Columbus dengan catatan kasarnya menjadi seorang pembantai dinobatkan sebagai orang yang berjasa menemukan benua Amerika, sangat kontras dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun mengingat sisi gelap dari Howard Zinn sang kritikus, kiranya terlalu berlebihan jika hanya menyoroti sisi negatif dari tokoh-tokoh besar dunia hingga para sejarahwan. Kekuatan argumen tidak berhenti pada satu sumber, namun memerlukan referensi lain untuk menguatkannya, sehingga dengan mudah setiap pembaca menilai bahwa Zinn pula menjadi tokoh yang radikal meski tidak melakukan tindakan yang konkret. Namun dengan latar belakang yang keras, dan sempat memprovokasi mahasiswa untuk melakukan tindak anarkis itu bukan merupakan tindakan yang sportif.
Secara keseluruhan, hendaklah mencari referensi lain dan tumbuhkan jiwa literasi dalam diri agar tidak mudah terprovokasi atas setiap argument yang dituliskan pada setiap buku. Amerika yang tinggi akan tingkat literasinya pun tidak menutup kemungkinan mudah tergoyahkan atas setiap argumen yang dicetak pada setiap buku. Buku dapat menjadi boomerang apabila tidak diolah dengan baik dan literasi yang rendah.







FOOTNOTE
Howard, Zinn. (1980). A People’s History of The United States. United States: Harper & Row; HarperCollins
Links:



[1] Dwitya, Gde. 2010. “Howard Zinn dan Sejarah Orang-orang Kalah”. Diakses dari http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/esai/item/324-howard-zinn-dan-sejarah-orang-orang-kalah.html
[2] Faktabukanopini.com. “Columbus Bukanlah Penemu Benua Amerika”. Diakses dari http://www.ivanaris.com/2011/03/colombus-bukanlah-penemu-benua-amerika.htmlkalah.html
[3] Liputan 4 News, “Ini Bukti Laksamana Cheng How Penemu Amerika Bukan Columbus” diakses dari http://news.liputan6.com/read/715137/ini-bukti-laksamana-cheng-ho-penemu-amerika-bukan-columbus


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment