Thursday, March 6, 2014
Created By:
Nurul Fatimah
Ketiga, Zinn tidak menyebutkan kualifikasi buku-buku, karena setiap buku pasti berbeda pandangannya. Seperti buku-buku politik, buku-buku motivasi dan sebagainya Apakah semua buku memiliki power yang sama? Tentu tidak sama bukan?
Keempat, Zinn hanya menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain, Zinn tidak menyebutkan bahwa Amerika telah lebih dulu 'ditemukan' kaum Muslimin atau orang dari Negeri China. Seperti yang saya kutip Menurut catatan ahli sejarah dan ahli geografi muslim Al Masudi (871 – 957), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad seorang navigator muslim dari Cordoba di Andalusia, telah sampai ke benua Amerika pada tahun 889 Masehi.
“Nothing Book and literacy without history”
“Buku” adalah sesuatu yang sangat istimewa, hebat dan duku juga
merupakan jendela dunia yang dapat mengubah bumi tempat kita berpijak ini,
tidak ada seorang pun yang memungkirinya. Sesaat sebelum membacanya (buku),
terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa
yang penuh oleh teori-teori, cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan
jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Namun siapa sangka, dibalik sebuah buku
dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku,
sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat,
menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau
akan terjadi. Yang bisa diarahkan untuk kebaikan maupun keburukan. Bagi
kemaslahatan maupun bencana.
Inilah fakta
kekuatan dari sebuah buku ketika saya telah menganalisis sebuah wacana dari
Howard Zinn yang berjudul “Speaking
Truth to Power with Books”. Dimana buku
memiliki kekuatan-kekuatan, kekuatan dimaksud bisa menimbulkan pengaruh
baik maupun buruk. Dalam wacana tersebut dapat saya tarik benang merah yaitu:
1.
Kekuatan
dari buku.
·
Buku
dapat merubah Dunia.
·
Buku
dapat merubah hidup seseorang.
·
Buku
dapat merubah ideologi
2.
Kontroversi
sebuah buku yang di buat oleh Howard Zinn, berjudul “A people’s History of
United States” mengenai fakta sesungguhnya dari Christopher Colombus.
Buku
sebagai sejarah peradaban literasi.
Dalam wacana
ini Zinn lebih mengungkapkan pengalaman pribadinya mengenai buku sebagai bagian
penting dari hidupnya. Tidak hanya pengalaman dirinya saja, namun Zinn juga
mengungkapakan beberapa orang yang mengakui kekuatan besar dari sebuah buku,
“buku dapat merubah hidup seseorang” seperti yang dikatakan zinn ketika ia
bertemu dengan seorang mahasiswa yang sedang membaca buku “The Colour Purple”
by Alice Walker yang ternyata murid zinn dan mahasiswa tersebut berkata bahwa
buku telah merubah hidupnya. Zinn sungguh sangat terkejut mendengar pernyataan
tersebut, namun Zinn menyadari memang dalam pengalamannya ketia ia menemukan
sebuah buku di jalan dan dia sadar bahwa orang tuanya tidak memiliki satu
bukupun dirumahnya, kemudian ia merasakan buku tersebut sangat berpengaruh
besar dalam hidupnya dan menyepakati bahwa buku dapat merubah hidup seseorang
dengan begitu ketika setiap orang merubah pola pikir dan pola hidup dengan
buku, ini akan membenarkan statment “buku dapat merubah dunia”.
Bagaimana kita dapat mengubah dunia?
Para pemimpin militer atau para pemimpin dunia kerap menggunakan senjata dan
pengaruh mereka untuk mengubah peta perpolitikan dunia, para ilmuwan menemukan
temuan-temuan baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, orang-orang kreatif
seperti Bill Gates, Steve Jobs membuat dunia seakan semakin menyempit dan
dengan cepat kita dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain dalam
hitungan detik. Lalu bagaimana dengan buku? sanggupkah sebuah buku mengubah
dunia?
Buku adalah kunci peradaban, sejak
ribuan tahun yang lampau, buku dalam bentuk yang paling sederhana hingga buku
elektronik telah menjadi sarana bagi para filsuf, teolog, sejarahwan, ilmuwan,
dan sastrawan untuk menyebarluaskan ide-ide mereka. Mereka berharap ide-ide
mereka dapat dibaca di masa buku itu ditulis maupun di masa depan dari generasi
ke generasi.
Buku dengan
sendirinya cepat atau lambat akan menyebarluaskan ide-ide penulisnya ke seluruh
dunia, tidak hanya bagi orang yang membacanya langsung, melainkan juga pada
orang-orang yang tidak pernah membuka-buka halamannya sekalipun. Pertanyaannya
sekarang buku apa yang berpengaruh pada perubahan dunia? Faktanya sudah banyak
orang atau lembaga literasi yang membuat daftar buku-buku yang mempengaruhi
dunia, salah satunya adalah Andrew Taylor, jurnalis Inggris yang pada tahun
2008 menerbitkan buku berjudul Books That
Changed The World. Di bukunya ini Taylor memilih 49 buku dari berbagai
genre mulai dari puisi, politik, fiksi, filsafat, teologi, antropologi,
ekonomi, hingga fisika. Semua itu diyakininya dapat mewakili bagaimana
buku-buku itu mempengaruhi dunia baik dari nilai-nilai moral, kemanusiaan, alam
semesta, teknologi, perekonomian dunia, hingga bagaimana seharusnya sebuah
pemerintahan berjalan .
Dalam bukunya ini Andrew Taylor
mengupas ke 49 buku yang dipilihnya secara kronologis berdasarkan tahun terbit mulai
dari Iliad yang diyakini sebagai
karya puisi epik tertua di dunia Barat yang ditulis oleh Homer pada abad ke 8
SM hingga seri pertama novel Harry Potter : Harry
Potter and the Philospoher ‘s Stone pada tahun 1997 yang memecahkan rekor
dunia sebagai buku terlaris dimana hingga buku ini ditulis telah terjual
sebanyak 400 juta eks dalam 67 bahasa dan menjadi awal dari sensasi terbesar
penerbitan di era modern.
Dalam buku ini, Andrew Taylor
menempatkan tiap buku dan pengarangnya dalam konteks sejarahnya, meringkaskan
isi buku yang dibahas, serta menjelaskan pengaruh dan warisan dari buku-buku
tersebut pada dunia baik dimasa buku itu terbit hingga kini. Sebagai contoh
antara lain bagaimana dengan tersedianya Alkitab dalam bentuk cetakan akan
menandai revolusi politik dan sosial di Eropa ketika masyarakat awam mulai
mempertanyakan kewenangan lembaga keagamaan dalam sistem pemerintahan negara.
Sebagai tambahan, khusus untuk edisi
bahasa Indonesianya, selain ke 49 buku yang dibahas, penerbit Erlangga
menambahkan bab khusus berjudul 4 buku yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia
yaitu Nagarakertagama, Sutasoma, Max
Havelaar, dan buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Sayangnya penerbit
tak memberikan pengantar yang menjelaskan mengapa ke-4 buku tersebut yang
dimasukkan kategori buku yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Adakah
korelasi buku,sejarah dan literasi? Jelas ada, Buku tercipta sejak jaman dahulu
Buku pada awalnya hanya berupa tanah liat
yang dibakar, mirip dengan proses pembuatan batu bata di masa kini. Buku
tersebut digunakan oleh penduduk yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia
Kecil sekitar tahun 2000 SM.
Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku. Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment (perkamen).
Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku. Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment (perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai hingga sekitar tahun 300
Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi lenbar-lembar yang disatukan
dengan sistem jahit. Model ini disebut codex, yang merupakan cikal bakal
lahirnya buku modern seperti sekarang ini. Pada tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun,
seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan kertas dari bahan serat yang disebut
hennep. Serat ini ditumbuk, kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga
menjadi bubur. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering.
Setelah mengering, bubur berubah menjadi kertas.
Pada tahun 751, pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand,
Asia tenganh, dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai
tawanan oleh bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya,
memperkenalkan kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol.
Tahun 1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas
pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano, Italia
tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya pembuatan kertas
inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia semakin berkembang. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa buku saja memiliki sejarah, buku merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi literasi, karena buku merupakan media literasi,
bayangkan jika tidak ada karya buku? Bagaimana kita dapat berliterasi?.
Sejarah juga sebagai tombak
terpenting dalam peradaban literasi, dengan adanya sejarah dan buku, sangat
berpengaruh pada pengetahuan kita dalam berliterasi. Dahulu kala sebenarnya
sudah terjadi literasi, seperti penulisan suhuf-suhuf AL-Qur’an dalam pelepah
kurma, kulit hewan dan sebagainya sehingga abadi hingga sekarang dalam bentuk
yang baik, awet dan menarik. Berkat sejarah kita mengetahui fakta-fakta tentang
sesuatu yang belum terungkap. Berkat orang-orang literate terdahululah sejarah
masih tersimpan hingga sekarang ini.
Ini berkaitan dengan Pendapat
Lehtonen tentang teks yaitu menjelaskan
bahwa teks terbagi menjadi dua bagian yaitu text as physical being dan text as
semiotic beings. Kedua sisi ini saling berkaitan. Hal ini berguna untuk
mempelajari teks dan sudut ini, baik sebagai dalam fisik dan semiotik.
Lehtonen
(2000) juga mengatakan, mempelajari teks-teks adalah
masalah mempelajari kehidupan kita. Kita tidak pernah bisa terlepas dari teks
sebagai teks adalah bagian dari
kehidupan kita sehari-hari. Lehtonen lanjut menekankan
bahwa isu penting yang perlu dibangkitkan, terutama dalam praktek pengajaran teks-terkait, adalah
"bagaimana teks-teks yang terkandung dalam, atau menjadi terkait dengan kaleidoskop
yang selalu berubah dari kehidupan sehari-hari".
Definisi diatas menjelaskan bahwa betapa pentingnya teks
dalam kehidupan sehari-hari kita, karena mempelajari teks adalah masalah mempelajari
kehidupan kita, ditekankan bahwa buku dapat merubah hidup seseorang. Karena
dalam prakteknya kita akan membaurkan teks dalam kehidupan kita, ketika kita
membaca koran, majalah, novel, dan buku kita berbaur dengan teks. keterkaitan antara sejarah dan
praktik literasi adalah sebuah fase penting yang tidak mungkin terpisahkan.
Misteri
penemu benua amerika terkuak.
Ihwal salah satu buku karya Zinn yang berjudul “A people’s History of United States” yang
menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi
gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam definisi
Spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan sejarah. Sasaran
tembaknya tak tanggung tanggung: Christoper Colombus dan para sejarahwan yang
menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk
sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Ada yang salah ketika para sejarahwan menganggap
profesi mereka sama dengan para kartografer, ujar Zinn. Pembuat peta dengan
sengaja menyederhanakan realitas, menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang
yang tak penting terlihat. Itu yang membuat di peta Indonesia, kepulauan kita
jadi datar dan tak perlu ada gambar benua Amerika di sana. Namun menulis
sejarah adalah hal yang sungguh-sungguh berbeda.
Ketika distorsi atau bias para kartografer bersifat
teknis, maka para sejarahwan biasnya tiada lain adalah bias ideologis. Dalam
kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan
mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial ataupun
nasional. Namun sayangnya dalam penuturan historis, bias ini tidak seterang
sebagaimana dalam penulisan peta. Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca
punya sebuah kepentingan bersama yang tunggal. Para penulis tertentu seakan
lupa bahwa produksi pengetahuan adalah alat tempur dalam antagonisme antar
kelas sosial, ras, ataupun bangsa bangsa.
Inilah kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison
sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner.
Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan
menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis
Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan
halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih
menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal
yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala
pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk
menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Seandainya Morison adalah seorang politisi dan bukan
sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru karena
fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi begitu
mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan,
meski begitu tak manusiawi, itu perlu untuk sebuah kemajuan. Morison seakan
mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks,
namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi
kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi di kelas
pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian
Zinn menulis versi sejarah yang berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang
kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua
Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War
sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia
pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina
menurut tentara kulit hitam di Luzon
Tambahan Fakta2 yg kemudian
terungkap berdasarkan dokumen-dokumen dan jurnal-jurnal yg ditulis oleh saksi mata
dan oleh Columbus sendiri:
Ø Ketika
bangsa Spanyol baru mendarat di benua Amerika, para orang2 Indian menyambutnya
dengan gegap gempita dan rasa ingin tahu, mereka menyuguhi bangsa Spanyol
dengan berbagai makanan dan minuman serta memberikan berbagai macam hadiah, Columbus
menuliskan hal tsb di buku hariannya:
"Mereka
membawakan kita beo dan bola kapas dan tombak dan banyak hal lainnya, yang
mereka ingin pertukarkan dgn manik-manik kaca dan lonceng elang '. Mereka rela
menyerahkan segala yang mereka miliki. Mereka tegap, dengan tubuh yang baik dan
wajah tampan .... Mereka tidak memanggul senjata, dan tidak mengenal senjata,
karena aku menunjukkan kepada mereka pedang, mereka memegang bagian yg tajam
dan melukai tangan mereka sendiri akibat ketidaktahuannya itu. Mereka tidak
mengenal besi/iron. tombak mereka dibuat dari tebu. Mereka akan menjadi budak
yg baik. Dengan hanya lima puluh orang, kita bisa menundukkan mereka semua dan
membuat mereka melakukan apapun yang kita inginkan."
Ø Columbus dan
anak buahnya juga menggunakan Taino sebagai budak seks: adalah hal yg biasa
bagi Columbus menghadiahi anak buahnya dengan wanita lokal untuk diperkosa.
Saat ia mulai mengekspor Taino sebagai budak ke berbagai belahan dunia,
perdagangan seks-budak menjadi bagian penting dari bisnis, seperti Columbus
menulis kepada seorang teman pada tahun 1500: "Dengan seratus castellanoes
(koin Spanyol) sangat mudah memperoleh wanita seperti halnya untuk pertanian,
dan sangat umum dan ada banyak dealer yang bersedia mencari anak perempuan;. mereka
9-10 (tahun) sekarang sedang diminati "
Ø Akibat
kekejaman pemerintahan bangsa Eropa terhadap suku asli, ribuan Indian melakukan
bunuh diri massal dengan meminum racun yang terbuat dari singkong (cassava).
Banyak orang tua membunuhi bayi2 mereka untuk melepaskan mereka dari
penderitaan hidup di bawah kekuasaan Spanyol.
Ø Salah
seorang anak buah Columbus, Bartolome De Las Casas, merasa sgt bersalah atas
kekejaman brutal Columbus terhadap penduduk asli, ia berhenti bekerja untuk
Columbus dan menjadi seorang imam Katolik. Ia menggambarkan bagaimana
orang-orang Spanyol di bawah komando Columbus memotong kaki anak-anak yang lari
dari mereka, untuk menguji ketajaman pisau mereka.
Ø Menurut De
Las Casas, para pria membuat taruhan siapa yang, dengan satu sapuan pedangnya, bisa
memotong seseorang menjadi dua. Dia mengatakan bahwa anak buah Columbus
'menuangkan air sabun mendidih daiatas orang2. Dalam satu hari, De Las Casas
pernah menjadi saksi mata tentara Spanyol memotong-motong, memenggal, atau
memperkosa 3000 orang asli. "Inhumanities tersebut dan barbarisms itu
dilakukan di depan mataku seperti umur tidak bisa paralel," tulis De Las
Casas. "Mataku telah melihat tindakan ini begitu asing terhadap sifat
manusia yang sekarang saya gemetar saat aku menulis."
Ø Sepulang
dari amerika, Columbus dan anak buahnya menyebarkan penyakit sipilis ke eropa,
sebaliknya orang eropa menyebarkan penyakit smallpox ke orang2 indian.
Pernyataan-pernyataan diatas adalah bantahan-bantahan
mengenai bukan colombus lah yang menemukan benua Amerika.
Dari semua pernyataan diatas saya mengkritik beberapa point yang merupakan
kelemahan dari wacana Howard Zinn yaitu Pertama,
Howard Zinn tidak menjelaskan definisi secara konkrit mengenai maksud dari
judul wacananya tersebut, hanya memberikan gambaran saja dalam isi. Sehingga
membuat pembaca kurang merasakan cita rasa dari judul wacana tersebut
Kedua, Zinn terlalu menunjukan ketidaksukaan terhadap Amerika. Pada dasarnya
memang dia adalah seoang politikus, ilmuan yang hebat dalam bukunya
Howard
Zinn: A People’s History of the United States.
Di dalam buku ini Anda akan temukan bagaimana orang-orang Eropa yang menduduki
Amerika secara kejam dan keji menghabisi The Native Americans. Luar biasa
mengerikan; salah satu bentuk ethnic-cleansing yang paling kejam dalam sejarah
manusia.
Ketiga, Zinn tidak menyebutkan kualifikasi buku-buku, karena setiap buku pasti berbeda pandangannya. Seperti buku-buku politik, buku-buku motivasi dan sebagainya Apakah semua buku memiliki power yang sama? Tentu tidak sama bukan?
Keempat, Zinn hanya menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain, Zinn tidak menyebutkan bahwa Amerika telah lebih dulu 'ditemukan' kaum Muslimin atau orang dari Negeri China. Seperti yang saya kutip Menurut catatan ahli sejarah dan ahli geografi muslim Al Masudi (871 – 957), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad seorang navigator muslim dari Cordoba di Andalusia, telah sampai ke benua Amerika pada tahun 889 Masehi.
Dalam bukunya, ‘Muruj Adh-dhahab
wa Maadin al-Jawhar’ (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), Al
Masudi melaporkan bahwa di masa pemerintahan Khalifah Spanyol Abdullah Ibn
Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad berlayar dari Delba
(Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik, hingga mencapai wilayah
yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhoola, dan kemudian kembali
dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
Sesudah itu
banyak pelayaran yang dilakukan mengunjungi daratan di seberang Lautan
Atlantik, yang gelap dan berkabut itu. Al Masudi juga menulis buku ‘Akhbar
Az Zaman’ yang memuat bahan-bahan sejarah dari pengembaraan para pedagang
ke Afrika dan Asia. Beberapa nama tetap begitu kesohor sampai saat ini bahkan
hampir semua orang pernah mendengarnya sebut saja Tjeng Ho dan Ibnu
Batutta, namun beberapa lagi hampir-hampir tidak terdengar dan hanya
tercatat pada buku-buku akademis.
ü
Pelayaran dari Delba, Palos, Spanyol tahun 900-an
Masehi.
Dr. Youssef
Mroueh juga menulis bahwa selama pemerintahan Khalifah Abdul Rahman III (tahun 929-961)
dari dinasti Umayah, tercatat adanya orang-orang Islam dari Afrika yang
berlayar juga dari pelabuhan Delba (Palos) di Spanyol ke barat menuju ke lautan
lepas yang gelap dan berkabut, Lautan Atlantik. Mereka berhasil kembali dengan
membawa barang-barang bernilai yang diperolehnya dari tanah yang asing.
ü Pelayaran
dari Granada, Spanyol tahun 999 Masehi.
Beliau juga menuliskan menurut catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Spanyol, Hisham II (976-1009) seorang navigator dari Granada bernama Ibn Farrukh tercatat meninggalkan pelabuhan Kadesh pada bulan Februari tahun 999 melintasi Lautan Atlantik dan mendarat di Gando (Kepulaun Canary). Ibn Farrukh berkunjung kepada Raja Guanariga dan kemudian melanjutkan ke barat hingga melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana. Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada bulan Mei 999.
Beliau juga menuliskan menurut catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Spanyol, Hisham II (976-1009) seorang navigator dari Granada bernama Ibn Farrukh tercatat meninggalkan pelabuhan Kadesh pada bulan Februari tahun 999 melintasi Lautan Atlantik dan mendarat di Gando (Kepulaun Canary). Ibn Farrukh berkunjung kepada Raja Guanariga dan kemudian melanjutkan ke barat hingga melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana. Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada bulan Mei 999.
ü Pelayaran
dari Maroko, Afrika tahun 1291 Masehi
Perlayaran melintasi Lautan Atlantik dari Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari Tarfay di Maroko pada zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 – 1307) raja keenam dalam dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau Green di Laut Karibia pada tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan perjalanan ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam.
Perlayaran melintasi Lautan Atlantik dari Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari Tarfay di Maroko pada zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 – 1307) raja keenam dalam dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau Green di Laut Karibia pada tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan perjalanan ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam.
ü Pelayaran
dari Timbuktu, Afrika tahun 1300-anMasehi
Sultan-sultan dari kerajaan Mali di Afrika barat yang beribukota di Timbuktu, ternyata juga melakukan perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) memerinci eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan keilmuan yang maju di Afrika. Ekpedisi perjalanan darat dan laut banyak dilakukan orang menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan-sultan dari kerajaan Mali di Afrika barat yang beribukota di Timbuktu, ternyata juga melakukan perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) memerinci eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan keilmuan yang maju di Afrika. Ekpedisi perjalanan darat dan laut banyak dilakukan orang menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan yang tercatat melanglang
buana hingga ke benua baru saat itu adalah Sultan Abu Bakari I (1285 –
1312) dan saudara dari Sultan, Mansa Kankan Musa (1312 – 1337) yang
telah melakukan dua kali ekspedisi melintas Lautan Atlantik hingga ke Amerika
dan bahkan menyusuri sungai Mississippi. Sultan Abu Bakari I melakukan
eksplorasi di Amerika tengah dan utara dengan menyusuri sungai Mississippi
antara tahun 1309-1312. Para eksplorer ini berbahasa Arab.
Piri Reis Map
Dua abad kemudian, penemuan benua Amerika
diabadikan dalam peta berwarna Piri Re’isi yang dibuat tahun 1513, dan
dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I tahun 1517. Peta ini
menunjukkan belahan bumi bagian barat, Amerika selatan dan bahkan benua
Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil secara cukup akurat!
Piri Reis Map dibanding peta modern, sangat akurat
Bukti lainnya adalah, Columbus sendiri mengetahui
bahwa orang-orang Carib (Karibia) adalah pengikut Nabi Muhammad. Dia faham
bahwa orang-orang Islam telah berada di sana terutama orang-orang dari Pantai
Barat Afrika.
Mereka mendiami Karibia, Amerika
Utara dan Selatan. Namun tidak seperti Columbus
yang ingin menguasai dan memperbudak rakyat Amerika. Orang-Orang Islam
datang untuk berdagang dan bahkan beberapa menikahi orang-orang pribumi. Lebih
lanjut Columbus mengakui pada 21 Oktober 1492 dalam pelayarannya antara Gibara
dan Pantai Kuba melihat sebuah masjid (berdiri di atas bukit dengan indahnya
menurut sumber tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa reruntuhan masjid telah
ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Dan tahukah anda? Dua orang nahkoda
kapal yang dipimpin oleh Columbus yaitu kapten kapal Pinta dan Nina adalah
orang-orang muslim yaitu dua bersaudara Martin Alonso Pinzon dan Vicente
Yanex Pinzon yang masih keluarga dari Sultan Maroko Abuzayan Muhammad III
(1362). [THACHER,JOHN BOYD: Christopher Columbus, New York 1950]
Dan mengapa hanya Columbus saja yang
sampai saat ini dikenal sebagai penemu benua Amerika? Karena saat terjadi
pengusiran kaum Yahudi dari Spanyol sebanyak 300.000 orang Yahudi oleh raja
Ferdinand seorang Kristen yang taat, membuat orang-orang Yahudi menggalang dana
untuk pelayaran Columbus dan berita ‘penemuan benua Amerika’ dikirim pertama
kali oleh Christopher Columbus kepada kawan-kawannya orang Yahudi di Spanyol..!
Pelayaran Columbus ini nampaknya
haus publikasi dan diperlukan untuk menciptakan legenda sesuai dengan ‘pesan
sponsor’ Yahudi sang penyandang dana. Kisah selanjutnya kita tahu bahwa
media massa dan publikasi dikuasai oleh orang-orang Yahudi yang bahkan dibenci
oleh orang-orang seperti Henry Ford si raja mobil Amerika itu.
Maka tampak ada ketidak-jujuran
dalam menuliskan fakta sejarah tentang penemuan benua Amerika. Penyelewengan
sejarah oleh orang-orang Yahudi yang terjadi sejak pertama kali mereka
bersama-sama orang Eropa menjejakkan kaki ke benua Amerika. Dan tahukah anda?
sebenarnya laksamana Zheng He atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama
laksamana Cheng Ho adalah juga penemu benua Amerika pertama, sekitar 70 tahun sebelum
Columbus?
Admiral Zheng He (Laksamana Cheng Ho)
Sekitar 70 tahun sebelum Columbus menancapkan
benderanya di daratan Amerika, Laksamana Zheng He sudah lebih dulu datang ke
sana.
Para peserta seminar yang
diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London beberapa waktu
lalu dibuat terperangah. Adalah seorang ahli kapal selam dan sejarawan bernama
Gavin Menzies dengan paparannya dan lantas mendapat perhatian besar. Tampil
penuh percaya diri, Menzies menjelaskan teorinya tentang pelayaran terkenal
dari pelaut mahsyur asal Cina, Laksamana Zheng He (kita mengenalnya dengan Ceng
Ho).
Bersama bukti-bukti yang ditemukan
dari catatan sejarah, dia lantas berkesimpulan bahwa pelaut serta navigator
ulung dari masa dinasti Ming itu adalah penemu awal benua Amerika, dan bukannya
Columbus. Bahkan menurutnya, Zheng He ‘mengalahkan’ Columbus dengan rentang
waktu sekitar 70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat kehebohan
lantaran masyarakat dunia selama ini mengetahui bahwa Columbus-lah si penemu benua
Amerika pada sekitar abad ke-15. Pernyataan Menzies ini dikuatkan dengan
sejumlah bukti sejarah.
Adalah sebuah peta buatan masa
sebelum Columbus memulai ekspedisinya lengkap dengan gambar benua Amerika serta
sebuah peta astronomi milik Zheng He yang dosodorkannya sebagai barang bukti
itu. Menzies menjadi sangat yakin setelah meneliti akurasi benda-benda
bersejarah itu
Namun disisi lain kebesaran
dari Howard Zinn yaitu jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas
tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak,
dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya
sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the
People’s History ia menulis:
“If
history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the
past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those
hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their
ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or
perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive
moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being
as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader
may as well know that before going on.”
Ini
membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa
pembaca butuh tahu.
Disini dapat disimpulkan
bahwa buku memang memiliki power yang sangat kuat, power tersebut dapat
berakibat baik maupun buruk. Karena tidak semua buku dapat merubah kehidupan
seseorang menjadi baik, maka dari itu dengan berliterasilah kita dapat
mengetahui mana buku-buku yang mampu merubah dunia kedalam kategori maju, dan
mampu merubah dunia dengan maindset yang buruk pula. Maka buku tidak akan lepas
dari literasi dan sejarah. Seperti yang telah saya katakan di atas bahwa keterkaitan
antara sejarah dan praktik literasi adalah sebuah fase penting yang tidak
mungkin terpisahkan. Literasi memiliki power yang sangat kuat untuk merubah
dunia. Buku dapat mengubah dunia, tetapi terlebih dahulu ia mengubahmu. Betapa
menyedihkan jika kamu bukan bagian dari dunia yg berubah.
Referensi
Howard, Zinn. (1980). A People’s History of The United States. United States: Harper
& Row; HarperCollins


Subscribe to:
Post Comments (Atom)