Sunday, March 9, 2014

Mari Berevolusi!



Mari Berevolusi!
  

            Dalam pertemuan yang keempat ini Mr. Lala Bumela membahas tentang revolusi, kita sebagai mahasiswa dalam belajar writing telah sampai pada tingkat mana? Seperti yang saya gambarkan di atas, dalam writing for academic writing ini adalah “very massive” bukan sekedar “big” maka dari itu kita harus berevolusi dengan cepat dalam literasi. Dimana kita akan merubah pola pikir dan kebiasaan kita yaitu membudayakan literasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sampai pada tingkatan “Quality Writer”


Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca, menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan untuk membaca, menulis itu perlu proses jika memang dalam suatu kelompok masyarakat kebiasaan tersebut memang belum ada atau belum terbentuk. Terutama dalam lingkungan pelajar, budaya literasi ini harus selalu di gembor-gemborkan karena tanpa literasi bangsa kita tidak akan menjadi bangsa yang hebat dikarenakan ilmu pengetahuan yang masih sangat rendah. Melalui literasi kita tidak hanya membaca, namun kita juga dapat menjadi seorang penulis, seperti tingkatan revolusi yang telah saya gambarkan diatas.
Ada banyak cara untuk membentuk budaya literasi diantaranya (dekat, mudah, murah, senang, lanjut) :
1.       Pendekatan akses fasilitas baca (buku dan non buku)
2.       Kemudahan akses mendapatkan bahan bacaan
3.       Murah / Tanpa biaya (gratis)
4.       Menyenangkan dengan segala keramahan
5.       Keberlanjutan / Continue / istiqomah
Namun tidak sekedar ketersediaan fasilitas saja tapi ada cara bagaimana menjalin hubungan antar manusia sehingga hubungan tersebut akan mpengaruhi bagaimana suatu kelompok masyarakat bisa menerima dengan baik apa yang akan menjadi tujuan kita melakukan gerakan literasi.
          Kemudian ada satu slide motivasi yang berisi tentang suasana hati dan pikiran ketika dalam sepi karya Budi Hermawan, dapat saya simpulkan dan saya rasakan bahwa menulis itu seperti meditasi 

Meditasi adalah suatu aktivitas kontrol diri atas aspek jasmani dan rohani manusia dalam upayanya untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks umum, tujuan tersebut dapat berupa peningkatan kualitas dari salah satu aspek yang dikontrol atau bahkan keduanya. Ketika kita berada dalam sepi, hanya diri kita saja sendiri, sunyi tak ada satu orang pun hanya terdengar suara detak jantung kita, maka akan banyak ide dan inspirasi yang akan kita dapatkan, seperti yang saya alami, saya tidak dapat menemukan ide dalam keramaian, dan kebisingan. Saya butuh tempat yang sepi dan tenang untuk menemukan ide-ide yang cemerlang ketika saya menulis.
Dalam critical writing juga ada yang dinamakan “Sacred Site” yaitu kelas, mengapa demikian? Karena kelas adalah sebuah situs praktek ritual untuk belajar, apabila dalam suatu kelas, pengajar atau peserta didik tidak menjaga komitmennya dalam pembelajaran, atau seorang pendidik lalai dalam mengajar seperti meninggalkan kelas ketika pembelajaran berlangsung, itu dinamakan mencidrai kesucian kelas. Dalam sebuah sekolah pasti ada yang dinamakan kurikulum Tujuan kurikulum sendiri yaitu menggambarkan kualitas manusia yang diharapkan terbina dari suatu proses pendidikan. Dengan demikian suatu tujuan memberikan petunjuk mengenai arah perubahan yang dicita-citakan dari suatu kurikulum. Tujuan yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap pemilihan isi/bahan ajar, strategi pembelajaran, media, dan evaluasi. Bahkan dalam berbagai model pengembangan kurikulum, tujuan dianggap sebagai dasar, arah, dan patokan dalam menentukan komponen-komponen yang lainnya. Tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan di Indonesia bersifat hierarkis, yang terdiri atas Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Mata Pelajaran, dan Tujuan Instruksional (Umum dan Khusus).
Pendidikan karakter merupakan hal yang baru sekarang ini meskipun bukan sesuatu yang baru. Penanaman nilai-nilai sebagai sebuah karakteristik seseorang sudah berlangsung sejak dahulu kala. Akan tetapi, seiring dengan perubahan jaman, agaknya menuntut adanya penenaman kembali nilai-nilai tersebut ke dalam sebuah wadah kegiatan pendidikan di setiap pengajaran. Maka dari itu di bentuklah kurikulum yang berkarakter.
Penanaman nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran dengan maksud agar dapat tercapai sebuah karakter yang selama ini semakin memudar. Setiap mata palajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamkan dalam diri anak didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari tiap mapel yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Distribusi penanaman nilai-nilai utama dalam tiap mata pelajaran dapat dilihat sebagai berikut:
·         Pendidikan Agama: Nilai utama yang ditanamkan antara lain: religius, jujur, santun, disiplin, tanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada aturan, sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, dan adil.
·         Pendidikan Kewargaan Negara: Nasionalis, patuh pada aturan sosial,  demokratis, jujur, mengahrgai keragaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain.
·         Bahasa Indonesia: Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu,santun, nasionalis.
·         Ilmu Pengetahuan Sosial: Nasionalis, menghargai keberagaman, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras.
·         Ilmu Pengetahuan Alam: Ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta ilmu
·         Bahasa Inggris: Menghargai keberagaman, santun, percaya diri, mandiri, bekerja sama, patuh pada aturan sosial.
·         Seni Budaya: Menghargai keberagaman, nasionalis, dan menghargai karya orang lain, ingin, jujur, disiplin, demokratis
·         Penjasorkes: Bergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, mengahrgai karya dan prestasi orang lain
·         TIK/Ketrampilan: Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain.
·         Muatan Lokal: Menghargai kebersamaan, menghargai karya orang lain, nasional, peduli.
Mengulas kembali mengenai classroom discourse yang di bahas dalam wacana A. Chaedar Al-Wasilah bahwa classroom is complicated, karena berada dalam different background seperti ethnic, education, economi, politic dan sebagainya. Menurut Mr Lala Bumela, hal yang tidak di bahas dalam wacana pak Chaedar yaitu Interaction. Tanpa interaction tidak akan dapat dibangun classroom discourse, karena dengan adanya interaction (talk) antara pendidik dan peserta didik (participant) dalam kelas (sacred site) itu akan membangun toleransi agama, saling menghargai antar budaya, menerima pendapat orang lain dan menyelesaikan masalah dengan mufakat. Dan akan terciptalah Classroom Discourse to Foster Religious Harmony


Maka dari itu perlu adanya interaction, interaction is something crucial karena dalam classroom discourse itu berawal dari talk, kedalam different kemudaian terciptalah religious harmony.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment