Thursday, March 6, 2014
Created By:
Aam Amaliah
Second Critical Review
Menilik
Makna di Balik Goresan-Goresan Tinta Howard Zinn
Orang
harus belajar melihat, orang harus belajar berpikir, orang harus belajar
berbicara dan menulis, tujuan dari ketiga hal itu adalah budaya yang mulia.
“Nietzsche”
Setiap
kali aku membuka sebuah buku, aku menguak sepetak langit. Dan jika aku membaca sederetan kalimat baru,
aku lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya.
dan segala yang kubaca membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar dan
luas.
“Joestin
Gaarder dan Klaus Hagerup”
Buku
bagi Lintang adalah obat seumur kehidupan yang airnya selalu memberikan
kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari.
“Andrea
Hirata”
Critical review ini dimaksudkan
untuk menanggapi goresan tinta Howard Zinn yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books” yang diterbitkan oleh Blackwell
Publishing Ltd. ISBN : 978-1-405-18920-0. Tapi sebelum membahas lebih
dalam mengenai hal tersebut, kita tilik lebih dahulu kehidupan Howard
Zinn. Siapakah Howard Zinn itu? Zinn, adalah sang sejarahwan radikal Amerika,
mangkat karena serangan jantung yang menyerangnya selagi berenang. Zinn
dilahirkan di New York, 22 Agustus 1922. Kedua orang tuanya adalah Yahudi
imigran. Ayahnya membuka kios permen kecil, yang tidak pernah mendapat banyak
penghasilan. Pada 1943, Ia masuk
Angkatan Udara, menjadi sepesialis bomber. Namun, ketika perang usai dan Ia kembali ke
rumah tinggalnya, perasaan penuh dosa menghantui dirinya. Setelah Ia menerima
medali penghargaan atas jasa-jasanya dalam perang, medali itu dimasukkan ke
dalam sebuah amplop dan dibubuhi tulisan, “Jangan pernah lagi.”
Pada tanggal 20 Januari 2010 meninggal karena serangan jantung
yang menyerangnya selagi berenang. Ia meninggalkan seorang
istri dan nama besar dari sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s
History of the United States. Kepahitan pengalamannya akan perang
itulah yang menyebabkannya menulis sebuah karya sejarah yang fenomenal, yang
bertutur dari sudut pandang mereka yang kalah, A People’s History of the
United States.
Ketika
diterbitkan pertama kali di tahun 1980 buku tersebut hanya terjual empat
ribu kopi, kini telah terjual habis hampir mencapai dua juta kopi dan dicetak
ulang lima kali. Ia menempatkan sang
penulis, yang saat itu memegang mandat sebagai seorang profesor sejarah di
Boston University, di jajaran elit tradisi kritis kaum liberal-progresif
Amerika. Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk
mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam
definisi Spivak: mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan
sejarah. Sasaran tembaknya tak tanggung
tanggung: Christoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari
kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot
Morison. (http://jakartabeat.net/kolom/konten/howard-zinn-dan-sejarah-orang-orang-kalah).
Beralih dari pembahasan
mengenai siapa itu Howard Zinn, ke artikel-nya yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books”. Dalam artikel tersebut Zinn menuangkan
pemikirannya dalam goresan-goresan tinta yang menggambarkan beberapa poin
penting, diantaranya; bahwa Ia terbujuk dengan pentingnya buku, bukan hanya
dari bacaan-bacaan, namun secara langsung dari pengalamannya sendiri. Dalam artikelnya Howard Zinn menyatakan
bahwa kebenaran melalui buku adalah sesuatu yang bisa mengubah kesadaran
orang-orang, dan bisa mengubah dunia. Yang bisa mengetahui proses menyadari
diri sendiri. Kesadaran membaca, karena
ketika suara diproduksi akan cepat hilang begitu saja jika kita tak dibarengi
dengan merekam momen berbicara dengan mengingat dan menulis, menorehkannya
dalam lembaran-lembaran kertas kemudian menyusunnya dalam sebuah buku.
Ia menjelaskan bagaimana
kegiatan menulis dapat menggemparkan dunia.
Lewat Buku–buku yang dihasilkan para penulis, hingga akhirnya dibaca oleh banyak orang dan akhirnya
menyiratkan bagaimana tulisan-tulisan tersebut dapat merubah seseorang mulai
dari paradigma mereka, hingga ke kehidupannya.
Selain
itu Ia juga mengungkapkan apa
yang buku
lakukan dan
mendapatkan setidaknya
sebagian jawaban
atas sebagian pertanyaan;
apakah yang terjadi di dunia? Apa efek yang ditimbulkannya? Apakah buku
membantu merubah dunia? Dengan jalan apa buku membantu seseorang? karena
Ia tidak
berpikir kita
tahu persis apa
yang dilakukan
buku
atau
apa
yang tulisan lakukan
dalam mengubah kesadaran seseorang. Dia
memberikan contoh real dari beberapa pengalaman yang mengungkapkan bahwa buku
telah mengubah hidup mereka, diantaranya;
Pertama, pengalaman
ketika Ia berusia 14 tahun. Saat itu Ia
menemukan buku di jalan, dan ketika melihat hal itu orang tuanya tahu bahwa dia
tertarik pada buku meskipun mereka tak mempunyai satu buku-pun dirumah.
Kedua, seorang mahasiswa
di University of Hawaii, yang sedang membaca buku “The Color Purple” karya
Alice Walker. Dia menyatakan bahwa buku
tersebut telah mengubah hidupnya. Yang
membuat Zinn terkejut, dan berpikir bahwa buku memang dapat mengubah hidup
seseorang, dengan mengubah kesadaran seseorang, yang kemudian memberikan efek
pada dunia.
Dan yang paling
menggemparkan dunia adalah tulisannya sendiri mengenai Christopher Columbus
dalam bukunya “A People’s History of the United States”. Yakni saat pertama kali buku tersebut terbit,
banyak sekali surat dari seluruh negeri.
Sebagian besar intinya adalah mengenai bab pertama karena kejengkelan
mereka (orang-orang yang dibesarkan di Amerika Serikat) yang telah mendapatkan
pelajaran bahwa Christopher Columbus adalah seorang pahlawan, Colombus
seorang penemu besar, Colombus seorang pembaca Bible yang saleh. Yang kemudian dihadapkan dengan tulisannya
yang menggambarkan bahwasanya Christopher Columbus adalah seorang pembunuh,
penyiksa, penculik, mutilator, munafik, seorang lelaki serakah pencari emas,
berkeinginan untuk membunuh manusia dan memutilasi orang-orang. Yang membuat
para pembacanya shock.
Kemudian, dalam artikel
tersebut Howard Zinn menyebutkan bahwa ada beberapa cara dimana buku dapat
mengubah kesadaran;
1.
Mereka dapat
meemperkenalkan sebuah ide yang pembaca tidak pernah pikirkan sebelumnya.
2.
Mungkin setelah
membaca sebuah buku, khususnya jika mereka membaca sejarah yang tak lazim. Hal itu bisa jadi akan menyerang anda karena
setiap individu tidak memiliki kepentingan yang sama.
3.
Adanya wawasan
yang berasal dari buku-buku
4.
Adanya
set data yang belum dimiliki oleh orang-orang, dan yang, ketika mereka terungkap dalam sebuah buku, hal itu akan mengejutkan
pembaca dan kemudian akan berubah menjadi suatu kesadaran yang sangat penting.
5.
Banyak
orang percaya bahwa mereka akan mengetahui sesuatu
ketika mereka belum tahu sebelumnya.
6.
Masih
ada cara
lain yang buku
dan menulis
dapat dilakukan,
yakni melalui
literatur
absurditas, dalam tradisi Jonathan Swift
dan Franz Kafka dan Mark Twaim. Ide –
ide konyol yang secara tidak langsung akan membuat anda berpikir.
7.
Melalui
teks, akan membuat seseorang tidak merasa sendirian. Tidak hanya unuk pembaca, tapi juga
penulisnya.
Buku merupakan cahaya
untuk peradaban manusia. Dalam setiap buku, seringkali terdapat sejumlah
pikiran cerdas yang kemudian bisa mempengaruhi cara
berpikir dalam masyarakat tertentu. Dalam buku pula tertoreh bagaimana rupa
sejarah bisa beragam, bagaimana sastra bisa bercerita tentang kebenaran melalui
dusta, atau bagaimana sains bisa mengesampingkan Tuhan. Namun siapa sangka, di balik sebuah buku
tersimpan suatu kekuatan hebat. Karena hebatnya
kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat,
mencengkeram erat, menggetarkan, dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa
yang sedang atau akan terjadi. Hal tersebut semakin meyakinkan dengan adanya
kumpulan kalimat-kalimat sejarawan terkemuka di dunia. Howard Zinn, sejarawan
yang mengungkap ihwal urgensi sebuah buku dalam kehidupan kita lewat artikelnya
yang bertajuk Speaking Truth to Power with
Books.
Banyak yang
mengatakan buku adalah jendela dunia. Betul sekali, buku adalah jendela dunia.
Dengan membuka buku berarti Anda membuka jendela dunia. Anda bisa melihat
keluar, sesuatu yang baru atau pemandangan yang berbeda dengan apa yang ada di
rumah kita. Yang dimaksud rumah adalah pikiran kita saat ini. Sebagian orang
mengatakan bahwa dengan membaca sebuah buku berarti kita membuka cakrawala.
Dikaitkan dengan artikel Howard Zinn, hal ini sungguh beriringan. Dalam artikel-nya tersebut Ia mampu menyampaikan
pesan bahwa buku sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia melalui beberapa
pengalaman yang Ia torehkan.
Setiap kata dalam
lembaran-lembaran buku tergurat sebuah makna.
Seperti apa yang dikatakan
Lehtonen dalam bukunya berjudul “The Cultural Analysis of Texts” dalam
sebuah teks terdapat tanda-tanda yang diposisikan dalam hubungan temporal dan lokal tertentu
dengan tanda-tanda lain, di mana mereka membentuk unit terorganisir yang
berbeda pada tingkat hirarki yang berbeda, seperti ; huruf, kata,
kalimat atau seluruh teks. Tanda-tanda tersebut memiliki
makna semantik. Mereka mengacu pada sesuatu di luar dirinya, apakah itu
lingkup alam atau budaya, atau apakah non-tekstual atau tekstual fenomena. Satu acungan Jempol untuk Howard Zinn, untuk keberaniannya
mengungkap sisi gelap sejarah penemu benua Amerika karena
melalui artikelnya Ia berhasil mengungkapkan informasi yang lain dari penulis
biasanya, yang kebanyakan mengagungkan Christopher Columbus sebagai
penemu Amerika, melalui
unit-unit terorganisir dalam tulisannya.
Namun,
dalam artikelnya kali ini Howard Zinn belum memberikan satu instrumen yang
jelas mengenai hal ini. Karena dalam
penjelasannya Ia hanya menyebutkan bahwa Christopher
Columbus adalah seorang pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator, munafik,
seorang lelaki serakah pencari emas, berkeinginan untuk membunuh manusia dan
memutilasi orang-orang. Tanpa memeberikan satu contoh yang konkrit, misalkan
dengan menyisipkan “penyiksaan apa yang telah dilakukan oleh Colombus?”, atau
“hal apa yang mendasari Ia menyatakan Columbus hanyalah seorang munafik, dan
serakah?“ untuk menguatkan kalimatnya tersebut.
Atau dengan sedikit menjelaskan tentang Christopher Columbus seperti
sedikit kutipan berikut ini “Christopher Columbus menyebut Amerika sebagai ‘The New
World’ ketika pertama kali menginjakkan kakinya di benua itu pada 21 Oktober
1492. Namun, bagi umat Islam di era keemasan, Amerika bukanlah sebuah ‘Dunia
Baru’. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua itu,
para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di Amerika.
Klaim sejarah Barat yang menyatakan Columbus sebagai penemu benua Amerika
akhirnya terpatahkan. Sederet sejarawan menemukan fakta bahwa para penjelajah
Muslim telah menginjakkan kaki dan menyebarkan Islam di benua itu lebih dari
setengah milenium sebelum Columbus (http://islamicthinking.tumblr.com/post/6455587444/your-amazing-islamic-scholars-their-discoveries). Atau mungkin dengan memberikan contoh seperti
kutipan yang satu ini “Ahli sejarah Jerman, Alexander Von Wuthenan juga
memberikan bukti bahwa orang-orang Islam sudah berada di Amerika tahun 300-900
M. Artinya, umat Islam sudah ada di Amerika,
paling tidak setengah abad sebelum Colombus lahir. Bukti berupa ukiran kayu
berbentuk kepala manusia yang mirip dengan orang Arab diperkirakan dipahat
tahun 300 dan 900 M. Beberapa ukiran kayu lainnya diambil gambarnya dan
diteliti, ternyata memiliki kemiripan dengan orang Mesir.” Lebih jelasnya dapat
dilihat di alamat ini : https://id-id.facebook.com/notes/-muallaf-/menelusuri-the-real-historypenjelajah-muslim-lebih-dulu-injak-amerika-daripada-c/233131680048715
Dengan demikian,
tulisannya akan meyakinkan pembaca, dan tidak membuat pembaca berpikir ulang
untuk memutuskan percaya atau tidak terhadap ungkapannya tersebut.
Selain itu,
satu lagi kelebihan Zinn “ungkapannya jujur dalam mengungkap keberpihakannya,
mengenai sejarah” yang tersirat dari keberpihakan Zinn, adalah soal ideologinya
dalam menulis sejarah. Ia seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan
apapun yang digunakan untuk mendukung sebuah perang mungkin hal ini juga yang
mendasarinya dalam mengungkapkan sisi lain perihal Christopher Columbus. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara
soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan
pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional,
dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
If history is to
be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it
should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes
of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to
resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only
hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of
compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt
as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as
well know that before going on.
Ini membuat
Zinn tidak berlagak bodoh dalam bercerita, dan sadar bahwa pembaca butuh tahu.
Lalu apa pembelaannya atas posisinya tersebut?
Ini hal kedua yang perlu dicatat dari seorang Howard Zinn: ia
menolak konsekuensi empatik definisi nasion Andersonian yang
mengatakan bahwa nasionalisme sejatinya adalah “komunitas politik yang
dibayangkan”. Dalam buku Imagined Communities, Anderson menulis:
“Akhirnya,
bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan
ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam
setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang
masuk mendalam dan melebar-mendatar.”
Konsep
inilah yang ditolak oleh Zinn. Anderson tidak menjelaskan bagaimana hubungan
tiap orang dalam sebuah bangsa bisa disebut sebagai “kesetiakawanan” ketika
segala ketidakadilan dan penghisapan itu terjadi. Zinn menjawab definisi
nasionalisme Andersonian, seperti yang dikutip pula oleh Gde Dwitya dalam
artikelnya yang berjudul “Howard Zinn dan Sejarah Orang-orang Kalah” di www.jakartabeat.net,
bahwa:
“Sejarah
setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga
menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang,
tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan
dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor,
adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk
tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!”
Kemudian
satu hal lagi yang membuat artikel Zinn (Speaking
Truth to Power with Books) cukup menarik, yakni Zinn merumuskan satu hasil
akhir dari “cara dimana buku dapat mengubah kesadaran” melalui cerita nyata,
berdasarkan pengalamannya.
Dari
penjelasan Howard Zinn tentang manfaat buku, secara tidak langsung dapat
mendorong orang-orang untuk senang membaca, dan menjadi seorang yang
berliterasi (mampu membaca dan menulis secara kritis).
Dilain sisi,
meski memiliki beberapa kelebihan seperti penjelasan diatas, artikel Zinn bukan
berrti luput dari kekurangan, yakni :
a. Zinn tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dia
bahas.
b. Didalam teks tersebut, Zinn tidak menyertakan referensi yang
dapat membantu pembaca mencari tahu lebih jelas, dan lengkap mengenai hal-hal
yang telah Ia tuliskan.
c. Zinn hanya mengatakan yang ia ceritakan berdasar atas
pengalamannya, seperti pada paragraf ke-empat.
Mungkin ini yang membuat ia pernah tidak dianggap serius di kalangan
akademisi.
d.
Dalam menjelaskan tentang Christopher Colombus, dari
pendapat-pendapatnya Ia hanya melihat sisi negatifnya Colombus saja. Lain
dengan Morison, dari pendapatnya Ia tak menampik bahwa benar telah terjadi
pembantaian pada suku Arawaks, namun Ia tak menyepelekan kebaikan
Colombus. Fakta kecil itu tak sebanding
dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian
direproduksi di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para
siswa. Zinn menulis versi sejarah yang
berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang.
Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian
Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York,
tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang
penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon. Namun hal ini sah-sah
saja, karena setiap penulis memiliki sudut pandang berbeda mengenai apa yang Ia
tulis, dan
e. Yang terlihat jelas adalah kurang tepatnya penggunaan
chronological order dalam meneyebutkan
beberapa cara dimana buku dapat mengubah kesadaran. Karena pada cara pertama Ia menggunakan kata
“first” di paragraf ketujuh, namun saat menyebutkan cara selanjutnya Ia
menggunakan kata “ini adalah ide lain...” pada paragraf kesembilan. Ini dapat
mengecoh pembaca, pembaca mungkin saja mengira tidak ada kelanjutan dari cara
yang telah Ia sebutkan.
Dari semua
pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa; membaca buku pada dasarnya adalah
kegiatan menyelami dunia lain, yaitu sebuah dunia yang ada di dalam pikiran
orang lain. Sementara setiap orang memiliki dunia masing-masing. Dengan membaca
buku kita akan menyelami berbagai dunia orang lain yang akan memberikan kita
kebijaksanaan yang lebih mendalam dalam menghadapi hidup dari berbagai
pengetahuan yang kita petik setelah membaca buku.
Tidak ada,
satu buku pun yang pernah ditulis di dunia yang tidak membawa manfaat. Setiap
buku akan membawa manfaat jika pembaca mampu menangkap makna dan hikmah. Jika kita masih kesulitan menangkap makna dan
hikmah dari suatu buku, berarti kita harus meningkatkan keterbukaan pikiran
kita. Hikmah dan makna sebuah buku tidak akan masuk ke dalam pikiran yang
tertutup. Buku-pun dapat berfungsi sebagai Strategi Literasi. Sebagai Strategi Literasi memberikan fokus anak-anak
untuk berpikir dan belajar dalam kaitannya dengan dua aspek (sejarah dan
bahasa). Sejarah memasok kita dengan
berbagai macam jenis teks, dan sejarah tersebut menyediakan konteks yang
komprehensif untuk berlatih bahasa-itu adalah makna bahasa dalam tindakan.
Begitupun
dengan artikel Howard Zinn, yang sungguh luar biasa dalam mengungkapkan
bagaimana caranya makna dapat disampaikan oleh sebuah buku, dan bagaimana buku
dapat merubah paradigma seseorang yang akhirnya mampu menjelaskan bagaimana dunia
ini bisa berubah hanya karena sebuah buku.
Tulisannya mengenai “Ruang
Sejarah, khususnya tentang Christopher
Columbus” mungkin adalah bentuk usahanya untuk menjadi seorang yang melek sejarah,
dan bisa jadi Ia bermaksud mengajak orang untuk tidak hanya melihat suatu permasalahan
dari satu sisi dan menaikkan tingkat literasinya. Karena literasi tidak dapat diajarkan dalam
ruang hampa : anak-anak pun membutuhkan berbagai teks untuk dapat memahaminya,
dan belajar sejarah melibatkan pembacaan teks-teks sulit dan menantang dari
setiap jenis. Dengan cara ini, bekerja
dalam kedua waktu sejarah dan jam keaksaraan, dapat meningkatkan literasi kita menjadi
lebih baik. Ini berarti berfokus secara eksplisit pada dua set terpisah tujuan
: orang-orang untuk membaca dan mereka sejarah.
Tidak
ada satu-pun buku yang salah karena sesungguhnya dalam setiap buku tersirat
makna, tujuan yang ingin disampaikan penulis terhadap pembaca. Dan mengenai perbedaan versi penyampaian
suatu hal (mengenai sejarah Christopher Columbus contohnya) hal itu sah-sah
saja, jika didasari dengan bukti, fakta yang jelas untuk mendukungnya. Karena
hal demikian itu hanya perbedaan sudut pandang saja, yang setiap orangnya pasti
berbeda, dari sudut mana seseorang ingin
melihat suatu hal, dan dari sudut mana seseorang ingin mengungkapkan-nya. Satu-satunya buku yang tidak membawa manfaat
adalah buku yang tidak pernah kita baca. Sekali kita membaca buku, maka makna
dan hikmah buku tersebut bisa masuk ke dalam pikiran kita jika pikiran kita terbuka.
Anda adalah salah seorang yang memiliki
pikiran terbuka, saya yakin. Sebab Anda mampu membaca artikel ini sampai pada
paragrap ini. Ini berarti, Anda akan mampu menerima makna dan hikmah dari buku
manapun yang Anda baca. Dan yang
terpenting adalah orang harus belajar melihat, orang harus belajar berpikir,
orang harus belajar berbicara dan menulis, tujuan dari ketiga hal itu adalah
budaya yang mulia yang terbuka dan tak hanya terfokus dalam satu sumber saja.
Referensi :
Zinn, Howard. Speaking Truth to Power with
Books. Blackwell Publishing Ltd.
Hernowo.
Mengikat Makna. 2009. Bandung
: PT Mizan Pustaka.
Miko, Lehtonen.
The Cultural Analysis of Text. 2000. London : SAGE Publications Ltd.
http://www.poztmo.com/2012/02/sejarah-benua-amerika.html
diakses pada tanggal 05 Maret 2014 pukul 21.05 WIB.
https://id-id.facebook.com/notes/-muallaf-/menelusuri-the-real-historypenjelajah-muslim-lebih-dulu-injak-amerika-daripada-c/233131680048715
diakses pada tanggal 03 Maret 2014 pukul 21.29 WIB.
http://sanskertaonline.blogspot.com/2013/03/keberpihakan-sejarah-howard-zinn.html
diakses pada tanggal 05 Maret 2014 pukul 20.45 WIB.
http://gdepublications.wordpress.com/category/others/
diakses pada tanggal 04 Maret 2014 pukul
17.45 WIB.
http://narayana734.blogspot.com/2012/02/inilah-sejarah-suku-indian-amerika-yang.html
diakses pada tanggal 03 Maret 201 4 pukul 21.01 WIB.


1 Comments:
- Lala Bumela said...
-
Wah, Aam kamu tahu banget ini adalah menu masakan yang memang paling saya sukai! semua ekspektasi saya tentang critical review memang ada, namun sayang generic struktur ko tidak dituliskan dengan gamblang di situ. COngrats!
-
March 7, 2014 at 3:19 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)