Saturday, March 8, 2014

BEBAN BERAT SEBAGAI KONSEKUENSI STATUS

On February, 28th 2014
Class Review 4
BEBAN BERAT SEBAGAI KONSEKUENSI STATUS
“Jika orang-orang mengetahui manfaat dari ilmu, mereka tentu telah berusaha meraihnya, meski dengan mengorbankan hidup mereka. Untuk tujuan ini, mereka akan mengarungi samudera yang penuh bahaya.”  (Imam Ja`far Shadiq)
“Jika awalnya tidak gila, maka seterusnya akan biasa-biasa saja” (Albert Einstein)

Apakah kita mengira menulis itu mudah? Atau apakah  dengan tanpa referensi  kita bisa membuatnya?  Padahal banyak sekali nilai kurang dari tulisan yang kita buat tanpa di dukung oleh sumber-sumber lainnya yang akan memberi cita rasa mahal kepada hasil karya kita.   Mulai mencoba membaca buku-buku yang dianggap sangat berpengaruh dan menjadi best seller dalam belajar menulis.  Kita akan mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arah yang lebih berliterasi lagi.  Mengetahui yang kita tidak tahu.  Dari buku-buku inilah kita dapat belajar banyak, dimana letak kekurangannya, ketidaktahuannya meski tanpa buku-buku itu pun kita tetap bisa menulis.  Tapi, penulis tak berdaya saya fikir J

Jum’at, 28 Februari 2014 pukul 07.00 ruang 46 adalah awal revolusi Mr.  Lala untuk kelas kita PBI-D.  Sedikit lebih awal untuk perubahan yang lebih besar, 30 menit  berharga untuk merubah aturan yang berakar berurat di kampus tercinta ini.  Yang terpenting adalah merubah keefektifan waktu belajar, istirahat siang dan waktu shalat.  Label kita institut islam, maka wajib kita menghargai islam itu sendiri.  Stop belajar di waktu dzuhur menyapa.  Mengistirahatkan diri merefresh otak.  UPI yang yang tidak berlabel islam pun mampu mengefektifkan waktu antara belajar dan shalat, masa Institut Islamnya sendiri tidak bisa.  Apa pandangan orang?
Setelah 1 minggu kita bergelut dengan pembuatan masterpiece kita di critical review I,  ternyata masih banyak kekurangan yang kita punya (tapi, wajar ah..kan masih pemula.  Masih butuh belajar yang ekstra J ) dan ada THE BIGGEST MISSING LINK yang hampir semua teman-teman saya buat yaitu luputnya pembahasan classroom discourse dari min. 2500 kata yang kita susun.   Tugas kita untuk memperbaiki.
Dimana posisi kita sekarang?

Di semester 4 ini, kita sedang bergerak dari seorang reader menuju ke quality reader.  Menjadi seorang pembaca yang berkualitas bukanlah hal mudah, butuh perjuangan dan pengorbanan, penyitaan waktu, dan penyitaan hidup dari keramaian  tapi tidak menjauhkan (seperti yang telah Mr.  Lala sampaikan tentang kata-kata dari bapak...).  Aktifitas terbaru adalah memperbanyak bacaan demi meningkatkan literasi, mencari sumber yang kuat, valid dan terpercaya.  Jika ini sudah didapat, maka dapatlah kita beralih ke ranah yang “keren” lagi, yaitu seorang writer.  Namun ada yang “lebih kerenlagi, menjadi quality writer. Semoga bisa sampai di garis paling akhir.  Aamiin
Ada metode belajar baru untuk minggu depan dalam MK writing ini, ialah masing-masing mahasiswa wajib membawa laptop.  Tujuannya adalah untuk merekonstruksi critical writing kita ke pengalihbahasaan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.  Spontan.  Namun tidak dengan min.2500 kata hanya 500 kata saja,  dalam waktu 30 menit.  Setting kelas kita dibebaskan, tidak harus baku seperti perkuliahan pada umumnya, duduk di bangku.  Kita bebas berekspresi senyaman yang kita inginkan. Sebebas imaginasi kita.  Bukankah dalam menulis itu butuh kenyamanan dan kebebasan? Dan masih tetap dengan jadwal yang baru, pukul 07.00.
Kembali ke materi kelas, classroom discourse.
Classroom is..
·           Classroom is “sacred site”/ritual suci. 
Kenapa dikatakan ritual? Ritual karena dalam mencapai sesuatu dibutuhkan adanya cara/proses.  Misalnya saja ketika kita hendak mendaftar ke IAIN.  Banyak ritual-ritualnya seperti mendaftar dahulu lalu tes,ta’aruf,dsb.  Suci, karena tidak semua orang mampu mengikuti kegiatan ini.  Hanya orang tertentu dan terpilih saja yang di izinkan.  Seorang tukang becak tidak mungkin bisa mengikuti pembelajaran kelas writing ini karena proses pembelajar ini bukanlah termasuk dalam ritual suci seorang tukang becak.
·           Classroom is complicated
Tidak luas areanya tapi so complicated dalamnya.  Ke-complicated-an ini disebabkan oleh background yang berbeda-beda, keadaan lingkungan, dan cara berinteraksi yang setiap individu memiliki hak fikir masing-masing.
Seperti yang dikatakan Betsy Rymes (2008)
Those  of   us  who presume  to  “ teach”  must   not  imagine   that  we  know   how   each student   begins   to  learn.(Vivian Gussin  Paley   The   boy  who  would  be   a  helicopter ,  1990,   p. 78 )

·           Classroom is different background
Satu kelas termasuk juga wilayah multilateral.   Banyak perbedaan background itu seperti ethnic (Jawa, Sunda dan Indonesia), pendidikan (lulusan SMA/MA/SMK), ekonomi (rendah, menengah,atas), karakter, pemikiran, penafsiran dan sebagainya.  Tidak mungkin dalam satu kelas memiliki kesamaan yang plek  sama.  Rasa toleransi sesama sangat dibutuhkan demi terciptanya kelas yang harmonis.
·           Classroom is meaning making practice
Disebut  sebagai meaning making practice karena dalam sebuah kelass memiliki background yang berbeda-beda, beragam dari berbagai ideologi (ideologi classes).  Ideologi disinilah sets of beliefe kita, dimana nanti akan membentuk suatu makna.  Ideologi memiliki ketersambungan dengan values. Seberapa besar kita belajar, seberapa besar nilai-nilai yang didapat.
            Menurut Alwasilah, classroom discourse ialah interaksi antar teman sebaya (participant).  Perlu kita garis bawahi, seharusnya tidak hanya interaksi tapi ada yang lebih penting lagi yang akan membangun interaksi tersebut ialah TALK.  Tidak mungkin interaksi tercipta tanpa adanya talk.  Talk juga tidak akan berfungsi tanpa dilakukannya interaksi.  Jadi dua element ini merupakan simbiosis mutualisme. 
            Toleransi juga sangat dibutuhkan dalam sebuah interaksi.  Toleransi ini tidak dibangun dengan “pengajaran materi” saja, tapi seperti yang diucapankan nabi “toleransi dibangun oleh contoh”.  Nabi menjadi tauladan karena sikap keseharian beliau yang ditunjukkan ke masyarakat sangatlah baik.  Rasa toleransi yang ditunjukkan begitu indah.  Itulah kenapa banyak kaum lain mengagumi Islam karena di dalam islam diajarkan rasa toleransi yang tinggi antar sesama.  Kita sebagai umatnya harusnya mampu meneladani itu, mempunyai rasa toleransi.  Tidak hanya islam yang mengajarkan toleransi, agama lain pun pasti ada.  Jadi, jika toleransi agama terbangun kerukunan antar sesama terjamin (karena sebagian besar konflik sosial disebabkan oleh  ranah keyakinan akidah). 
Kemudian juga, secara alamiah manusia punya kemampuan memerintahkan kepada dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang berasal dari rangsangan dan kualitas informasi yang masuk kedalam otaknya.  Ini sebagai konsekuensi fungsi mendasar organ manusia itu sendiri, yang dinamakan otak.  Jadi semua informasi diproses terlebih dahulu sebelum melakukan reaksi.  Apakah akan melakukannya atau  tidak melakukannya.  Oleh karena itulah, kenapa guru dituntut untuk memberikan contoh tauladan yang baik untuk anak didiknya.  Akhlak guru memancar menjadi inspirasi pembentuk karakter siswa.  Seperti contohnya sosok Ibu Muslimah dalam kisah Laskar Pelangi adalah contoh guru yang mampu memberikan tauladan yang baik dan bijaksana sehingga kesepuluh murid-muridnyapun terbentuk dengan memiliki kualitas yang tinggi.
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang writer bukanlah hal mudah, ada pengorbanan, usaha dan niat untuk mencapainya.  Memperbanyak referensi adalah hal yang hampir wajib oleh calon penulis.  Semakin banyak referensi, semakin kuat dan bagus.  Kemudian, classroom discourse  atau interaksi antar teman sebaya sangatlah mempengaruhi siswanya.  Lewat classroom akan terbentuklah rasa toleransi antar sesama.  Meskipun berbeda latar belakang dari tiap-tiap individu tapi, dari perbedaan ragam inilah toleransi itu ada.

Sebagai penutup
Trenyuh dengan isi dari perkataan Bapak Budi Hermawan (salah satu Dosen yang mengajar Mr.  Lala), coba baca dan renungkan.  Benarkah isi sesuai realita?  Ataukah malah sebaliknya?


            Saya pribadi sangat setuju dengan untaian kata yang tersusun sangat apik tersebut, lebih-lebih penggalan kata yang saya ganti warnanya ke biru J .  Hanya tersenyum dan merenung ketika membacanya.  Ternyata tidak hanya dalam shalat sepi itu dibutuhkan, tapi menulis jua membutuhkan sepi, sepi dari hingar bingar dunia luar, sepi dari lalu-lalangnya pikiran tak karuan.  Sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih..sahabat J  

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment