Thursday, March 6, 2014

“Nothing Book and literacy without history”



“Nothing Book and literacy without history”
 “Buku” adalah sesuatu yang sangat istimewa, hebat dan duku juga merupakan jendela dunia yang dapat mengubah bumi tempat kita berpijak ini, tidak ada seorang pun yang memungkirinya. Sesaat sebelum membacanya (buku), terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa yang penuh oleh teori-teori, cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Namun siapa sangka, dibalik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi. Yang bisa diarahkan untuk kebaikan maupun keburukan. Bagi kemaslahatan maupun bencana.

Inilah fakta kekuatan dari sebuah buku ketika saya telah menganalisis sebuah wacana dari Howard Zinn yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books”. Dimana buku memiliki kekuatan-kekuatan, kekuatan dimaksud bisa menimbulkan pengaruh baik maupun buruk. Dalam wacana tersebut dapat saya tarik benang merah yaitu:
1.      Kekuatan dari buku.
·         Buku dapat merubah Dunia.
·         Buku dapat merubah hidup seseorang.
·         Buku dapat merubah ideologi
2.      Kontroversi sebuah buku yang di buat oleh Howard Zinn, berjudul “A people’s History of United States” mengenai fakta sesungguhnya dari Christopher Colombus.

Buku sebagai sejarah peradaban literasi.
Dalam wacana ini Zinn lebih mengungkapkan pengalaman pribadinya mengenai buku sebagai bagian penting dari hidupnya. Tidak hanya pengalaman dirinya saja, namun Zinn juga mengungkapakan beberapa orang yang mengakui kekuatan besar dari sebuah buku, “buku dapat merubah hidup seseorang” seperti yang dikatakan zinn ketika ia bertemu dengan seorang mahasiswa yang sedang membaca buku “The Colour Purple” by Alice Walker yang ternyata murid zinn dan mahasiswa tersebut berkata bahwa buku telah merubah hidupnya. Zinn sungguh sangat terkejut mendengar pernyataan tersebut, namun Zinn menyadari memang dalam pengalamannya ketia ia menemukan sebuah buku di jalan dan dia sadar bahwa orang tuanya tidak memiliki satu bukupun dirumahnya, kemudian ia merasakan buku tersebut sangat berpengaruh besar dalam hidupnya dan menyepakati bahwa buku dapat merubah hidup seseorang dengan begitu ketika setiap orang merubah pola pikir dan pola hidup dengan buku, ini akan membenarkan statment “buku dapat merubah dunia”.
Bagaimana kita dapat mengubah dunia? Para pemimpin militer atau para pemimpin dunia kerap menggunakan senjata dan pengaruh mereka untuk mengubah peta perpolitikan dunia, para ilmuwan menemukan temuan-temuan baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, orang-orang kreatif seperti Bill Gates, Steve Jobs membuat dunia seakan semakin menyempit dan dengan cepat kita dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Lalu bagaimana dengan buku? sanggupkah sebuah buku mengubah dunia?
Buku adalah kunci peradaban, sejak ribuan tahun yang lampau, buku dalam bentuk yang paling sederhana hingga buku elektronik telah menjadi sarana bagi para filsuf, teolog, sejarahwan, ilmuwan, dan sastrawan untuk menyebarluaskan ide-ide mereka. Mereka berharap ide-ide mereka dapat dibaca di masa buku itu ditulis maupun di masa depan dari generasi ke generasi.
Buku dengan sendirinya cepat atau lambat akan menyebarluaskan ide-ide penulisnya ke seluruh dunia, tidak hanya bagi orang yang membacanya langsung, melainkan juga pada orang-orang yang tidak pernah membuka-buka halamannya sekalipun. Pertanyaannya sekarang buku apa yang berpengaruh pada perubahan dunia? Faktanya sudah banyak orang atau lembaga literasi yang membuat daftar buku-buku yang mempengaruhi dunia, salah satunya adalah Andrew Taylor, jurnalis Inggris yang pada tahun 2008 menerbitkan buku berjudul Books That Changed The World. Di bukunya ini Taylor memilih 49 buku dari berbagai genre mulai dari puisi, politik, fiksi, filsafat, teologi, antropologi, ekonomi, hingga fisika. Semua itu diyakininya dapat mewakili bagaimana buku-buku itu mempengaruhi dunia baik dari nilai-nilai moral, kemanusiaan, alam semesta, teknologi, perekonomian dunia, hingga bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan berjalan .
Dalam bukunya ini Andrew Taylor mengupas ke 49 buku yang dipilihnya secara kronologis berdasarkan tahun terbit mulai dari Iliad yang diyakini sebagai karya puisi epik tertua di dunia Barat yang ditulis oleh Homer pada abad ke 8 SM hingga seri pertama novel Harry Potter : Harry Potter and the Philospoher ‘s Stone pada tahun 1997 yang memecahkan rekor dunia sebagai buku terlaris dimana hingga buku ini ditulis telah terjual sebanyak 400 juta eks dalam 67 bahasa dan menjadi awal dari sensasi terbesar penerbitan di era modern.
Dalam buku ini, Andrew Taylor menempatkan tiap buku dan pengarangnya dalam konteks sejarahnya, meringkaskan isi buku yang dibahas, serta menjelaskan pengaruh dan warisan dari buku-buku tersebut pada dunia baik dimasa buku itu terbit hingga kini. Sebagai contoh antara lain bagaimana dengan tersedianya Alkitab dalam bentuk cetakan akan menandai revolusi politik dan sosial di Eropa ketika masyarakat awam mulai mempertanyakan kewenangan lembaga keagamaan dalam sistem pemerintahan negara.
Sebagai tambahan, khusus untuk edisi bahasa Indonesianya, selain ke 49 buku yang dibahas, penerbit Erlangga menambahkan bab khusus berjudul 4 buku yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia yaitu Nagarakertagama, Sutasoma, Max Havelaar, dan buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Sayangnya penerbit tak memberikan pengantar yang menjelaskan mengapa ke-4 buku tersebut yang dimasukkan kategori buku yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Adakah korelasi buku,sejarah dan literasi? Jelas ada, Buku tercipta sejak jaman dahulu Buku pada awalnya hanya berupa tanah liat yang dibakar, mirip dengan proses pembuatan batu bata di masa kini. Buku tersebut digunakan oleh penduduk yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia Kecil sekitar tahun 2000 SM.
Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku. Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment (perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai hingga sekitar tahun 300 Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi lenbar-lembar yang disatukan dengan sistem jahit. Model ini disebut codex, yang merupakan cikal bakal lahirnya buku modern seperti sekarang ini. Pada tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun, seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan kertas dari bahan serat yang disebut hennep. Serat ini ditumbuk, kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga menjadi bubur. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering. Setelah mengering, bubur berubah menjadi kertas.
Pada tahun 751, pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand, Asia tenganh, dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai tawanan oleh bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya, memperkenalkan kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol. Tahun 1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano, Italia tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya pembuatan kertas inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia semakin berkembang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa buku saja memiliki sejarah, buku merupakan faktor yang sangat mempengaruhi literasi, karena buku merupakan media literasi, bayangkan jika tidak ada karya buku? Bagaimana kita dapat berliterasi?.
 Sejarah juga sebagai tombak terpenting dalam peradaban literasi, dengan adanya sejarah dan buku, sangat berpengaruh pada pengetahuan kita dalam berliterasi. Dahulu kala sebenarnya sudah terjadi literasi, seperti penulisan suhuf-suhuf AL-Qur’an dalam pelepah kurma, kulit hewan dan sebagainya sehingga abadi hingga sekarang dalam bentuk yang baik, awet dan menarik. Berkat sejarah kita mengetahui fakta-fakta tentang sesuatu yang belum terungkap. Berkat orang-orang literate terdahululah sejarah masih tersimpan hingga sekarang ini.
Ini berkaitan dengan Pendapat Lehtonen tentang teks  yaitu menjelaskan bahwa teks terbagi menjadi dua bagian yaitu text as physical being dan text as semiotic beings. Kedua sisi ini saling berkaitan. Hal ini berguna untuk mempelajari teks dan sudut ini, baik sebagai dalam fisik dan semiotik.
Lehtonen (2000) juga mengatakan, mempelajari teks-teks adalah masalah mempelajari kehidupan kita. Kita tidak pernah bisa terlepas dari teks sebagai teks adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Lehtonen lanjut menekankan bahwa isu penting yang perlu dibangkitkan, terutama dalam praktek pengajaran teks-terkait, adalah "bagaimana teks-teks yang terkandung dalam, atau menjadi terkait dengan kaleidoskop yang selalu berubah dari kehidupan sehari-hari".
              Definisi diatas menjelaskan bahwa betapa pentingnya teks dalam kehidupan sehari-hari kita, karena mempelajari teks adalah masalah mempelajari kehidupan kita, ditekankan bahwa buku dapat merubah hidup seseorang. Karena dalam prakteknya kita akan membaurkan teks dalam kehidupan kita, ketika kita membaca koran, majalah, novel, dan buku kita berbaur dengan teks. keterkaitan antara sejarah dan praktik literasi adalah sebuah fase penting yang tidak mungkin terpisahkan.
Misteri penemu benua amerika terkuak.
Ihwal salah satu buku karya Zinn yang berjudul “A people’s History of United States” yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam definisi Spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan sejarah. Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung: Christoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Ada yang salah ketika para sejarahwan menganggap profesi mereka sama dengan para kartografer, ujar Zinn. Pembuat peta dengan sengaja menyederhanakan realitas, menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang yang tak penting terlihat. Itu yang membuat di peta Indonesia, kepulauan kita jadi datar dan tak perlu ada gambar benua  Amerika di sana. Namun menulis sejarah adalah hal yang sungguh-sungguh berbeda.
Ketika distorsi atau bias para kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan biasnya tiada lain adalah bias ideologis. Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial ataupun nasional. Namun sayangnya dalam penuturan historis, bias ini tidak seterang sebagaimana dalam penulisan peta. Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama yang tunggal. Para penulis tertentu seakan lupa bahwa produksi pengetahuan adalah alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa bangsa.
Inilah kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Seandainya Morison adalah seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi  di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon
Tambahan Fakta2 yg kemudian terungkap berdasarkan dokumen-dokumen dan jurnal-jurnal yg ditulis oleh saksi mata dan oleh Columbus sendiri:
Ø  Ketika bangsa Spanyol baru mendarat di benua Amerika, para orang2 Indian menyambutnya dengan gegap gempita dan rasa ingin tahu, mereka menyuguhi bangsa Spanyol dengan berbagai makanan dan minuman serta memberikan berbagai macam hadiah, Columbus menuliskan hal tsb di buku hariannya:
"Mereka membawakan kita beo dan bola kapas dan tombak dan banyak hal lainnya, yang mereka ingin pertukarkan dgn manik-manik kaca dan lonceng elang '. Mereka rela menyerahkan segala yang mereka miliki. Mereka tegap, dengan tubuh yang baik dan wajah tampan .... Mereka tidak memanggul senjata, dan tidak mengenal senjata, karena aku menunjukkan kepada mereka pedang, mereka memegang bagian yg tajam dan melukai tangan mereka sendiri akibat ketidaktahuannya itu. Mereka tidak mengenal besi/iron. tombak mereka dibuat dari tebu. Mereka akan menjadi budak yg baik. Dengan hanya lima puluh orang, kita bisa menundukkan mereka semua dan membuat mereka melakukan apapun yang kita inginkan."
Ø  Columbus dan anak buahnya juga menggunakan Taino sebagai budak seks: adalah hal yg biasa bagi Columbus menghadiahi anak buahnya dengan wanita lokal untuk diperkosa. Saat ia mulai mengekspor Taino sebagai budak ke berbagai belahan dunia, perdagangan seks-budak menjadi bagian penting dari bisnis, seperti Columbus menulis kepada seorang teman pada tahun 1500: "Dengan seratus castellanoes (koin Spanyol) sangat mudah memperoleh wanita seperti halnya untuk pertanian, dan sangat umum dan ada banyak dealer yang bersedia mencari anak perempuan;. mereka 9-10 (tahun) sekarang sedang diminati "
Ø  Akibat kekejaman pemerintahan bangsa Eropa terhadap suku asli, ribuan Indian melakukan bunuh diri massal dengan meminum racun yang terbuat dari singkong (cassava). Banyak orang tua membunuhi bayi2 mereka untuk melepaskan mereka dari penderitaan hidup di bawah kekuasaan Spanyol.
Ø  Salah seorang anak buah Columbus, Bartolome De Las Casas, merasa sgt bersalah atas kekejaman brutal Columbus terhadap penduduk asli, ia berhenti bekerja untuk Columbus dan menjadi seorang imam Katolik. Ia menggambarkan bagaimana orang-orang Spanyol di bawah komando Columbus memotong kaki anak-anak yang lari dari mereka, untuk menguji ketajaman pisau mereka. 
Ø  Menurut De Las Casas, para pria membuat taruhan siapa yang, dengan satu sapuan pedangnya, bisa memotong seseorang menjadi dua. Dia mengatakan bahwa anak buah Columbus 'menuangkan air sabun mendidih daiatas orang2. Dalam satu hari, De Las Casas pernah menjadi saksi mata tentara Spanyol memotong-motong, memenggal, atau memperkosa 3000 orang asli. "Inhumanities tersebut dan barbarisms itu dilakukan di depan mataku seperti umur tidak bisa paralel," tulis De Las Casas. "Mataku telah melihat tindakan ini begitu asing terhadap sifat manusia yang sekarang saya gemetar saat aku menulis."
Ø  Sepulang dari amerika, Columbus dan anak buahnya menyebarkan penyakit sipilis ke eropa, sebaliknya orang eropa menyebarkan penyakit smallpox ke orang2 indian.
Pernyataan-pernyataan diatas adalah bantahan-bantahan mengenai bukan colombus lah yang menemukan benua Amerika.
Dari semua pernyataan diatas saya mengkritik beberapa point yang merupakan kelemahan dari wacana Howard Zinn yaitu Pertama, Howard Zinn tidak menjelaskan definisi secara konkrit mengenai maksud dari judul wacananya tersebut, hanya memberikan gambaran saja dalam isi. Sehingga membuat pembaca kurang merasakan cita rasa dari judul wacana tersebut
Kedua, Zinn terlalu menunjukan ketidaksukaan terhadap Amerika. Pada dasarnya memang dia adalah seoang politikus, ilmuan yang hebat dalam bukunya Howard Zinn: A People’s History of the United States. Di dalam buku ini Anda akan temukan bagaimana orang-orang Eropa yang menduduki Amerika secara kejam dan keji menghabisi The Native Americans. Luar biasa mengerikan; salah satu bentuk ethnic-cleansing yang paling kejam dalam sejarah manusia.

Ketiga, Zinn tidak menyebutkan kualifikasi buku-buku, karena setiap buku pasti berbeda pandangannya. Seperti buku-buku politik, buku-buku motivasi dan sebagainya Apakah semua buku memiliki power yang sama? Tentu tidak sama bukan?
Keempat, Zinn hanya menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain, Zinn tidak menyebutkan bahwa Amerika telah lebih dulu 'ditemukan' kaum Muslimin atau orang dari Negeri China. Seperti yang saya kutip Menurut catatan ahli sejarah dan ahli geografi muslim Al Masudi (871 – 957), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad seorang navigator muslim dari Cordoba di Andalusia, telah sampai ke benua Amerika pada tahun 889 Masehi.
Dalam bukunya, ‘Muruj Adh-dhahab wa Maadin al-Jawhar’ (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), Al Masudi melaporkan bahwa di masa pemerintahan Khalifah Spanyol Abdullah Ibn Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad berlayar dari Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik, hingga mencapai wilayah yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhoola, dan kemudian kembali dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
Sesudah itu banyak pelayaran yang dilakukan mengunjungi daratan di seberang Lautan Atlantik, yang gelap dan berkabut itu. Al Masudi juga menulis buku ‘Akhbar Az Zaman’ yang memuat bahan-bahan sejarah dari pengembaraan para pedagang ke Afrika dan Asia. Beberapa nama tetap begitu kesohor sampai saat ini bahkan hampir semua orang pernah mendengarnya sebut saja Tjeng Ho dan Ibnu Batutta, namun beberapa lagi hampir-hampir tidak terdengar dan hanya tercatat pada buku-buku akademis.
ü  Pelayaran dari Delba, Palos, Spanyol tahun 900-an Masehi.
Dr. Youssef Mroueh juga menulis bahwa selama pemerintahan Khalifah Abdul Rahman III (tahun 929-961) dari dinasti Umayah, tercatat adanya orang-orang Islam dari Afrika yang berlayar juga dari pelabuhan Delba (Palos) di Spanyol ke barat menuju ke lautan lepas yang gelap dan berkabut, Lautan Atlantik. Mereka berhasil kembali dengan membawa barang-barang bernilai yang diperolehnya dari tanah yang asing.
ü  Pelayaran dari Granada, Spanyol tahun 999 Masehi.
Beliau juga menuliskan menurut catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Spanyol, Hisham II (976-1009) seorang navigator dari Granada bernama Ibn Farrukh tercatat meninggalkan pelabuhan Kadesh pada bulan Februari tahun 999 melintasi Lautan Atlantik dan mendarat di Gando (Kepulaun Canary). Ibn Farrukh berkunjung kepada Raja Guanariga dan kemudian melanjutkan ke barat hingga melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana. Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada bulan Mei 999.
ü  Pelayaran dari Maroko, Afrika tahun 1291 Masehi
Perlayaran melintasi Lautan Atlantik dari Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari Tarfay di Maroko pada zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 – 1307) raja keenam dalam dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau Green di Laut Karibia pada tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan perjalanan ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam.
ü  Pelayaran dari Timbuktu, Afrika tahun 1300-anMasehi
Sultan-sultan dari kerajaan Mali di Afrika barat yang beribukota di Timbuktu, ternyata juga melakukan perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) memerinci eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan keilmuan yang maju di Afrika. Ekpedisi perjalanan darat dan laut banyak dilakukan orang menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan yang tercatat melanglang buana hingga ke benua baru saat itu adalah Sultan Abu Bakari I (1285 – 1312) dan saudara dari Sultan, Mansa Kankan Musa (1312 – 1337) yang telah melakukan dua kali ekspedisi melintas Lautan Atlantik hingga ke Amerika dan bahkan menyusuri sungai Mississippi. Sultan Abu Bakari I melakukan eksplorasi di Amerika tengah dan utara dengan menyusuri sungai Mississippi antara tahun 1309-1312. Para eksplorer ini berbahasa Arab.
Piri Reis Map
Dua abad kemudian, penemuan benua Amerika diabadikan dalam peta berwarna Piri Re’isi yang dibuat tahun 1513, dan dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I tahun 1517. Peta ini menunjukkan belahan bumi bagian barat, Amerika selatan dan bahkan benua Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil secara cukup akurat!
Piri Reis Map dibanding peta modern, sangat akurat
Bukti lainnya adalah, Columbus sendiri mengetahui bahwa orang-orang Carib (Karibia) adalah pengikut Nabi Muhammad. Dia faham bahwa orang-orang Islam telah berada di sana terutama orang-orang dari Pantai Barat Afrika.
Mereka mendiami Karibia, Amerika Utara dan Selatan. Namun tidak seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak rakyat Amerika. Orang-Orang Islam datang untuk berdagang dan bahkan beberapa menikahi orang-orang pribumi. Lebih lanjut Columbus mengakui pada 21 Oktober 1492 dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba melihat sebuah masjid (berdiri di atas bukit dengan indahnya menurut sumber tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa reruntuhan masjid telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Dan tahukah anda? Dua orang nahkoda kapal yang dipimpin oleh Columbus yaitu kapten kapal Pinta dan Nina adalah orang-orang muslim yaitu dua bersaudara Martin Alonso Pinzon dan Vicente Yanex Pinzon yang masih keluarga dari Sultan Maroko Abuzayan Muhammad III (1362). [THACHER,JOHN BOYD: Christopher Columbus, New York 1950]
Dan mengapa hanya Columbus saja yang sampai saat ini dikenal sebagai penemu benua Amerika? Karena saat terjadi pengusiran kaum Yahudi dari Spanyol sebanyak 300.000 orang Yahudi oleh raja Ferdinand seorang Kristen yang taat, membuat orang-orang Yahudi menggalang dana untuk pelayaran Columbus dan berita ‘penemuan benua Amerika’ dikirim pertama kali oleh Christopher Columbus kepada kawan-kawannya orang Yahudi di Spanyol..!
Pelayaran Columbus ini nampaknya haus publikasi dan diperlukan untuk menciptakan legenda sesuai dengan ‘pesan sponsor’ Yahudi sang penyandang dana. Kisah selanjutnya kita tahu bahwa media massa dan publikasi dikuasai oleh orang-orang Yahudi yang bahkan dibenci oleh orang-orang seperti Henry Ford si raja mobil Amerika itu.
Maka tampak ada ketidak-jujuran dalam menuliskan fakta sejarah tentang penemuan benua Amerika. Penyelewengan sejarah oleh orang-orang Yahudi yang terjadi sejak pertama kali mereka bersama-sama orang Eropa menjejakkan kaki ke benua Amerika. Dan tahukah anda? sebenarnya laksamana Zheng He atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama laksamana Cheng Ho adalah juga penemu benua Amerika pertama, sekitar 70 tahun sebelum Columbus?

Admiral Zheng He (Laksamana Cheng Ho)
Sekitar 70 tahun sebelum Columbus menancapkan benderanya di daratan Amerika, Laksamana Zheng He sudah lebih dulu datang ke sana.
Para peserta seminar yang diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London beberapa waktu lalu dibuat terperangah. Adalah seorang ahli kapal selam dan sejarawan bernama Gavin Menzies dengan paparannya dan lantas mendapat perhatian besar. Tampil penuh percaya diri, Menzies menjelaskan teorinya tentang pelayaran terkenal dari pelaut mahsyur asal Cina, Laksamana Zheng He (kita mengenalnya dengan Ceng Ho).
Bersama bukti-bukti yang ditemukan dari catatan sejarah, dia lantas berkesimpulan bahwa pelaut serta navigator ulung dari masa dinasti Ming itu adalah penemu awal benua Amerika, dan bukannya Columbus. Bahkan menurutnya, Zheng He ‘mengalahkan’ Columbus dengan rentang waktu sekitar 70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat kehebohan lantaran masyarakat dunia selama ini mengetahui bahwa Columbus-lah si penemu benua Amerika pada sekitar abad ke-15. Pernyataan Menzies ini dikuatkan dengan sejumlah bukti sejarah.
Adalah sebuah peta buatan masa sebelum Columbus memulai ekspedisinya lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi milik Zheng He yang dosodorkannya sebagai barang bukti itu. Menzies menjadi sangat yakin setelah meneliti akurasi benda-benda bersejarah itu
Namun disisi lain kebesaran dari Howard Zinn yaitu jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
“If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.”
Ini membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa pembaca butuh tahu.
Disini dapat disimpulkan bahwa buku memang memiliki power yang sangat kuat, power tersebut dapat berakibat baik maupun buruk. Karena tidak semua buku dapat merubah kehidupan seseorang menjadi baik, maka dari itu dengan berliterasilah kita dapat mengetahui mana buku-buku yang mampu merubah dunia kedalam kategori maju, dan mampu merubah dunia dengan maindset yang buruk pula. Maka buku tidak akan lepas dari literasi dan sejarah. Seperti yang telah saya katakan di atas bahwa keterkaitan antara sejarah dan praktik literasi adalah sebuah fase penting yang tidak mungkin terpisahkan. Literasi memiliki power yang sangat kuat untuk merubah dunia. Buku dapat mengubah dunia, tetapi terlebih dahulu ia mengubahmu. Betapa menyedihkan jika kamu bukan bagian dari dunia yg berubah.
Referensi  
Howard, Zinn. (1980). A People’s History of The United States. United States: Harper & Row; HarperCollins
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment