Sunday, March 2, 2014

Duniasastra, dunialiterasi


Class review 3

Dunia sastra, dunia literasi
            Dua minggu terlewati, dan empat teks rampung diproduksi.  Pantulannya cukup keras ternyata, bola yang dulu terhentak tajam dan melambung sangat tinggi kini akan semakin tinggi dan semakin tinggi lagi.  Salah satu prinsip ilmu fisika mengenai energy potensial (EP) terjadi di  kelas writing 4 yang kini sedang saya geluti, makin hari serasa semakin keras pantulannya dan semoga saja semakin tinggi pula keilmuannya.
            Kita, IAIN Syekh Nurjati Cirebon sedang merintis sesuatu yang baru.  Something special that will gradually happen in the future, kita yakin dan percaya bahwa ini adalah langkah awal untuk berakselerasi menuju Centre of Excellent yang selama ini hanya dipandang angan-angan belaka. 
            Rasa-rasanya mahasiswa pendidikan bahasa inggris (PBI) semester empat sedang ‘bersandiwara’.  Entah drama sungguhan atau bukan, yang jelas rasanya saya dituntut untuk berperan sebagai pengamat social dan budaya di negeri tercinta ini.  Mengkritisi fenomena-fenomena perubahan yag terjadi dan dengan penuh percaya diri menyodorkan paper hasil analisis bak seorang analis terkenal.
            Akademik writing lebih dari sekedar apa yang saya pikirkan, sedikit demi sedikit saya mulai merasakan nikmatnya membaca tulisan bertekstur rigid dengan tingkat repetisi yang lumayan melelahkan. Ada kalanya saya hanya membaca tanpa tahu maknanya dan hal itu sering terjadi berulang-ulang, namun kali ini awareness saya mulai terbangun what I read in the book is not a fantasy, that is completely reality and that happen in my own land.  Seperti berada di layar bioskop, semuanya tergambar jelas betapa sedihnya wajah negeri bahari ini.
             Apa yang dimaksud rekayasa oleh pak chaedar memiliki dampak yang sangat besar bagi perubahan, untuk itu rekayasa pun tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang melainkan oleh para ahli yang memang sudah punya expertise tersendiri khususnya dibidang linguistic.  Kenyataannya para linguis mampu mengidentifikasi berbagai fenomena social-budaya baik dari teks dan konteks, mengeksplorasi argument dan kritikan menuju perubahan paradigma hingga akhirnya berujung pada perubahan social dan budaya.  Produk dari literasi bukan semata-mata menghasilkan bibit yang mampu membaca dan menulis, namun (maha)siswa yang mampu bersaing secara nasional dan internasioanal, meciptakan kualitas hidup yang lebih baik dan selaras.
           


            Tersimpan bagian menarik dalam litearsi, dan lagi-lagi saya baru menyadarinya. Apa yang disebut seni dewasa ini bukan sekedar keindaham semata, bukan lagi harmonisasi musik ataupun pahatan patung terindah kelas dunia pun juga bukan goresan cat di kanvas pelukis terkenal. This is an art, menulis merupakan seni tingkat tinggi yang tidak semua orang bisa mencecap nikmatnya dunia aksara ini.  Bahwa dunia sastra merupakan esensi penting dalam litarasi, seni memang tak mudah terkalahkan walaupun zaman terus menerus berganti rupa.  Sastrawan cenderung memiliki kepekaan lebih terhadap alam, menggambarkan fenomena yang terjadi secara lebih jujur, sastra bukan hanya kumpulan puisi namun sastra memiliki implikasi terbesar di dalamnya.
            Kelebatan memori masa kecil tiba-tiba datang menyapa, zaman SD yang terkadang memalukan untuk diulas namun kini cerita menggelikan itu menjadi bermakna setelah saya tahu bagaimana hebatnya dunia sastra. Zaman dimana saya sering sekali mengikuti perlombaan baca puisi, membaca teks pidato/ceramah(sunda-indonesia), saritilawah, speech, dan sebagainya. Walaupun hanya ajang kecil-kecilan namun ibu dan bapak selalu berbangga hati ketika anak perempuannya  pulang dengan menenteng piala. Kecintaan terhadap dunia puisi terus berlanjut hingga saya SMA bahkan sampai sekarang, walaupun intensitas mengikuti perlombaan berkurang namun salah satu universitas sempat menjadi list petualangan saya di tahun 2012, diantarnya ketika Univeritas Kuningan (UNIKU) menggelar perlombaan baca puisi tingkat SMA se-jawa barat dengan tema “Students Jungle Expedition” dengan piala bergilir yang menurut saya sangat sangat tak ternilai. Sayangnya kerja keras belum membuahkan hasil pada waktu itu, saya gagal memperebutkan PIALA BURUNG MERAK “WS RENDRA”, pulang dengan hanya membawa sertifikat sebagai peserta perlombaan terasa sangat menyakitkan mengingat pengorbanan yang saya lakukan cukup menyita waktu tenaga dan pikiran, ditambah lagi beberapa minggu yang terpakai untuk latihan menguras intensitas belajar saya menuju ujian nasional.
            Dan tepat saat ini saya mengerti, apa itu kompetisi dan apa itu pengorbanan, apa itu hadiah dan apa itu pengalaman. Hingga akhirnya saya benar-benar merasa terilhami, kecintaan terhadap sastra merupakan implikasi terbesar dunia literasi, dunia yang saat ini menjadi harapakan.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment