Saturday, March 8, 2014

“Belajar Lebih Pagi Lebih Baik”

4th Class Review


“Belajar Lebih Pagi Lebih Baik”

            Jumat 28 Februari 2014, ruang 46, pukul 07.00 WIB. Hari itu hari pertama MK writing dimulai lebih awal 30 menit. Mr. lala berkata “Belajar lebih pagi lebih baik”. Seperti biasa saya akan menceritakan sesuatu yang dianggap tidak penting, yaitu hari itu saya memakai baju warna ungu (baju kelas), saya duduk di barisan ke dua, di depan saya ada bangku kosong (tidak ada orang yang duduk, hanya ada tas milik Liana), sebelah kanan saya ada Dwi, sebelah kiri saya ada Rasdeni, dan tepat di belakang saya ada Susi. Kemudian Mr. Lala menanyakan critical review yang kita buat.  “apakah kita sudah mencapai quality reader apa belum? Apakah kita masih stuck sebagai reader? Apakah kita sudah beranjak dari reader menjadi menjadi quality reader?


Reader  --  Quality Reader  --  Writer -- Quality Writer Mutu

Reader maksudnya hanya sebatas membaca, mengerti dan paham. Sementara quality reader maksudnya pembaca tidak hanya membaca, mengerti, dan memahami tapi harus kritis terhadapa bacaan yang dibaca. Kemudian writer maksudnya setelah membaca diharuskan untuk menulis. Setelah itu quality writer maksudnya setelah membaca diharuskan untuk menulis, menulis disini, menulis dengan kritis, kekurangan dan kelebihan. Reader, quality reader, writer, quality writer membentuk sebuah hasil yaitu “Mutu”. Mutunya biasa-biasa saja, bagus, apa sangat bagus. Sebelum ke power point Mr. Lala memberitahu bahwa pada saat progress, kita harus menulis setidaknya 500 kata menggunakan bahasa inggris dalam wakru 30 menit (introduction). “kerja dengan cara yang berbeda” maksudnya disini saat orang-orang kerja dengan cara biasa kita harus luar biasa, ketika orang lain mendapatkan 100 point kita harus mendapatkan 1000 point.
Pada power point yang berjudul “The 4th Match: The First Critical Review Evaluated”, pada slide kedua “What my lecturer says?”, terdapat kata-kata yang mirip dengan puisi karya Budi Hermawan, kata-kata tersebut sangat bagus dan menyentuh. Dan Iis berkesempatan membacanya dengan suara lantang, begitupun dengan Jefi. “Dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih” menulis itu seperti meditasi

Berkariblah dengan sepi, sebab dalam sepi ada (momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepia da berhenti dari menerima ramainya stimulus yang membombardir indera kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu-satu untuk ditafakur, lalu dimaknai, dan  dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak mereka hanya dengungan yang bising di kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita memahami dunia di sekitar kita (sedikit) lebih baik.

Berkariblah dengan sepi, sejak dalam sepi kita sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain.
Berkariblah dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam  hingar yang pekak.
Berkariblah dalam sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih. (Budi Hermawan).

            Tak lama kemudian dibagilah photocopyan. Setelah itu Mr. Lala menjelaskan tentang Classroom Discourse. Classroom Discourse + Religion Harmony = Critical Review. Di dalam critical review kita bukan menghimpun cerita-cerita yang sudah ada. Kemudian setelah itu ada post-reform, aksi-aksi pelanggaran semakin sering terjadi, apalagi pada masa reformasi. Apasih Classroom discourse?
1.      Classroom is a “Sacred side” adalah Classroom itu suci, karena terdapat ritual, ritual disini mengajar dan diajar. Jika ritual mengajar atau diajar tidak benar maka itu perbuatan mengotori kesucian kelas. Selain suci, classroom itu sacral, karena tidak semua orang bisa terlibat di dalam classroom.
2.      Classroom is “Complicated” adalah Classroom itu rumit, karena disitu ada banyak sekali factor, salah satunya yaitu Background (etnik, education, ekonomi, politik, personality, dll). Di dalam kelas terdapat interaksi antara teacher dengan students, dan student dengan student.

Classroom Discourse  -- (context & text) -- Participant (ST, SS) -- ? (the biggest missing link) -- TALK (key word)

3.      Meeting Making Practice maksudnya pemahaman membuat usaha. Pemahaman itu bisa ditentukan oleh background dan background bisa menentukan sebuah ideology, kelas juga bisa memicu ideology, dari ideology terbentuklah “Sets of beliefs” disamping itu ada value. “semakin pagi belajar semakin bagus”. Di dalam kelas perbedaan itu dibahas. TALK – Differents – Religion harmony. Help + Reader syndrome = cara mengkritik buku darimana. Discourse analisis (Big title).
Setelah itu Mr. Lala menyuruh kamiuntuk membaca critical review milik sendiri, bagian mana yang menarik, nyambuk atau tidak, apa yang harus dibuang dan dipertahankan. Sebelum itu Mr. Lala menyuruh kami untuk membuat big circle dan Mr. Lala mengoreksi class review kita satu persatu. Selesai memeriksa class review kami merubah posisi duduk lagi, dan Mr. Lala bertanya kepada beberapa orang tentang critical review, yang beruntung ditannya oleh Mr. Lala adalah Rasdeni, Nendi, Jefi, Ummi, Deden, Eka R, dan Wahyu. Kemudian Mr. Lala membahas banyak hal yang terjadi disekitar kita. Seperti tentang KEMENAG, interfaith dialogue, sampai jam mata kuliah berakhir.

Hampir lupa zona tempat duduk saya berubah yaitu dibarisan paling depan tepat di depan meja dosen, sebelah kanan saya ada Nurul, sebelah kiri saya ada Rasdeni, dan tepat di belakang saya ada Lili. Tepat pukul 08.40 WIB kelas berakhir. Tapi tidak dengan kewajiban kami sebagai mahasiswa, walaupun kelas telah berakhir tapi minggu depan akan banyak tugas yang harus diselesaikan sebaik mungkin.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment