Sunday, March 9, 2014
Created By:
Mahromul Fadlillah
Menabur Benih Berkarakter pada Classroom Discourse
(By.Mahromul Fadlillah)
Berkariblah dengan sepi, Sebab dalam sepi ada (momen)
penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepi ada berhenti dari menerima
ramainya stimulus yang memborbardir indera kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih
satu-satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak, mereka hanya dengungan yang
bising di kepala saja. Tak mengendap menjadi
sesuatu yang mengizinkan kita memahami dunia disekitar kita (sedikit) lebih
baik. Berkariblah dengan sepi. Sejak dalam sepi kita menemukan diri yang
luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai. Dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri
yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk
dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain Berkariblah dengan sepi. Karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi
yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan
dalam hingar yang pekak. Berkariblah
dalam sepi. Sebab dalam sepi suara hati
lebih nyaring terdengar jernih. (Budi Hermawan)
Puisi di atas merupakan sajian lezat yang dihidangkan pada
pertemuan keempat mata kuliah writing
and conversation 4. Pertemuan keempat
ini mungkin takkan terlupakan, sebab Mr. Lala Bumela menetapkan kelasnya
dimulai pukul 07.00 pagi. Semangat pagi
merasuk di Jumat mubarok, ketika adzan berkumandang, mata terbuka dan tak
memejamkannya kembali melanjutkan sang bunga tidur. Langsung saja terfikirkan berangkat kuliah
menuju ruang 46. Puisi di atas
memberi petuah agar kita manusia era
modern dengan hawa gaduh agar berfikir sejenak melepaskan segala keramaian,
melatih diri untuk berteman dengan sepi, karena pada hakikatnya kita akan
pulang sendiri ke tanah dan hanya bertemankan sepi.
Jum’at, 29 Februari 2014.
Lanjut pada materi bahasan tentang critical review, yang paling penting
dalam segi penilaiannya adalah “Content Quality”. Isi yang berbobot lebih baik ketimbang bahasa
yang indah tersusun bak puisi. Jenis
tulisan critical review berbeda dengan teks estetika. Bahasa yang digunakannya pun harus lebih
formal. Mr.Lala mengungkapkan bahwa
kualitas tulisan kami, anak-anak jurusan bahasa Inggris semester 4 lebih baik
dibandingkan kakak tingkat. Kami hebat
karena pantang menyerah mengerjakan tugas dari Mr.Lala untuk menulis dengan target
sekian halaman buku debur. Minggu ini
dengan tugas membuat critical review dengan target kurang lebih 2500 kata balam
bahasa Indonesia. Mengkritik wacana
profesor Chaedar Alwasilah tentang “Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony”. Minggu depan pun sama, kami
ditugaskan kembali untuk membuat critical review tentang sejarah Columbus yang diversikan
berbeda oleh Howard Zinn.
Mr.Lala menugasi kami menulis banyak adalah bukan tanpa
tujuan. Beliau mempunyai target untuk
siswa-siswinya agar bisa menjadi reader kemudian quality reader, yang nantinya
lama-lama diharapkan dapat menjadi writer dan quality writer. Sementara ini kami semua masih dalam
tingkatan “reader” saja, terbukti dengan tulisan critical review kami yang
dinilai belum kritis menanggapi suatu bacaan.
Kami semua banyak menuliskan bacaan yang sama atau bisa disebut juga “RESTATEMENT”. Mr.Lala berkata bahwa lebih baik salah
sekarang dalam menulis, dan jadikan kesalahan menulis ini sebagai latihan untuk
menulis skripsi.
Harusnya dalam critical review kita mencari kelemahan sang penulis,
mencari celah dalam bacaannya. Adakah
yang rancu? Adakah poin penting yang sekiranya penulis lupa? Pada teks “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” harusnya kita berada pada posisi tengah antara pembahasan
classroom discoursenya dan juga religious harmony nya. Harusnya kita bisa mengkritik menjabarkan
dengan prediksi-prediksi kita mengapa profesor Chaedar memilih kelas sebagai landasan membentuk
keharmonisan antar umat beragama? Kemudian
pada pembahasan pembuatan critical review ini, ada tiga hal yang Mr.Lala aksenkan,
yaitu:
1.
CLASSROOM DISCOURSE adalah interaksi
yang dilakukan antar anggota kelas, baik guru dengan siswa, maupun siswa dengan
siswa lainnya. Kritik Mr.Lala pada
wacana profesor Chaedar adalah “The Biggest Missing Link about TALK”, karena
prof. Chaedar tidak berbicara sedikitpun tentang talk pada wacana classroom
discourse, dan sejauh pengalaman kita,
kita semua tahu bahwa di setiap interaksi pastinya terjadi TALK.
2.
POST
REFORM, berarti bahwa kita diharamkan
untuk menghimpun ulang wacana yang ada dalam teks tersebut, seluruhnya. Kita harus membuat wacana yang berbeda dengan
isi kritikan-kritikan pada wacana yang dibaca.
Contohnya: kritikan tentang pemilihan ruang lingkup pembicaraan. Kenapa profesor Chaedar memilih ruang kelas
sebagai dasar pembentuk keharmonisan antar umat beragama? Kita seharusnya lebih ngulik lagi, ternyata menurutnya “Classroom is a sacred
site” Ruang kelas diibaratkan situs
suci, tak sembarang orang dapat masuk ke dalam ruang kelas. Mereka harus melaksanakan rukun dan syarat
tertentu untuk mengikuti segala kegiatan dalam kelas tertentu. Dan lagi, kenapa yang menjadi tujuan utama
dalam wacana pak Chaedar adalah to foster religious harmony? Itu semua karena classroom is
complicated. Rumit dengan segala
perbedaan di dalamnya. Siswa-siswi di
dalam kelas pasti mempunyai latar belakang yang berbeda; beda ideology (sets
of belief), dan beda value juga. Ideology
bisa bersumber dari etnis mereka masing-masing:
Sunda, Jwa, Madura, dll. Value
adalah cerminan sifat sikap kita dalam mengikuti kegiatan dalam
kelas. Jika dalam kelas, guru dan siswanya
melaksanakan KBM asal-asalan itu berarti mereka telah mencederai kesucian
kelas.
3.
MEANING
MAKING PRACTICE adalah cara
yang harus dilakukan dalam classroom discourse.
Jika ingin mencapai keharmonisan beragama, maka harus ada yang namanya
toleransi. Toleransi, kepercayaan, dan perdamaian
adalah kegiatan yang tak bisa didapat hanya dengan pengajaran, namun juga butuh
pendidikan. Bukan sekedar teori namun
juga praktiknya. Butuh pengamalan, butuh
subjek yang dijadikan contoh. Jika
seorang guru menginginkan siswa-siswinya disiplin, maka guru tersebut harus
menjadi subjek (model) kedisiplinan.
Discourse sendiri menurut para ahli
bahasa, khususnya Betsy Rymes berarti “language
in-use”. Sebagian orang menganggap bahwa
discourse bukanlah komponen bahasa yang penting, namun beberapa ahli
mengungkapkan bahwa pentingnya komponen bahasa adalah kemampuannya untuk
ditekstualisasikan. Dan discorse dapat
ditekstualisasikan, dan inilah yang membuat bahasa manusia unik. Classroom discourse tentu saja berbeda dengan
discourse di luar kelas. Oleh karena itu
classroom discourse dapat dijadikan media pembelajaran berinteraksi membentuk
karekter yng berkualitas demi keharmonisan dunia.
Seperti yang dikatakan Betsy Rymes dalam bukunya yang
berjudul “Doing Classroom Discourse Analysis” (2000)
...”for the purpose of improving future classroom interactions
and positively affecting social outcomes in context beyond the classroom.” Intinya classroom discourse ini adalah upaya
untuk mendekatkan keakraban anggota kelas dengan cara terdidik. Contohnya guru bertanya kepada siswanya
tentang apa yang ingin atau akan dipelajari.
Sehingga suasana kelas tidak kaku, sehingga menghasilkan suasana bak keluarga
di rumah.
Kesimpulannya: Kelas merupakan dunia awal siswa menjadi
calon manusia sosial. Di kelas kita
mulai mengenal banyak perbedaan, dan jika pendidikan di kelas berhasil
menciptakan pribadi yang berkarakter toleran, maka karakter dasar ini akan tumbuh
membesar dan bercabang menjadi karakter baik dan lebih baik lagi. Karakter yang nantinya dimiliki seseorang untuk
melangsungkan kehidupannya di masyarakat.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)