Sunday, March 23, 2014

MENTARI SETENGAH ENAM

#CLASS REVIEW 6



MENTARI SETENGAH ENAM
Pagi yang terang.  Langit bersih tak tersaput awan.  Gugusan bintang tumpah ruah tadi malam, digantikan mentari yang tak kunjung datang.  Angin malam yang menelisik di sela-sela jendala tergantikan sejuknya embun pukul setengah enam.  Melangkah dengan gontai sembari meninggalkan kamar kost-an yang berantakan.  Menelusuri jalanan sekitar.  Sepi.  Hanya terlihat satu dua kendaraan.  Membuat suasana semakin damai.  Menyenangkan.  Dari jauh terlihat, motor Mr. Lala sudah terparkir dengan rapi di depan gedung PBI.  Lantai tiga yang melelahkan.  Menaklukan belasan anak tangga untuk sampai di tempat keramat, pada hari yang sakral, dan pada jam yang ditentukan.  Sungguh momen yang tak terlupakan.  Pagi yang terang dengan mentari setengah enam.

            Dalam Class Review keenam ini saya akan membahas kembali apa yang Mr. Lala jelaskan pada pertemuan yang lalu.  Hal ini dimaksudkan agar pertukaran pengetahuan antara mahasiswa dengan dosen dapat diidentifikasi dengan baik.  Mr. Lala menjelaskan bahwa kaum literat adalah mereka yang meneroka ceruk-ceruk (tempat atau bagian yang belum terjamah) baru tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan.  Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa kaum literat adalah mereka yang tercerahkan (enlightened). 
Untuk menjadi bagian dari yang tercerahkan ini, kita harus melewati beberapa fase metamorfosis, yakni fase awal yaitu to immitate yang artinya adalah peniru.  Tahap awal untuk menjadi seseorang yang literat adalah kita harus menjadi peniru ulung.  Mahasiswa mempelajari teori-teori yang relevan dengan objek pembelajarannya.  Kemudian setelah itu masuk dalam fase kedua, yakni to discover yang artinya adalah menemukan.  Fase kedua berfokus pada apa yang kita temukan setelah menjadi peniru ulung.  Selanjutnya, kita bertransformasi dalam fase ketiga, yakni to create yang artinya menciptakan.  Lalu, setelah kita melewati ketiga fase tersebut, maka dengan pemahaman yang baik, akan menghasilkan affordance dan meaning potentials yang berupa re-source, yakni menjadi sumber daya.  Dengan persyaratan adanya praktek membaca dan menulis yang bertujuan untuk membangun kecintaa terhadap ilmu pengetahuan (the love of knowledge).  Setelah rasa cinta terhadap pengetahuan itu tumbuh dan berkembang, maka hal selanjutnya adalah memahami nilai-nilai yang meneroka padang-padang baru tempat segala aktivitas manusia dipahami dan digunakan dalam nilai historis (to understand values) yang dapat kita gali melalui dua cara, yakni diakronik dan sinkronik (dalam satu kali pengambilan) questioning.  Untuk lebih memahaminya, maka dapat dilihat dalam bagan dibawah ini:

            Dalam bukunya, Fowler (1996) mengatakan bahwa sejarawan dan linguis yang kritis memiliki tujuan yang sama, yakni memahami nilai-nilai yang mendukung formasi sosial, ekonomi, politik, diakronis, perubahan nilai dan perubahan dalam formasi.  Memahami nilai-nilai yang ada dalam kehidupan merupakan hasil dari seseorang yang berliterasi.  Karena literasi dengan sejarah akan selalu berbanding lurus-terhubung.  Dimana sejarah memiliki nilai-nilai historis yang kental dengan ideologi.  Selain itu, tidak ada praktek literasi yang netral (Alwasilah, 2012), karena semua praktek literasi akan selalu dipengaruhi oleh ideologi-yang memberi warna pada proses pembelajaran.  Fowler (1996) juga berpendapat bahwa ideologi ini tentu saja baik media maupun instrumen dari proses sejarah.  ideologi itu ada dimana-mana, disetiap teks yang kita temukan, disetiap teks tunggal, baik lisan-tertulis-audio-visual atau kombinasi dari semua itu.  Oleh karena itu, praktek membaca dan menulis akan selalu dimotivasi secara ideologis.
            Penulisan akademik akan selalu bersifat persuasif, yakni bagaimana meyakinkan orang lain (pembaca) bahwa kita memiliki sesuatu yang menarik-yakni sudut pandang yang logis pada subjek yang kita pelajari.  Persuasi adalah keterampilan yang kita latih secara teratur dalam kehidupan sehari-hari.  Di perguruan tinggi (PT), tugas-tugas kampus sering meminta kita untuk membuat teks persuasif secara tertulis.  Kita akan diminta untuk meyakinkan pembaca dalam sudut pandang kita sebagai penulis.  Bentuk persuasif ini sering disebut dengan argumen akademik.  Ketika anda menyatakan sudut pandang anda pada topik secara langsung dan biasanya terletak dalam satu kalimat.  Maka kalimat itu yang dinamakan sebagai thesis statement, yang juga berfungsi sebagai ringkasan dari argumen yang kita buat dalam penulisan academic writing.  Thesis statement dari sebuah essay terbuat dari satu atau dua kalimat pernyataanyang mengungkapkan gagasan utamanya.  Thesis statement ini bisa mengidentifikasi topik yang dibahas oleh penulis dan opini dari penulis mengenai subjek yang sedang dibahas.  Thesis statement berfungsi sebagai: penulis memberikan thesis statemen sebagai acuan untuk fokus terhadap subjek essay dan adanya thesis statement yang baik dapat membantu pemahaman pembaca mengenai subjek essay yang dibahas.
            Thesis statement adalah hasil dari proses berfikir yang sangat panjang, yang di dalamnya meliputi pengumpulan bukti, mencari hubungan antara fakta dan yang memungkinkan (seperti konduktif atau kesamaan) dan berpikir tentang pentingnya hubungan ini.  Kemudian, thesis statement ini sebagai:
1)      Memberitahukan kepada pembaca bagaimana kita akan menafsirkan pentingnya materi pelajaran yang sedang dibahas;
2)      Thesis statement sebagai peta jalan dalam kepenulisan, dengan kata lain ia memberi tahu pembaca apa yang diharapkan dari hasil tulisan yang ia buat;
3)      Membuat klaim secara eksplisit maupun implisit terhadap subjek yang dibahas
4)      Thesis statement biasanya berisi satu kalimat di paragraf pertama yang menyajikan argumen penulis kepada pembaca.  Bagian yang lain dari tulisan kita biasanya akan berisi kalimat pendukung (supporting sentence) atau kalimat penjelas dari thesis statement, yang dapat membujuk pembaca dalam menafsirkan apa yang kita sajikan.
5)      Thesis statement juga berarti interpretasi dari pertanyaan yang muncul ketika kita menulis.
Untuk itu, thesis statement harus dibangun dengan baik pada awal paragraf.  Agar dapat membuat pembaca tertarik akan subjek yang akan kita terangkan.  Kemudian, ada beberapa prosedur yang dapat kita gunakan dalam mengevaluasi tulisan kita, yaitu:
a)      Does my thesis pass the ‘so what?’ test?
Jika pembaca pertama merespon dengan ‘so what’ maka kita perlu menjelaskan, untuk menjalin hubungan atau menghubungkan ke masalah yang lebih besar.

b)      Does my essay support my thesis specifically and without wandering?
Jika thesis dan isi tulisan kita tampaknya tidak membicarakan hal yang sama, maka salah satu antara thesis dan isi harus diubah.  Untuk mengubah thesis statement dapat dilakukan dengan cara mencerminkan hal-hal yang sudah kita kuasai dalam rangka penulisan subjek yang dikaji.
c)      Does my thesis pass the ‘how and why?’ test?
Jika respon pembaca pertama kali adalah bagaimana dan mengapa, mungkin thesis yang kita bangun terlalu terbuka (open-ended) dan kurang adanya bimbingan bagi pembaca.  untuk itu, kita harus mencermati hal-hal yang dapat kita tambahkan untuk memberikan pemahaman yang lebih kepada pembaca secara jelas (eksplisit).
            Evaluasi ini sangat penting dan perlu, agar kita dapat memilah dan memilih mana yang akan kita tuliskan.  Dapat disimpulkan bahwa menjadi seseorang yang literat itu harus melewati beberapa fase metamorfosis yang dapat menumbuhkan rasa kecintaan kita terhadap ilmu pengetahuan.  Selain itu juga dapat menumbuhkan pribadi yang memahami nilai-nilai kemanusiaan.  Menjadi literat tentunya dapat dimulai dengan praktek membaca-menulis berorientasi. 

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment