Sunday, March 23, 2014

Intertextuality: Tak Usah (lagi) Bertanya pada Rumput yang Bergoyang


Class Review 6

Intertextuality: Tak Usah (lagi) Bertanya pada Rumput yang Bergoyang
(by.Mahromul Fadlillah)

“Ada dua orang yang tidak pernah kenyang, yaitu orang yang mencari ilmu dan orang yang mencari harta.”  Pepatah (kata mutiara) di atas adalah kata mutiara yang Saya dapatkan dari pembelajaran sewaktu duduk di madrasah aliyah.  Sudah cukup lama kata mutiara itu diajarkan, namun sampai sekarang, kata mutiara tersebut masih menjadi penghuni bagian ingatan saya, karena kata mutiara tersebut berkesan.  Sepertinya akan menjadi penghuni bagian ingatan lagi quote of the day pada slide kedua dalam power point 6th match Writing and Conversationnya Mr.Lala Bumela.

Quote of the day ini disajikan pada situasi kondisi yang sangat berkesan sekali,. The first time. saat Saya dan teman-teman seperjuangan  (mahasiswa-mahasiswi PBI-D semester 4 IAIN Syekh Nurjati Cirebon) memulai kuliah pada pukul 05.45 WIB.  Jum’at, 14 Maret 2014 adalah hari dimana kita khususnya Saya diingatkan oleh quote of the day tentang “meneroka ceruk-ceruk baru.”  Inti dari quote of the day tersebut adalah jangan merasa kenyang dan sombong karena ilmu yang didapatkan sampai saat ini.
Jika semua jenis teks mempunyai generic structurnya masing-masing, di sini dalam tulisan class review ini sepertinya saya hilang kendali tentang generic structure tersebut.  Saya hanya menuliskan tentang apa yang Saya fikirkan sekarang.  Tentang apa yang saya rasakan sekarang.  Setelah yang telah kita pelajari bahwa masing-masing teks mempunyai benang merah satu sama lain, teks mempunyai hubungan dengan pembacanya, teks mempunyai hubungan dengan teks lainnya, hingga teks mempunyai hubungan dengan dunia.
Setelah yakin bahwa teks mempunyai hubungan dengan teks yang lainnya, akhirnya Saya sadar dan mengimplementasikan pernyataan tersebut.  Pertama This is about quote of the day:
“Katanya, tugas mereka yang tercerahkan--kaum literat--adalah meneroka ceruk ceruk 'baru' tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka yang hanya baru tahu teori ini dan itu dari 'suara-suara penuh kuasa' di bidang yang mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan--literat; mereka baru pada fase awal; peniru.”
“Meniru adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda tanda yang terserak, yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita merasa sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang dipahami digunakan, padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita dengan pongahnya mengatakan 'ini salah itu tak benar", tanpa dasar yang 'tak bergetar' pada mereka yang berada di titik awal menjadi peniru. Kita merasa bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi bagian dari "Rejim kebenaran tak terbantahkan".  Begitu banyak yang harus dipelajari, dipahami lalu dimaknai; lebih banyak dari alasan menjadi sombong sebab apa yang baru kita sedikit ketahui.”
            Quote of the day di atas mempunyai inti yang sama dengan kata mutiara yang Saya tuliskan di atas halaman awal class review ke-6 ini.  Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang mempunyai benang merah dengan ini.  Menurut quote of the day di atas, kita selaku pencari ilmu khususnya para literat janganlah sombong atas teori ini dan itu, karena pada hakikatnya kita adalah peniru, masih pada fase awal golongan yang tercerahkan.  Inilah mengapa ada pernyataan bahwa “Semakin banyak kita tahu, maka kita semakin tahu bahwa kita sedikit tahu.”
Selanjutnya adalah tentang ideologi yang mempunyai pengaruh besar dalam tulisan, kemudian mempengaruhi ilmu pengetahuan, kemudian mempengaruhi kebudayaan serta dapat mengubah segala sesuatu di seluruh aspek kehidupan.  Seperti yang dikatakan”
¡   Fowler (1996: 10): “Like the historian critical linguist aims to understand the values which underpin social, economic, and political formations, and diachronically, changes in values and changes in formaitons.
¡  Fowler (1996: 12): “Ideology is of course both a medium and an instrument of historical processes.”
¡  Fowler 1996: Ideology is omnipresent in every single text (spoken, written, audio, visual or the combinations of all of them)
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa ideologi ada dimana-mana.  Atas dasar inilah, kita diharapkan agar kita selektif dan menjadi pembaca dan masyarakat yang kritis, menjadi masyarakat yang berkualitas demi kedinamisan hidup dan dunia yang lebih baik lagi.  Harus diingat juga bahwa ideologi dimasukkan oleh empunya ke dalam berbagai macam media, dan oleh sebab itu banyak ahli bahasa yang menyatakan tentang muatan dalam suatu teks.
¡  Text productions is never neutral! (Fairclough 1989; 1992; 1995; 2000; Lehtonen 2000)
¡  Literacy is NEVER neutral (Alwasilah 2001; 2012)
Lebih detail lagi tentang ideologi, teks, dan literasi yang bakal mempengaruhi kehidupan manusia dan dunia, seperti yang dipaparkan oleh para linguist ternama seperti Halliday dan Fowler.  Diunduh dari file pdf dengan judul Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Krisis susunan Anang Santoso dari fakultas sastra Universitas Negeri Malang.  Dalam sub-bab yang disusunnya dengan judul Pandangan Tentang Teks Adalah Proses Sosiosemantis banyak membahas dan mengutip pernyataan-pernyataan dari Halliday dan Fowler.  Semoga dapat membantu membuat lebih mengerti dan memahami.  Berikut adalah penjabarannya:
Halliday (1978:139) berpendapat bahwa sebuah  teks  merupakan  sebuah  peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat adalah seorang pemakna.  Dalam  pertukaran  makna  itu,  terjadi  perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang  perjuangan  itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Jejak pandangan Halliday tersebut dapat dilacak  pada  pandangan  Menz  dan  Birch tentang  pilihan  bahasa.  Menurut  mereka, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi  milik  individu  yang  unik,  tetapi diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif (communicative struggle) dan interaksi  aktual  yang  ditentukan  secara ideologis  dan  dimotivasi  secara  politis (Birch, 1996:65). Merujuk pada pandangan ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah individu yang  merdeka, tetapi ia merupakan  individu  yang  diatur  oleh  dimensi-dimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif.  Individu-individu  sering  berada di bawah kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu.
Senada dengan pandangan Menz, menurut Birch (1996:67), pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis,  sosial,  kultural,  dan  ideologi.  Ada kekuatan di luar individu yang ikut menentukan bentuk bahasa tertentu yang akan digunakan. Hal itu sering terjadi secara bawah sadar. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi sosial yang  melibatkan  aspek-aspek:  kuasa,  aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antago-nisme,  kesenangan,  dan  sebagainya  yang semuanya  merupakan  bagian  integral  dari kontrol terhadap masyarakat.  Implikasi ini adalah referensi mengapa bahasa Inggris menjadi bahasa Internasional? Mengapa Columbus menjadi tokoh pahlawan di wacana-wacana pendidikan?
Kode kebahasan yang dianggap tidak netral dibahas juga oleh Fowler (1986:27)
“Kode kebahasaan atau lingual tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode lingual itu  menafsirkan,  mengorganisasikan,  dan mengklasifikasikan  subjek-subjek  wacana. Wacana tertentu selalu membentuk  teori tentang  bagaimana  dunia  itu  disusun. Hal itulah yang disebut  pandangan dunia  atau ideologi .  Bahasa  tidak  hanya  sebagai pengetahuan yang internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa dalam  berbicara,  menyimak,  menulis,  dan membaca  yang  aktual  dan  intensif  setiap hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni  akal sehat itu bukan sesuatu  yang  alamiah,  tetapi  produk  dari konvensi sosial .”
Fowler (1986) menambahkan bahwa “Teks  merupakan  realisasi sebuah modus wacana, biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks sebagai individu bukanlah hasil dari  keseluruhan  individu  itu.  Teks  yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya) yang itu semua  berakar  pada  kondisi-kondisi  sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja  hasil  dari  suatu  perjuangan  di  antara banyak tangan penghasil wacana itu.”
Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis.  Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial.  Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan, poin inilah sebagai poin jawaban untuk class review sebelumnya yang menanyakan hubungan antara “Literacy and History”.  Beginilah bukti adanya intertextuality.
Kemudian, pada poin selanjutnya yang ditampilkan dalam slide powerpoint Mr.Lala tentang:
Tugas free writing dalam 1000 kata berbahasa Inggris menuliskan kritikan kita terhadap Howard Zinn dan Christopher Columbus.  Tema tentang dua tokoh terkemuka di atas harus kita jabarkan dengan bahasa kita sendiri, tugas free writing ini bertujuan untuk melatih kita agar meyakinkan dan membujuk para pembaca dengan “persuasion” kita.  Persuasion adalah salah satu cara untuk menerapkan dan memasukkan ideologi kita ke dalam bahasa atau tulisan.  Dalam free writing ini mempunyai aturan utama dan penilaian utama dalam paragraf pertamanya yang disebut Thesis Statement.
¡  The  thesis  of an essay is its main idea.  The  thesis statement  of an essay is the one- or two-sentence statement that expresses this main idea.   The thesis statement identifies the writer’s topic  and the opinion the writer has about that topic.
¡  The thesis statement performs two functions:
  1. the  writer creates a thesis to focus the essay’s  subject.
  2. the presence of a good thesis statement aids reader  understanding.
Setelah tugas free writing berbahasa Inggris yang kita buat memenuhi target 1000 kata.  Langkah selanjutnya adalah melakukan self assessment procedure, yaitu:
1.      Does my thesis pass the “So what?” test? If a reader’s first response is, “So what?” then you need to clarify, to forge a relationship, or to connect to a larger issue.
2.      Does my essay support my thesis specifically and without wandering? If your thesis and the body of your essay do not seem to go together, one of them has to change. It’s o.k. to change your working thesis to reflect things you have figured out in the course of writing your paper. Remember, always reassess and revise your writing as necessary.
3.      Does my thesis pass the “how and why?” test? If a reader’s first response is “how?” or “why?” your thesis may be too open-ended and lack guidance for the reader. See what you can add to give the reader a better take on your position right from the beginning.
Kesimpulan:  class review kali ini membahas tentang tiga poin utama yaitu:
1.      Tahap seseorang dalam belajar adalah menjadi peniru kemudian penemu kemudian pembuat.
To Emulate -> To Discover -> To Discover

2.      Lebih jauh lagi meneroka tentang ideologi dan literasi.  Dalam pembahasan kali ini saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hubungan benang merah antara literacy dan history, bahwasannya literasi adalah Teks  yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya) yang itu semua  berakar  pada  kondisi-kondisi  sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja  hasil  dari  suatu  perjuangan  di  antara banyak tangan penghasil wacana itu.”
3.      Dalam tugas free writing kita diberi kesempatan dalam menerapkan tentang apa yang telah kita pelajari tentang ideologi, akankah kita memasukkan ideologi tertentu dalam bentuk persuasion dalam teks yang kita buat?

Hikmah pembahasan class review kali ini adalah:  “Dengan mengetahui dan memahami definisi tentang intertekstuality, kita tak perlu lagi bertanya pada rumput yang bergoyang, kita tak perlu bertanya lagi pada langit tua yang tak mendengar, tak perlu juga bertanya pada manusia yang tak pernah ada jawabnya, semuanya dapat kita temukan jawabannya dengan meneroka teks dan wacana dalam situasi dan kondisi yang berkarib dengan sepi.”

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment