Thursday, March 6, 2014
Created By:
Hilmi Salam
Critical Review 2
Hilmi Salam
Rangkaian Huruf yang Merubah Sejarah
Huruf-huruf yang terangkai dalam sebuah buku seringkali
menjadi referensi yang kuat dalam suatu apapun. Kekuatan buku tidak sebatas
menjadi pemberi informasi dan pengetahuan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
sebuah buku dapat merubah ideologi seseorang. Kekuatan buku yang menjadi sumber
informasi sejarah dan saksi bisu akan terjadinya masa lalu. Demikian hebatnya
kekuatan dari sebuah buku, sehingga ini merupakan objek yang berdaya kuat dan
permanen, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengubah setiap peristiwa-peristiwa
yang telah atau akan terjadi. Arti dari kekuatan yang dimaksud adalah tidak
hanya mencakup sektor positif saja namun efek yang ditimbulkan pun dapat
berdampak negatif, karena bisa merubah paradigma seseorang yang berfikir bahwa
sesuatu yang baik menjadi salah, demikian sebaliknya. Seperti artikel Speaking Truth to Power with Books yang
mengungkap sebuah sejarah kontroversial berani dibuka oleh seorang sejarahwan
Howard Zinn.
Sebelum menelusuk lebih dalam tentang problematika sejarah
yang terjadi, Howard Zinn yang menjadi bahan sensasi dunia diketahui latar
belakangnya Zinn dilahirkan di New York, 22 Agustus 1922. Kedua
orang tuanya adalah Yahudi imigran. Ayahnya membuka kios permen kecil, yang tak
pernah terlalu mendapat banyak penghasilan. Pada 1943, ia masuk Angkatan Udara,
menjadi sepesialis bomber.
Rangkaian huruf disuratkan pada buku yang ditulis oleh Zinn,
menggunakan penekanan yang begitu yakin mengungkap tentang apa yang harus
diungkap. Konten yang dipersembahkan dalam buku itu nyaris semuanya merupakan
hal yang memang benar-benar crucial. Mencakup
dalam bidang politik, ekonomi, dan kebangsaan. Menurut beberapa sumber
membuktikan bahwa seorang Howard Zinn adalah sejarahwan yang dipandang begitu radikal
dari Amerika, ia menorehkan tinta emas dalam sebuah buku legendaris yang ia
ciptakan “A People’s History of the United States. Tercata bahwa buku
tersebut pertama kali diterbitkan pertama kali pada tahun 1980 dan sempat
melakukan pencetakan ulang hingga lima kali banyaknya. Ia adalah seorang
profesor sejarah di Boston University, namun sayangnya tercatat bahwa ia sempat
memprovokasi para mahasiswanya untuk melakukan aksi radikal, dan ia termasuk
pada elit tradisi yang kritis kaum liberal-progresif di Amerika Serikat. Dengan
latar belakang tersebut tidaklah heran bila tindakan yang ia ambil dalam
mengkritisi fakta kontroversial dengan begitu berani.
Tak dapat dipungkiri, usahanya dalam mengungkap sebuah
sejarah memang sangat berani, sekalipun dari sudut gelap seseorang. Yang
ditorehkan dan dikritisi dalam bukunya adalah seseorang yang menjadi panutan
orang Amerika, menjadi orang nomor satu yang berjasa menemukan benua Amerika
yaitu Christopher Columbus. Yang terlibat di dalamnya seorang sejarahwan dari Harvard
University, Samuel Elliot Morison pada hal ini mengklaim bahwa benar benua
Amerika tersebut memang ditemukan oleh Christopher Columbus. Pada awalnya
Morison memaparkan tentang latar belakang yang sebenarnya dari seorang Columbus
bahwa ia seorang genosida yang melakukan pembunuhan masal, ternyata ungkapan
ini sejalan dengan jalan pemikiran dari Howard Zinn. Ada kerancuan ketika para
sejarahwan menganggap pekerjaan mereka serupa dengan para ahli penggambar peta
semata, ujar Zinn. Pembuat peta seolah dengan sengaja menyederhanakan realita
yang ada, hanya menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang yang tak penting
terlihat. Ketika pencitraan dengan gambar menjadi rancu maka jalan menulis
sejarah adalah hal yang dipilih.
Ada perbedaan yang kontras antara apa yang direalisasikan
para sejarahwan dan apa yang direalisasikan oleh para ahli pembuat peta, yaitu
ketika sejarahwan mengandalkan pemikirannya berdasarkan dengan data warisan
yang bersifat ideologis disamping itu para ahli peta hanya berorientasi pada
teknis. Tentunya dari semua pihak mempunyai peran-peran yang crucial dan tidak bisa dipisahkan namun yang
disesali adalah ketika sejarahwan dalam pengungkapannya tidak sejelas apa yang
ditorehkan oleh para ahli peta dalam karya petanya. Sejarahwan menulis sejarah
dan mempunyai pemikiran bahwa pembaca akan memiliki tujuan tertentu yang dapat
terarah seolah dapat memprediksi. Padahal pada kenyataannya, penulis menjadikan
buku sebagai wahana peran antagonisnya dalam cakupan sosial, ras, maupun
kondisi bangsa.
Berdasarkan kritik tajam yang dilontarkan oleh Zinn terhadap
Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus,
Mariner. “Benar, Morison tak
sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut
telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang
tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang
mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah
heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku
Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni
pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah
terjadi”.
Sanggahan yang begitu berani dilontarkan oleh Zinn membuat
ia menulis versi sejarah yang terlihat berbeda. Sejarah dari sudut pandang
orang-orang kalah (, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang
penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War
sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia
pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina
menurut tentara kulit hitam di Luzon[1].
Ketika Zinn dengan bangga dan berani dapat memangkas habis fakta sejarah yang telah
memvirusi pemikiran dunia tentang
terlahirnya benua Amerika oleh Columbus, namun harus disadari bahwa pembaca
adalah korban dari setiap bacaan, karena dengan buku dapat memperdaya pola
piker seseorang. Saat itulah peran dari pembaca untuk menjadi seorang kritikus
yang tidak mudah terpedaya dengan suatu referensi sehingga dapat mencari fakta
yang benar-benar terbukti benar. Tindakan Howard Zinn dalam mengklaim bahwa ia
yang paling benar dan menjatuhkan statement yang dituangkan ke dalam bukunya
Morrison pun bisa saja ditentang oleh pembaca lainnya, tidak harus mengalir
mengikuti air mengalir terhadap tanggapan keras dari Zinn. Ia juga sedang
mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejarah, bahwa ia menekankan fakta-fakta
yang ia suka dan melewatkan yang lain, dari sinilah ketidak profesionalan
terlihat sangat kontras. Lalu apa bedanya ia dengan Morison? Yang sangat
disayangkan dari tindakan Zinn adalah tindakan beraninya tidak disalurkan pada
hal yang baik, justru dengan semangat mencoba mematahkan sendi-sendi fakta yang
diungkap oleh sejarahwan lain, ia hanya mengungkap kekurangan orang lain dengan
tidak sadar bahwa Zinn sendiri akan terdampak dengan kelakukannya sehingga bisa
diibaratkan dengan boomerang. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Howard Zinn
adalah sorang yang kalah dengan tindakannya.
Menilik apa yang Zinn tulis dalam bukunya terdapat ungkapan
yang begitu frontal dan percaya diri tertulis pada halaman 11 dari 729 halaman A
People’s History of United State:
If
history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the
past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those
hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their
ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or
perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive
moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare. That,
being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States.
The reader may as well know that before going on.
Memang tidak ada yang salah dengan pernyataannya,
namun jika melihat sisi dari seorang Zinn yang latar belakangnya seorang yang
radikal, terlihat jelas bahwa ia “menantang” sejarahwan lain untuk beradu
pendapat seputar kebenaran dan seolah menganggap yang lain adalah salah.
Seharusnya sebagai seorang penulis yang akan memberikan dampak kepada pembaca,
dapat berfikir secara universal dalam pengembangan bukunya, karena setiap referensi
tidak hanya didukung oleh argumen, namun dibutuhkan kepastian khususnya dari
sumber lain. Yang disayangkan Zinn bersikukuh dalam argumennya yang radikal.
Tidak berhenti sampai di sana, ada hal kontras yang ia
lakukan terhadap dunia, ia menolak konsekuensi saling peduli terhadap komunitas
dalam sebuah bangsa. Dalam hal ini sudah jelas bahwa ia tidak menerima
persatuan, tingkat egoism yang begitu tinggi mengalahkan kepeduliannya terhadap
sesama. Berikut adalah ungkapan Zinn yang dikutip dari bukunya “Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis
sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis
antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta
dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut,
dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana
Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!”.
Keberpihakan Zinn terhadap suatu pihak ini menjadikan sebuah jarak antar
sesame, seolah memberikan celah untuk tidak bersatu benar-benar hal yang di
luar ekspektasi sebagai pembaca jika Zinn bertujuan hanya ingin merubah mindset
dan paradigma para pembaca bukunya (korban).
Terungkaplah apa yang sebenarnya Howard
Zinn lakukan terhadap dunia, dengan bukunya A People’s History of The United
States yang mengundang banyak kecaman dari orang-orang yang mengaku tidak
terima bahwa Colombus yang selama ini diagung-agungkan sebagai pahlawan, justru
dikatai sebagai pembunuh, penyiksa, munafik dan lain sebagainya oleh Howard
Zinn di bab pertama dalam buku tersebut. Ketika ia mencoba menggulingkan
Morrison dengan statementnya, kini pembaca sudah pintar untuk memilih. Pembaca
dituntut membandingkan suatu sumber satu dengan yang lainnya sebelum menjadikan
apa yang telah dibaca menjadi paradigma yang berkembang dalam kehidupannya,
terlebih jika ingin mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya. Memang fakta
dari beberapa sumber mengatakan sebuah kontroversi jika Columbus adalah seorang
yang berjasa menemukan benua Amerika, kenyataannya banyak sumber yang
mengatakan bahwa masih banyak tokoh yang lebih dahulu menemukan benua Amerika.
Seperti yang dikutip dari Literatur Islam, bahwa sebenarnya yang mendarat lebih
dahulu itu memang bukan Columbus, Khashshash bin Said bin Aswad adalah
tokoh yang disebut sebagai orang yang mendarat di benua itu pada tahun 889
masehi. Dia seorang navigator muslim yang berasal dari Qordoba, Spanyol.
Sebagaimana kita ketahui, Spanyol saat itu merupakan pusat peradaban Islam di
Barat, di bawah pimpinan Khilafah Bani Umayah II.
Analisa ini sedikit banyaknya bisa dipertanggung jawabkan
dengan fakta yang ada, kekuatan armada Khilafah Bani Umayyah II di Spanyol saat
itu memang sangat besar dan luar biasa luas pengaruhnya. Adalah sangat tidak
mustahil buat para pelaut di masa itu untuk mengarui samudera Atlantik. Apalagi
ada semangat juang yang sangat tinggi untuk menyebarkan agama Islam seluruh
penjuru dunia.
Dengan fakta ini, maka benua Amerika termasuk benua yang
sudah sejak awal mengenal ajaran Islam. Sungguh luar biasa kemampuan para
pelaut muslim saat itu. Dengan menyeberangi lautan Atlantic yang luas itu,
mereka tercatat sebagai di antara pembawa agama Islam ke Amerika. Dan jarak
waktunya hanya terpaut 200-an tahun setelah Rasulullah SAW wafat.
Mungkin
ke depan kita akan mengatakan bahwa bangsa muslim lah yang sesungguhnya berhak
disebut sebagai penemu benua Amerika, bukan Amerigo Vespucci atau Colombus,
sebab:
1. Vespucci baru menemukan benua itu di tahun 1499-1500
Masehi.
2. Colombus baru tiba di tahun 1492 Masehi.
3. Khashshash bin Said bin Aswad
yang sudah mendarat di benua itu di tahun 889
Masehi berarti 600 tahun lebih dulu dari kedatangan keduanya.
Kedatangan para pelaut muslim ke benua Amerika bukan sekedar
bertujuan untuk piknik atau jalan-jalan, tetapi menyebarkan agama terakhir yang
Allah turunkan, yaitu DIENUL ISLAM[2].
Kemudian ada sumber lain yang mengatakan laksamana Cheng Ho
adalah tokoh yang ikut andil dalam penemuan benua Amerika, Klaim
bukti bahwa laksamana China memetakan Belahan Bumi Barat (Western Hemisphere)
lebih dari 70 tahun sebelum Columbus, adalah salah satu klaim yang dimuat
penulis Gavin Menzies dalam buku barunya, 'Who Discovered America?'
"Kisah tradisional bahwa Columbus menemukan 'dunia baru' adalah fantasi belaka," kata dia seperti dimuat Daily Mail, 8 Oktober 2013.
Ia bahkan yakin, Columbus memiliki salinan peta Cheng Ho saat mengarungi samudera menuju Amerika. Menzies juga mengatakan, armada megah kapal China yang dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun sebelum Ferdinand Megellan orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia, orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik, dan orang pertama yang memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia.
Lebih jauh lagi, Menzies mengklaim, pemukim pertama Belahan Bumi Barat tidak berasal dari 'Jembatan Selat Bering', tapi pelaut China yang pertama melintasi Samudera Pasifik sekitar 40 ribu tahun lalu[3].
"Kisah tradisional bahwa Columbus menemukan 'dunia baru' adalah fantasi belaka," kata dia seperti dimuat Daily Mail, 8 Oktober 2013.
Ia bahkan yakin, Columbus memiliki salinan peta Cheng Ho saat mengarungi samudera menuju Amerika. Menzies juga mengatakan, armada megah kapal China yang dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun sebelum Ferdinand Megellan orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia, orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik, dan orang pertama yang memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia.
Lebih jauh lagi, Menzies mengklaim, pemukim pertama Belahan Bumi Barat tidak berasal dari 'Jembatan Selat Bering', tapi pelaut China yang pertama melintasi Samudera Pasifik sekitar 40 ribu tahun lalu[3].
Diketahui
pengakuan pengakuan dari Columbus, Selain itu juga ada catatan dari Colombus sendiri, bahwa
pada 21 Oktober 1492 dia melihat masjid dalam pelayarannya antara Gibara dan
Pantai Kuba. Ini menunjukkan bahwa Colombus pun mengakui bahwa sudah ada
sejumlah masyarakat di Amerika yang memeluk agama Islam, sebelum kedatangannya.
Colombus mengira bahwa pulau tersebut masih perawan, belum berpenghuni sama
sekali. Mereka berorientasi menjadikan pulau tersebut sebagai perluasan wilayah
Spanyol. Tetapi setelah menerobos masuk, Columbus ternyata kaget menemukan
bangunan yang persis pernah ia lihat sebelumnya ketika mendarat di Afrika.
Bangunan megah itu adalah Masjid yang dipakai oleh Orang-orang Islam untuk
beribadah. Semula Columbus disambut dengan ramah oleh suku Indian, tetapi
setelah ketahuan niat buruknya datang di pulau itu, Colombus banyak mendapat
resistensi dari penduduk setempat. Beberapa armada kapal milik rombongan
Colombus ditenggelamkan oleh suku Indian sebab mereka merasa terganggu dan
terancam oleh kedatangan Colombus.
Dengan beberapa sumber
yang lahir sekarang-sekarang seolah men-judge bahwa benar bukanlah Columbus
yang menjadi penemu benua Amerika ini benar-benar menguatkan argumen dari
Howard Zinn, namun dari penyampaian Zinn yang begitu frontal menjadikan
kontroversi di kalangan sejarahwan dan tentunya merubah spekulasi yang berbeda
dari setiap pembaca. Saat itulah Zinn menjatuhkan sejarahwan lain yang
menganggap Columbus sebagai penemu Amerika, dengan kenyataan ini ketika Zinn
menganggap yang lain adalah pecundang sebenarnya orang yang kalah itu adalah
dirinya karena menangkis beberapa referensi dengan arogan dan radikal.
Masyarakat Amerika tentunya dengan mudah terpengaruhi karena
menurut fakta data yang diambil dari Wikipedia mengenai List of Countries by
Literacy Rate, United States menduduki peringkat yang tinggi. Di sana disajikan
bahwa literacy rate untuk semua kalangan sudah mencapai 99%, male literacy 99%,
dan female literacy 99%. Sudah dipastikan dengan data tersebut, orang Amerika
tidak mengalami kesulitan untuk memahami sebuah buku dan dengan mudah untuk
mengaplikasikannya ke dalam mindset mereka.
Literasi yang sangat kuat memang dimunculkan oleh orang
Amerika dengan menjunjung tinggi buku hingga ditetapkanlah hari buku dunia
“World Book Day” yang dicetuskan oleh UNESCO pada tanggal 23 April sebagai
motivasi setiap orang untuk membudayakan kehidupan literasi. Namun bercermin
pada Indonesia yang tingkat literasi yang mengkhawatirkan, bahkan untuk
mengkritisi suatu buku saja sangat begitu berat.
Seperti yang terlihat dalam kenyataannya Amerika menjadi
Negara Adikuasa karena kemampuan masyarakatnya yang tinggi dalam berlitersi.
Kita tidak sadar, bahkan kita tidak tahu bahwa mereka bisa mengubah dunia lewat
buku yang mereka klaim sebagai mahakarya mereka. Negara Baghdad kala itu
menjadikan buku sebagai “pedoman”, padahal agama Islam yang mengajarkan bahwa
kekuatan dari kitab suci Al-Qur’an adalah sebagai pedoman sudah seharusnya
orang muslim lebih mendominasi dalam dunia literasi dan kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan.
Islam sering kali diberikan gambaran oleh orang-orang dan
golongan yang tidak pernah mengenalnya sebagai agama yang mundur dan
memundurkan. Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan saja tidak benar
tetapi justru bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya. Sejarah
adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah telah membuktikan betapa dunia
Islam telah melahirkan banyak golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat
dalam berbagai bidang keilmuwan.
Salah satu contohnya adalah Abu Raihan Al-Biruni, ilmuan
ahli astronom dan fisika yang jarang tertangkap kamera sejarah. Sekarang yang
kita tahu ahli astronom itu adalah Aristoteles, Nicolas Copernicus, dan
ilmuan-ilmuan lain yang berbangsa barat. Dan dari orang-orang baratlah
ilmu-ilmu itu kemudian dicuri, lalu dipatenkan atas nama mereka masing-masing
untuk mencari keuntungan. Banyak sekali penemuan-penemuan dari kebudayaan Islam
yang luput dari pandangan manusia.
Jalaludin Rakhmat dalam bukunya pernah menyatakan bahwa
perubahan sosial seringkali disebabkan oleh empat hal, yakni ide besar, tokoh
besar, gerakan sosial dan revolusi. Dua penyebab pertama mencerminkan kekuatan
ide dan ketokohan dalam melemparkan sebuah wacana dalam masyarakat. Tetapi yang
tetap diyakini adalah bagaimana kekuatan pikiran dalam buku sangat
’berpengaruh’ secara massif dalam masyarakat pembaca. Oleh karenanya wajar jika
Napoleon Bonarparte begitu ketakutan dengan kekuatan tulisan ketimbang sejumlah
tentara di medan laga.
Kebanyakan orang sering memungkiri bahwa buku tidak
mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat. Padahal konten dari buku yang membuat
kekuatan itu dapat terasa. Tapi buku sebenarnya hanyalah pemantik, buku hanya memberikan
sebuah perspektif baru, yang seringkali mampu mengoyak tatanan masyarakat.
Problematika buku diawali pada era Soeharto yang merupakan
era kedigdayaan sensor buku. Hampir semua buku bernada kiri diberangus dan tak
mendapat ruang. Salah satu yang kita kenal adalah pelarangan terhadap buku-buku
Pramoedya Ananta Toer. Ini menarik karena buku Hoakio di Indonesia
karangannya dilarang pada zaman Sukarno dan berujung pemenjaraan Pram.
Sementara buku Tetralogi Pulau Buru juga dilarang oleh Suharto. Ia
adalah penulis yang dimusuhi dua rezim sekaligus.
Seusai Reformasi pelarangan buku tetap terjadi. Seperti yang
dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Intelejen (JAM Intel) pada 2009 lalu.
Dasar hukumnya adalah UU No. 4/PNPS/1963 sebuah undang undang yang kepalang
bapuk dan uzur untuk digunakan pada hari ini. Setidaknya ada Lima buku yang
dilarang oleh JAM Intek karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Di
antaranya adalah Dalih Pembunuhan Masal oleh John Rossa dan Lekra Tak Membakar
buku oleh Muhidin M. Dahlan.
Tapi manusia yang mencintai buku tidak tinggal diam. Ada
upaya-upaya untuk melawan usaha pembungkaman terhadap buku. Salah satunya
adalah Pekan Buku Terlarang atau Banned Books Week yang dimulai sejak
1982. Acara ini dilakukan sebagai sebuah respon dari berbagai buku yang
dilarang atau diharamkan dibaca di sekolah atau oleh negara. Sejak berdiri
terdaftar ada sekitar 11.300 terlarang yang telah dibaca secara publik sebagai
usaha perlawanan.
Perubahan baku-pikir (mindset) dari para rohaniawan
moderat juga turut membantu perang terhadap pengkerdilan buku. Salah satunya
seperti yang dilakukan oleh Paus Paulus ke VI pada 14 Juni 1966 dengan mencabut
Index Librorum Prohibitorum. Meski dengan catatan bahwa buku yang ada
dalam daftar tersebut tetap memiliki potensi menggoyahkan iman dan merusak
akidah. Namun siapapun yang membaca “Tak lagi berdosa dan harus dihukum”.
Demikian problema yang ditimbulkan dari rangkaian-rangkaian
huruf yang mempunyai kekuatan yang dapat menggemparkan dunia. Dengan gagahnya
Howard Zinn berteriak dalam bukunya A People’s History of The United States. Kecerdasan
dari peran seorang pembaca sangat dipertaruhkan agar tidak mudah terprovokasi
karena sebuah buku, Morrison yang mengungkap sejarah tentang Columbus mampu
ditentang radikal oleh seorang Howard Zinn yang keturunan seorang pelayan dan
ibu rumah tangga. Columbus dengan catatan
kasarnya menjadi seorang pembantai dinobatkan sebagai orang yang berjasa
menemukan benua Amerika, sangat kontras dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Namun mengingat sisi gelap dari Howard Zinn sang kritikus, kiranya terlalu
berlebihan jika hanya menyoroti sisi negatif dari tokoh-tokoh besar dunia
hingga para sejarahwan. Kekuatan argumen tidak berhenti pada satu sumber, namun
memerlukan referensi lain untuk menguatkannya, sehingga dengan mudah setiap
pembaca menilai bahwa Zinn pula menjadi tokoh yang radikal meski tidak
melakukan tindakan yang konkret. Namun dengan latar belakang yang keras, dan
sempat memprovokasi mahasiswa untuk melakukan tindak anarkis itu bukan
merupakan tindakan yang sportif.
Secara keseluruhan, hendaklah mencari referensi lain dan
tumbuhkan jiwa literasi dalam diri agar tidak mudah terprovokasi atas setiap argument
yang dituliskan pada setiap buku. Amerika yang tinggi akan tingkat literasinya
pun tidak menutup kemungkinan mudah tergoyahkan atas setiap argumen yang
dicetak pada setiap buku. Buku dapat menjadi boomerang apabila tidak diolah
dengan baik dan literasi yang rendah.
FOOTNOTE
Howard,
Zinn. (1980). A People’s History of The
United States. United States: Harper & Row; HarperCollins
Links:
[1]
Dwitya, Gde. 2010. “Howard Zinn dan Sejarah Orang-orang Kalah”. Diakses dari http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/esai/item/324-howard-zinn-dan-sejarah-orang-orang-kalah.html
[2] Faktabukanopini.com.
“Columbus Bukanlah Penemu Benua Amerika”. Diakses dari http://www.ivanaris.com/2011/03/colombus-bukanlah-penemu-benua-amerika.htmlkalah.html
[3]
Liputan 4 News, “Ini Bukti Laksamana Cheng How Penemu Amerika Bukan Columbus”
diakses dari http://news.liputan6.com/read/715137/ini-bukti-laksamana-cheng-ho-penemu-amerika-bukan-columbus


Subscribe to:
Post Comments (Atom)