Thursday, March 6, 2014

Makna Sebuah Benda Mati


Critical Review 2
Makna Sebuah Benda Mati (buku)


Buku adalah sebuah benda mati, tetapi kehidupan terus hidup didalamnya. Dengan buku, kau punya sarana ampuh untuk membalikkan waktu.
Karlina Leksono
Berdasarkan kalimat diatas menunjukan bahwa buku tidak hanya kumpulan fisik yang terdiri dari lembaran-lembar kertas yang tidak memiliki makna,tetapi buku menjadi sebuah pedoman untuk menata kehidupan, sehingga jika kita mengabaikan membaca buku, berarti kita juga mengabaikan pengetahuan emas dari buku dalam menata kehidupan itu sendiri. Lewat bukulah kita bisa menembus ruang angkasa yang amat luas. Intinya, bahwa hanya dengan membaca buku, kita akan tahu banyak hal, kita juga bisa tahu banyak tentang relasi esensi alam ini dengan manusia. Semakin banyak buku yang kita baca, maka akan semakin mudah bagi kita untuk “menguasai dunia”. Buku juga sebagai sarana ampuh untuk kita mengetahui kejadian-kejadian di masa lampau dan seakan-akan kita hidup di masa itu. Dengan semakin banyak membaca buku kita juga akan mengetahui kebenaran-kebenaran dari isi buku tersebut.

Penulisan karya tulis  ini dimaksudkan untuk mengkritisi artikel yang berjudul “ Speaking Truth to Power with Books” karya Howard Zinn serta membedah segala isi yang terdapat dalam kantong artikel ini. Artikel ini menunjukan bahwa buku sangat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan kita, sebelum membahas lebih dalam tentang isi artikel ini saya akan memaparkan tentang sejarah buku.

Buku pada awalnya hanya berupa tanah liat yang dibakar, mirip dengan proses pembuatan batu bata di masa kini. Buku tersebut digunakan oleh penduduk yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia Kecil sekitar tahun 2000 SM.
Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku.Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment(perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai hingga sekitar tahun 300 Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi lenbar-lembar yang disatukan dengan sistem jahit. Model ini disebut codex, yang merupakan cikal bakal lahirnya buku modern seperti sekarang ini.
Pada tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun, seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan kertas dari bahan serat yang disebut hennep. Serat ini ditumbuk, kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga menjadi bubur. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering. Setelah mengering, bubur berubah menjadi kertas.
Pada tahun 751, pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand, Asia tenganh, dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai tawanan oleh bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya, memperkenalkan kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol. Tahun 1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano, Italia tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya pembuatan kertas inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia semakin berkembang. Kertas yang ringan dan dapat bertahan lama dikumpulkan menjadi satu dan terciptalah buku.
Sejalan dengan kalimat yang telah dipaparkan diatas Howard Zinn dalam artikelnya menunjukan pandangan yang sama bahwa buku bukanlah hanya sekumpulan lembaran-lembaran yang berisikan tinta tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi dunia seperti aspek pendidikan, budaya, politik dan ekonomi.
Penemu Amerika adalah Christoper Colombus, hal tersebut diketahui semua orang di dunia termasuk masyarakat Amerika mengetahui bahwa.  Christoper Colombus dikenal sebagai sosok hero yang memiliki kepribadian yang sangat baik dan dari hal-hal negatif.  Seperti Christoper Colombus sebagai sosok yang taat beribadah atau Christoper Colombus sebagai penemu yang agung dan lain-lain.  Seluruh masyarakat Amerika bahkan dunia pun gempar dan geram pada Howard Zinn karena tulisan-tulisan dalam bukunya ini.  Howard Zinn menggambarkan sosok Christoper Colombus sebagai sumber dari semua keburukan.  Seperti sebagai sosok pembunuh, penculik, penyiksa, seorang munafik, rakus mencari kekayaan, dan sosok dengan keinginan membunuh yang besar.
(Jakartabeat.net: 2010) Howard Zinn, sang sejarahwan radikal Amerika, ia telahberpulang dengan nama besar dari sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United States.  Buku tersebut  yang ketika diterbitkan pertama kali di tahun 1980 hanya terjual empat ribu kopi, kini telah terjual habis hampir mencapai dua juta kopi dan dicetak ulang lima kali. Ia menempatkan sang penulis, saat itu seorang profesor sejarah di Boston University, di jajaran elit tradisi kritis kaum liberal-progresif Amerika.
Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah. Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung yaitu Christoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison. Ada yang salah ketika para sejarahwan menganggap profesi mereka sama dengan para ahli penggambar peta, ujar Zinn. Pembuat peta dengan sengaja menyederhanakan realitas, menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang yang tak penting terlihat. Itu yang membuat di peta Indonesia, kepulauan kita jadi datar dan tak perlu ada gambar benua  Amerika di sana. Namun menulis sejarah adalah hal yang sungguh-sungguh berbeda.
Ketika distorsi atau bias para kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan biasnya tiada lain adalah bias ideologis. Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial ataupun nasional. Namun sayangnya dalam penuturan historis, bias ini tidak seterang sebagaimana dalam penulisan peta. Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama yang tunggal. Para penulis tertentu seakan lupa bahwa produksi pengetahuan adalah alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa bangsa.
Inilah kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah terjadi, pungkas Zinn.
Seandainya Morison adalah seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi  di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda. Sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.

Lalu, apa yang membuat Howard Zinn berbeda? Bukankah ia sama mengambil sebuah pilihan ideologis ketika menulis dalam bukunya? Ya, Zinn mengakuinya. Pertama, ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:


If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.

Ini membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa pembaca butuh tahu.

Ini hal kedua yang perlu dicatat dari seorang Howard Zinn: ia menolak konsekuensi empatik definisi nasion Andersonian! Bangsa bukan dan memang tak sekalipun pernah jadi sebuah komunitas, tungkasnya tajam.
“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata kata Zinn yang saya terjemahkan dari  halaman 10 bukunya untuk menjelaskan sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda. Kata-kata ini pula yang hampir mengalihagamakan saya menjadi seorang radikal kembali.
Ini menunjukan bahwa sejarah turut memiliki andil terhadap literature, tulisan yang terdapat dalam buku biasanya mengenai hal-hal yang disukai penulisnya saja. Ketika Morison berpendapat bahwa Collumbus adalah seorang hero dan akhirnya ini menyatu dalam pikirannya sehingga ia lebih memiliki pandangan sebagai sang pemenang.
Menurut Zinn dalam artikelnya ada beberapa cara untuk membangun kesadaran manusia,yaitu : Pertama, buku dapat menunjukan tentang hal-hal baru yang belum pernah diketahui. Kedua, buku dapat menyadarkan bahwa penulis memiliki jalan yang berbeda, sehingga pembaca akan mencari literature lain untuk mengetahui kebenarannya dan akan mempengaruhi cara mereka mengaktualisasikan diri.
Implikasi besar dari sebuah buku adalah akan membuat generasi penerus memiliki pikiran sama sesuai dengan buku yang mereka baca. Disinilah kita harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga kita tidak akan langsung menelan isi buku mentah-mentah, tetapi harus lebih banyak membaca buku sehingga kita bisa mengetahui kebenaran yang terjadi sesungguhnya. Ketika banyak buku yang memiliki pandangan yang sama mengenai hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa isi buku tersebut adalah benar dalam kenyataan sesungguhnya dan  generasi penerus tidak akan mengikuti jejak-jejak para pendahulu yang salah.
Masyarakat benua Amerika yang melek sejarah dan memiliki kemampuan literasi yang tinggi mungkin akan mudah menjadikan buku sebagai alat yang memiliki power untuk mengetahui sebuah kebenaran yang sesungguhnya serta bisa mengubah kesadaran manusia, tetapi bagaimana dengan Indonesia yang literasinya masih rendah. Masyarakat negeri ini masih bermalas-malasan untuk membaca buku apalagi untuk mengkritisinya.
Literasi adalah kunci untuk bisa meningkatkan kualitas suatu bangsa, sehingga jelas peran buku dalam aspek pendidikan sangat memiliki peran yang penting. Pembaca akan terbentuk sesuai dengan buku bacaan yang mereka baca atau bahkan akan mengubah pola pikir mereka. Selain itu, pembaca juga akan terbawa suasana ke dalam bacaan yang dibacanya apalagi dalam tulisan fiktif yang biasanya akan membuat si pembaca lebih sensitive.
Dalam buku-buku mengenai biografi seorang elite politik, biasanya penulis akan lebih memaparkan sisi positif yang dimilikinya sedangkan sisi negatifnya hanya sepintas saja, sehingga pembaca akan memiliki pandangan yang baik terhadap sosok tersebut tanpa mengetahui sisi lain yang sesungguhnya. Dengan demikian, masyarakat akan memberikan dukungan penuh, misalnya dalam pemilihan umum seorang elite politik akan mendapatkan banyak suara  dari masyarakat sehingga ia bisa menduduki jabatan yang diinginkannya. Selain itu,buku juga berpengaruh dalam pembuatan UU, pasal-pasal yang terdapat di dalamnya akan disesuaikan keinginan elite-elite politik bukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ekonomi adalah penopang utama bagi tegaknya sebuah negara. Dengan ekonomi yang lemah akan membuat keadaan dalam negeri menjadi tidak terkendali. Amerika Serikat dengan segala pengaruh pentingnya diseluruh dunia membuat negara ini menjadi panutan dan panduan bagi negara lain dalam membangun sistem perekonomian bangsa. Perekonomian Amerika adalah suatu struktur ekonomi yang banyak diikuti oleh negara lain termasuk Indonesia.
Indonesia menjadi salah satu negara yang berkiblat kepada sistem ekonomi Amerika yang menggunakan kapitalisme. Padahal bila kita tengok pada gagasan para pendiri bangsa, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan yang mengutamakan gotong royong. Tapi, gagasan tersebut menguap tanpa bekas saat ini. Meniru sistem ekonomi Amerika serikat berarti kita telah mengadopsi kebebasan dalam berekonomi. Maksudnya seseorang bebas memilki usaha disektor publik dan SDA yang seharusnya milik negara.
Dan disadari atau tidak sistem ekonomi Amerika yang bermahzabKapitalis meneret satu per satu negara-negara di dunia untuk memiliki poros yang sama. Ya, disadari atau tidak. Salah satu hal yang paling mencolok adalah Amerika Serikat yang berperan sebagai pendonor ekonomi dunia. Lihat saja, negara manapun yang mengalami masalah keuangan di negaranya akan dibantu oleh Amerika Serikat termasuk Indonesia.
Implikasinya negara yang dibantu akan memilki ktergantungan yang tinggi serta hutang budi kepada negara pendonor. Dan secara tidak langsung efek tersebut membuat negara yang dibantu mengikuti aliran negara pendonor yang dalam hal ini adalah Amerika.
Jika kita melihat statistik minat baca tulis msayarakat Indonesia menunjukan fakta yang sangat mengkhawatirkan.Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan aktifitas membaca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%. Berdasarkan data dari Badan Pusat statistik (BPS), pada tahun 2006, tercatat penduduk dengan usia di atas 10 tahun yang menonton TV jumlahnya 85,86% dan yang membaca surat kabar 23,46%. Selanjutnya pada tahun 2009, penduduk yang menonton TV mencapai 90,27% dan membaca surat kabar 18,94%. Terakhir pada tahun 2012 menunjukkan, penduduk yang menonton TV berjumlah 91,68% dan yang membaca surat kabar berjumlah 17,66% (Sumber : Data BPS Tahun 2006). Ini memperkuat bahwa memang benar minat baca di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika. Padahal baca-tulis memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kemajuan suatu bangsa misalnya dalam aspek ekonomi. Amerika bisa menjadi negara superpower karena masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi.
Selain itu, aspek kesusastraan juga memiliki andil dalam penulisan sebuah buku. Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Peranan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak jarang dipertanyakan, terutama saat sebuah negara sibuk dengan pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Di satu sisi, para penguasa kerap merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan beberapa kebijakan politik menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Mereka cenderung menganggap sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kerja keras pemerintah, mengecam para politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup. Di lain sisi, masyarakat umum memandang bahwa peranan sastra dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat luas tidak begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra cuma berisi lamunan dan kata-kata indah mendayu.
Pada masa kini, posisi kesusastraan sebenarnya tidak begitu berbeda dengan peranan yang telah dimainkannya baik di masa-masa terbitnya fajar nasionalisme maupun di masa pergerakan dan revolusi Indonesia. Namun, terdapat kecenderungan besar di Indonesia dewasa ini untuk mengabaikan hasil renungan, imajinasi, pemikiran, kiprah, dan peranan sastra(wan) Indonesia dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya secara umum. Selepas hiruk-pikuk sastra dan politik di penghujung Orde Lama, perlahan tapi pasti masyarakat menjauh dan/atau dijauhkan dari sastra. Kesusastraan tidak lagi diapresiasi secara wajar, meskipun ternyata tetap ditakuti dan diwaspadai secara politik. Penangkapan dan pemenjaraan sastrawan dan pelarangan buku sastra tetap terjadi. Dalam pada itu, masyarakat Indonesia yang belum beranjak dari kelisanan ke keberaksaraan dengan cepat memasuki era kelisanan kedua. Buku bacaan serta tradisi membaca, khususnya sastra, tidak dijadikan bagian penting dan mendasar dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, tanpa banyak perdebatan, sastra telah digusur habis dalam Kurikulum 2013, yang merupakan antiklimaks dari penjauhan sastra dari masyarakat dan sebaliknya.
Zinn seorang sejarahwan yang radikal dalam artikelnya ia mengungkapkan hal yang benar, namun kenyataannya isi tentang ”Speaking Truth to Power with Book” belum bisa diterapkan di Indonesia. Budaya baca-tulis yang masih sangat rendah menyebabkan negeri ini menjadi tertinggal dari negara-negara lain.
Howard Zinn dengan artikelnya memberikan pencerahan dan menyadarkan para pembaca bahwa buku yang dianggapnya sebagai benda mati yang tak bermakna ternyata sangat memiliki power dalam berbagai aspek kehidupan. Buku juga sebagai sarana membangun literasi. Tingkat literasi suatu bangsa akan mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam aspek politik, ekonomi bahkan kesusastraan. Itulah makna sebuah benda mati yang selalu di sepelekan.








Referensi
http://jakartabeat.net/kolom/konten/howard-zinn-dan-sejarah-orang-orang-kalah diakses hari Senin tanggal 02 Maret 2014 pukul 09.00 WIB
http://www.anneahira.com/ekonomi-amerika-serikat.htm diakses hari Rabu tanggal 04 Maret 2014 pukul 20.00 WIB


.


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment