Thursday, February 27, 2014

Secuil Titik Hitam Pena Untuk Pak A. Chaedar


Critical Review:

Secuil Titik Hitam Pena Untuk Pak A. Chaedar
Modernisasi telah berkembang pesat. Begitupun dengan ilmu pengetahuan. Banyak Negara-negara  tetangga yang telah berhasil mendidik masyarakatnya menjadi lebih pandai dan cerdas. Maka dari itu masyrakat Indonesia memerlukan pengetahuan yang luas pada era modernisasi seperti ini, agar masyarakatnya mampuh bersaing dengan bangsa-bangsa lain di luar sana. Sebagai (maha)siswa  kita harus bisa  menjadi  generasi yang lebih baik. Generasi yang mempunyai pengetahuan  luas dan mampuh bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Tidak diharapkan  lagi terjadi kurusuhan-kerusuhan di Indonesia pada era seperti ini, dikarenakan sudah banyak konflik yang terjadi. Seperti kerusuhan yang berlatar belakang agama, etnis, golongan telah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pada tanggal 17 April 2000 silam. Dalam kerusuhan tersebut terjadi saling serang antara masyarakat Islam dan nasrani. Menurut data Polri kerusuhan tersebut telah memakan korban hingga 137 orang meninggal, 27 orang luka-luka, puluhan rumah rusak dan terbakar, 1 bus di bom, serta beberapa masjid dan gereja rusak dikarenakan dibakar dan dibom.

Selain itu terjadi pula kerusuhan etnis yang terjadi di daerah sempit palangkaraya, Kalimantan Tengah. Konflik etnis ini terjadi dikarenakan permusuhan antara dua suku, yakni Suku Dayak dan Suku Madura (pendatang). Kerusuhan yang pecah pada tanggal 18 Februari 2001 di jalan Karyabaru, serta di jalan Tidar Cilik Riwut (Km 1, Sempit) ini dipicu oleh serangan yang dilakukan oleh kelompok suku Madura terhadap suku dayak. Dalam peristiwa penyerangan itu telah menelan korban sebanyak 7 orang suku dayak dan 5 orang suku Madura meninggal dunia. Akibat dari penyerangan tersebut adalah terjadinya serangan balasan dari suku dayak kepada suku Madura yang menelan korban kembali sebanyak -+ 87 orang meninggal dunia (sebagian besar dari suku Madura).
Disamping itu telah banyak terjadi juga kerusuhan antar agama, seperti peristiwa pada tahun 1950 di Ambon. Pada saat itu anggota kelompok nonmuslim mengadakan pawai keliling untuk memperingati usaha merekamendirikan Negara Republik Maluku Selatan. Pawai itu kemudian bentrok dengan sekelompok pemuda islam, yang mengakibatkan saling lempar batu di tengah kota. Tembakan senjata api dan ledakan terdengar siang dan sore hari.  Sejumlah kantor perwakilan PBBpun hangus terbakar. Pada kerusuhan antar agama ini setidaknya telah menewaskan 10 orang dan 40 orang luka-luka. Sebagian besar korban tewas dikarenakan tembakan senjata api. Serta ada dua orang laki-laki  tewas  karena dibacok dengan pedang. Bahkan lebih dari 9.000 orang tewas di Maluku antara tahun 1991 dan 2001 ketika terjadi bentrokan antara kelompok islam dan non islam.
Hal ini adalah contoh kecil dari beberapa  kerusuhan yang terjadi di Indonesia. professor A. Chaedar Alwasilah tak henti-hentinya kembali mengkritisi hal-hal yang terjadi di Indonesia. Kali ini melalui wacananya yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Dalam wacana tersebut secara umum beliau membicarakan tentang ikhwal betapa pentingnya  pendidikan liberal, yang mana akan menjadi cikal-bakal untuk menumbuhkan generasi-generasi plural, yaitu generasi yang mampu toleran dalam kehidupan multikultural. Serta ketidak harmonisan yang terjadi antar umat beragama di indonesia saat ini. Seperti ketidak harmonisan yang disebabkan oleh  gagalnya lembaga pendidikan dalam menumbuhkan sikap toleransi, Yang mana Pendidikan seharusnya  memberikan kesempatan kepada (maha)siswa untuk menbantu berinteraksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis, dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Karena dalam hal ini pendidikan liberal mencakup  pengetahuan  etnis, agama, bahasa, adat-istiadat dan budaya.
Dalam konteks Indonesia,  pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka - politisi, insinyur, petani, atau pengusaha. siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah. Dengan demikian  dapat didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya, itu penempatan kamil insan, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis. Interaksi teman sebaya dalam kelas dapat mendukungan wacana sipil yang positif di kalangan siswa.
Salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan ketrampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyrakat dan warga dan warga Negara. Ketrampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Hal ini paling mendesak bahwa kami mempromosikan program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, hal seperti itu adalah hubungan ini di mana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Banyak masalah social yang terjadi seperti tawuran antar pelajar, antar desa, agama, maupun suku dan bentuk lain dari radikalisme yang terjadi  di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh indikasi dari penyakit social, yaitu semata-mata kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Konflik social dan ketidak harmonisan agama khususnya merupakan suatu tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi-generasi selanjutnya sebagai warga yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana yang telah diatur dalam UU Ssdiknas.
Pendidikan liberal seharusnya  memberikan keterampilan-ketrampilan, tata bahasa, retorika, serta logika kepada para siswanya. Keterampilan-ketrampilan seperti ini akan mendorong siswa untuk terus bahkan gemar belajar pada setiap kondisi bagaimanapun. Sehingga sangat memungkinkan  bagi seseorang untuk menyimpulkan jalan keluar yang logis terhadap tiap-tiap problem yang terjadi. Saya sangat setuju dengan kata-kata bapak A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya  “Tujuan  Pendidikan  Lieral, Pokoknya Literasi (2012)” yang menyatakan bahwa  Pendidikan liberal ini bertujuan untuk membebaskan (maha)siswa dari kungkungan atau perbudakan yang timbul karena kebodohan, syak wasangka, dan kepicikan.
Dari wacana bapak Prof. A. Chaedar Alwasilah sangat baik. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari wacana beliau yakni:
1)      Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif.
Sebenarnya hal ini cukup baik, karena meraka bisa bersosialisasi dengan perbedaan yang ada. Beliau mengatakan bahwa jika ingin mengefektifkan pendidikan khususnya agama, sekolah harus menyediakan (memfasilitasi)  setiap agama yang ada. Namun perlu kita tinjau, dan kaji lebih dalam lagi, karena jika siswa yang berasal dari latar belakang etnis dan agama yang berbeda, membutuhkan fasilitas layaknya seperti yang mereka butuhkan saya kurang setuju. Di Indonesia mayoritas adalah muslim, jika dalam sekolah umum ada yang berasal dari kaum minoritas (nonmuslim) maka tidak perlu setiap sekolah harus memfasilitasi mereka dengan memberikan tempat ibadah kaum mayoritas ataupun tempat ibadah untuk kaum minoritas. Hal ini dikarenakan tempat pendidikan/sekolah-sekolah akan lebih focus untuk keagaamaan saja.
Selain itu, hal tersebut juga akan memakan biaya yang sangat besar. Kita bisa membayangkan jika hal tersebut terjadi. Dimana setiap sekolah akan membuat tempat ibadah sesuai dengan siswa dari agama masing-masing, mungkin setiap sekolah akan memiliki lebih dari satu tempat ibadah. Disamping itu juga daripada untuk membangun tempat ibadah demi kelancaran sosialisasi agama, lebih baik untuk membangun perpustakan yang komplit demi kemajuan anak bangsa yang bermanfaat  karena bukan hanya demi kemajuan agama saja. Seperti yang kita tahu, saat ini di sekolah-sekolah banyak yang belum memiliki perpustakaan sendiri, khususnya sekolah dasar. Jadi menurut saya alangkah baiknya jika pembangun perpustakaan diutamakan ketimbang membangun tempat ibadah sesuai dengan agama yang di anut oleh siswanya. Adapun jika terjadi hal yang demikian maka akan menimbulkan problem baru yang mana sekolah bukan lagi tempat pendidikan namun tempat pengelompokan agama. Hal itu dikarenakan setiap hari siswa akan pergi  ketempat yang sesuai dengan agama mereka.
Disamping itu perpustakaan akan lebih bermanfaat. Siswa-siswa akan menyukai literasi dan tidak menutup kemungkinan siswa-siswa yang gemar membaca dan akan menjadi seorang literat. Sehingga hal itu akan mencerdaskan anak bangsa. Serta mampuh untuk bersaing di kancah Internasional. Pak A. Chaedar ingin perbedaan yang ada menjadi padu, dan setiap siswa-siswa mampu bersosialisasi dengan etnis, culture, dan agama lain itu sangat bagus. Namun sedikit contoh yang terjadi di Indonesia adalah secara tidak langsung pemerintah telah menggolongkan sesuai dengan agama (keyakinan). Hal ini dikarenakan  banyak sekolah-sekolah yang hanya menerima siswa yang beragama islam saja seperti: Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyyah (MA) serta Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Bigitupula dengan agama lain, ada sekolah-sekolah yang hanya menerima nonmuslim saja.  Di Cirebon sudah berdiri sekolah-sekolah nonmuslim. Seperti  SD  penabur, SMP penabur, serta SMA penabur. Lokasinyapun bersaing dengan sekolah-sekolah muslim. Namun ada juga sekolah umum yang masih menggabungkan agama-agama lain (tidak membedakan) seperti yang pak A. Chaedar paparkan dalam bukunya.
Saya sangat tertarik dengan ulasan beliau yang mengatakan bahwa menyelesaikan pendidikan formal, siswa memasuki dunia dimana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidak mampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat konflik social  tertentu yang mana dalam suatu masyarakat tertentu pula. Adapun bukti  kejaian tersebut sangat banyak, seperti konflik antar etnis  dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008),  Ambon (2009), papua (2010) dan singkawang (2010) untuk menyebutkan itu hanya beberapa. Tanpa langkah tepat yang diambil, konflik seperti itu akan terulang kembali.
2)      Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Masih segar dalam ingatan kita adalah insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlementer saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam siding yang disiarkan langsung diseluruh negeri.
Dari point kedua ini pula saya kurang setuju dengan pernyataan beliau. Beliau mengatakan bahwa pendidikan saat ini telah gagal. Menurut saya bukan pendidikan yang telah gagal namun orang-orang tersebutlah yang telah gagal untuk menjadi orang yang berpendidikan. Para politisi dan birokrat datang ke parlementar karena pendidikan yang telah mereka peroleh namun, mereka telah gagal menjadi orang yang berpendidikan sehingga terjadilah insiden yang sangat memalukan seperti itu. Jika mereka tidak gagal dan berhasil menjadi orang yang berpendidik, mereka tidak akan berkata layaknya orang yang tidak mengenal pendidikan. Kata-kata kasar seperti itu tidak patut untuk di ucapkan oleh seorang yang berpendidikan. Hal ini sudah cukup jelas bahwa politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana perilaku mereka. Tindakan yang tidak baik untuk di contoh. Kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.  Miris! Yaaah memang, karena inilah yang terjadi di negeri kita. Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal. Guru-guru harus memberikan kesempatan kepada siswa-siswinya untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok yang berbeda.
 Ariliaswati  telah melakukan penelitian yang mana telah diperoleh dalam penelitianya tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan kelas empat dari 43 siswa di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota di mana bentrokan antar etnis telah terjadi cukup sering. Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Sebagai siswa SD, anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidak sepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu, para siswa tampak percaya satu sama lain, sehingga kompromi dan konsesnsus dapat dicapai dengan cara sipil.
Interaksi rekan dalam studi sosialpun bukan perilaku mengganggu jika guru mengelola secara efektif.  Menjadi berisik tidak selalu negatif. Ini bisa menjadi bukti interaksi interaktif dan mencerahkan. Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan dilaksanakannya interaksi sebaya sebagai salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat dengan penuh rasa hormat dan sikap rela berkorban untuk mempersiapkan mereka saat hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Dari Studi Aprilliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan tidak hanya harus mengembangkan penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil yang positif.  Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Filsuf pendidikan Amerika, Emerson (1837) pernah berkata, "Seorang pria harus menjadi seorang pria sebelum ia bisa  jadi petani yang baik, pedagang, atau insinyur." Dia menunjukkan bahwa pentingnya pendidikan liberal untuk membuat pria pria sejati. Pria sejati memiliki pengetahuan untuk menghindari pemahaman provinsi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan di Indonesia itu harus terus berkembang. Prof. A. Caedar tak henti-henti untuk memberikan motivasi, kritik serta sarannya agar masyarakat Indonesia tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain. melalui wacananya yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony  beliau terus berusha agar masyarakat Indonesia mampuh menjadi seorang literat. Secara umum dalam wacana tersebut beliau membicarakan tentang ikhwal betapa pentingnya  pendidikan liberal, yang mana akan menjadi cikal-bakal untuk menumbuhkan generasi-generasi plural, yaitu generasi yang mampu toleran dalam kehidupan multikultural. Serta salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan ketrampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyrakat dan warga Negara. Ketrampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut.
Masalah social yang terjadi seperti tawuran antar pelajar, desa, agama, maupun suku dan bentuk lain dari radikalisme yang terjadi  di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh indikasi dari penyakit social, yaitu semata-mata kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Pendidikan liberal seharusnya  memberikan keterampilan-ketrampilan, tata bahasa, retorika, serta logika kepada para siswanya. Sehingga sangat memungkinkan  bagi seseorang untuk menyimpulkan jalan keluar yang logis terhadap tiap-tiap problemyang terjadi. dalam bukunya  “Tujuan  Pendidikan  Lieral, Pokoknya Literasi (2012)” yang menyatakan bahwa  Pendidikan liberal ini bertujuan untuk membebaskan (maha)siswa dari kungkungan atau perbudakan yang timbul karena kebodohan, syak wasangka, dan kepicikan.
penelitian Ariliaswati telah diperoleh dalam penelitian tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan kelas empat dari 43 siswa di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota di mana bentrokan antar etnis telah terjadi cukup sering. Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif.  Namun perlu kita tinjau, dan kaji lebih dalam lagi, karena jika siswa yang berasal dari latar belakang etnis dan agama yang berbeda, membutuhkan fasilitas layaknya seperti yang mereka butuhkan saya kurang setuju. alangkah baiknya jika pembangun perpustakaan diutamakan ketimbang membangun tempat ibadah sesuai dengan agama yang di anut oleh siswanya. Adapun jika terjadi hal yang demikian maka akan menimbulkan problem baru yang mana sekolah bukan lagi tempat pendidikan namun tempat pengelompokan agama. Hal itu dikarenakan setiap hari siswa akan pergi  ketempat yang sesuai dengan agama mereka.
Disamping itu perpustakaan akan lebih bermanfaat. Siswa-siswa akan menyukai literasi dan tidak menutup kemungkinan siswa-siswa yang gemar membaca dan akan menjadi seorang literat. Sehingga hal itu akan mencerdaskan anak bangsa. Serta mampuh untuk bersaing di kancah Internasional. Dalam wacananya Beliau mengatakan bahwa pendidikan saat ini telah gagal. Bagi saya bukan pendidikan yang telah gagal namun orang-orang tersebutlah yang telah gagal untuk menjadi orang yang berpendidikan. Para politisi dan birokrat datang ke parlementar karena pendidikan yang telah mereka peroleh namun, mereka telah gagal menjadi orang yang berpendidikan sehingga terjadilah insiden yang sangat memalukan seperti itu. Jika mereka tidak gagal dan berhasil menjadi orang yang berpendidik, mereka tidak akan berkata layaknya orang yang tidak mengenal pendidikan. Kata-kata kasar seperti itu tidak patut untuk di ucapkan oleh seorang yang berpendidikan. Hal ini sudah cukup jelas bahwa politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana perilaku mereka. Tindakan yang tidak baik untuk di contoh. Kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.  Miris! Yaaah memang, karena inilah yang terjadi di negeri kita.


















Referensi :
·         Museum Polri Online

·         Kerusuhan Antar Agama
·         Chaedar Alwasilah, Pokoknya Rekayasa Literasi 2012




Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment