Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Deden Hamdan
Critical Review :
Pendidikan sebagai Pemersatu Perbedaan.
Indonesia dengan
ragam budaya, bahasa daerah, ras,
suku bangsa, agama dan kepercayaan membentang dari Sabang sampai
Merauke. Semua perbedaan tersebut selayaknya kita jadikan sebagai suatu aset
kekayaan negri ini. Perbedaan perbedaan tersebut disatukan dalam semboyan
Bhineka tunggal ika yang memiliki makna berbeda beda tetapi tetap satu jua,
artinya walaupun jumlah suku di Indonesia banyak tetapi diharapkan memiliki
satu tujuan, yaitu kedamayan dan kerukunan. Namun pada saat ini masyarakat
indonesia sudah kurang peduli akan kerukunan, mereka hanya selalu mementingkan
kepentingan suatu golongan atau kaum dan mengatasnamakan sebuah suku serta
menganggap bahwa apa yang digenggamnya adalah benar. Hal tersebutlah yang menjadikan hakikat semboyan bhineka tunggal ika tersebut
belumlah bisa dijadkan sebagai satu-satunya alat pemersatu Bangsa ini.
Sudah tidak
menjadi hal yang asing lagi, pemberitaan yang disiarkan oleh beberapa stasiun
televisi maupun media masa lainnya sering mengetengahkan berita mengenai
kerusuhan. Kerusuhan tersebut melibatkan mahasiswa, warga, hingga kerusuhan
antar suku di Indonesia. Hal tersebut sangat memprihatinkan. Bagaimanapun, pada
dasarnya penduduk Indonesia itu majemuk, seharusnya kita bisa mengatasi
persoalan yang dapat mengakibatkan hancurnya tali persaudaraan antarsuku dan
umat beragama.
Beberapa
kejadian seperti konflik antaretnis dan agama
besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan
Singkawang (2010) merupakan tragedi yang seharusnya kita jadikan menjadi
sebuah pelajaran mengenai toleransi. Dalam hal ini peran pendidikan seharusnya mampu
mengajarkan dan memberikan contoh tentang keragaman dan toleransi. Oleh
karenanya diperlukan pendidik dalam melakukan yang terbaik
untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis
dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.
Suatu perbedaan dalam lingkup sosial bisa menimbuan masalah
kesenjangan sosial yang jika tidak dicari solusinya akan menimbulkan
permasalahan yang lebih besar dan akan terus terulang. Di kalangan anak sekolah
tawuran sudah menjadi tren atau kebanggaan bagi sebagian siswa tersebut. Hal
tersebut dikarenakan lembaga pendidikan di negri kita ini belum bisa menunjukan
pendidikan yang baik bagi setip siswanya. Di sisi lain perbedaan
agama dan fanatisme, menjadikan suatu golongan saling bertikai. Tragedi Poso
yang selalu teringat di benak kita pada tahun 2000 yang mana ratusan yawa umat
islam tak berdosa dibantai bagaikan pohon pisang oleh kaum salibis dikarenakan
fanatisme agama semata.
Semua kejadian tersebut sudah cukup kiranya dijadikan sejarah
kelam perbedaan dan fanatisme di negri ini. Dan sudah cukup rasanya pemahaman
Bhineka tunggal ika sebagai semboyan tentang pentingnya
toleransi dalam kehidupan berbangsa dan beragama ini. Untuk mewujudkan toleransi dan kerukunan beragama, sebagaimana dikatakan
Prof. Chaedar bahwa seharusnya kita mulai pendidikan mengenai toleransi dimulai
dari awal usia sekolah. Berbagai penelitian
telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi
dengan rekan-rekan mereka. Melalui hubungan dalam konteks sekolah ini akan
menjadikan siswa saling menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan
terhadap satu sama lain walaupun dengan background suku dan agama yang berbeda. Konsep
interaksi dengan rekan sebaya (peer interaction) adalah komponen penting dalam
teori pembangunan sosial (Rubin, 2009). Dengan mengedepankan interaksi ini
(peer interaction), diharapkan akan tumbuh rasa saling menghormati dan
menghargai perbadaan yang ada di lingkungan social. Indicator berhasilnya
komunikasi ini adalah siswa mampu mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan
ide dan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidak
sepakatan, mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dengan kata lain, siswa
akan belajar kemampuan menjaga hubungan baik antar sesama kawannya.
Prlu kita ketahui
mengenai pentingnya menanamkan sikap tolesansi pada awal usia sekolah yaitu
karena Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa hampir sepanjang hari. Melalui hal tersebut
guru memberikan arahan bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman
sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai
bagi pengaplikasian pendidikan kewarga negaraan. Selain itu, Bentuk interaksi
sebaya yang dilakukan dalam ruang lingkup kelas seperti tugas kelompok dan
berdebat dengan hormat. Interaksi ini mesti rutin dilakukan. Sehingga meskipun
menghasilkan kegaduhan, kegaduhan ini
adalah bukti bahwa interaksi mereka berjalan dengan komunikatif. Lingkungan
sekolah mesti menjadi laboratorium sosial.
Peran pendidik dan pendidikan harus menjadi penopang
unguk terciptanya hubungan social yang damai. Pendidik yang ideal, yaitu
mempunyai latar belakang etnis, agama, dan social yang berbeda. Metode
pengajaran dalam semua mata pelajaran harus menciptakan diskusi yang efektif
agar mereka saling bertukar pendapat dan mengenal satu sama lain. Untuk
persoalan seperti ini juga penerapan pendidikan liberal secara maksimal dengan
tujuan untuk membebaskan siswa dari sikap ketidaktahuan terhadap orang lain
disekelilingnya. Pada dasarnya menjadikan manusia yang insan kamil.
Masalah social menjadi PR yang tak kunjung rampung,
moral anak negeri menjadi tercoreng akibat aksi yang dilakukan orang-orang yang
tidak memiliki sisi kemanusiaan. Seakan-akan bangsa ini terus dirundung
persoalan yang pelik dan menyedihkan. Status bangsa merosot dengan adanya
tindakan tidakan yang tidak patut ditiru, seperti insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling bertukar
kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di
seluruh negeri. Semua perbuatan orang dewasa ini akan
berimbas pada hal-hal yang kecil khususnya pada anak-anak. Anak-anak menjadi
perhatian pendidik untuk menyelamatkan mereka dari jerat kejahatan social.
Manusia pemeran utama untuk menjadi insan kamil,
maka segala sesuatunya harus merujuk dari tingkatan yang paling bawah. Artinya
bahwa untuk menjadikan insan kamil di sini, manusia harus di didik sejak
anak-anak. Pendidikan pada masa kanak-kanak akan memberikan pengaruh yang
sangat esensial, karena masa kanak-kanak adalah masa diman anak memebutuhkan
pengetahuan yang baru atau pengalaman baru. Pendidikan adalah proses peradaban
dan pemberadaban manusia. Pendidikan adalah aktivasi semua potensi dasar
manusia melalui interaksi anatara manusia dewasa dengan yang belum
dewasa (Sudarmawan Danim, 2010).
Pendidikan formal menjadi bahan tinjauan berdasarkan
artikel/wacana yang dipaparkan oleh pak Chaedar. Pendidikan formal mencakup
komponen seperti gedung sekolah (kelas), guru dan siswa. Semua
komponen akan berpengaruh terhadap keberlangsungan belajar dan
mengajar. Dalam konteks seperti ini bahwa anak didik memegang peran
penting dalam membentuk manusia yang peduli terhadap social. Anak didik
merupakan salah satu subjek atau pelaku yang diberikan bimbingan. Lebih
tepatnya anak-anak menunut ilmu, mendapatkan pembelajaran dari sosok seorang
pemimpin yaitu guru.
Keberlangsungan pembelajaran peserta didik tidak akan
terlepas dari kegiatan social didalam kelas atau sekitar lingkungan sekolah.
Peserta didik akan saling berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya. Antar siswa akan saling mengenal satu sama lain, sekolah
adalah tempat yang paling cocok untuk belajar bersosialisasi. System social
disekolah yang terbentuk seperti perangkat tata tertib atau peraturan sekolah
menjadi system nilai yang mengendalikan dan mengikat perilaku anak, yang
menuntut anak tunduk dan mematuhinya (Syaiful Bahri D, 2000).
System social juga sangat mendukung untuk
mendidik anak disiplin terhadap peraturan. Disamping itu didukung dengan
kegiatan social di dalam kelas, misalnya melakukan diskusi untuk menyelesaikan
soal matematika. Saya menyetujui metode diskusi menjadi satu rujukkan untuk
menciptkan kerukunan. Dengan seperti itu, maka akan terbangun kerja sama yang
baik untuk memecahkan persoalan. Sebaiknya metode diskusi diterapkan dalam
semua mata pelajaran. Agar mereka tau bahwa untuk memecahkan persoalan tidak
hanya dilakukan sendiri, tetapi juga membutuhkan orang lain. Selain itu juga
akan tumbuh rasa saling menghargai, menghormati, dan kesatuan.
Stratifikasi social menjadi sorotan untuk
mempertimbangkan kembali apakah benar anak-anak bisa dijadikan pemula dalam
menjaga kerukunan. Menurut Oemar Hamalik (2007) sikap seorang anak terhadap
anggota kelompok lainnya dipengaruhi oleh kelompoknya; anak yang berbeda ras,
kebangsaan, dan latar belakang social akan saling menyukai apabila bermain
bersama dalam situasi yang sama; kebanyakan anak memilih temannya dari kelas
sosioekonomi yang sama. Jadi memang anak-anak pada dasarnya bisa
dibilang seperti layangan harus butuh sosok seorang penarik atau guru. Ada
saatnya mereka harus ditarik untuk diberi pengajaran tentang toleransi. Ada
saatnya juga dilepas karena tidak mungkin harus dipaksa, mereka juga mempunyai
pilihan.
Akan tetapi guru juga berperan sebagai kunci pribadi,
seorang guru harus bisa menunjukan pribadi yang baik. Siswa akan lebih segan
ketika diatur oleh gurunya, siswa tidak akan mengelak apa yang diperintahkan
oleh gurunya. Guru sangat memegang peran penting dalam interaksi social. akan
lebih tepatnya seorang guru harus bisa menciptakan kedaan susuana dikelas
menjadi hangat, demokratis, serta menghargai pendapat siswanya. Sikap saling
menghargai tak mungkin tumbuh pada anak-anak apabila guru sendiri tidak
menunjukan sikap menghargai terhadap individu para siswanya (Oemar Hamalik,
2007). Tidak hanya interaksi sesama teman bahwa interaksi seorang guru juga
sangat berpengaruh.
Seiring dengan berjalanya waktu, maka karakter anak
akan mudah terbentuk. Asalkan harus selalu dibawah pengawasan seorang guru.
Selain itu maka jenis penerapan pendidikan harus menunjang, karena pendidikan
yang lebih utama. Bagaimana siswa akan mendapatkan pembelajaran dari guru.
Untuk menciptakan kerukunan beragama, serta tetap mempertahankan konsep
pendidikan liberal. Selain pendidikan tentang toleransi yang tercantum dalam
mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Sebenarnya pendidikan agama bukan
tidak memikirkan aspek social tetapi mata pelajaran agama memang pada dasarnya
untuk membekali siswa menjadi umat muslim yang beragama, mengenal agama yang
dianut secara mendalam, serta mendidik anak berakhlak mulia. Oleh karena itu,
tidak ada salahnya mencapai kerukunan umat beragama siswa harus didik melalui
pendidikan agama.
Maju atau mundurnya suatu bangsa sebagian besar
ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan negara itu. Pengajaran agama
berkaitan dengan proses pendidikan dalam lembaga pendidikan formal dan
non-formal. Pengajaran agama dengan jelas telah diatur di dalam undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 12 ayat (1a) dengan
jelas menyebutkan bahwa pengajaran agama (di dalam undang-undang tersebut
disebutkan pendidikan agama) harus diberikan disemua satuan pendidikan baik
formal maupun non-formal. Bahkan di dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah-sekolah asing harus memberikan pelajaran agama dari pengajar yang
seagama dengan peserta-didik.
Di era saat ini memang yang dibutuhkan adalah pendidikan
agama dibarengi dengan multikultural. Mengingat memang bangsa Indonesia terdiri
dari ras, budaya, dan agama yang bervariasi atau multikulturalisme. Seharusnya
pendidikan agama berdampingan dengan itu, seperti yang dikatakan pak Chaedar
saya setuju, akibat perkembangan zaman seharusnya pendidikan liberal mencakup
agama, etnis, dan budaya. Sebenarnya yang diharapkan adalah siswa menjadi siswa
yang faham akan pengetahuan ilmiah untuk bisa berfikir kritis, tetapi mereka
juga tidak terlepas dari pendidikan keagamaannya.
Sejatinya pedidikan agama juga harus berdampingan
pendidikan liberal, karena pendidikan ini yang sesuai dengan status dengan
Negara demokratis. Dengan seiringan perkembangan zaman dibutuhkan
manusia-manusia yang mempunyai wawsan luas, berpikir keritis, tetapi tetap
mempertahankan metode diskusi. Karena ini bukan lagi zaman yang mengandalkan
segala sesuatunya dengan cara tradisional. Semua harus berjalan sesuai dengan
fakta, dan semua harus seimbang dengan tantangan zaman yang ada. Jika seperti
itu, konsep rekayasa lierasi yang pernah pak Chaedar bahas di bab sebelumnya
akan saling terkait atau tidak? yang mengaitkan empat dimensi itu. Hanya satu
dimensi saja yang menurut saya tepat dengan wacana ini yaitu dimensi
sosiokultural. dimensi yang berfokus pada kelompok. Dimensi ini bisa diterapkan
dalam metode pengajaran disekolah.
Akan tetapi tidak hanya berporos pada pendidikan
liberal saja, sebenarnya pendidikan kewarganegaraan juga merupakan satu hal
penting untuk memupuk toleransi. Karena tujuan dari pendidikan kewarganegaraan,
agar setiap individu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti
luhur, memiliki sikap disiplin terhadap berangsa dan bernegara, membela negara
dan bermasyarakat yang baik. Tentu sikap bertoleransi ini sudah menyatu
didalamnya, sesuai dengan point-point penting dasar Negara yaitu “Pancasila”.
Disamping itu semboyan Indonesia masih berdiri yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
Kata-kata pancasila dan bhineka tunggal ika sudah
terlalu sering diungkap, untuk meningkatakan rasa persatuan dan kesatuan maka
selaulu merujuk pada kata-kata itu. Kata perdamaian atau kemerdekaan sepertinya
belum usai. Melihat fenomena permasalahan yang ada sama sekali tidak menjamin
dan tidak sesuai fakta. Haruskah kembali ke masa reformasi? Sosok demokratis
bangsa Indonesia yang mengusung tema kebebasan, sejatinya tidak bisa dikatakan
lagi seperti itu. Kebebasan seakan-akan dianggap sebagai sesuatu yang sesat
melakukan aksi yang semaunya tanpa melirik aturan hukum yang ada.
Sebenarnya semua landasan untuk menjaga toleransi
sudah tersedia. Penerapan pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan
pancasila. faktanya status kerukunan beragama masih menimbulkan permasalahan.
Perlunya pembenahan diri yang berfokus pada pendidikan kah? Atau kebijakan lain
lain untuk menyelaraskan perbedaan. Sepertinya kita harus menengok Negara lain
yang memiliki kerukunan dalam beragama. Berdasarkan laporan dari PostNews-
Salah satu gambaran toleransi umat beragama adalah Negara jerman, dimana salah
stau sekolah dasar di Osanbruck para siswanya terdiri dari latar
belakang agama yang berbeda yaitu islam, yahudi, dan katolik. Tujuannya adalah
untuk menanamkan toleransi beragama sejak dini. Disana para murid diperkenlakan
hari raya keagamaan masing-masing dan mereka diajarkan untuk saling
bertoleransi dengan berbeda agama. Selai itu juga didnding kelas mereka di
temple dengan tiga lambang keagamaan.
Ternyata di Indonesia juga ada kegiatan toleransi
beragama, seperti yang dilaporkan oleh REPUBLIKA.CO.ID- salah satu unviersitas
katolik Jakarta yati Unika Atma Jaya Jakarta menanamkan toleransi beragama.
Ternyata mahasiswa disana tidak hanya umat katolik, tetapi orang islam pun
ada. Pihak Unika Atma Jaya sudah memfasilitasi ruangan untu sholat
dan selian itu juga memfasilitasi mukena dan sarung. Selain itu juga
tidak ada peraturan yang mengikat, misalnya ketika jadwal kuliah bertepatan
dengan hari jum’at bagi umat muslim, mereka dipebolehkan untuk sholat jum’at.
Ini menjad cerminan untuk kedepannya.
Berdasarkan paparan pak Chaedar sekolah seharusnya
menyediakan tempat ibadah agama lain selain mesjid. Mengingat mayoritas bangsa
Indonesia adalah beragama islam, maka tempat yang disediakan adalah mesjid.
Seharusnya tempat ibadah juga menjadi salah satu hal yang penting. Memang benar
menurut Chaedar salah satu cara untuk memupuk toleransi adalah dengan
tersedianya tempat ibadah, sesuai dengan latar belakang agama yang di anut
dalam suatu lembaga tersebut. Akan tetapi mereka tidak terlepas dari pengajaran
yang sudah dipaparkan diatas bahwa siswa
harus diberikan bekal pendidikan agama, kewarganegaraan yang efektif. Namun
terkadang tanpa disadari kita sosok umat muslim dewasa atau guru terlalu sering
membahas sisi negatif tentang paham agama lain, sebenarnya hal seperti itu
tidak mesti di ungkap karena secara tidak langsung anak didik akan berpikir
bahwa agama lain itu adalah musuh. Padahal dalam masalah ini kita tidak perlu
mempermasalahkan hal tersebut, kita sebagai umat islam harus kembali ke konsep
“ lakum dinukum walyadin” untuk mencapai toleransi beragama.
Dalam mencapai kerukunan beragama maka salah satu
sasarannya adalah siswa. Siswa harus didik dari sedini mungkin diberikan
pendidikan yang memadai. Yang paling utama adalah pendidikan
karakter siswa agar memiliki akhlak mulia melalui pengajaran agama. Pendidikan
agama menurut saya yang paling utama dari pendidikan lainnya. Membekali siswa
untuk tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang mereka anut masing-masing.
Sehingga ketika diperkenalkan dengan agama yang berbeda mereka tidak akan
tergoyahkan, dan akan mengetahui satu sama lain.
Selain itu tidak terlepas dari pendidikan umum seperti
pendidikan kewarganegaraan yang memperkenalkan mereka arti persatuan dan
kesatuan. Tentunya akan berkaitan dengan toleransi, yaitu saling menghargai dan
menghormati satu sama lain, meskipun dari latar belakang agama, budaya yang
berbeda. Siswa harus diajarakan untuk tidak mendiskriminasi dalam hal memilih
teman. Tak lepas dari itu bahwa pendidikan umum harus berdampingan dengan
pendidikan liberal. Metode pengajaran pun harus dikembangkan kembali, terutama
membiasakan metode diskusi dalam setiap mata pelajaran.
Dari semua pembahasan tersirat sebuah kesimpulan bahwa
untuk mencapai kedamayan di negara yang memiliki bermacam-macam perbedaan ini, kita
harus dimulai dari saling toleransi satu samalain. Dimna sikap toleransi
tersebut dipupuk melalui pendidikan liberal yang tidak melupakan aspek ilmu
agama. Karena pada dasarnya kesenjangan sosial terjadi dikarenakan kurangnya
komunikas yang menjadikan semua golongan bersatu. Kebanyakan diantara kita
lebih mengedepankan perbedaan yang mungkin sulit untuk disatukan. Padahal jika
kita melihat kearah tujuan mungkin kita tidak akan lagi terjadi konflik yang
mengakibatkan pertumpahan darah.
Referensi:
Pokoknya Rekayasa Literasi (Chaedar Al-Wasilah: 2012).
Danim, Sudarmawan. 2010. Pengantar
Kependidikan. Bandung: Alfabeta Bandung
Hamalik, Oemar. 2007. Psikologi
Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo


Subscribe to:
Post Comments (Atom)