Thursday, March 6, 2014

Menilik Makna di Balik Goresan-Goresan Tinta Howard Zinn


Second Critical Review
Menilik Makna di Balik Goresan-Goresan Tinta Howard Zinn
Orang harus belajar melihat, orang harus belajar berpikir, orang harus belajar berbicara dan menulis, tujuan dari ketiga hal itu adalah budaya yang mulia.
“Nietzsche”
Setiap kali aku membuka sebuah buku, aku menguak sepetak langit.  Dan jika aku membaca sederetan kalimat baru, aku lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya.  dan segala yang kubaca membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar dan luas.
Joestin Gaarder dan Klaus Hagerup
Buku bagi Lintang adalah obat seumur kehidupan yang airnya selalu memberikan kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari.
“Andrea Hirata”

            Critical review ini dimaksudkan untuk menanggapi goresan tinta Howard Zinn yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books” yang diterbitkan oleh Blackwell Publishing Ltd.  ISBN : 978-1-405-18920-0.  Tapi sebelum membahas lebih dalam mengenai hal tersebut, kita tilik lebih dahulu kehidupan Howard Zinn.  Siapakah Howard Zinn itu?  Zinn, adalah sang sejarahwan radikal Amerika, mangkat karena serangan jantung yang menyerangnya selagi berenang. Zinn dilahirkan di New York, 22 Agustus 1922. Kedua orang tuanya adalah Yahudi imigran. Ayahnya membuka kios permen kecil, yang tidak pernah mendapat banyak penghasilan.  Pada 1943, Ia masuk Angkatan Udara, menjadi sepesialis bomber.  Namun, ketika perang usai dan Ia kembali ke rumah tinggalnya, perasaan penuh dosa menghantui dirinya. Setelah Ia menerima medali penghargaan atas jasa-jasanya dalam perang, medali itu dimasukkan ke dalam sebuah amplop dan dibubuhi tulisan, “Jangan pernah lagi.”

Pada tanggal 20 Januari  2010 meninggal karena serangan jantung yang menyerangnya selagi berenang. Ia meninggalkan seorang istri dan nama besar dari sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United StatesKepahitan pengalamannya akan perang itulah yang menyebabkannya menulis sebuah karya sejarah yang fenomenal, yang bertutur dari sudut pandang mereka yang kalah, A People’s History of the United States.
Ketika diterbitkan pertama kali di tahun 1980 buku tersebut  hanya terjual empat ribu kopi, kini telah terjual habis hampir mencapai dua juta kopi dan dicetak ulang lima kali.  Ia menempatkan sang penulis, yang saat itu memegang mandat sebagai seorang profesor sejarah di Boston University, di jajaran elit tradisi kritis kaum liberal-progresif Amerika. Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam definisi Spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan sejarah.  Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung: Christoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison. (http://jakartabeat.net/kolom/konten/howard-zinn-dan-sejarah-orang-orang-kalah).
Beralih dari pembahasan mengenai siapa itu Howard Zinn, ke artikel-nya yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books”.  Dalam artikel tersebut Zinn menuangkan pemikirannya dalam goresan-goresan tinta yang menggambarkan beberapa poin penting, diantaranya; bahwa Ia terbujuk dengan pentingnya buku, bukan hanya dari bacaan-bacaan, namun secara langsung dari pengalamannya sendiri.  Dalam artikelnya Howard Zinn menyatakan bahwa kebenaran melalui buku adalah sesuatu yang bisa mengubah kesadaran orang-orang, dan bisa mengubah dunia. Yang bisa mengetahui proses menyadari diri sendiri.  Kesadaran membaca, karena ketika suara diproduksi akan cepat hilang begitu saja jika kita tak dibarengi dengan merekam momen berbicara dengan mengingat dan menulis, menorehkannya dalam lembaran-lembaran kertas kemudian menyusunnya dalam sebuah buku. 
 Ia menjelaskan bagaimana kegiatan menulis dapat menggemparkan dunia.  Lewat Buku–buku yang dihasilkan para penulis, hingga akhirnya  dibaca oleh banyak orang dan akhirnya menyiratkan bagaimana tulisan-tulisan tersebut dapat merubah seseorang mulai dari paradigma mereka, hingga ke kehidupannya. 
Selain itu Ia juga mengungkapkan apa yang buku lakukan dan mendapatkan setidaknya sebagian jawaban atas sebagian pertanyaan; apakah yang terjadi di dunia? Apa efek yang ditimbulkannya? Apakah buku membantu merubah dunia? Dengan jalan apa buku membantu seseorang? karena Ia tidak berpikir kita tahu persis apa yang dilakukan buku atau apa yang tulisan lakukan dalam mengubah kesadaran seseorang. Dia memberikan contoh real dari beberapa pengalaman yang mengungkapkan bahwa buku telah mengubah hidup mereka, diantaranya;
Pertama, pengalaman ketika Ia berusia 14 tahun.  Saat itu Ia menemukan buku di jalan, dan ketika melihat hal itu orang tuanya tahu bahwa dia tertarik pada buku meskipun mereka tak mempunyai satu buku-pun dirumah.
Kedua, seorang mahasiswa di University of Hawaii, yang sedang membaca buku “The Color Purple” karya Alice Walker.  Dia menyatakan bahwa buku tersebut telah mengubah hidupnya.  Yang membuat Zinn terkejut, dan berpikir bahwa buku memang dapat mengubah hidup seseorang, dengan mengubah kesadaran seseorang, yang kemudian memberikan efek pada dunia.
Dan yang paling menggemparkan dunia adalah tulisannya sendiri mengenai Christopher Columbus dalam bukunya “A People’s History of the United States”.  Yakni saat pertama kali buku tersebut terbit, banyak sekali surat dari seluruh negeri.  Sebagian besar intinya adalah mengenai bab pertama karena kejengkelan mereka (orang-orang yang dibesarkan di Amerika Serikat) yang telah mendapatkan pelajaran bahwa Christopher Columbus adalah seorang pahlawan, Colombus seorang penemu besar, Colombus seorang pembaca Bible yang saleh.  Yang kemudian dihadapkan dengan tulisannya yang menggambarkan bahwasanya Christopher Columbus adalah seorang pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator, munafik, seorang lelaki serakah pencari emas, berkeinginan untuk membunuh manusia dan memutilasi orang-orang. Yang membuat para pembacanya shock.
Kemudian, dalam artikel tersebut Howard Zinn menyebutkan bahwa ada beberapa cara dimana buku dapat mengubah kesadaran;
1.      Mereka dapat meemperkenalkan sebuah ide yang pembaca tidak pernah pikirkan sebelumnya.
2.      Mungkin setelah membaca sebuah buku, khususnya jika mereka membaca sejarah yang tak lazim.  Hal itu bisa jadi akan menyerang anda karena setiap individu tidak memiliki kepentingan yang sama.
3.      Adanya wawasan yang berasal dari buku-buku
4.      Adanya set data yang belum dimiliki oleh orang-orang, dan yang, ketika mereka terungkap dalam sebuah buku, hal itu akan mengejutkan pembaca dan kemudian akan berubah menjadi suatu kesadaran yang sangat penting.
5.      Banyak orang percaya bahwa mereka akan mengetahui sesuatu ketika mereka belum tahu sebelumnya.
6.      Masih ada cara lain yang buku dan menulis dapat dilakukan, yakni melalui literatur absurditas, dalam tradisi Jonathan Swift dan Franz Kafka dan Mark Twaim.  Ide – ide konyol yang secara tidak langsung akan membuat anda berpikir.
7.      Melalui teks, akan membuat seseorang tidak merasa sendirian.  Tidak hanya unuk pembaca, tapi juga penulisnya.
Buku merupakan cahaya untuk peradaban manusia. Dalam setiap buku, seringkali terdapat sejumlah pikiran cerdas yang kemudian bisa mempengaruhi cara berpikir dalam masyarakat tertentu. Dalam buku pula tertoreh bagaimana rupa sejarah bisa beragam, bagaimana sastra bisa bercerita tentang kebenaran melalui dusta, atau bagaimana sains bisa mengesampingkan Tuhan.  Namun siapa sangka, di balik sebuah buku tersimpan suatu kekuatan hebat.  Karena hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan, dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi. Hal tersebut semakin meyakinkan dengan adanya kumpulan kalimat-kalimat sejarawan terkemuka di dunia. Howard Zinn, sejarawan yang mengungkap ihwal urgensi sebuah buku dalam kehidupan kita lewat artikelnya yang bertajuk Speaking Truth to Power with Books. 
Banyak yang mengatakan buku adalah jendela dunia. Betul sekali, buku adalah jendela dunia. Dengan membuka buku berarti Anda membuka jendela dunia. Anda bisa melihat keluar, sesuatu yang baru atau pemandangan yang berbeda dengan apa yang ada di rumah kita. Yang dimaksud rumah adalah pikiran kita saat ini. Sebagian orang mengatakan bahwa dengan membaca sebuah buku berarti kita membuka cakrawala. Dikaitkan dengan artikel Howard Zinn, hal ini sungguh beriringan.  Dalam artikel-nya tersebut Ia mampu menyampaikan pesan bahwa buku sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia melalui beberapa pengalaman yang Ia torehkan.
Setiap kata dalam lembaran-lembaran buku tergurat sebuah makna.  Seperti apa yang dikatakan  Lehtonen dalam bukunya berjudul “The Cultural Analysis of Texts” dalam sebuah teks terdapat tanda-tanda yang diposisikan dalam hubungan temporal dan lokal tertentu dengan tanda-tanda lain, di mana mereka membentuk unit terorganisir yang berbeda pada tingkat hirarki yang berbeda, seperti ; huruf, kata, kalimat atau seluruh teks. Tanda-tanda tersebut memiliki  makna semantik. Mereka mengacu pada sesuatu di luar dirinya, apakah itu lingkup alam atau budaya, atau apakah non-tekstual atau tekstual fenomena.  Satu acungan Jempol untuk Howard Zinn, untuk keberaniannya mengungkap sisi gelap sejarah penemu benua Amerika karena melalui artikelnya Ia berhasil mengungkapkan informasi yang lain dari penulis biasanya, yang kebanyakan mengagungkan Christopher Columbus sebagai penemu Amerika, melalui  unit-unit terorganisir dalam tulisannya.
Namun, dalam artikelnya kali ini Howard Zinn belum memberikan satu instrumen yang jelas mengenai hal ini.  Karena dalam penjelasannya Ia hanya menyebutkan bahwa Christopher Columbus adalah seorang pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator, munafik, seorang lelaki serakah pencari emas, berkeinginan untuk membunuh manusia dan memutilasi orang-orang. Tanpa memeberikan satu contoh yang konkrit, misalkan dengan menyisipkan “penyiksaan apa yang telah dilakukan oleh Colombus?”, atau “hal apa yang mendasari Ia menyatakan Columbus hanyalah seorang munafik, dan serakah?“ untuk menguatkan kalimatnya tersebut.  Atau dengan sedikit menjelaskan tentang Christopher Columbus seperti sedikit kutipan berikut ini “Christopher Columbus menyebut Amerika sebagai ‘The New World’ ketika pertama kali menginjakkan kakinya di benua itu pada 21 Oktober 1492. Namun, bagi umat Islam di era keemasan, Amerika bukanlah sebuah ‘Dunia Baru’. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua itu, para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di Amerika. Klaim sejarah Barat yang menyatakan Columbus sebagai penemu benua Amerika akhirnya terpatahkan. Sederet sejarawan menemukan fakta bahwa para penjelajah Muslim telah menginjakkan kaki dan menyebarkan Islam di benua itu lebih dari setengah milenium sebelum Columbus (http://islamicthinking.tumblr.com/post/6455587444/your-amazing-islamic-scholars-their-discoveries).  Atau mungkin dengan memberikan contoh seperti kutipan yang satu ini “Ahli sejarah Jerman, Alexander Von Wuthenan juga memberikan bukti bahwa orang-orang Islam sudah berada di Amerika tahun 300-900 M.  Artinya, umat Islam sudah ada di Amerika, paling tidak setengah abad sebelum Colombus lahir. Bukti berupa ukiran kayu berbentuk kepala manusia yang mirip dengan orang Arab diperkirakan dipahat tahun 300 dan 900 M. Beberapa ukiran kayu lainnya diambil gambarnya dan diteliti, ternyata memiliki kemiripan dengan orang Mesir.” Lebih jelasnya dapat dilihat di alamat ini : https://id-id.facebook.com/notes/-muallaf-/menelusuri-the-real-historypenjelajah-muslim-lebih-dulu-injak-amerika-daripada-c/233131680048715
Dengan demikian, tulisannya akan meyakinkan pembaca, dan tidak membuat pembaca berpikir ulang untuk memutuskan percaya atau tidak terhadap ungkapannya tersebut.
Selain itu, satu lagi kelebihan Zinn “ungkapannya jujur dalam mengungkap keberpihakannya, mengenai sejarah” yang tersirat dari keberpihakan Zinn, adalah soal ideologinya dalam menulis sejarah. Ia seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang digunakan untuk mendukung sebuah perang mungkin hal ini juga yang mendasarinya dalam mengungkapkan sisi lain perihal Christopher Columbus.  Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.
                Ini membuat Zinn tidak berlagak bodoh dalam bercerita, dan sadar bahwa pembaca butuh tahu. Lalu apa pembelaannya atas posisinya tersebut?  Ini  hal kedua yang perlu dicatat dari seorang Howard Zinn: ia menolak konsekuensi empatik definisi nasion Andersonian yang mengatakan bahwa nasionalisme sejatinya adalah “komunitas politik yang dibayangkan”. Dalam buku Imagined Communities, Anderson menulis:
“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar.”
Konsep inilah yang ditolak oleh Zinn. Anderson tidak menjelaskan bagaimana hubungan tiap orang dalam sebuah bangsa bisa disebut sebagai “kesetiakawanan” ketika segala ketidakadilan dan penghisapan itu terjadi. Zinn menjawab definisi nasionalisme Andersonian, seperti yang dikutip pula oleh Gde Dwitya dalam artikelnya yang berjudul “Howard Zinn dan Sejarah Orang-orang Kalah” di www.jakartabeat.net, bahwa:
“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!”
            Kemudian satu hal lagi yang membuat artikel Zinn (Speaking Truth to Power with Books) cukup menarik, yakni Zinn merumuskan satu hasil akhir dari “cara dimana buku dapat mengubah kesadaran” melalui cerita nyata, berdasarkan pengalamannya. 
            Dari penjelasan Howard Zinn tentang manfaat buku, secara tidak langsung dapat mendorong orang-orang untuk senang membaca, dan menjadi seorang yang berliterasi (mampu membaca dan menulis secara kritis).
Dilain sisi, meski memiliki beberapa kelebihan seperti penjelasan diatas, artikel Zinn bukan berrti luput dari kekurangan, yakni :
a.       Zinn tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dia bahas.
b.      Didalam teks tersebut, Zinn tidak menyertakan referensi yang dapat membantu pembaca mencari tahu lebih jelas, dan lengkap mengenai hal-hal yang telah Ia tuliskan. 
c.       Zinn hanya  mengatakan yang ia ceritakan berdasar atas pengalamannya, seperti pada paragraf ke-empat.  Mungkin ini yang membuat ia pernah tidak dianggap serius di kalangan akademisi.
d.      Dalam menjelaskan tentang Christopher Colombus, dari pendapat-pendapatnya Ia hanya melihat sisi negatifnya Colombus saja. Lain dengan Morison, dari pendapatnya Ia tak menampik bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun Ia tak menyepelekan kebaikan Colombus.  Fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi  di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.  Zinn menulis versi sejarah yang berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon. Namun hal ini sah-sah saja, karena setiap penulis memiliki sudut pandang berbeda mengenai apa yang Ia tulis, dan
e.       Yang terlihat jelas adalah kurang tepatnya penggunaan chronological order  dalam meneyebutkan beberapa cara dimana buku dapat mengubah kesadaran.  Karena pada cara pertama Ia menggunakan kata “first” di paragraf ketujuh, namun saat menyebutkan cara selanjutnya Ia menggunakan kata “ini adalah ide lain...” pada paragraf kesembilan. Ini dapat mengecoh pembaca, pembaca mungkin saja mengira tidak ada kelanjutan dari cara yang telah Ia sebutkan.
Dari semua pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa; membaca buku pada dasarnya adalah kegiatan menyelami dunia lain, yaitu sebuah dunia yang ada di dalam pikiran orang lain. Sementara setiap orang memiliki dunia masing-masing. Dengan membaca buku kita akan menyelami berbagai dunia orang lain yang akan memberikan kita kebijaksanaan yang lebih mendalam dalam menghadapi hidup dari berbagai pengetahuan yang kita petik setelah membaca buku.
Tidak ada, satu buku pun yang pernah ditulis di dunia yang tidak membawa manfaat. Setiap buku akan membawa manfaat jika pembaca mampu menangkap makna dan hikmah.  Jika kita masih kesulitan menangkap makna dan hikmah dari suatu buku, berarti kita harus meningkatkan keterbukaan pikiran kita. Hikmah dan makna sebuah buku tidak akan masuk ke dalam pikiran yang tertutup. Buku-pun dapat berfungsi sebagai Strategi Literasi.  Sebagai Strategi Literasi memberikan fokus anak-anak untuk berpikir dan belajar dalam kaitannya dengan dua aspek (sejarah dan bahasa).  Sejarah memasok kita dengan berbagai macam jenis teks, dan sejarah tersebut menyediakan konteks yang komprehensif untuk berlatih bahasa-itu adalah makna bahasa dalam tindakan.
Begitupun dengan artikel Howard Zinn, yang sungguh luar biasa dalam mengungkapkan bagaimana caranya makna dapat disampaikan oleh sebuah buku, dan bagaimana buku dapat merubah paradigma seseorang yang akhirnya mampu menjelaskan bagaimana dunia ini bisa berubah hanya karena sebuah buku.   Tulisannya mengenai “Ruang Sejarah, khususnya tentang  Christopher Columbus” mungkin adalah bentuk usahanya untuk menjadi seorang yang melek sejarah, dan bisa jadi Ia bermaksud mengajak orang untuk tidak hanya melihat suatu permasalahan dari satu sisi dan menaikkan tingkat literasinya.  Karena literasi tidak dapat diajarkan dalam ruang hampa : anak-anak pun membutuhkan berbagai teks untuk dapat memahaminya, dan belajar sejarah melibatkan pembacaan teks-teks sulit dan menantang dari setiap jenis.  Dengan cara ini, bekerja dalam kedua waktu sejarah dan jam keaksaraan, dapat meningkatkan literasi kita menjadi lebih baik. Ini berarti berfokus secara eksplisit pada dua set terpisah tujuan : orang-orang untuk membaca dan mereka sejarah.  
Tidak ada satu-pun buku yang salah karena sesungguhnya dalam setiap buku tersirat makna, tujuan yang ingin disampaikan penulis terhadap pembaca.  Dan mengenai perbedaan versi penyampaian suatu hal (mengenai sejarah Christopher Columbus contohnya) hal itu sah-sah saja, jika didasari dengan bukti, fakta yang jelas untuk mendukungnya. Karena hal demikian itu hanya perbedaan sudut pandang saja, yang setiap orangnya pasti berbeda, dari sudut mana seseorang  ingin melihat suatu hal, dan dari sudut mana seseorang ingin mengungkapkan-nya.  Satu-satunya buku yang tidak membawa manfaat adalah buku yang tidak pernah kita baca. Sekali kita membaca buku, maka makna dan hikmah buku tersebut bisa masuk ke dalam pikiran kita jika pikiran kita terbuka.  Anda adalah salah seorang yang memiliki pikiran terbuka, saya yakin. Sebab Anda mampu membaca artikel ini sampai pada paragrap ini. Ini berarti, Anda akan mampu menerima makna dan hikmah dari buku manapun yang Anda baca.  Dan yang terpenting adalah orang harus belajar melihat, orang harus belajar berpikir, orang harus belajar berbicara dan menulis, tujuan dari ketiga hal itu adalah budaya yang mulia yang terbuka dan tak hanya terfokus dalam satu sumber saja.

Referensi :
Zinn, Howard.  Speaking Truth to Power with Books. Blackwell Publishing Ltd. 
Hernowo.  Mengikat Makna. 2009. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Miko, Lehtonen.  The Cultural Analysis of Text.  2000. London : SAGE Publications Ltd.
http://www.poztmo.com/2012/02/sejarah-benua-amerika.html diakses pada tanggal 05 Maret 2014 pukul 21.05 WIB.
http://gdepublications.wordpress.com/category/others/  diakses pada tanggal 04 Maret 2014 pukul 17.45 WIB.



Comments
1 Comments

1 Comments:

Lala Bumela said...

Wah, Aam kamu tahu banget ini adalah menu masakan yang memang paling saya sukai! semua ekspektasi saya tentang critical review memang ada, namun sayang generic struktur ko tidak dituliskan dengan gamblang di situ. COngrats!

Post a Comment