Saturday, March 15, 2014
Created By:
Eka Ramdhani Niengsih
Menyelami Komponen
Menulis
Eka Ramdhani Niengsih
PBI-D Semester 4
Salam
semangat! Semoga hari-hari kita selalu dilalui dengan penuh rasa syukur atas
semua nikmat Allah SWT. Tidak terasa pertemuan ini sudah menginjak pada
pertemuan yang kelima. Sudah banyak hal yang dibahas, dimulai dari classroom
discourse, religous harmony sampai sejarah. Really execited. Di writing 4 ini
dalam pembahasan Classroom Discourse ternyata telah membuka pemahaman saya
bahwa kelas yang sebelumnya saya pikir hanyalah satu hal kecil, ternyata bisa
mempengaruhi kerukunan antar-umat manusia. Serta masih banyak hal lainnya yang
membuka pemahaman saya.
Celotehan
saya di Class Review 4 kemarin membuat saya kurang bangga dan puas, karena ada
pembahasan yang belum dikaji dengan luas oleh saya. Catatan saya termasuk
mistake, karena tidak memunculkan pembahasan dari referensi yang sudah
diberitahukan sebelumnya oleh pak Lala. Maka dari itu, dalam celotehan saya kali
ini akan berusaha juga memperbaiki pembahasan yang sempat missing itu.
Saya dapat mengambil satu kejelasan
ternyata sejarah itu dilatarbelakangi oleh tingkat literasi. Sejarah bisa
menyebar dengan lisan maupun tertulis yang saya yakini ini dilakukan oleh orang
berliterasi tinggi. Seperti dalam kasus Howard Zinn yang menyatakan pendapatnya
mengenai Columbus. Beliau menyampaikan hal yang jauh berbanding dengan yang
selama ini telah banyak diketahui orang-orang. Dinyatakan bahwa Columbus adalah
sosok dengan sifat yang buruk, penindas dan penyiksa, serta seorang pelaku
kejahatan genosida. Masyarakat Amerika pun memberikan kecaman padanya. Ia
pastilah seorang literat yang tinggi, karena dengan beraninya mengupas sejarah
kelam sang pelaut Columbus. Bisa jadi Zinn sudah menemukan referensi yang cukup
relevan sehingga ia mengeluarkan pendapatnya seperti itu.
Minggu kemarin membahas tentang
Classroom Discourse dan Religious Harmony. Betsy Rymes dalam
karyanya “Classroom Discourse Analysis: A tool for critical reflection”
menyebutkan bahwa Wacana kelas memang sangat
memprioritaskan komunikasi (interaction). Komunikasi di kelas bukan sebatas
hanya meliputi ujaran, tapi sikap, respon, bahkan kenakalan. Semua itu
merupakan bentuk cross-cultural communication karena dalam satu kelas terdiri
dari banyak perbedaan. Disanalah wahana untuk murid-murid menyampaikan atau
mengkomunikasikan perbedaan secara ekplisit.
Guru harus
bisa melakukan pendekatan pada muridnya saat belajar. Dengan melakukan pendekatan
tersebut, guru mampu belajar tentang perbedaan dari berbagai aspek yang ada
pada murid-muridnya. Pendekatan tersebut pada
akhirnya menjadi sumber dari terbukanya mutual-understanding guru dan murid, serta antara murid dengan murid.
Banyak
sekali perbedaan yang dimiliki guru dan murid. Disini kecakapan guru diuji.
Guru harus mampu menjadikan perbedaan tersebut menyatu dan saling melengkapi
sehingga nantinya bisa terhindar dari pertengkaran. Betsy Rymes menyebutkan
bahwa perbedaan yang muncul harus dijadikan sumber belajar sehingga akan muncul
nilai untuk siswa. Menghadapi murid-murid yang
memiliki background yang berbeda, sebenarnya guru dapat mempelajari sikap
muridnya. Sikap tersebut juga merupakan salah satu bentuk interaksi. Background
yang berbeda harus dijadikan satu wahana pembelajaran bagi murid dan gurunya.
Dalam classroom discourse analysis, perbedaan tersebut merupakan salah satu yang mempengaruhi kelas. Keadaan tersebut bergantung pada guru,
yakni sejauh mana ia dapat membawa perbedaan menjadi pembelajaran. Ketika
guru bisa menghidupkan wacana kelas maka akan tumbuhlah toleransi dan saling
menghargai satu sama lain. Toleransi tersebut bisa jadi untuk toleransi antar
agama, antar budaya dan lainnya. Saat toleransi tercipta maka kerukunan antar
umat pun akan semakin terasa. Dan bisa disimpulkan bahwa classroom discourse
itu sangat kompleks. Butuh kerja sama antara guru, murid serta antar murid.
Lalu,
pertemuan kelima ini membahas tentang menulis dan Howard Zinn. Saya dan
teman-teman diinstruksikan untuk membuat free writing tentang Howard Zinn dalam
beberapa menit secara bersamaan didalam kelas. Suasana begitu sunyi, semua
terlarut dalam pikirannya masing-masing untuk membuat free writing dalam bahasa
Inggris. Berikut hasil kerjaan saya.
Menulis
berawal untuk komunikasi dari ribuan tahun yang lalu. Menulis awalnya sebagai
simbol pada dinding gua dan kemudian sekitar 3500 tahun lalu manusia mulai
menggunakan alpabet. Sejarah dan literasi tidak mungkin bisa dipisahkan.
Lehtonen (2000) menganggap bahwa teks adalah artefak. Menulis membutuhkan
pemahaman-pemahaman berikut:
Current Understanding of Writing (Hyland,2009:44)
CONTEXTS
Untuk
memahami tulisan kita harus membangun pemahaman yang mendalam mengenai konteks.
Kita mengenal bahwa makna itu bukanlah sesuatu yang terletak didalam kata-kata
yang ditulis dan dikirim untuk seseorang, tetapi makna itu adalah interaksi
antara seorang penulis dan pembaca lalu mereka membuat pemikiran sendiri dari
kata-kata tersebut. Konteks termasuk kedalam discourse, yang juga terdapat
teks. Teks dan konteks tersebut menyatu dan menghasilkan meaning (makna)
(Hyland,2009:44).
Sedangkan
teks itu memiliki dua bentuk yaitu bentuk fisik dan semiotik (Lehtonen,2000).
Sebagai bentuk fisik, teks menyampaikan artepak, semacam bukti sejarah, yang
diproduksi melalui berbagai teknologi. Awal mulanya tulisan dibuat pada kayu
atau batu menggunakan gergaji dan pisau, kemudian jaman teknologi
berikutnya ini tulisan bisa dilihat
melalui hasil cetakan pada kertas atau buku dan menciptakan generasi baru .Teks
sebagai makhluk semiotik dikategorikan menjadi tiga fitur. Pertama: tanda teks
itu fisik dan material. Adanya bentuk fisik mereka selalu mempunyai dasar
material. Kedua: hubungan formal antara isi teks. Ketiga: mempunyai makna
semantik. Mengarah pada suatu bagian luar diri mereka, termasuk lingkungan alam
atau budaya, atau bahkan sebuah non-tekstual maupun secara tekstual.
Bukan
masalah sosial yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh masalah wacana, tetapi
cara partisipasi untuk menegaskan sebuah situasi. Konteks bukan sesuatu kondisi
objektif atau penyebab langsung, tetapi membangun desain subjektif dan terus
menerus memperbaharui interaksi oleh partisipan sebagai anggota grup atau
komunitas. Jika mereka membangun itu semua maka semua orang di kondisi sosial
yang sama akan berbicara pada bagian yang sama. Konteks adalah partisipan
pemikiran. Van Dijk (2008: viii). Lehtonen mendeskripsikan discourse
lebih mengacu pada Semantic (arti kata) meaning, sedangkan Hyland lebih kepada
Linguitic (bahasa).
Cutting
(2002: 3) menawarkan bahwa ada tiga aspek interpretasi konteks:
·
Situasional konteks:
apa yang orang ketahui tentang yang bisa mereka lihat disekitarnya.
·
Latar belakang
pengetahuan konteks: apa yang orang ketahui tentang dunia, apa yang mereka
ketahui tentang aspek hidup dan apa yang mereka ketahui satu sama lain.
·
The co-textual context: apa yang orang ketahui tentang
apa yang sudah mereka katakan.
Konsep lain
menyebutkan, bahwa konteks merupakan rangkaian di sekeliling bahasa yang
digunakan, sehingga ia bersifat konstitusi sosial. Bahkan, pendekatan
linguistik melihat konteks dari pengertian yang berbeda. Dia berasal dari teks
dan jika dilihat dari situasi sosial, secara sistematis dikodekan (bagian)
dalam discourse. Pendapat tersebut juga meyakini pendapat Halliday (1985)
tentang context of culture, yaitu field, tenor, dan mode (Hyland, 2009:45-46).
Menurutnya tidak seperti konteks situasi, pengaruh konteks budaya pada
penggunaan bahasa lebih tersebar secara langsung dalam perjalanan ke arah level
yang lebih abstrak (Hyland, 2009:47). Sehingga, konteks bukan saja ada di
sekeliling teks, tapi di sekeliling bahasa juga. Hal ini karena di dalam teks
juga tedapat bahasa, mereka juga sama-sama berperan sebagai alat komunikasi.
LITERACY dan EXPERTISE
Menulis
dan membaca adalah sebuah aksi dari literasi: bagaimana kita akhirnya
menggunakan bahasa didalam kehidupan sehari-hari. Konsep modern literasi mendorong
kita untuk melihat menulis sebagai praktik sosial daripada kemampuan abstrak
yang bisa dipisahkan dari orang dan tempat dimana kita menggunakan teks
tersebut.
Scribner
and Cole (1981: 236) menyebut bahwa: “Literasi bukanlah mengetahui dengan mudah
bagaimana membaca dan menulis bagian skrip tetapi penerapan pengetahuan untuk
tujuan khusus dalam penggunaan konteks yang khusus pula”. Itu adalah
pembandingan peraturan literasi yang berharga sebagai penolong kita untuk memahami
bagaimana orang membuat pemikiran kehidupan mereka melalui rutinitas praktik
membaca dan menulis.
a. Pendapat
sosial literasi
Barton (2007: 34–5)
menyebutkan bahwa:
1. Literasi
adalah aktifitas sosial dan penggambaran yang paling baik dalam bagian praktik
literasi orang-orang.
2. Orang-orang
mempunyai perbedaan literasi yang sama dengan perbedaan asal mereka.
3. Praktik
literasi menunjukan situasi hubungan sosial yang luas, membuat penggambaran
yang penting mengenai pengaturan acara literasi.
4. Praktik
literasi berpola oleh institusi sosial dan kekuatan hubungan, beberapa literasi
lebih dominan, nampak dan berpengaruh daripada yang lain.
5. Literasi
berdasarkan simbol sistem sebagai cara untuk menunjukan dunia pada yang lain
dan untuk diri kita.
6. Sikap
kita dan nilai-nilai dengan menghargai panduan aksi literasi kita untuk
berkomunikasi.
7. Sejarah
kehidupan kita memiliki banyak kegiatan literasi dimulai yang kita pelajari dan
berkontribusi untuk ditunjukan.
8. Sebuah
literasi juga memiliki sejarah sosial yang menolong untuk menciptakan praktik
yang sekarang ini.
Barton
and Hamilton (1998: 6) mendefinisikan bahwa praktik literasi sebagai cara
budaya secara umum untuk memanfaatkan bahasa tulis yang orang gambar pada
kehidupan mereka. Ditengah konteks, dianjurkan bagaimana aktifitas membaca dan
menulis itu berhubungan dengan struktur sosial yang telah melekat dan membentuk
pertolongan.
Tapi,
pada praktiknya “apa yang orang lakukan dengan literasi”, mereka lebih abstrak bukan hanya sebagai membaca dan
menulis tetapi juga nilai, perasaan dan konsepsi budaya yang memberikan makna
untuk digunakan (Street, 1995: 2). Dengan kata lain, ini menyebarkan pemahaman,
ideologis dan identitas sosial yang sama halnya dengan peraturan sosial yang
mengatur akses dan kontribusi teks. Yang lebih konkritnya, ini kelompok praktik
yang dikatakan Heath (1983) sebagai ‘literacy events’. Itu merupakan praktik
kegiatan literasi yang dibuat.
b. Literasi
dan kekuatan
Tidak
semua praktik literasi itu sama. Bagian kekuatan yang lebih besar untuk
menetapkan literasi, label illiterate, pengaturan memasuki bagian grup dan
akses terbatas untuk pengetahuan. Pertanyaan akses untuk, produksi dari, nilai
teks yang menengahi pemikiran kekuatan dan kontrol di masyarakat modern. Makna
dominan pada praktik literasi yang telah dibangun pada konteks memiliki
kekuatan yang lebih di masyarakat kita, seperti pendidikan dan hukum. Pengontrolan
ini membangun dan mendukung bagian praktik yang berwibawa, kemudian memelihara
ketidaksamarataan sosial. Lebih dari
setiap hari, kegiatan menulis berbanding terbalik yaitu kekurangan dukungan dan
kelancaran.
Dengan
kecakapan disiplin pengetahuan dan keahlian siswa untuk menghadapi sesuatu hal
baru dan dominasi literasi dengan norma sendiri, logat khusus, konvensi dan
mode ekspresi dengan konstitut sebuah pemisah
budaya (Bartholomae, 1986).
CULTURE
Ada
wacana bahwa pengalaman praktik literasi penulis terhadap komunitas yang
berbeda akan mempengaruhi linguistik mereka, ini menganjurkan guru agar mempertimbangkan
bahwa budaya itu bermain di praktik menulis para siswa. Budaya pada umumnya
dipahami sebagai suatu sejarah dan sistem jaringan makna yang diikuti oleh kita
agar dipahami, dibangun dan mengkomunikasikan pengetahuan kita serta
kepercayaan tentang dunia (Lantolf,1999).
Sebagai
sebuah hasil, bahasa dan pelajaran tidak mungkin terlepas dari lingkungan
budaya (Kramsch, 1993). Ini menjadi bagian karena nilai budaya kita telah
merefleksikan dan membawa bahasa. Tetapi juga budaya membuat kepercayaan kita
ada untuk menerima cara anggapan, persepsi atau ekspektasi kita yang dirasa
benar, termasuk yang kita gunakan didalam menulis. Dalam penelitian tulisan dan
pembelajaran, ini bagian dari “contrastive rhetoric”.
“Contrastive
Rhetoric” adalah area penelitian dalam akuisisi bahasa kedua. Dipakai untuk
mengidentifikasi masalah komposisi yang dialami oleh bahasa kedua penulis dan
dengan penyamaan strategi retorikal bahasa pertama. “Contrastive Rhetoric“
mempertahankan bahwa bahasa dan menulis adalah fenomena budaya. Sebagai
konsekuensinya, beberapa bahasa memiliki konvensi retorikal yang unik. Connor
(1996: 5)
TEKNOLOGI
Menjadi
seorang literat hari ini berarti
memiliki kontrol yang lebih terhadap suatu pencetakan dan media
elektronik. Banyak pelajaran yang berefek pada cara kita menulis, genre yang
kita buat, identitas pengarang yang kita ambil, bentuk akhir produk kita dan
bagaimana cara merekatkan hubungan kita dengan pembaca.
Teknologi
elektronik pada faktanya menjadi akselerasi suatu pertumbuhan yang lebih banyak
disukai untuk menggambarkan teks yang lebih banyak domainnya. Jadi kemampuan
untuk memahami keduanya dan bahkan memproduksi multimodal teks dengan
meningkatkan sebuah kebutuhan praktik literasi dalam ilmu sains, pendidikan,
bisnis, media atau pengaturan. Sekarang, menulis berarti menyatukan teks dan
gambar didalam desain visual baru. Penulis sering membutuhkan pemahaman khusus
terhadap dunia yang menawarkan mode berbeda. Kress (2003), berpendapat bahwa
perbedaan mode memiliki perbedaan hasil atau potensial atau bahkan batasan
makna. menulis diatur oleh pemikiran waktu, dan rangkaian waktu.
GENRE
Genre
sekarang-sekarang ini menjadi salah satu konsep pendidikan bahasa yang paling
penting. Didalam model Sistem fungsional, genre terlihat sebagai sebuah
pementasan yang bertujuan untuk proses orientasi sosial. (Martin, 1992:505),
penekanan tujuan dan bagian karakternya berbeda genre, merefleksikan pemahaman
Halliday dengan cara bahasa yang sistematik menghubungkan konteks. Genre adalah
proses sosial karena anggota suatu budaya itu berinteraksi dan berkembang untuk
mencapainya. Dan, penyampaian makna dibuat melalui beberapa proses, biasanya
penulis mengambil lebih dari satu langkah untuk mencari tujuan mereka.
IDENTITY
Penelitian
yang dilakukan akhir-akhir ini menekan hubungan dekat antara penulis dan suatu
identitasnya. Identitas bisa dikatakan sebagai “cara orang-orang memperlihatkan
siapa mereka pada satu sama lain”. (Benwell
and Stokoe,2006: 6): sebuah penampilan sosial dicapai dengan penggambaran pada
sumber linguistik yang tepat. Oleh karena itu identitas terlihat sebagai
bangunan yag didalamnya dibuat dari dua teks dan pilihan linguistik yang kita
hubungkan. Pergerakan identitas ini dimulai dari hal pribadi menuju hal umum,
dari proses tersembunyi menuju sosial serta konstruksi di dalam wacana. Dengan
kata lain identitas adalah penampilan kita.
Menulis
dan identitas
Saat
ini pengertian identitas terlihat sebagai konsep banyak yang didefinisikan
secara sosial dan dinegosiasikan melalui pilihan penulis yang dibuat didalam
wacana. Pilihan ini sebagian dibatasi oleh dominasi ideologi literasi khusus
dalam bagian komunitas. Bagian tersebut membuka interpretasi penulis sebagai
suatu hasil dari pengalaman pribadi dan sosiokultur. Identitas pribadi yang berbeda ini digunakan penulis dalam
konteks berbeda, untuk menghubungkan bagian komunitas.
Identitas
menurut Ivanic:
1. Autobiograf
adalah yang dibawa penulis sebagai sebuah kegiatan dalam menulis, kehidupan
sosialnya dipengaruhi dan dibangun oleh sejarah hidupansi penulis. Termasuk
ide, pendapat, kepercayaan dan komentar serta pendirian mereka. Contohnya
bagaimana seorang penulis mengevaluasi kutipan-kutipannya yang dia bawa kedalam
teks.
2. Wacana
pribadi adalah pengaruh penulis yang secara sadar atau tidak sadar disampaikan
oleh mereka didalam teks.
3. Pengarang
menunjukan dirinya dalam tingkat kepengarangan yang ditulis. (Ivanic, 1998;
Ivanic and Weldon, 1999.)
Selanjutnya,
Bakhtin menganggap bahwa intertextuality adalah wacana yang selalu terkait
dengan wacana lain melalui perubahan titik waktu. Intertextuality menghubungkan
teks dengan pengguna (pembaca) untuk menemukan makna dari teks tersebut
nantinya makna itu diharapkan agar bisa dikenali oleh pembaca lain. (Hyland,
2009:33). Makna tersebut dihasilkan berdasar latarbelakang si pembuatnya.
Fairclough (1992:117) menyebut bahwa ada dua jenis intertextuality, yaitu:
1. Manifest
intertextuality, cara menghubungkan atau menanggapi teks melalui tulisan,
kutipan dan lainnya.
2. Interdiscursitivity,
menanggapi teks yang sebelumnya dikenali. Biasanya dihubungkan dengan aspek
sosial.
Lehtonen
dalam bukunya (2000:126) intertextuality ialah pengetahuan yang mengarahkan
pembaca untuk menggunakan teks dengan cara tertentu agar lebih mudah membaca
beberapa makna didalam teks yang sedang ia gunakan.
Secara
keseluruhan dapat saya simpulkan bahwa makna adalah dialog antara pembaca dan
penulis (Nystrand et
al.1993:299) yang dibawa dalam bentuk tulisan. Dan,
Menulis adalah bagian dari kehidupan suatu insan manusia. Sejatinya menulis
adalah suatu hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan agar tulisan kita
semakin berkualitas. Menulis dipahami melalui beberapa cara, ada melalui
konteks, literasi, budaya, teknologi, genre dan identitas yang saling
berkaitan. Seorang penulis harus bisa menyampaikan makna kepada pembaca secara
eksplisit. Produk tulisan (teks) kebanyakan dilatarbelakangi oleh kekuatan
budaya si penulis itu sendiri. Tulisan, bahasa dan budaya erat kaitannya dengan
sejarah. Bagaimana mungkin sejarah bisa kita kenal sekarang ini tanpa adanya
orang-orang berliterasi tinggi yang membudayakan dan menyebarkan sejarah yang salah satunya itu melalui
tulisan. Disamping itu, seorang pembaca pasti memiliki intertextuality sendiri,
yaitu pengetahuan yang mengarahkan pembaca untuk menggunakan teks dengan cara
tertentu agar lebih mudah membaca beberapa makna didalam teks yang sedang ia
gunakan.
Sekian
hal-hal yang bisa saya torehkan dalam Class Review 5 ini. Semoga bisa
memberikan sedikit pencerahan mengenai pembahasannya lebih khususnya untuk diri
saya sendiri. Keep Fight! Selamat menempuh tantangan selanjutnya didepan.
Terakhir, sampai bertemu lagi dengan catatan saya berikutnya.
Referensi:
Hyland, Ken. 2009. Teaching
and researching Writing. Pearson Education Limited. UK.
Hyland, Ken. 2003. Second
Language Writing. Cambridge University Press. Uk.
Balley, Stephen. 2004. Academic Writing A Practical
Guide for students. Taylor & Francis e-Library. USA.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)