Saturday, March 8, 2014

JUM’AT YANG ‘SAKRAL’

Name   : Suneti Alawiyah
NIM    : 14121330390
Class    : PBI-D/4 Semester
#CLASS REVIEW 4


JUM’AT YANG ‘SAKRAL

Sepenggal syair yang terucap oleh pita suara masing-masing raga, terserap perlahan melewati eusthacius dalam sistem indera.  Seolah hanyut dalam dentangan sepi alunan syair terbaca.  Terpukau oleh bait-bait mantera visual dalam cercahan layar proyektor.  Duduk dengan takzim pada deretan kursi terakhir, membuat setiap scene demi scene terlihat jelas.  Lagi, 28 Februari 2014 adalah saksi dalam proses interaksi penyampaian informasi dari dosen ke mahasiswanya atau sebaliknya.  Jum’at yang tidak biasa.  Jum’at yang ‘sakral’.  Akan saya tulis ulang ‘mantera’ yang sudah terbaca pada jum’at yang lalu, di bawah ini:

Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi ada (momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari.  Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang membombardir indera kita.  Stimulus yang harus dipilih dan dipilih satu-satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadkan berguna bagi kita.  Bila tidak mereka hanya dengungan yang bising di kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita memahami dunia di sekitar kita (sedikit) lebih baik.  Berkariblah dengan sepi, sejak dalam sepi kita menemukan jati diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain.  Berkariblah dengan sepi, karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar bingar yang pekak.   Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi suara hati terdengar lebih nyaring terdengar jernih (Budi Hermawan).”
            Kesalahan ‘gerbang’ dalam menanggapi wacana “Clasroom Discourse to Religious Harmony” yang ditulis oleh Bapak Prof. A. Chaedar Alwasilah minggu lalu, tidak membuat saya patah arang dalam berkenalan lebih jauh tentang writing, terutama critical essay yang sedang menjadi ‘primadona’ bagi mahasiswa semester empat dalam prodi bahasa ini.  Hampir seluruh mahasiswa dibuat ‘kelimpungan’ dan hampir kehilangan nahkoda dalam mengkritisi wacana tersebut-termasuk saya.  Hal ini menempatkan posisi kami masih dalam tahap Quality Reader (pembaca berkualitas), dan belum sampai pada tahap Quality Writer (penulis berkualitas)-well, still on progress!  Untuk menjadi penulis yang berkualitas, ada beberapa maqom (tingkatan) dalam menapaki mata kuliah writing ini, yakni:
 
Untuk mencapai tahap quality writer, tentunya harus mengkonsumsi nutrisi dan vitamin berupa teks-teks yang berkualitas, buku-buku yang memang dapat memperkaya khazanah pengetathuan dan lain-lain.  Baericara ihwal kesalahan ‘gerbang’ dalam menanggapi wacana Prof. A. Chaedar, memang menjadi hal yang crucial.  Di bawah ini akan saya uraikan mengenai beberapa kesalahan dalam mengkritisi artikel atau wacana tersebut, yaitu:
            Kesalahan pertama, terletak pada tidak adanya pembahasan dan pemberian definisi mengenai topik terkait.  Padahal, definisi merupakan salah satu hal yang penting dalam sebuah wacana, apalagi jika teks tersebut dibaca oleh orang yang-sebut saja bukan dari kalangan akademik.  Dalam wacana Classroom Discourse to Foster Religious Harmony, ada dua variabel utama yang seharusnya diberi definisi, yakni pengertian Class Discourse dan pengertian Religious Harmony.  Teks yang diproduksi oleh penulis, sebagian besar tidak menjelaskan apa itu Classroom Discourse dan kaitannya dengan religious harmony.  Demi menebus ‘apa yang hilang’ pada critical review kemaren, maka saya akan memberikan penjelasan mengenai kedua definisi tersebut.  Classroom Discourse (wacana kelas) adalah proses bagaimana seseorang bebicara, mengerti apa yang dibicarakan dan apa yang didengarnya yang mencakup semua aspek kata yang diucapkan.  Untuk mengkaji wacana ini, maka diperlukan analisis wacana.  Sedangkan Religious Harmony adalah kerukunan antar umat beragama.
            Kesalahan kedua, terletak pada keseimbangan isi (konten) ihwal Classroom Discurse dan Religious Harmony.  Artinya sebagai kritikus kita harus dapat menyeimbangkan antara dua variabel tersebut yakni tidak condong pada salah satunya saja.  Banyak yang tidak menyadari bahwa penulis membahas satu variabel secara berlebihan, seperti pembahasan konflik-konflik yang mengacu pada keberagaman antar agama, sedangkan penulis sedikit sekalai membahas Classroom Discourse nya.
            Kesalahan ketiga, yakni kurangnya bukti yang diberikan penulis dalam memperkokoh opini atau argumennya.  Dalam penulisan akademik, opini yang kita lontarkan harus disertai dengan bukti yang relevan terhadap topik yang dibahas, agar dapat menjadi penguat dari argumen yang kita berikan.
            Kesalahan keempat, berkaitan dengan struktur teks yang berlaku dalam genre critical essay, yang terdiri dari introduction (pengenalan), summary (simpulan), main body (isi pembahasan) dan conclusion (kesimpulan).  Adanya ketidak-sinambungan  pada bagian-bagian terhadap struktur teksnya.  Hal ini membuat teks ‘kehilangan’ kekuatannya dalam meyakinkan pembaca.
            Kesalahan kelima, adanya re-statement (pengulangan).  Mungkin penulis tidak menyadari bahwa adanya kalimat maupun paragraf yang diulang-ulang.  Misalnya pembahasan mengenai peran guru sebagai fasilitator dibahas pada paragraf awal, akan tetapi pada halaman berikutnya, paragraf yang senada dengan topik peran guru tersebut kembali dibahas pada halaman berikutnya.  Untuk itu sangat perlu membaca ulang apa yang kita tuliskan, agar kalimat-kalimat yang bernada ‘pengulangan’ dapat diminimalisir.  Mungkin, itulah beberapa kesalahan-kesalahan yang dibuat dalam pembuatan critical essay minggu lalu.  Kemudian, saya akan mengajak anda kembali ‘bernostalgia’ dengan apa yang dimaksud dengan Classroom Discourse.  Di bawah ini saya paparkan beberapa poin kuncinya, adalah:
1)      Classroom Discourse is a ‘sacred site’
Sacred berarti suci.  Classroom Discourse bisa disebut juga dengan tempat suci, karena tidak semua orang dapat atau bisa memasuki tempat-tempat sakral.  Contohnya sebuah kelas dalam jenjang S-1 hanya dimasuki oleh orang-orang yang telah menempuh pendidikan SD, SMP, SMA dan dilanjutkan ke PT (perguruan tinggi).  Maka, jika ada (maaf) seorang tukang ojeg yang tidak menempuh pendidikan dari sekolah-sekolah formal, apa bisa langsung ke PT?  Untuk itu Classroom Discourse mengacu pada pembelajaran di kelas.
2)      Classroom Discourse is a compilcated
Complicated berarti sesuatu yang rumit, karena di dalam satu kelas terdapat berbagai perbedaan, mulai dari latar belakang siswa, perbedaan etnik (Jawa, Sunda, Madura), perbedaan karakter (baik, pemarah, pemalu), perbedaan agama (Islam, Budha, Hindu), perbedaan politik, perbedaan latar belakang pendidikan (SMA, MA, Pondok Pesantren), perbedaan gaya meulis, perbedaan personality dan lain-lain.   Semua itu dapat memicu terjadinya konflik-terutama agama.  Untuk memberikan pemahaman pada siswa mengenai keberagaman-saling menghormati maka diperlukan adanya interaksi melalui berbicara.
Interaksi antara guru dangan murid atau sebaliknya disebut dengan Classroom Discourse, untuk menumbuhkan rasa saling menghormati antara satu dan yang lainnya-terutama dalam perbedaan agama (Religious Harmony) yang bisa dibangun melalui contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari.  Hal ini merupakan bagian dari literasi.
3)      Classroom Discourse mengacu pada meaning-making practice
Karena background beragam, maka untuk menumbuhkan rasa solidaritas itu dibangun melalui contoh-contoh nyata.  Bukan hanya itu, dalam Classroom discourse juga dapat mempengaruhi pola pikir seseorang, seperti munculnya ideologi (sets of beliefs), dan values (nilai-nilai yang baik).
Dapat disimpulkan bahwa adanya kesalahan-kesalahan dalam critical essay minggu lalu, merupakan langkah awal dalam memahami teks-teks itu sendiri.  Karena orang-orang yang karyanya besar seperti Thomas Alva Edison, bahwa tidak semua penelitiannya berhasil, dia berangkat dari kesalahan-kesalahan yang akhirnya mendorongnya untuk lebih giat lagi belajar.  Dari kesalahan kita tahu akan kebenaran.  Dari kesalahan kita akan lebih siap untuk gagal dan lebih siap lagi untuk mendulang kesuksesan.  Kemudian, melalui wacana Classroom Discourse, kita dapat mengetahui bagaimana pengajaran yang seharusnya diterapkan oleh pendidik.  Melalui Classroom Discourse, siswa diberi pemahaman mengenai pentingnya menghormati, baik itu dengan guru, maupun dengan teman sebaya. 

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment