Thursday, February 27, 2014

Pendidikan Jiwa dan Raga Untuk Negeri



Critical Revie 1:


Pendidikan Jiwa dan Raga Untuk Negeri
Seiring berkembangnya zaman, banyak perubahan yang terjadi.  Dalam pendidikan perubahan tersebut ditunjukan oleh perubahan karakteristik peserta didiknya.  Oleh karena itu kebutuhannyapun berbeda.  Tidak hanya cerdas namun siswa juga wajib mempunyai karakter yang baik terutama dalam akhlaknya.  Kenyataan bahwa anak remaja saat ini lebih senang berkumpul dengan teman sebayanya dan menceritakan apa yang terjadi bukan kepada orang tuanya tapi kepada teman-temannya.   Ini menunjukan menurunnya kepercayaan anak kepada orang tuanya juga kurangnya rasa hormat anak kepada orang yang lebih tua.

Tugas seorang pendidik kini jauh lebih berat.  Karena masalah yang dihadapi bukan hanya mencerdaskan peserta didiknya namun lebih dari itu, mereka juga harus mampu membangun karakter yang baik untuk semua muridnya.  Pendidikan berawal dari karakter, jika jiwanya mendapatkan pendidikan yang baik maka raganyapun akan baik pula.  Akan sangat disayangkan jika seseorang hanya mampu cerdas secara fisik namun tidak memilliki akhlak baik.  Hal ini pula yang akan menentukan perkembangan pengetahuan dan spiritualnya.
Prof. Dr. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya yang berjuduln “Classroom Discourse to Foster Religious harmony” menyebutkan masalah sosial yang sering seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda.
Ini adalah dampak dari sebuah globalisasi.  Zaman sekarang siswa dapat dengan mudah mencari ilmu pengetahuan di internet.  Tidak hanya itu, dengan maraknya perkembangan jejaring sosial seperti facebook, twiter dan yang lainnya, membuat para siswa dapat dengan mudah mencari dan menemukan teman baru dari dunia maya.  Oleh sebab itu, mereka lebih senang menghabiskan waktunya dengan teman-temannya dibandingakan dengan orang tuanya.  Data dari technisia.com, salah satu situs yang mencatat berbagai perkembangan teknologi di asia menunjukan bahwa hampir 98% orang di Indonesia menggunakan secial network dengan penyumbang user terbanyak dari pengguna telefon genggam.




Hal tersebut merupakan sebuah tantangan bagi pendidik untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik dan berkarakter.  Untuk mewujudkannya dibutuhkan kerukunan beragama disekolah sedini mungkin.  Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka.  Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan ini di mana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain.
Program sekolah harus mampu mengatur kegiatan multi kultural.  Melalui classroom discourse, siswa diharapkan mampu mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat.  Dengan cara ini mereka yang berasal dari latar belakang etnis, budaya, agama dan sosial yang berbeda dapat bekerjasama satu sama lain dan saling berinteraksi.
Peran guru dalam interaksi siswa menjadi sangat penting.  Berisik bukan selalu berarti negatif, justru menunjukan menjadi bukti interaksi interaktif dan mencerahkan.  Classroom discourse dapat diwujudkan melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat dan mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.  Dengan begitu, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provokasi terhadap orang lain.
Classroom discourse sebagai sarana mendidik jiwa dan raga.  Melalui classroom discourse siswa akan belajar lebih mudah karena bisa bertukar pikiran dengan teman kelompoknya, juga berkarakter memahami hubungan yang baik dengan teman-temannya.  Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan siswa juga berbeda dalam setiap periodenya.   Jika kita melihat dari kurikulum yang telah ada sejak tahun 1947-2013, akan terlihat perubahan fokus permasalahannya. Dikutip dari edukasi.kompasiana.com dan dikti.go.id  perkembangan kurikulum hingga kurikulum 2013 menunjukan perubahan sebagai berikut:
Kurikulum  1947 atau disebut rentjana pelajaran 1947
Fokus Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pendidikan pikiran, melainkan hanya pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.  Materi pelajaran di hubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini merupakan penyempurnaan kurikulum sebelumnya, merinci setiap mata pelajaran sehingga dinamakan Rentjana Pelajaran Terurai 1952.  Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri dari kurikulum 1952 ini, yang setiap pelajaran dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964.
Pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pada 1964, pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani .
Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

Kurikulum 1975
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).  Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.  Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.

Kurikulum 1984
Kurikulum ini mengusung pendekatan proses keahlian, meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting.  Model ini disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif ).

Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya memadukan kurikulum kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984.  Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)

Tahun 2004 – Kurikulum Berbasis Kompetensi
KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan.  Kompetensi dimaknai sebagai perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan bertindak.

Tahun 2006 – Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Berpusat pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya. Pengembangan kurikulum didasarkan atas prinsip bahwa peserta didik adalah sentral proses pendidikan agar menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, serta warga negara yang demokratis sehingga perlu disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan lingkungan peserta didik.

Kurikulum 2013
Kuriulum baru yang akan diterapkan pada tahun 2013 tahun ajaran baru. Pada Kurikulum 2013 ini, terdapat sembilan sistem penilaian, yaitu penilaian diri, ulangan harian, ujian tengah semester, ujian sekolah, ujian nasional, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, penilaian proyek dan penilaian autentik. 
Dapat dilihat dari kurikulum yang digunakan, dari tahun ke tahun permasalah yang dihadapinya berbeda, dalam perkembangannya kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembentukan karakter pada aspek pengetahuan spiritual.  Dalam kurikulum 2013 ada empat kompetensi inti ,yaitu:
1.      Kompetensi Inti Sikap Spiritual
2.      Kmpetensi Inti Sikap Sosial
3.      Kmpetensi Inti pengetahuan
4.      Kmpetensi Inti Keterampilan
Yang melatar belakangi kurikkulum 2013 adalah kekhawatiran pemerintah akan generasi mudanya.  Pada abad ke-21 ini kita dituntut untuk high literate, high numerate namun perkembangan penyakit sosialpun semakin ganas.  Anak remaja lebih senang dan hormat pada teman sebayanya, kurang penghormatan pada orang yang lebih tua.  Dalam hal ini peran guru yang berdedikasi secara optimal sangat dibutuhkan.  Kompetensi Inti Spiritual akan mempenguhi hubungan siswa, perlu juga ditanamkan paham toleransi beragama.
Pentingnya kerukunan umat beragama.  Kita harus sadar bahwa hubungan yang baik dapat mempengaruhi keberhasilan siswa.  Kita dapat berkaca pada konflik yang terjadi antar umat beragama yang terjadi di Indonesia.  Menurut data penelitian dari sebuah yayasan wakaf PARAMADINA bekerja sama dengan MPRK-uGM dan Asia Foundation, menemukan bahwa banyak sekali konflik umat beragama di Indonesia sejak tahun 1990-2008.  Tercatat sebanyak 832 kasus konlik beragama di Indonesia.  Dari 547 insiden aksi damai, 79% (433) insiden berupa aksi massa, sedangkan 21% (144) sisanya berupa aksi non-massa. mayoritas (85%) aksi massa berupa aksi demonstrasi, longmarch, pawai atau tablig akbar, disusul bentuk delegasi/pengaduan sebesar 13%.  Sementara itu, 3% sisanya mengambil bentuk aksi mogok/boikot dan pertunjukan seni/budaya.  Berkenaan dengan aksi kekerasan, bila dilihat dari subjenisnya, jenis aksi penyerangan merupakan insiden kekerasan yang tertinggi, disusul oleh bentrokan dan kerusuhan/amuk massa.  Dari 285 insiden kekerasan terkait isu keagamaan yang dilaporkan oleh Kompas dan Antara selama periode Januari 1990 hingga Agustus 2008, 77% di antaranya berupa penyerangan.  Sedangkan 18% insiden kekerasan berupa bentrokan, dan sisanya, 5%, berupa kerusuhan atau amuk massa.  
Hal ini menunjukkan bahwa subjenis kekerasan berupa penyerangan hak milik orang/kelompok orang terkait isu keagamaan merupakan insiden tertinggi, dengan 111 kasus dari total 285 insiden kekerasan keagamaan.  Posisi tertinggi kedua ditempati aksi penyerangan orang/kelompok orang terkait isu keagamaan, dengan 82 kasus, dan selanjutnya oleh bentrok antarkelompok warga, sebanyak 41 kasus.  Subjenis-subjenis kekerasan lainnya hanya mencatat tingkat di bawah 15 kasus.
Dilihat dari segi periode, insiden kerusuhan/amuk massa, yang berdampak pada korban jiwa maupun kerusakan pada properti milik kelompok keagamaan, terjadi hanya pada dua periode rentang waktu selama kurun 19 tahun terakhir.  Pertama, 10 insiden kerusuhan/amuk massa pada periode 1995-1998 yang menandai periode akhir rezim Orde Baru hingga memasuki masa transisi menuju demokrasi.  Kedua, 4 insiden kerusuhan/amuk massa pada periode 2005-2006 dalam masa pemerintahan demokrasi di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Sementara itu, insiden kekerasan berupa bentrokan juga tampak terbatas pada beberapa periode tertentu, kendati dengan intensitas yang lebih tinggi.  Puncak insiden bentrokan terjadi pada tahun 1999 dengan 21 insiden, kemudian agak menurun di tahun berikutnya dengan 17 insiden.  Tercatat hanya ada 2 (dua) insiden bentrokan pada periode akhir rezim Orde Baru, sedangkan periode pemerintahan demokratis Susilo Bambang Yudhoyono justru mencatat 6 (enam) insiden bentrokan selama 2005-2007.
Oleh karena itu akan sangat diperlukan menanamkan pendidikan yang bersifat multikultural.  Mengingat Indonesia adalah negara multikultural terbesar di dunia.  Dapat dilihat melalui kondisi geografisnya yang luas dan beragam, ada sekitar 300 suku yang menggunakan 200 ragam bahasa yang berbeda.  Ada sekitar 99,4% penduduknya menganut lima agama besar di dunia.  Islam 86,9%, Protestan 6,5%, khatolik 3,5%, Hindu 1%, Budha 0,6%. (Kumanto S.,2004). 
Classroom discourse mengajarkan untuk saling membantu dalam memahami pelajaran. Metode ini sangat efektif, tidak hanya untuk tujuan akademik namun juga berfungsi sebagai pendidikan kultural yang dapat menumbuhkan sikap toleransi umat beragama.  Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur).  Secara lebih singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman budaya. Contohnya, jika seorang guru memberikan tugas berkelompok maka disana akanterjadi interaksi teman sebaya dalam mengerjakan tugas tersebut.  Perbedaan pemikiran dari berbagai latar belakang etnik, agama dan sosial akan saling bersatu dan memunculkan sebuah keakraban.  Berikut ini perbandingan sistem multi kultural negara-negara di dunia.
Pendidikan Multikultural di Amerika Serikat
Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih, sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636.  Baru tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku Indian.  Tujuan pendidikannya adalah proses Amerikanisasi.  Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan keturunan (Smith, 1987).  Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan identifikasi ini.  Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.
Berkaitan dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey.  Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
 C.    Pendidikan Multikultural di Australia
Paham multikulturalisme di Australia berkaitan erat dengan perkembangan politik, terutama Partai Buruh.  Pelaksanaan Pendidikan Multikultural dapat dibedakan tiga fase perkembangan yaitu dari politik pasif ke arah asimilasi aktif (1945-1972), pendidikan untuk kaum migran bersifat pasif.  Artinya anak kaum imigran menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang ada.  Karena ada kesulitan dalam penggunaan bahasa Inggris bagi anak imigran diberikanlah bantuan laboratorium bahasa.  Hingga tahun 1970-an kurikulum masih terpusat hingga menyulitkan di dalam menyesuaikan dengan kebutuhan multietnis Australia.  Kedua, dari pendidikan imigran ke Pendidikan Multikultural (1972-1986) semua propinsi diAustralia telah mengadopsi kebijakan Pendidikan Multikultural.  Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: “ Di dalam masyarakat multi budaya, masing-masing orang memiliki hak atas integritas budaya; memiliki citra diri yang positif (a positif self image), dan untuk pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan.  Masing-masing orang tidak hanya harus menyatakan perasaan yang positif terhadap warisan budayanya sendiri tetapi juga harus mengalami seperti perasaan terhadap warisan budaya orang lain.”  Tujuan Pendidikan Multikultural adalah :
  1. Pengertian dan menghargai bahwa Australia pada hakekatnya adalah masyarakat multibudaya di dalam sejarah, baik sebelum maupun sesudah kolonisasi bangsa Eropa.
  2. Menemukan kesadaran dan kontribusi dari berbagai latar kebudayaan untuk membangun Australia.
  3. Pengertian antar budaya melalui kajian-kajian tentang tingkah laku, kepercayaan, nilai-nilai yang berkaitan dengan multikulturalisme.
  4. Tingkah laku yang memperkuat keselarasan antaretnis.
  5. Memperluas kesadaran akan penerimaannya sebagai seseorang yang mempunyai identitas nasional Australia tetapi juga akan identitas yang spesifik di dalam masyarakat multi budaya Australia.
 D.    Pendidikan Multikultural di Inggris
Pendidikan Multikultural berkembang sejalan dengan banyaknya kaum imigran yang memasuki Inggris, namun masih terdapat perlakuan yang diskriminatif sehingga memunculkan berbagai gerakan yang berlatar belakang budaya.  Gerakan ini merupakan gerakan politik yang didukung pandangan liberal, demokrasi dan gerakan kesetaraan manusia.  Hal ini tidak lepas dari pemikiran kelompok progresif di Universitas Birmingham yang melahirkan studi budaya (cultural studies) pada tahun 1964 yang mengetengahkan pemikiran progresif kaum terpinggirkan yang didukung oleh Kaum Buruh (Labor party).  Pendidikan Multikultural terjadi karena dorongan dari bawah, yaitu kelompok liberal (orang putih) bersama dengan kelompok kulit berwarna.  Hal ini diperkuat oleh politik imigrasi melalui undang-undang Commonwealth Immigrant Act tahun 1962 yang mengubah status kelompok kulit berwarna dari kelompok imigran menjadi “shelter” (penghuni tetap).
Pada tahun 1988 diundangkan Education Reform Act (ERA) yang mengandung dua arti, yaitu paham neoliberalisme yang percaya pada kekuatan pasar, dan neokonservatisme yang memberi kekuatan besar pada kontrol pusat.  Paham neoliberalisme memberi kekuasaan yang lebih besar pada masing-masing sekolah untuk mengurus dirinya sendiri demikian juga kepada pemerintah lokal.  Pandangan neokonservatisme mempertahankan kurikulum yang terpusat dan mempertahankan pendidikan agama yang bersifat Kristiani.  Namun pelaksanaan kebijakan ini memungkinkan terjadinya diskriminasi.  Penyerahan pendidikan pada kekuatan pasar berarti memperkecil kesempatan bagi kelompok kulit berwarna untuk mendapat pendidikan yang layak. Kelompok kulit berwarna tidak kompetitif dengan budaya dominan yang menguasai sumber pendidikan.  Demikian juga dalam penulisan sejarah Inggris raya yang kurang menguntungkan kelompok minoritas.
 E.     Pendidikan Multikultural di Kanada
Pendidikan Multikultural di Kanada berbeda dengan negara tetangganya AS karena perbedaan sejarah dan komposisi penduduknya.  Etnis terbesar dari Perancis dan Inggris selanjutnya dari etnis lain seperti Jerman, Cina, Italia, penduduk asli Indian, Asia Selatan, Ukraina serta etnis lain.
Berbeda dengan AS yang menerapkan politik asimilasi, Pemerintah Liberal Kanada menerapkan politik multi kulturalisme (1971) yang memberlakukan status yang sama untuk bahasa Perancis dan Inggris sebagai bahasa resmi.  Pada tahun 1972 didirikanlah Direktorat Multikultural di dalam lingkungan Departemen Luar Negeri untuk memajukan cita-cita multikultural, integrasi social, dan hubungan positif antarras. Upaya tersebut melahirkan Canadian Multiculturalism act (1988) yang isinya antara lain :
  1. Alokasi dana untuk memajukan hubungan harmonis antarras
  2. Memperluas saling pengertian kebudayaan yang berbeda
  3. Memelihara budaya dan bahasa asli
  4. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
  5. Pengembangan kebijakan multikultural di semua kantor pemerintah federal.
            Sejak 1993, beberapa dewan pendidikan seperti Vancouver School Board melaksanakan penataran guru-guru untuk Pendidikan Multikultural, mendirikan komite penasehat untuk hubungan rasial, serta melembagakan hubungan rasial di distrik sekolah.
Secara terinci Magsino (1985) mengidentifikasi 6 jenis model Pendidikan Multikultural:
  1. Pendidikan “emergent society”. Model ini merupakan suatu upaya rekonstruksi dari keanekaan budaya yang diarahkan kepada terbentuknya budaya nasional.
  2. Pendidikan kelompok budaya yang berbeda. Model ini merupakan suatu pendidikan khusus pada anak dari kelompok budaya yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan kesempatan yang sama dengan mengurangi perbedaan antara sekolah dan keluarga, atau antara kebudayaan yang dikenalnya di rumah dengan kebudayaan di sekolah. Model ini bertujuan membantu anak untuk menguasai bahasa resmi serta norma dominan dalam masyarakat.
  3. Pendidikan untuk memperdalam saling pengertian budaya. Model ini bertujuan untuk memupuk sikap menerima dan apresiasi terhadap kebudayaan kelompok yang berbeda. Model ini merupakan pendekatan liberal pluralis yang melihat perbedaan budaya sebagai hal yang berharga dalam masyarakat. Di dalam kaitan ini Pendidikan Multikultural diarahkan kepada memperkuat keadilan sosial dengan menentang berbagai jenis diskriminasi dan etnosentrisme.
  4. Pendidikan akomodasi kebudayaan. Tujuan model ini adalah mempertegas adanya kesamaan dari kelompok yang bermacam-macam. Mengakui adanya partikularisme dengan tetap mempertahankan kurikulum dominan.
  5. Pendidikan “accomodation and reservation” yang berusaha untuk memelihara nilai-nilai kebudayaan dan identitas kelompok yang terancam kepunahan.
  6. Pendidikan Multikultural yang bertujuan untuk adaptasi serta pendidikan untuk memelihara kompetensi bikultural. Model ini mengatasi pendekatan kelompok spesifik, identifikasi dan mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi secara cross-cultural dengan mendapatkan pengetahuan tentang bahasa atau kebudayaan yang lain. (Tilaar, 2004).
Namun dalam prakteknya, tidak dibuktikan dengan adanya tempat peribadatan yang lengkap di perguruan tinggi di Indonesia.  Alasannya khawatir bila tempat ibadah antar umat beragama yang berdekatan akan memunculkan konflik antar umat beragama.  Tapi kita harus melihat dari contoh yang telah ada.  Di Indonesia ada masjid Istiqlal sebagai masjid terbesardi Asia Tenggara dan bersampingan dengan geraja Katedral.  Gereja dan masjid yang hanya dipisahkan oleh Jalan Wijaya Kusuma ini hidup serasi berdampingan.  Contoh kecil toleransi keduanya yaitu saat umat muslim merayakan hari raya Idul Fitri, halaman parkir di Gereja Katedral sering kali dijadikan tempat parkir umat muslim yang ingin melakukan salat hari raya di Masjid Istiqlal.  Begitu pula sebaliknya, halaman parkir Masjid Istiqlal digunakan oleh kaum nasrani yang ingin melakukan ibadah di Gereja Katedral.
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah terletak di Jalan Gatot Subroto no 222, Solo.  Gereja dan masjid ini sudah berdiri sejak dulu dan tidak pernah ada konflik sedikitpun.  Masing-masing jemaah melaksanakan ibadahnya dengan khusyuk tanpa saling mengganggu satu sama lainnya.
Di Jalan Enggano No 52 Tanjung Priok, Jakarta Utara.  Masjid dan gereja berdampingan. Masjid Al-Muqarrabin persis berdempetan dengan Gereja Protestan Mahanaim.  Selama 55 tahun hubungan keduanya akrab dan tidak ada masalah.
Keindahan toleransi terpancar dari Skotlandia, Inggris.  Gereja Episkopal St John di Aberdeen yang kuno dan megah terletak bersebelahan dengan Syed Shah Mustafa Jame Masjid yang berukuran lebih mungil.  Saking kecilnya, masjid tersebut tak mampu menampung ratusan jemaah. Hingga luber ke jalanan.  Melihat kondisi tersebut, Gereja St John membuka pintunya lebar-lebar bagi umat muslim yang ingin menunaikan ibadah salat.  Lima kali dalam sehari dan terutama saat Salat Jumat.  Toleransi umat beragama memang sangat indah, dalam islampun mengajarakan untuk bertoleransi.
Namun kita juga harus melihat kemungkinan dibangun tempat peribadatan di kampus-kampus di Indonesia.  Meskipun secara fakta tempat peribadatan antar umat beragama yang berdekatan tidak menimbulkan konflik yang serius.  Tapi jangan lupakan kuantitas dari penganut agama tersebut.  Jika dalam suatu universitas hanya terdapat sedikit yang beragama Kristen atau Budha, haruskah pihak univerisitas membangun sebuah geraja dan vihara?  Siapa yang akan mengurusi tempat peribadatan tersebut?  Kemudian acara peribadatannyapun berbeda, yang mungkin saja justru mengganggu dalam kegiatan perkuliahan.
Jadi, pada intinya perubahan pendidikan harus dimulai dari unsur terkecil yaitu kelas, mengahadapi zaman yang serba canggih ini perubahan diperlukan jauh dari dalam diri kita.  Butuh seorang pendidik yang ikhlas untuk berdedikasi dalam pengajaran pembentukan karakter. Karena pendidikan berassal dari karakter di dalam jiwa.  Jika hatinya mendapatkan pendidikan yang baik maka raganyapun akan mendapatkan pendidikan yang baik pula. 
Mengingat banyak perubahan sosial yang terjadi, classroom discourse akan menjadi sangat bermanfaat dalam meningkatkan pendidikan.  Menjadikan siswa yang cerdas namun juga memiliki karakter yang baik.  Menanamkan pemahaman toleransi antar umat beragama, perbedaan kultural dan pendidikan yang liberal namun mempunyai hasil yang baik.

References:
1.Dikti.go.id

2.H.A Dardi Hasyim, Yudi Hartono. Pendidikan Multikultural di Sekolah. UPT penerbitan dan percetakan UNS. Surakarta. Hal: 28






8.Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008) Yayasan Wakaf Paramadina (YWP) Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM), The Asia Foundation (TAF)

9.http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/12/bangsa-ini-butuh-keteladanan-591975.html
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment