Saturday, March 8, 2014
Created By:
Liana Nurbakti
4th
Class Review
Interaksi Bangun Kelas yang Hebat
Pertemuan kali ini, tanggal 28 februari 2014 sedikit
berbeda dengan hari jum’at sebelumnya. Pada pertemuan kali ini, Mata Kuliah
writing dimulai 30 menit lebih awal dari biasanya. Kalau biasanya kelas dimulai
pada pukul 07.30, pada pertemuan kali ini kelas dimulai pada pukul 07.00. Mr.
Lala berkata bahwa “belajar lebih pagi akan lebih baik”. Pagi ataupun siang
tidak ada bedanya, karena sama-sama niatnya untuk mencari ilmu.
Sekarang adalah pertemuan keempat, itu artinya bahwa
minggu sekarang merupakan minggu terakhir melakukan pemanasan. Artinya,
pembelajaran academic writing yang sesungguhnya sudah didepan mata dan mulai
minggu depan kita akan melakukan kegiatan inti dalam pembelajaran academic
writing.
Pembelajaran kali ini diawali dengan pembacaan teks
(hamper mirip puisi) karya Budi Hermawan, dosennya Mr. Lala. Yang mendapatkan
kesempatan untuk membaca teks itu adalah Iis dan Jefi. Inilah isi teks
tersebut:
What My Lecturer says:
Berkibarlah dengan sepi, sebab dalam sepi ada
(momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari…
Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya
stimulus yang memborbardir indera kita…
Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu-satu
untuk ditafakuri, lalu dimaknai dan dijadikan berguna bagi kita…
Bila tidak, mereka hanya dengungan yang bising
dikepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita memahami
dunia di sekitar kita (sedikit) lebih baik…
Berkibarlah dengan sepi, sejak dalam sepi kita
menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam
ramai…
Dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang
diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat membentuk bayang jelas untuk dilihat
tanpa harus memuaskan keinginan yang lain…
Berkibarlah dalam sepi, karena dalam sepi berlalu
lalang inspirasi yang tak kita mengerti atau tak dapat kita tangkapi ketika
kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekah…
Berkibarlah dengan sepi, sebab dalam sepi suara hati
lebih nyaring terdengar jernih…
~Budi Hermawan~
Setelah pembacaan puisi selesai, Mr. Lala mulai akan
memasuki pembelajaran. Tapi sebelum pembelajaran dimulai, Mr. Lala menyinggung
tentang tugas critical review pertama kami. Ada empat tingkatan seorang
criticus, digambarkan seperti di bawah ini:
Reader – Quality
Reader – Writer – Quality Writer
Dari keempat criteria diatas, kita dapat menempatkan
dimana posisi kita berada. Apakah hanya seorang Reader? Yang hanya membaca
tanpa memahami isi dari teks yang dibaca. Apakah seorang Quality Reader? Yang
membaca sekaligus memahami makna dan tujuan penulis dalam teks tersebut. Atau
seorang Writer? Ataukah seorang Quality writer? Hanya diri sendiri yang bisa
mengetahuinya.
Setelah pembukaan tentang critical review, Mr. Lala
mulai membahas tentang tek yang harus dikritik oleh mahasiswa, yaitu tentang
classroom discourse dan religion harmony. Dalam teks ini, kita harus bisa
menghubungkan antara classroom discourse dengan religion harmony. Mungkin dari
sekian banyak mahasiswa di kelas PBI-D, hanya sedikit yang sudah menjadi
quality reader. Karena saya sendiri bertanya kepada teman-teman yang lain ,
kebanyakan dari mereka membahas tentang konflik yang terjadi karena perbedaan
agama. Memang ada sedikit-sedikit yang dihubungkan dengan classroom discourse,
tapi tidak seimbang dengan pembahasannya tentang konflik-konflik.
Kata kunci dari classroom discourse adalah
interaksi. Melihat arti dari kata classroom sendiri adalah ruangan kelas dan
discourse adalah percakapan, artinya interaksi. Maka dapat disimpulkan bahwa
classroom discourse adalah percakapan atau interaksi yang terjadi di dalam
kelas. Ada banyak sekali fakta tentang classroom discourse, akan dijelaskan di
bawah ini.
Pertama,
classroom is a sacred site. Artinya bahwa
classroom itu merupakan tempat yang suci, yang mana didalamnya terdapat ritual
yang berbentuk mengajar dan belajar. Sama halnya seperti di masjid, yang mana
ada hal tertentu yang dilarang dilakukan di dalam masjid. Misalnya, perempuan
yang sedang haid tidak boleh memasuki masjid karena itu dapat mengotori
kesucian masjid. Begitupun di dalam kelas, ada hal-hal yang dilarang atau tidak
diperbolehkan untuk dilakukan di dalam kelas. Contohnya, mahasiswa tidak serius
dalam belajar, itu akan mengotori kesucian kelas. Selain itu, classroom juga
sacral. Kenapa dikatakan sacral? Karena tidak semua orang bisa berada disana.
Untuk bisa memasuki kelas itu tidak mudah dan tidak begitu saja. Ada hal-hal
yang harus dilalui terlebih dahulu, misalnya mengikuti test terlebih dahulu,
melakukan registrasi dan sebagainya.
Kedua, classroom
discourse is complicated. Kenapa disebut
complicated? Ada tiga factor yang membuat classroom menjadi complicated,
diantaranya:
1.
Background
Jika kita
melihat dari background atau latar belakang siswa yang datang dari berbagai ethnic,
education, economi, politik dan asal daerah, tentu itu akan menjadi sangat
complicated. Contoh realnya saja, di kelas PBI-D semester empat IAIN Syekh
Nurjati ini ada mahasiswa yang datang dari berbagai daerah. Ada yang dari
Majalengka, Kuningan, Indramayu, Cirebon, Bekasi dan lain-lain. Untuk
menyatupadukannya pada awalnya pasti sangat susah sekali. Itulah yang menjadi
complicatednya.
2.
Interaction
Kata kunci dari
classroom discourse adalah interaksi. Interaksi akan menjadi sangat complicated
karena didalamnya harus ada participant dan talk (bicara). Talk adalah hal yang
paling penting dalam sebuah interaksi. Inilah kekurangan dari buku Pak Chaedar.
Dalam bukunya tentang classroom discourse dan religion harmony tidak dijelaskan
tentang TALK. Padahal ini adalah hal yang paling. Bagaimana bisa terjadi
interaksi kalau tidak ada TALK?
3.
Tolerance
Tolerance ini
menuju pada contoh-contoh kita berperilaku toleransi di dalam kelas. Semua
contoh-contoh itu dipelajari lewat sastra atau literasi.
Ketiga, meaning making practice, yang meliputi ideology (sets of belief) dan values.
Dalam satu ruangan kelas, idealnya ada 30 jumlah siswa. Dari ke 30 siswa
tersebut pasti mempunyai ide-ide atau gagasan yang berbeda-beda. Ide yang ada
pada masing-masing itu bisa mengatur kepercayaan yang ada pada diri
masing-masingnya. Jikalau kita tidak setuju dengan pendapat orang lain (tidak
sepemikiran), itu artinya ada ideological clashes. Perbedaan pemikiran itu akan
dibahas di dalam kelas.
Dari semua pembahasan
diatas, dapat disimpulkan bahwa classroom discourse itu akan menjadi cara yang
paling baik untuk membuat kelas menjadi kelas yang hebat. Setiap mahasiswa
berhak untuk memberikan pendapatnya masing-masing dengan lebih sopan. Dengan
begitu, interaksi di kelas akan terjadi dengan baik.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)