Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Devi Risnawati
Critical
Review (Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony)
YANG SATU YANG BERWUJUD BANYAK
By: Devi Risnawati
اطلبوا العلم من المهد الى اللحد
“Carilah ilmu sejak dari ayunan sampai ke liang lahat”
“Agama menciptakan lingkungan moral yang
sangat aman dan nyaman. Sikap anarkis
yang menyebabkan kerusakan pada bangsa dan negara terhenti ketika seluruh
element menyadari kandungan dari agama yang mereka anut. Karena pada dasarnya agama menciptakan rasa
perdamaian baik dalam diri maupun orang
lain. Melalui pendidikan lah hal
ini dapat diterapkan. Orang-orang yang
memegang nilai moral siap bangkit bagi
bangsa.”
Ilmu
pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia; terutama dalam bidang
pemberantasan kebodohan, ketertinggalan dan berbagai potret duka dalam
kehidupan umat manusia dan alam raya ini.
Indonesia adalah sebuah negara yang
sangat kaya akan keberadaan suku bangsa. Secara horizontal dalam struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, adat dan perbedaan kedaerahan (Nasikun,
1993). Jika ingin
mengetahui kualitas suatu bangsa , tengoklah kualitas dan praktek sistem
pendidikan di negara tersebut . Hampir bagi setiap negara yang maju menyadari
akan pentingnya pendidikan, sehingga terbentuklah sistem pendidikan yang baik. Salah satu tujuan dari pendidikan dasar
adalah untuk memberikan siswa keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu , anggota masyarakat dan warga negara .
Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut .
Manusia sebagai
makhluk sosial tidak akan bisa lepas dari sebuah interaksi. Interaksi tersebut kadangkala sering diwarnai
dengan konflik yang dapat mengganggu terwujudnya harmoni, penyebabnya adalah
karena adanya persepsi, kepentingan maupun tujuan yang berbeda antar individu
maupun kelompok. Perbedaan antar anggota
sering kali terjadi dan bersifat deskruktif antara lain karena perbedaan agama. Konflik antar agama biasanya dipicu oleh
prasangka antar penganut satu agama dengan yang lain, yang kemudian berkembang
menjadi isu-isu yang membakar emosi.
Masalah sosial kerap timbul berulang
kali seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini, seperti moral siswa Indonesia
yaitu banyaknya tawuran antar sekolah yang tidak jarang juga memakan korban,
bentrokan antar pemuda, dan tidak kalah pula bentrokan antar wilayah yang
semakin hari semakin banyak. Hal ini
disebabkan karena kurangnya rasa toleransi antar umat ditambah rasa hormat yang
semakin terkikis oleh arus radikalisme.
Konflik sosial dan ketidakharmonisan
antar agama adalah tantangan bagi para pendidik. Pendidik harus mampu membendung arus ini
dengan memberikan bekal pengajaran yang terbaik untuk para siswanya demi
terciptanya generasi yang bermoral sebagai warga negara yang demokratis.
Dalam
dunia pendidikanpun tentu kita diajarkan tentang apa itu keyakinan. Mulai dari sekolah dasar, menengah ataupun
perkuliahan. Agama sebagai pedoman
perilaku yang suci mengarahkan penganutnya untuk saling menghargai dan
menghormati. Peran pendidik sangatlah penting dalam menerapkan dasar-dasar
keyakinan agama agar tidak terjaadi hal-hal yang seperti diatas.
Untuk mewujudkan tujuan ini,
kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah sejak dini. Kerukunan
umat beragama ini bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat
beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa.
Ada 4 landasan hukum kerukunan umat beragama, yaitu:
1. Landasan Idiil, yaitu pancasila
(sila pertama yakni ketuhanan yang maha Esa)
2. Landasan Konstitusional, yaitu
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 29 ayat 1.
3. Landasan strategis, yaitu Ketetapan
MPR No. IV tahun 1999 tantang
garis-garis besar haluan negara. Dalam
GBHN dan program pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000, dinyatakan bahwa
sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama
dan kepercayaan kepada Tuhan YME,penuh keimanan dan ketakwaaan, penuh kerukunan
yang dinamis antar umat, secara bersama-sama makin memperkuat landasan
spiritual, moral dan etika pembangunan bangsa, yang tercermin dalam suasana
kehidupan yang harmonis, serta kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Landasan Opersional
a. UU No. 1/PNPS/1965 tentang larangan
dan pencegahan penodaan dan penghinaan agama.
b. Keputusan bersama menteri dalam
negeri dan menteri agama RI No.
01/Ber/Mdn/1969
c. SK menteri dalam negeri dan menteri
agama
d. Surat dengan edaran menteri Agama RI
No. MA/432.1981)
Hal paling mendesak bahwa pengajar
harus mempromosikan program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana
sipil yang positif di kalangan siswa.
Hasil penelitian banyak membuktikan
dan menunjukkan bahwa anak-anak usia dini/ usia sekolah lebih memilih interaksi
dengan rekan-rekan mereka di sekolah dibanding dengan keluarga mereka
sendiri. Mereka merasakan rasa yang
berbeda jika berinteraksi dengan rekan-rekannya, menganggap bahwa rekan- rekan
mereka lebih menghormati, lebih membantu, saling berbagi dan umumnya sopan
terhadap satu sama lain. Hal inilah yang
harus diawasi baik oleh pengajar atau orang tuanya dalam masalah pergaulan
mereka. Salah pergaulan akan menimbulkan
masalah sosial. Konsep interaksi dengan
rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin , 2009).
Dan guru sebagai pengawas di lingkungan sekolahnya haruslah memiliki nilai-nilai
tauladan yang baik.
Nilai pengajar pendidikan Jawa yang paling
dikenal luas adalah adalah konsep kepemimpinan yang disampaikan oleh Ki Hajar
Dewantara yang terdiri dari 3 aspek kepemimpinan yaitu (1) ing ngarsa sung
tuladha, (2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri handayani.
Konsep kepemimpinan pendidikan ini bahkan diadopsi menjadi nilai pendidikan nasional
di Indonesia.
Ing
ngarsa sung tuladha menekankan peran pengajar
sebagai tokoh yang harus bisa diteladani, yang harus bisa membimbing dan
memberi arah ke mana pendidikan di sekolah hendak dibawa.
Ing
madya mangun karsa artinya bahwa pengajar pendidikan
harus bisa membangkitkan semangat orang-orang yang beliau ajar. Harus dapat
membangkitkan gairah untuk mewujudkan kepentingan bersama. Pengajar pendidikan
adalah juga seorang motivator.
Pengajar pendidikan harus mampu juga
bersikap tut wuri handayani, yaitu mampu memberikan kesempatan bagi
muridnya untuk berkembang. Pengajar pendidikan dikatakan berhasil ketika dia
mampu mengedepankan orang lain terlebih dulu. Keberhasilan kepengajaran pendidikan
terkait dengan keberhasilan dia membuat orang-orang yang diajarnya berhasil.
Secara hakiki pengajar pendidikan adalah seseorang yang memegang kendali untuk
membuat orang lain mendapatkan kendali.
Indonesia
sebagai negara multikultural, siswa berasal dari latar belakang yang berbeda
seperti etnis, agama dan sosialnya yang memiliki pola pikir yang berbeda
pula. Akan banyak silang pikiran yang
terjadi yang dibentuk oleh latar belakang mereka. Harusnya program sekolah wajib memfasilitasi
kegiatan para siswa dalam berinteraksi dengan meghadirkan wacana sipil yang
positif. Indikator wacana sipil
sebenarnya telah diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia seperti mendengarkan
dengan seksama, membaca, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan
pertanyaan (kritis), menyatakan sepakat atau tidak sepakat dan tentunya
mencapai kompromi sesuai dengan cara yang baik.
Seluruhnya telah diaplikasikan ke dalam sistem pendidikan, tinggal
mencarai cara bagaimana agar sistem ini berjalan sesuai dengan tujuan
bangsa. Siswa diwajibkan untuk melakukan
seluruh hal itu dengan didampingi oleh pengajar ahli tentunya.
Pada
jenjang sekolah pengajar atau guru berfungsi untuk mengawasi siswanya, terlebih
pada sekolah dasar guru dituntut untuk mengawasi siswanya hampir setiap
hari. Para siswa masih dalam tahap
pengenalan pelajaran yang membutuhkan bimbingan yang lebih intens. Guru harus tahu bagaimana merancang dan
memfasilitasi interaksi dengan teman sebaya, cara paling sederhana adalah
dengan memberikan pembelajaran kemanusiaan sebagai bagian dari pendidikan
kewarganegraan. Pelajaran
kewarganegaraan penting untuk membangun rasa kebangsaan, toleransi, empati dan
sebagainya yang menjurus ke arah perbaikan.
Pendidikan
formal atau sekolah adalah dunia yang mengajarkan tentang kemampuan siswa untuk
menjaga hubungan baik dengan rekan
sangatlah penting, ini dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan individu.
Sebaliknya, ketidakmampuan dalam menjaga hubungan akan merugikan dan memiliki
impact yang buruk bagi kedepannya, seperti timbulnya konflik sosial dalam suatu
lingkungan masyarakat tertentu. Cotoh dari ketidakmapuan menjaga hubungan baik
adalah banyaknya tawuran siswa yang acap kali ditemui baik di TV, surat kabar
atau radio. Tawuran terjadi karena
buruknya interaksi antar sekolah ataupun siswa dengan pihak lawannya, yang
harusnya mampu diatasi dengan menjaga hubungan baik antar sesama. Contoh lain dari tidak terjalinnya hubungan
baik adalah konflik antar etnis dan antar agama. Kondisi keberagaman rakyat
Indonesia sejak pasca krisis tahun 1997 sangat memprihatinkan. Konflik yang
bernuansa agama terjadi di daerah seperti Ambon dan Poso. Konflik ini sangat mungkin terjadi karena
kondisi masyarakat Indonesia yang multi etnis, multi agama dan multi
budaya. Ditambah dengan watak orang
Indonesia yang sebagian besar mudah terprovokasi oleh pihak ketiga yang merusak
watak bangsa Indonesia. Ditambah pula
dengan krisis ekonomi dan politik yang melanda bangsa Indonesia, sehingga
sebagian besar warga merasa tertekan dan tentu keadaan ini sangat mudah untuk
melakukan hal-hal yang amoral. Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu
kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat . Seperti pemboman gereja di Surakarta,
menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid. Ini bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan
antar agama, yang nanti akan terjadi saling serang.
Contoh
yang dipaparkan oleh Ariliaswati pada artikel “classroom discourse to foster
religious harmony” yang telah melakukan penelitian terhadap 43 siswa kelas IV
menyatakan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium sebagai langkah
untuk membentuk pribadi masyarakat yang berbudi memanglah benar. Sekolah adalah wadah dalam membentuk akhlak
siswa agar berbudi dan berakhlak mulia.
Siswa
SD adalah anak- anak yang belum mampu memberikan alasan atas dasar informasi
yang ia berikan dan bukti argumen mereka kepada lawan bicaranya, tapi mereka
akan mengekspresikan kesepakatan atau ketidaksepakatan dengan cara yang sopan
terhadap lawan bicaranya. Belajar dari
anak kecil (siswa sekolah dasar) adalah belajar tentang rasa percaya dan keyakinan
yang tinggi akan sesuatu. Mereka akan
sangat lantang dan yakin ketika ditanya tentang masa depan, seperti menjawab
akan menjadi apakah ia kelak.
Pendidikan tidak hanya mengembangankan penalaran nalar tapi pendidikan
akan kemasyarakatan pun sangat penting.
Penalaran ilmiah berguna dalam mengembangkan manusia berintelektual,
manusia yang berilmu. Sedangkan belajar
membaca kehidupan bermasyarakat adalah belajar menjaddi warga negara yang
beradab.
Pendidikan
Indonesia masih gagal dalam mencetak adab para siswa. Banyak para politisi dan birokrat berkuasa
karena telah mendapat pendidikan tinggi namun gagal dalam hal adab mereka. Mereka sukses di intelektual tapi gagal dalam
kemasyarakatan. Seperti
insiden memalukan pada tahun 2010 , ketika anggota parlemen saling bertukar
kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di
seluruh negeri . Alih-alih mendidik anak-anak sekolah , politisi ini telah
menetapkan contoh yang sangat miskin yang tercermin dari sikap tidak terpuji tersebut. Contoh lain yang masih hangat diperbincangkan
adalah masalah koruptor yang makin tumbuh subur di tanah air tercinta ini. Mereka “mengaku” bekerja untuk rakyat, tapi
karena adab dan tidak memiliki moral maka rakyatlah yang bekerja untuk mereka
para koruptor.
Melihat
realita para birokrat dan politisi yang gagal dalam memasyarakatkan masyarakat,
sekolah harus membenahi diri dan memberdayakan fungsi pendidikan secara benar
tanpa adanya tipuan nisbi. Sekolah juga
harusnya memberikan metode pendidikan yang bermakna seperti interaksi dengan
siswa yang beragama lain, etnis yang berbeda dan dari kelompok-kelompok sosial
yang berbeda. Dengan tujuan agar mereka
mampu menerima perbedaan dan memiliki sikap toleransi terhadap sesama. Siswa akan bisa belajar bagaimana kehidupan
orang lain yang nanti akan menimbulkan rasa penerimaan atas perbedaan. Seperti membangun tempat peribadatan di area
kampus/sekolah, kegiatan ini adalah bentuk efektif dalam penerapan ilmu agama
dalam lingkungan multikultur. Yang mana tujuan dari penerapan pendidikan agama
adalah karena Agama menciptakan
lingkungan moral yang sangat aman dan nyaman.
Sikap anarkis yang menyebabkan kerusakan pada bangsa dan negara terhenti
ketika seluruh element menyadari kandungan dari agama yang mereka anut. Karena pada dasarnya agama menciptakan rasa
perdamaian baik dalam diri maupun orang
lain. Melalui pendidikan lah hal
ini dapat diterapkan. Orang-orang yang
memegang nilai moral siap bangkit bagi
bangsa.
Di
Indonesia dikenal pula yang namanya pendidikan liberal. Pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan
tentang etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Dengan demikian didefinisikan , pendidikan liberal bertujuan
membebaskan siswa dari sikap acuh terhadap orang lain . Pada dasarnya ini
merupakan penempaan insan kamil , yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria
untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang
demokratis .
Dari paparan diatas maka telah jelas
bahwa konflik sosial terjadi karena kurangnya pendidikan tentang toleransi
multietnis, toleransi multiagama dan toleransi multikultur. Konflik itu hadir serta merta karena
kurangnya pendidikan sejak dini kepada para siswa. Khususnya siswa sekolah dasar yang masih
sangat membutuhkan pegawasan yang intens oleh gurunya.
Sekolah sebagai pusat pembudayaan, harus
dipimpin oleh kepala sekolah yang kuat yang mengakomodasi nilai lokal sebagai
dasar ke arah globalisasi. Pendidikan adalah transformasi budaya, yang sebagai
pedoman, arah, dan kesepakatan prosedural di sekolah. Membudayakan dapat
didefinisikan sebagai tempat pelestarian atau konservasi, pengayaan, perluasan,
kreativitas dan transfer dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Hal ini dapat terjadi di sekolah. Kepala sekolah
membuat guru dan siswa berbudaya untuk memiliki kemampuan nyata dalam berbagai
bidang kehidupan. Mereka diharapkan untuk menghadapi hidup dari yang sederhana
sampai tantangan yang kompleks. Proses ini harus dikembangkan dan disesuaikan
dengan keadaan setempat masing-masing.
Model pendidikan yang harusnya
diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia yang multikultur harusnya mampu
menganut dan merangkul seluruh aspek baik dari agama, etnis, bahasa, dan
budaya. Pendidikan etnopedagogi terkait erat dengan pendidikan
multikultural. Pendidikan multikultural memuat perangkat kepercayaan yang
memandang penting kearifan lokal dan keberagaman yang dimiliki komunitas etnis
untuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, dan kelompok
sosial maupun negara. Ketika etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan
lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan, dilanjutkan dengan pendidikan
multikultural yang memberdayakan inovasi dan keterampilan itu agar dapat
menyumbangkan masukan positif bagi kelompok sosial lain dan budaya nasional.
Jenis pendidikan seperti inilah yang harusnya diterapkan. Merangkul tanpa membedakan, menyamakan tanpa
menyatukan.
Kepemimpinan etnopedagogi mengadopsi
beberapa nilai-nilai dari teori pedagogi, kepemimpinan, dan budaya lokal.
Intinya adalah memimpin sekolah dengan kombinasi nilai-nilai global dan lokal.
Indonesia tergolong dalam negara berkembang yang memiliki nilai-nilai tertentu.
Dipengaruhi oleh globalisasi, Indonesia harus mengadopsi inovasi dari
negara-negara maju dan beradaptasi ke dalam nilai-nilai lokal. Peran pemimpin
sekolah adalah untuk mengadopsi, mengadaptasi, dan mentransformasikan inovasi
dan nilai-nilainya ke nilai-nilai lokal sekolah dengan harmonis. Nilai-nilai
etnis lokal umumnya digunakan di setiap sekolah, serta nilai-nilai global yang
tidak bertentangan. Pertumbuhan dan perkembangan budaya sangat tergantung pada
pola pikir dan perilaku manusia itu sendiri dalam menerima rangsangan dari luar
atau dari dalam. Setiap perubahan nilai sosial di antara orang-orang yang
sekarang terjadi. Perlu upaya untuk menanamkan nilai-nilai budaya kepada
masyarakat. Salah satu upaya adalah bagaimana mengembangkan guru dan siswa
melalui penilaian nilai atau latar belakang sosialbudaya. Upaya ini diharapkan
dapat menciptakan budaya nasional yang kuat yang dapat memperkuat solidaritas
dan menyatukan bangsa, sekaligus bisa menjadi kebanggaan nasional. Hal ini
diyakini bahwa sekolah itu terkandung nilai-nilai sosial-budaya masyarakat (local
genius, local wisdom), dan memiliki fungsi sosial sebagai penguat
nilai-nilai dan norma yang berlaku di negara kita.
Etnopedagogi adalah praktik pendidikan
berbasis pengetahuan lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Etnopedagogi
memandang pengetahuan ataukearifan lokal (indigenous knowledge, local wisdom)
sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan untuk
kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep,
keyakinan, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan mereka. Ini termasuk cara
mengamati dan mengukur lingkungan,
memecahkan masalah, dan validasi
informasi. Singkatnya, kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan
dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan. (Alwasilah, 2008)
Menurut A. Chaedar Alwasilah (2008)
ada beberapa karakteristik dari kearifan lokal: (1) berdasarkan pengalaman, (2)
diuji setelah digunakan selama berabad-abad, (3) dapat disesuaikan dengan
budaya sekarang, (4) terpadu di setiap hari praktik dan lembaga-lembaga
masyarakat, (5) umumnya dilakukan oleh individu atau masyarakat secara
keseluruhan, (6) adalah dinamis dan selalu berubah, dan (7) sangat terkait
dengan sistem kepercayaan. Pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal,
termasuk reinterpretasi nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah peribahasa,
dengan kondisi kontemporer adalah strategi cerdas untuk memecahkan masalah
sosial karena dalam banyak hal masalah-masalah sosial yang berasal dari isu-isu
lokal juga. Pemimpin lebih mudah untuk mengarahkan anak buahnya dengan norma-norma
yang umum di masyarakat dimana pertumbuhan sekolah. Kearifan lokal bisa menjadi
kendaraan yang Sinergi tujuan modernisasi dengan pelestarian keunggulan lokal.
Etnopedagogi didefinisikan sebagai
model pembelajaran lintas-budaya. Guru mampu mengajar di setting budaya yang
setempat yang mungkin berbeda. Siswa adalah pembelajar lintas budaya. Siswa
mana pun di dunia biasanya menunjukkan ada pola pikir serupa. Hal ini dapat
diartikan bahwa untuk memberikan pemahaman baru harus disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya yang berlaku di lingkungan setempat. Hal baru dapat dengan
mudah diterima jika mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai
lokal. Pendidikan juga menyediakan nilai-nilai universal yang harus ada di
setiap nilai order di dunia. Sebaliknya, nilai-nilai lokal yang sangat baik
juga bisa diangkat dan disosialisasikan ke dalam dunia yang lebih luas.
Pendidikan melalui pendekatan etnopedagogi, melihat pengetahuan lokal sebagai
sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan. Sehingga diharapkan
mampu meminimalisir konflik sosial yang kerap terjadi karena perbedaan dengan
model pendidikan etnopedagogi ini karena Indonesia itu satu tapi berwujud
banyak dari agama, etnis, kultur namun harus tetap Bhineka Tunggal Ika.
REFERENSI
Alwashilah, A. Chaedar.
2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
________. 2008.
Tujuh Ayat Etnopedagogi. Artikel dalam Pikiran Rakyat Bandung, 23
Januari 2008
Aceng, Rahmat. 2011. Filsafat
Ilmu Lanjutan. Kencana Prenada Media
Group.
Internet


Subscribe to:
Post Comments (Atom)