Saturday, March 8, 2014
Created By:
Wahyu Zulfa Lailah
class review 4:
MENANAMKAN
BUDAYA TOLERANSI DINI HARI
Pada
tanggal 28 februari 2014 di pertemuan ke
empat ini , kami berangkat sangat pagi – pagi , saat orang – orang sedang masih sibuk dengan apa yang mereka akan siapkan untuk dibawa ke kampus ,
berbeda dengan anak – anak kelas kami
yang sudah siap untuk menerima
sajian - sajian mata kuliah . tak peduli masih petang , air yang
sangat dingin sekali terasa sampai menusuk tulang , menanti adzan subuh,
diawali dengan membersihkan diri , ini
biasanya dilakukan oleh kebanyakan anak kos yang ingin berangkat pagi . meskipun
masih terasa ngantuk tak membuat kami untuk melanjutkan tidur kembali . pelajar
di hari kami bisa mengetahui betapa berharganya waktu itu. Mulai dimalam hari
kami terlebih dahulu mempersiapkan apa yang akan di perlukan untuk esok hari,
dan tidak lupa mempelajari untuk persiapan besok , menguasai passport yang
kitra tulis untuk di pertanggung jawabkan.
Berbicara
masalah waktu, sebagai manusia baik itu seorang pelajar, mahasiswa, dosen
ataupun pekerja sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kita sama-sama
memiliki waktu 23 jam 56 menit sehari semalam, yang kemudian dibulatkan menjadi
24 jam. Dari waktu yang sama yaitu 24 jam tersebut, banyak diantara kita telah
menggapai kesuksesan ketika memanfaatkannya dengan baik. Waktu bagai bilah pedang yang memiliki dua
mata, bila kita bisa menggunakan dan memanfaatkannya dengan baik, maka akan
menyelamatkan kita, namun jika sebaliknya akan bisa membunuh dengan seketika.
Apa
yang dilakukan oleh Mr. Lala , sangat mendidik para mahasiswanya . agar selalu
menggunkan dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Dengan cara membuat jadwal
pada mata kuliahnya masuk pada jam tujuh pagi sudah berada di kelas. Pasti
sudah familiar peraturan ini seperti jepang punya.
Kedisiplinan
itu memeng perlu diterapkan , sebuah proses pendidikan tidak
akan berhasil jika tidak ada penerapandisiplin kepada para siswa. Disiplin
adalah kemampuan memanfaatkan waktu untukmelakukan hal-hal yang positif guna
mencapai sebuah prestasi. Disiplin juga berartikemampuan berbuat hanya yang
memberikan manfaat bagi diri, orang lain, dan lingkungan. Disiplin terkait dengan tata tertib dan
ketertiban. Ketertiban berarti kepatuhanseseorang dalam mengikuti peraturan
karena didorong oleh sesuatu yang datangdari luar dirinya. Disiplin adalah
kepatuhan yang muncul karena kesadaran dandorongan dari dalam diri orang itu.
Sedangkan tata tertib berarti perangkat peraturanyang berlaku untuk menciptakan
kondisi yang tertib dan teratur.
Di pertemuan ini
Mr. Lala membicarakan kembali
tentang classroom discourse atau wacana
kelas , sebelumnya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu wacana , wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana
pragmatik ialah seluruh peristiwa bahasa yang membawa ujaran pembicara sampai
kependengar. Ada berbagai jenis wacana, yaitu: wacana langsung, wacana
pembeberan, wacana penuturan, dan wacana tak langsung. Bila kita mendengar kata
pragmatik sejenak kita akan mengingat tentang fungsinya sebagai penafsir wacana
oleh penutur. Dalam pengkajian pragmatik biasanya disertakan pula analisis
wacana, analisis wacana merupakan usahaha seseorang dalam membahas bagaimana
pemakai bahasa seperti mencerna apa yang ditulis, apa yang di ucapkan dalam
percakapan(Kridalaksana, 2011). Wacana adalah proses bagaimana seseorang
berbicara dan mengerti apa yang dibicarakan dan didengarnya mencakup semua
aspek kata yang di ucapkan demikian yang di paparkan oleh Lois dan Marianne (2002),
Jadi secara
garis besar wacana merupakan proses dimana seseorang menyampaikan ujaran untuk
dapat dimengerti oleh orang lain yang tidak terlepas dari sistem dan kaidah
bahasa yang berlaku, untuk mengkaji dan memahami wacana maka digunakan analisis
wacana atau discourse analisis.
Analisis wacana
termasuk kedalam disiplin ilmu, sejak dasawarsa 1960-an. Seirimg dengan
berkembangnya ilmu etnografi analisi wacana mulai ikut berkembang pesat, tidak
lagi mencakup bentuk sapaan, mitos, dan interaksi tapi mrncakup ke bentuk
percakapan dan interaksi verbal lainnya begitu yang diungkapkan Bambang (1995).
Percakapan menjadi satu model wacana yang paling dekat dengan keseharian kita
sehingga lebih mudah kita temui. Percakapan dapat didefinisikan sebagai bentuk
kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih, percakapan juga bisa disebut
sebagai proses komunikasi. Proses komunikasi bisa terjadi dimana saja dengan
wacana yang berbeda atau sesuai dengan kondisi yang ada. Interaksi pedagogis
adalah wacana yang dapat kita temui di sekitar dunia pendidikan khususnya di
ruang kelas yang merupakan tempat paling sering terjadi percakapan atau
interaksi antara pengajar dan pembelajar. Dalam wacana pedagogis banyak hal
menarik yang dapat dikaji dalam usaha memperbaiki kondisi dalam proses
pembelajaran tersebut.
Percakapan
terjadi dalam interaksi antara pengajar dan pembelajar dapat diamati secara
kasat mata dan dikaji secara mendalam. Disini akan digambarkan bagaimana
proses interaksi atau percakapan tersebut terjadi dan mencoba memberikan
pencerahan pada kedua belah pihak agar proses interaksi dapat dilakukan sesuai
porsinya. Biasanya pengajar berusaha mengamati apakah pembelajar mengikuti apa
yang dikatakanya. Penelitian berikut bertujuan mendeskripsikan interaksi
yang terjadi berdasarkan langkah langkah yang di lakukan dalam penelitian
wacana oleh Stubbs (1984) yang terdiri dari:
Ø Menarik
perhatian pembelajar maksudnya, pengajar selalu berusaha menarik perhatian
pembelajar.
Ø Memantau jumlah
perkataan dimana pengajar sering memantau apakah pembelajar berbicara atau
tidak upaya memantau ini dapat dilakukan dalam bentuk perintah atau permintaan.
Ø Memeriksa pemahaman, pengajar
kadang-kadang memeriksa apakh dia dapat memahami para pembelajar.
Ø Meringkas ialah dimana pengajar sering
pula mringkas sesuatu yang dikatakan atu meringkas situasi yang dicapai dalam
diskusi atau pelajaran.
Ø Mendefinisikan
adalah bagaimana si pengajar dapat mendefenisikan atau memberi penjelasan
teentang sesuatu yang telah dikatakan.
Ø Menyunting, pengajar juga terkadang
memberi komentar tentang apa yang dikatakan oleh pembelajar yang menunjukan
penilaian atau kritik.
Ø Membenarkan,
pengajar juga berusaha membenarkan apa yang dikatakan atau ditulis oleh
pembelajar.
Ø Menspesifikasikan
topik, bagaimana si pengajar juga dapat memfokuskan pada sebuah topik
pembahasan atau menentukan batas-batas yang relevan.
Di dalam classroom discourse mempunyai dua hal yaitu teks dan konteks ;
1. Teks
Teks merupakan
wujud nyata dari suatu ujaran. Artinya, struktur kalimat yang keluar berupa
ujaran atau tulisan. Sebuah teks tidak sekadar unit tata bahasa atau rentetan
kalimat yang tampak, akan tetapi teks merupakan unit semantik yang mempunyai
satu kesatuan arti.
Berdasarkan
saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, teks dibedakan menjadi teks tulis
dan teks lisan.
Teks merupakan produk, dalam arti
bahwa teks itu merupakan keluaran (output) ; sesuatu yang dapat direkam atau
dipelajari (berwujud). Teks juga merupakan proses, dalam arti merupakan proses
pemilihan makna yang terus-menerus, maksudnya ketika kita menerima atau memberi
informasi dalam bentuk teks (lisan atau tulis) maka tentunya di dalam otak kita
terjadi proses pemahaman (pemilihan makna) terhadap informasi tersebut, jangan
sampai terjadi kesalahpahaman. Adapun kriteria teks sebagai berikut:
1) Kriteria yang bersifat internal teks
2) Kohesi: kesatuan makna
3) Koherensi: kepaduan kalimat
(keterkaitan antarkalimat)ü
4) Kriteria yang bersifat eksternal
teks
5) Intertekstualitas: setiap teks saling
berkaitan secara sinkronis atau diakronis
6) Intensionalitas: cara-cara atau
usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan
Pembicaraan melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi
wajah. Intensionalitas berkaitan dengan akseptabilitas (penerimaan informasi).
1) Informativitas: kuantitas dan
kualitas informasi
2) Situasionalitas: situasi tuturan
2.
Konteks
Konteks adalah gagasan yang digunakan dalam ilmu
bahasa (linguistik, sosiolinguistik, linguistik fungsional sistemik, analisis
wacana, pragmatik, semiotika, dll) dalam dua cara yang berbeda, yaitu sebagai
1) Lisan konteks, dan 2) Konteks sosial.
1)
Konteks
verbal
Konteks
verbal mengacu pada teks sekitarnya atau berbicara dari sebuah ekspresi (kata,
kalimat, percakapan gilirannya, tindak tutur, dll).
2)
Konteks sosial
Secara
tradisional, dalam sosiolinguistik, konteks sosial didefinisikan dalam istilah
variabel sosial obyektif, seperti kelas, gender atau ras. Baru-baru ini,
konteks sosial cenderung didefinisikan dari segi identitas sosial yang
ditafsirkan dan ditampilkan dalam teks dan berbicara oleh pengguna bahasa
Menurut Kridalaksana, konteks
merupakan ciri-ciri alam di luar bahasa; lingkungan/ situasi tuturan
berlangsung yang menumbuhkan makna pada ujaran; lingkungan nonlinguistik dari
wacana. Menurut Moelyono dan Soenjono, konteks wacana dibentuk oleh berbagai
unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik,
peristiwa, bentuk, amanat, dan kode. Unsur-unsur itu berhubungan pula dengan
unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain:
1)
Latar : tempat dan waktu terjadinya percakapan
2)
Peserta : peserta percakapan yakni pembicara (penyapa) dan pendengar (pesapa)
3)
Hasil : hasil dan tujuan percakapan
4)
Amanat: bentuk dan isi amanat
5)
Cara : cara percakapan dilakukan, dengan semangat, santai atau tergesa-gesa
6)
Sarana : penggunaan bahasa lisan atau tulis; variasi bahasa yang digunakan
7)
Norma : perilaku peserta percakapan
8)
Jenis : mengacu pada kategori seperti sajak, teka-teki, kuliah, dan doa
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konteks adalah segala sesuatu yang
melingkupi teks. Teks dan konteks merupakan sesuatu yang selalu berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan. Makna yang terealisasi dalam teks merupakan hasil
interaksi pemakai bahasa dengan konteksnya, sehingga konteks merupakan wahana
terbentuknya teks.
Dengan
classroom discrouse bisa terlahir harmonisasi agama, karna disini menggunakan
toleransi untuk pemeluk agama yang berbeda – beda . Adanya pendidikan multicultural bisa dijadikan landasan dalam classroom
discrouse, Pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan
menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda sehingga tumbuh
sikap saling menghargai perbedaan (agree in disagreement), dan dapat
hidup saling berdampingan satu dengan yang lain (to live together).
Dengan kata yang lain, siswa diajak untuk menghargai – bahkan menjunjung tinggi
– pluralitas dan heterogenitas. Menurut Syafiq A. Mughni (2003: ix), paradigma
pendidikan multikultural mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama
dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan
saling memahami, untuk mengembangkan: i) transformasi diri; ii) transformasi
sekolah dan proses belajar mengajar, dan; iii) transformasi masyarakat.
Dalam
pandangan Abdullah Aly, tujuan pendidikan multikultural mencakup: (i).
Tujuan attitudinal (sikap), yaitu membudayakan sikap sadar,
sensitif, toleran, respek terhadap identitas budaya, responsif terhadap
berbagai permasalahan yang timbul di masyarakat. (ii). Tujuan kognitif, yaitu
terkait dengan pencapaian akademik, pembelajaran berbagai bahasa, memperluas
pengetahuan terhadap kebudayaan yang spesifik, mampu menganalisa dan menginterpretasi
tingkah laku budaya dan menyadari adanya perspektif budaya tertentu. (iii).
Tujuan instruksional, yaitu menyampaikan berbagai informasi mengenai berbagai
kelompok etnis secara benar di berbagai buku teks maupun dalam pengajaran,
membuat strategi tertentu dalam menghadapi masyarakat yang plural, menyiapkan
alat yang konseptual untuk komunikasi antarbudaya dan untuk pengembangan
ketrampilan, mempersiapkan teknik evaluasi dan membuka diri untuk
mengklarifikasi dan penerangan mengenai nilai-nilai dan dinamika budaya.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)