Thursday, March 6, 2014

LITERASI DALAM SEJARAH


LITERASI DALAM SEJARAH
                                                                                                   
"Even when we don't "win," there is fun and fulfillment in the fact that we have been involved, with other good people, in something worthwhile. We need hope. .....To be hopeful in bad times is not just foolishly romantic. It is based on the fact that human history is a history not only of cruelty but also of compassion, sacrifice, courage, kindness."
(The Optimism of Uncertainty By Howard Zinn, September 2, 2004)

Melalui sejarah, kita dapat mengetahui kedahsyatan dan pengaruh sebuah buku. Sebut saja, buku “Prinsipia Mathematic” yang ditulis Isaac Newton. Buku ini berisi pandangan dan sebuah pemikiran kritis bahwa kebenaran akal harus dibuktikan dengan eksperimen-eksperimen. Tahukah apa dampak yang ditimbulkan dari buku ini? Buku ini merupakan inspirator para pemimpin Eropa yang kelak mengadakan revolusi di Inggris dan Perancis. Sungguh dahsyat pengaruh buku ini!

Kita juga mengenal buku novel “Harry Potter” yang berjumlah 7 seri. Sekilas buku ini tampak seperti novel biasa. Namun siapa sangka, buku yang hanya terdiri dari kisah fiksi dan imajinasi karya J. K. Rowling ini mampu membuat penulisnya memperoleh kekayaan yang melebihi Ratu Elizabeth II. Tak hanya itu, produser-produser film siap menjadikan kisah ini tayangan yang menarik karena balutan kisahnya yang unik. Selain itu, buku Harry Potter membuat terbentuknya berbagai komunitas pecinta HarPot di seluruh dunia. Menyusul buku-buku novel lainnya, seperti Twilight series oleh Stephanie Meyer. Novel yang hanya berbentuk buku yang benda mati ini mampu menimbulkan euforia tersendiri di kalangan masyarakat.
Tak hanya itu, buku-buku lainnya seperti Chicken Soup, The Secret, dan buku motivasi lainnya mampu membangkitkan seseorang dari keputusasaan dan kebimbangan hidup. Kita melihat buku memiliki kekuatan yang sangat besar. Buku adalah sebuah alat perubahan sejati yang tak lekang oleh usia dan waktu. Begitu banyak perubahan dan peristiwa yang terjadi hanya karena sebuah buku. Buku memiliki kekuatan rahasia yang tersembunyi di setiap kata-katanya.
Sebuah perubahan datang dari buku. Jika ingin hidup kita berubah, maka mulailah membaca dan memahami sebuah buku. Mungkin filosofi itulah yang harus kita tanamkan dalam diri kita masing-masing untuk memahami pentingnya membaca bagi kelangsungan hidup kita. Buku memang sebuah benda mati yang tidak bernilai. Namun setiap lembar dari buku adalah intrepretasi dari pemikiran dan ide seseorang yang nilainya sangat berharga. Kita dapat memetik begitu banyak pelajaran, pengalaman, dan pemikiran tanpa harus mengalami apa yang dialami penulisnya. Buku membuat otak kita kaya akan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan.
Tentu kita pun harus memilih buku yang tepat untuk mendapatkan perubahan yang optimal ke arah yang lebih baik. Pilihlah buku yang Anda sukai, seperti musik, tulis menulis, memasak, menyanyi, dan lain sebagainya. Lewat buku itu, mari kita gali apa saja rahasia dari kemampuan itu. Setelah itu, jangan berhenti pada membaca saja, tapi lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ingat, buku adalah stimulator untuk melakukan sebuah tindakan. Maka sia-sialah arti sebuah buku jika kita tidak mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya, membaca adalah sebuah aktivitas yang wajib dilakukan masyarakat Indonesia untuk maju. Tentu jangan salahkan pemerintah dan aparat lainnya jika masyarakat Indonesia tidak maju-maju. Pemerintah hanyalah abdi rakyat, namun yang berkuasa untuk membawa perubahan adalah diri kita masing-masing. Dengan buku sebagai bahan bakar perubahan, mari kita menjadi agen perubahan bangsa yang menciptakan sejarah dengan langkah tepat yang kita ambil. Bangsa ini menunggu aksimu. Selamat membaca dan dapatkan perubahannya!
Wacana “Speaking Truth to Power with Book” karya Howard Zinn. Dari judulnya mengartikan bahwa kebenaran itu suatu keadaan yang benar-benar terjadi tanpa ada unsur nasional, rasisme, ekonomi, sosial, dan budaya yang mempengaruhi. Howard zinn menyatakan bahwa membaca buku dapat memberikan  efek yang sangat kuat kepada diri pembaca itu sendiri. Bahkan dikatakan bahwa orang yang menguasai teks dapat memutar-balikkan sejarah.

Sejarah jika hanya direpresentasikan melalui mulut ke mulut tanpa didokumentasikan, ia akan hilang. Sehingga dalam hal ini ada suatu ruang besar bagi pelaku sejarah untuk memanfaatkan sisi kekosongan tersebut. Para pelaku sejarah bisa saja memutarbalikkan fakta sejarah yang sebenarnya, kemudian mereka mendokumentasikannya ke dalam buku-buku.

Masih hangat dibenak kita kalimat “seseorang yang menguasai teks akan bisa mengubah sejarah”,  inilah yang dilakukan Howard Zinn. Ia sangat berani dalam menulis buku A People’s History of the United States, buku yang menggemparkan seluruh warga dunia tentang sejarah yang terjadi dalam sejarah benua Amerika. Keberanian Zinn mengungkap sisi gelap benua Amerika, yang tak sedikit menuai protes tidak hanya dari rakyat Amerika namun seluruh dunia. Tak tanggung-tanggung yang menjadi sasaran tembaknya adalah Christoper Columbus. Ia mematahkan segala pemikiran orang-orang yang beranggapan bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover, dan penemu sebuah benua yang saat ini menjadi benua adidaya.

Namun realitanya colombus itu bukanlah seorang pahlawan. Dia bahkan orang yang berfaham komunis. Dia adalah penjahat, orang yang tamak mencari emas, pemerkosa, penyiksa dan pembunuh. Dia juga bukan orang yang pertama kali menemukan benua amerika. Justru orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Amerika adalah orang-orang islam yang terdampar, terasingkan karena penganiayaan Kristen romawi ( Zaman bani umayyah ), sehingga mereka memilih melakukan ekspedisi ke suatu tempat yang lebih aman.

Columbus lahir pada 30 Oktober 1451 dan meninggal pada 20 Mei 1506, yakni pada usia 54 tahun. Dia seorang penjelajah dan pedagang yang menyeberangi Samudra Atlantik dan sampai ke benua Amerika pada tanggal 12 Oktober 1492 di bawah bendera Castilian Spanyol. 

Dr Mroueh menuturkan, “Sejumlah fakta menunjukkan bahwa Muslimin dari Spanyol dan Afrika Barat tiba di Amerika sekurang-kurangnya lima abad sebelum Columbus. Pada pertengahan abad ke-10, pada waktu pemerintahan Khalifah Umayyah, yaitu Abdurrahman III (929 – 961M), kaum Muslimin yang berasal dari Afrika berlayar ke Barat dari pelabuhan Delbra (Palos) di Spanyol, menembus “samudra yang gelap dan berkabut”. Setelah menghilang beberapa lama, mereka kembali dengan sejumlah harta dari negeri yang “tak dikenal dan aneh”. Ada kaum Muslimin yang tinggal bermukim di negeri baru itu, dan mereka inilah kaum imigram Muslimin gelombang pertama di Amerika. Jadi Columbus bukanlah orang yang pertama kali mendaratkan kakinya di benua Amerika.

Ada banyak literatur yang membuktikan adanya kehadiran Muslimin gelombang pertama ke Amerika jauh hari sebelum zaman Columbus. Bukti-bukti itu antara lain:
ü  Abul-Hassan Ali Ibnu Al-Hussain Al-Masudi merupakan seorang pakar sejarah dan geografi yang hidup dari tahun 871-957 M. Dalam karyanya yang berjudul “Muruj adh-dhahab wa maad aljawhar” (Hamparan Emas dan Tambang Permata), Abu Hassan menulis bahwa pada waktu pemerintahan Khalifah Abdullah Ibn Muhammad (888-912), penjelajah Muslim Khasykhasy Ibn Sa’ied Ibn Aswad dari Cordova-Spanyol, telah berlayar dari Delba (Palos) pada 889, menyeberang Samudra yang gelap dan berkabut dan mencapai sebuah negeri yang asing (al-ardh majhul) dan kembali dengan harta yang mentakjubkan. Pada peta Al-Masudi terbentang luas negeri yang disebutnya dengan al-ardh majhul atau negeri yang asing. [Al-Masudi: Muruj Adh-Dhahab, Vol. 1, P. 1385].
ü  Columbus dan para penjelajah Spanyol serta Portugis mampu melayari menyeberang Samudra Atlantik dalam jarak sekitar 2400 km, adalah karena bantuan informasi geografis dan navigasi dari peta yang dibuat oleh pedagang-pedagang Muslimin, termasuk informasi dari buku tulisan Al-Masudi yang berjudul Akhbar Az-Zaman. Tidak banyak diketahui orang, bahwa Columbus dibantu oleh dua orang nakhoda Muslim pada waktu ekspedisi pertamanya menyeberang transatlantik. Kedua kapten Muslim itu adalah dua bersaudara Martin Alonso Pinzon yang menakodai kapal Pinta, dan Vicente Yanez Pinzon yang menakodai kapal Nina. Keduanya adalah hartawan yang mahir dalam seluk-beluk perkapalan, membantu Columbus dalam organisasi ekspedisi itu, dan mempersiapkan perlengkapan kapal bendera Santa Maria. Bersaudara Pinzon ini masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan Abuzayan Muhammad III (1362-66), Sultan Maroko dari dinasti Marinid (1196-1465). (Thacher, John Boyd: Christopher Columbus, New York 1950).

Mengenai ekspedisinya itu, karena Columbus melakukan suatu kesalahan besar. Columbus memperkosa putri salah satu bangsawan Spanyol yang masih berusia 13 tahun. Pengadilan tidak bisa memutuskan ia harus dihukum mati, sehingga akhirnya Ratu Isabella mengirimnya dalam misi mencari benua baru ( saat itu tujuan utama adalah mencari India ) dan dengan harapan, Columbus tidak akan bisa pulang kembali.

Saat akhirnya Columbus mendarat pertama kali di Benua Biru Amerika,  ia masih mengira inilah tanah India. Menurut catatan Wikipedia, Columbus mengira pulau tersebut masih perawan, belum berpenghuni sama sekali. Mereka berorintasi menjadikan pulau tersebut sebagai perluasan wilayah Spanyol. Tetapi setelah menerobos masuk, Columbus ternyata kaget menemukan bangunan yang persis pernah ia lihat sebelumnya ketika mendarat di Afrika. Bangunan megah itu adalah Masjid yang dipakai oleh Orang-orang Islam untuk beribadah. Semula ketika awal kedatangannya, Columbus disambut dengan ramah oleh suku Indian, tetapi setelah ketahuan niat buruknya datang ke pulau itu, Colombus banyak mendapat resistensi dari penduduk setempat. Beberapa armada kapal milik rombongan Colombus ditenggelamkan oleh suku Indian sebab mereka merasa terganggu dan terancam oleh kedatangan Colombus.
Helen Ellerbe, dalam "The Dark Side of Christian History" (hal. 86-88) menggambarkan keberingasan Columbus. Selain menyiksa, ia juga sering memperkosa perempuan-perempuan pribumi lalu mencambuk mereka demi kesenangan belaka. Koloni yang dibawa Columbus pada pelayaran berikutnya (1496) diklaim bertanggung jawab atas kematian 34 juta penduduk asli Amerika. Seperti itulah sekelumit fakta yang sebenarnya Columbus.
Padahal jika melihat rentetan sejarah. Literatur yang menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika jauh sebelum Colombus, antara lain pakar sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi (871-957M). Dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan tambang Permata), al-Masudi telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada 889M.

Selain berbagai macam bukti yang di dapat oleh para saudagar muslim yang merujuk bahwa Christopher Colombus ini bukan orang yang pertama, maka hal ini sama dengan apa yang disampaikan oleh para sejarawan di dunia barat. Ada beberapa pendapat mengenai siapakah sebenarnya penemu benua Amerika, apakah umat Islam atau Christoper Colombus. Berikut pemaparannya:
Ø  Pertama, dalam bukunya Saga America (New York, 1980), Dr. Barry Fell, arkeolog dan ahli bahasa berkebangsaan Selandia Baru jebolan Harvard University menunjukan bukti-bukti detail bahwa berabad-abad sebelum Colombus, telah bermukim kaum Muslimin dari Afrika Utara dan Barat di beua Amerika. Tak heran jika bahasa masyarakat Indian Pima dan Algonquain memiliki beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Arab. Di negara bagian Inyo dan California, Dr. Barry menemukan beberapa kaligrafi Islam yang ditulis dalam bahasa Arab salah satunya bertuliskan ”Yesus bin Maria” yang artinya ”Isa anak Maria”. Kaligrafi ini dapat dipastikan datang dari ajaran Islam yang hanya mengakui nabi Isa sebagai anak manusia dan bukan anak Tuhan. Dr. Barry menyatakan bahwa usia kaligrafi ini beberapa abad lebih tua dari usia Negara Amerika Serikat. Bahkan lebih lanjut, Dr. Barry menemukan reruntuhan, sisa-sisa peralatan, tulisan, digram, dan beberapa ilustrasi pada bebatuan untuk keperluan pendidikan di Sekolah Islam. Tulisan, diagram dan ilustrasi ini merupakan mata pelajaran matematika, sejarah, geografi, astronomi dan navigasi laut. Semuanya ditulis dalam tulisan Arab Kufi dari Afrika Utara. Penemuan sisa-sisa sekolah Islam ini ditemukan dibeberapa lokasi seperti di Valley of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon Washoe, Hickison Summit Pas (Nevada), Mesa Verde (Colorado), Mimbres Valley (New Mexico) dan Tipper Canoe (Indiana). Sekolah-sekolah Islam ini diperkirakan berfungsi pada tahun 700-800 M. Keterangan yang sama juga ditulis oleh Donald Cyr dalam bukunya yang berjudul Exploring Rock Art (Satna barbara, 1989).

Ø  Kedua, dalam bukunya Africa and the Discovery of America (1920), pakar sejarah dari Harvard University, Loe Weiner, menulis bahwa Colombus sendiri sebenarnya juga mengetahui kehadiran orang-orang Islam yang tersebar di Karibia, Amerika Utara, Tengah dan Selatan, termasuk Canada. Tapi tak seperti Colombus yang ingin menguasai dan memperbudak penduduk asli Amerika, umat Islam datang untuk berdagang, berasimilasi dan melakukan perkawinan dengan orang-orang India suku Iroquis dan Algonquin. Colombus juga mengakui, dalam pelayaran antara gibara dan Pantai Kuba, 21 Oktober 1492, ia melihat masjid berdiri diatas bukit dengan indahnya. Saat ini, reruntuhan masjid-masjid itu telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.

Ø  Ketiga, John Boyd Thacher dalam, bukunya Christopher Colombus yang terbit di New York, 1950, menunjukkan bahwa Colombus telah menulis bahwa pada hari Senin, 21 Oktober 1492, ketika sedang berlayar di dekat Cibara, bagian tenggara pantai Kuba, ia menyaksikan masjid di atas puncak bukit yang indah. Sementara itu, dalam rangkaian penelitian antropologis, para antropolog dan arkeolog memang menemukan reruntuhan beberapa masjid dan menaranya serta ayat-ayat al-Qur’an di Cuba, Mexico, Texas dan Nevada.

Ø  Keempat, Clyde Ahmad Winters dalam bukunya Islam in Early North and South America, yang diterbitkan penerbit Al-Ittihad, Juli 1977, halaman 60 menyebutkan, para antropolog yang melakukan penelitian telah menemukan prasasti dalam bahasa Arab di lembah Mississipi dan Arizona. Prasasti itu menerangkan bahwa imigran Muslim pertama tersebut juga membawa gajah dari Afrika. Sedangkan Ivan Van Sertima, yang dikenal karena karyanya They Came Before Colombus, menemukan kemiripan arsitektur bangunan penduduk asli Amerika dengan kaum Muslim Afrika. Sedang dalam bukunya yang lain African Presence in Early America, juga menegaskan tentang telah adanya pemukiman Muslim Afrika sebelum kehadiran Colombus di Amerika.

                  Masih banyak lagi bukti yang membuktikan bahwa Christoper ini memang bukanlah orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di benua Amerika. Dengan bukti yang begitu banyak, entah mengapa orang-orang Amerika sampai saat ini masih mengakui Colombus sebagai penemu tunggal benua Amerika. Padahal secara tidak kasat mata sangat jelas bahwa sebagian besar seluruh negara bagian Amerika menggunakan nama dari bahasa Arab, contoh nama negara bagian seperti Alabama yang berasal dari kata Allah Bamya. Nama negara bagian Arkansas berasal dari kata Arkan-Sah dan Tenesse dari Tanasuh. Demikian njuga nama kota besar seperti Tallahassee di Florida, berasal dari bahasa Arab yang artinya ”Allah akan menganugerahkan sesuatu dikemudian hari”.

Telaah seseorang terhadap buku pada akhirnya mendapatkan semacam cakrawala baru dalam hal pengetahuan. Pembaca secara umum menghabiskan segenap waktunya untuk membaca suatu karya. Dan pada ujungnya, pembacaan terhadap buku mengerucut menjadi dua model pengetahuan yang cukup berseberangan. Ya, Pemahaman literalistik dan pemahaman kontekstual (berdasarkan kondisi dimana pembaca itu berada).
Diantara dua model pengetahuan tersebut terbersit efek positif-negatif masing-masing. Pemahaman literal menghadirkan suatu pencerahan berfikir dan atau sebaliknya ‘mencupetkan’ nalar berfikir karena terkungkung pada buku. Sedangkan pemahaman kontekstual mendatangkan efek kausalitas yang saling berkaitan. Atau dalam bahasa jawa, mempunyai efek rumongso terhadap kondisi sekitar dimana ia berada.
Ketika terjadi suatu permasalahan pada soal agama misalnya, kita tak harus menggunakan modul pengetahuan yang ada dalam buku. Bisa jadi teori itu hanya berupaya mengikis suatu problematika pada tataran kulit, bukan pada inti masalah. Bahasa ‘manis di lidah hampar didalamnya’ mungkin menjadi bagian dari konsekuensi logis pemahaman ini.

Sedangkan pemahaman non literalistik bertumpu pada upaya untuk menyelesaikan suatu masalah di lapangan. Pada tataran ini, pemahaman kontekstual mencoba menguraikan benang permasalahan sesuai setting sosio-kultur dimana masyarakat itu berada dan mengalami suatu permasalahan. Pemahaman ini agaknya lebih rumit dibandingkan pemahaman literal. Tetapi, antara keduanya mempunyai identitas keunggulan masing-masing.
Nah, dari kedua opsi pemahaman di atas juga mempunyai problematika yang urung terpecahkan. Sehingga dalam hal ini masih diperlukan kritik serta masukan guna menyumbat lubang kelemahan kedua model itu. Tentu hal ini dimaksudkan agar kesempurnaan teori menjadi sinkron dengan konteks sekarang. Atau mungkin, perpaduan diantara dua model tersebut menjadi teori baru untuk solusi permasalahan yang kerap kali muncul. Istilah literal-kontekstual acap kali menjadi hal baru untuk mengetahui kasus yang ada di masyarakat.
Pemahaman literal atau konseptual dipadukan dengan pemahaman kontekstual akan menghasilkan teori baru yang lebih praktis dan elegan. Sampai pada akhirnya, model ini menjadi solusi konkret apabila kedua opsi pemahaman di atas menuai jalan buntu. Jangan sampai, kita malah terbelenggu dalam kubangan literal atau juga konseptual, apalagi berupaya bersikap ‘taklid buta’.
Akhirnya, kebenaran pengetahuan di dunia ini hanya bersifat relatif. Bisa lebih baik jika pengetahuan dimaknai dan disuguhi dengan data ilmiah yang tentunya menuntut tanggung jawab seseorang.

REFERENCE

Howard, Zinn. (1980). A People’s History of The United States. United States: Harper & Row; HarperCollins
wikipedia.com
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment