Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Nani Fitriani
Critical Review:
Katakan Good bye dengan Tegas Untuk Hello yang Lebih Baik
Setiap negara
di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam membina dan memelihara kerukunan
umat beragama, tak terkecuali Indonesia. Keunikan tersebut terjadi karena
bermacam-macam faktor seperti sejarah, politik, sosial, budaya atau etnis,
geografi, demografi, pendidikan, ekonomi, serta faktor keragaman agama itu
sendiri.
Di Indonesia
sendiri, sejak zaman pra-sejarah sudah berkembang berbagai agama dan
kepercayaan, baik agama asli seperti animisme, dinamisme, maupun agama impor
yang dibawa oleh pendatang dari Barat maupun Timur. Agama-agama ini dibawa
melalui jalur perdagangan, politik imperialisme, dan misi agama (gold, glory,
and gospel). Semenjak itulah agama-agama yang ada di Indonesia terus berkembang
dan diikuti oleh semakin bertambahnya jumlah para pemeluk, hingga saat ini tak
kurang ada enam agama resmi yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, ditambah dengan bermacam-macam aliran
atau sekte lainnya. Meskipun demikian situasi kerukunan umat beragama di
Indonesia relatif terpelihara dengan baik.
Indonesia
adalah negara yang memiliki keunikan tersendiri di dalam membangun, memelihara,
membina, mempertahankan, dan memberdayakan kerukunan umat beragama. Upaya-upaya
berkaitan kegiatan kerukunan umat beragama tersebut merupakan sebuah proses
tahap demi tahap yang harus dilalui secara seksama agar perwujudan kerukuanan
umat beragama benar-benar dapat tercapai. Di samping itu, ia juga merupakan
upaya terus-menerus tanpa henti dan hasilnya tidak diperoleh secara instan.
Dan
seandainya kondisi ideal kerukunan tersebut sudah tercapai bukan berarti sudah
tidak diperlukan lagi upaya untuk memelihara dan mempertahankannya. Justru
harus ditingkatkan kewaspadaan agar pihak-pihak yang secara sengaja ingin
merusak keharmonisan kerukunan hidup atau kerukunan umat beragama di Indonesia
tidak bisa masuk. Karena itu kerukunan umat beragama sangat tergantung dan erat
kaitannya dengan ketahana nasional Indonesia.
Ketahanan nasional
adalah kondisi dinamis bangsa dan negara Indonesia dalam segala aspek kehidupan
untuk menangkal segala pengaruh dari luar yang menggangu stabilitas negara.
Tugas berat ini tidak hanya terletak di tangan pemerintah, penguasa, dan
pemimpin negara, tetapi merupakan tugas segala lapisan masyarakat.
Secara yuridis normatif Negara telah memberikan garansi
terpenuhinya hak-hak setiap warganya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
serta kesempatan meningkatkan pendidikannya sepanjang hayat (pasal 5 UU No. 20
tahun 2003). Karena itu kepada pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusi,
undang-undang mewajibkan untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga Negara tanpa deskriminasi.
Arus deras globalisasi dengan mengusung ideologi liberalisme,
kapitalisme, dan sekulerisme telah menciptakan perubahan sosial yang besar dalam
tatanan kehidupan. Ideologi tersebut memberikan pengaruh yang hebat dalam
mengubah mind set, point of view, dan world view umat manusia sebagai sebuah
kesatuan negara, masyarakat, dan individu. Sebagai gantinya diadopsi
sekulerisme, liberalisme, dan kapitalisme menjadi pandangan hidup umat manusia
dan sistem yang berlaku dalam mengatur aktivitas kehidupan mereka. Penerapan
demokrasi dan HAM dalam politik, pluralisme-pragmatisme dalam pengaturan
kehidupan pendidikan-sosial-budaya, nasionalisme dalam konteks bernegara, dan
kapitalisme dalam pengaturan sistem ekonomi merupakan bukti kuat.
Gerak pendidikan progresif dengan warna
sekulerisme-kapitalisme telah menekankan pentingnya peran peserta didik
memiliki keyakinan bahwa ia belajar apabila hal itu bermakna secara material
dalam kehidupannya. Penanaman ideologi sekulerisme-liberalisme yang dilandasi
prasarana perombakan sistem berfikir, metodologi ilmiah, dan aplikasi teknologinya
bukan hanya merujuk pada norma dan nilai jadian (derivate values) yang
pragmatik, tetapi juga mengarah pada perubahan perilaku yang akhirnya
menyebabkan peserta didik ‘terasing’ terhadap dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat, kebudayaan, nilai religiusitas, dan agama yang menjadi landasan
kehidupannya. Dampak hasil pendidikan sekuler tampak dalam masyarakat sekarang
ini. Reformasi di tengah pembaharuan pendidikan, politik, ekonomi, dan
hukum telah membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa terpuruk.
Dalam konteks pendidikan dan beberapa aspek lainnya,
prestasi Indonesia jauh tertinggal di bandingkan negara lain. Perhatikan Human
Development Index (HDI) Indonesia, yang salah satu indikatornya adalah sektor
pendidikan. Laporan World Bank, studi yang dilakukan IEA (International
Association for the Evaluation Achievement) bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah. Anak-anak Indonesia
hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan kesulitan untuk menjawab soal
berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Indikator lain dapat dilihat dari
laporan UNDP tahun 2006, yang memposisikan Indonesia pada peringkat 108 dari
177 negara, satu tingkat di atas Vietnam, namun jauh dibawah negara ASEAN
lainnya seperti Singapura (25), Brunei (34), Malaysia (61), Thailand (74)
dan Filipina (84). Atau laporan dari Forum Ekonomi Dunia tentang Indeks daya
saing global 2006-2007 bahwa Indonesia berada pada peringkat 50 dari 125
negara, masih di bawah negara ASEAN yang disebut sebelumnya. Selain itu,
angka partisipasi masyarakat pada semua level pendidikan masih rendah.
Hal ini dibuktikan berdasarkan jumlah keluarga miskin yang sulit menyekolahkan
anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,1 juta (15,75%) pada tahun 2005
menjadi 39,05 juta (17,95%). Berdasarkan kriteria Bank Dunia sebesar
108,78 juta (49%) penduduk Indonesia dalam kondisi miskin karena hidup dengan
kurang dari 2 dollar atau sekitar Rp.19.000,- per hari. Laporan Kompas 16
Desember 2006 mencatat masih ada 4,2 juta anak usia sekolah belum
pernah sekolah, sekitar 7% penduduk usia 5 tahun ke atas buta huruf dan angka
putus sekolah SD 2,66 % (1,267 juta), SMP 3,5 % (638.056 ribu) serta 67,7 %
fasilitas pendidikan di Indonesia rusak. Sisi lain menunjukkan fenomena
pergaulan bebas dikalangan pelajar (remaja) mengakibatkan mereka terjerumus
pada perilaku seks bebas, aborsi, penggunaan narkoba, dan perilaku kekerasan
(bunuh diri, tawuran pelajar, perploncoan) hingga tindakan lain oleh
siswa yang mengarah pada kriminalitas (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan)
telah menambah daftar panjang masalah dunia pendidikan negeri ini.
Sebagian fakta di atas menunjukkan pada kita wajah buram
pendidikan Indonesia yang memprihatinkan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan
yang sejatinya dipercaya untuk mendidik anak-anak bangsa telah berubah menjadi
pabrik penghasil mesin-mesin pekerja dan mesin-mesin perusak.
Pendidikan sekuleristik-materialistik terbukti gagal menghantarkan
manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, manusia saleh dan muslih. Hal ini
disebabkan dua hal:
Pertama, paradigma pendidikan yang keliru, yaitu sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan adalah sekuleristik, yakni membentuk manusia berpaham materialistik dan individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah atau kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental. Hal itu dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma pengajaran.
Pertama, paradigma pendidikan yang keliru, yaitu sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan adalah sekuleristik, yakni membentuk manusia berpaham materialistik dan individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah atau kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental. Hal itu dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma pengajaran.
Pendidikan yang integral harus
melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan
masyarakat. Ketiga hal itu menggambarkan kondisi faktual obyektif
pendidikan saat ini, di mana ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara
sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belumlah berfungsi
secara benar. Oleh karena di tengah masyarakat terjadi interaksi antar
ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh
kepada unsur pelaksana pendidikan yang lain. Maksudnya, buruknya pendidikan
anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan
persoalan di tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas,
narkoba dan sebagainya. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat
nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan
sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di
sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar
pendidikan tersebut.
Pendidikan Indonesia masih belum
berhasil membekali para siswa dengan baik dalam menghadapi masalah yang
memerlukan kemampuan bernalar tinggi (higher-order thinking). Ini
diperparah oleh model assessment Indonesia (UN dan UMPT) yang lebih
banyak mengukur kemampuan prosedural (hafal konten, hafal rumus atau cara, dan
komputasi rumit) yang hanya berguna pada saat mengerjakan soal-soal UN dan UMPT
atau ikut lomba-lomba olimpiade, tapi kurang bermanfaat pada saat menghadapi
dunia nyata. Padahal pentingnya kemampuan higher-order thinking sangat
dibutuhkan oleh generasi muda kita menghadapi tantangan abad 21 ini.
Melalui tulisan ini Heru Widianto, Ph.D bermaksud menggugah
hati sambil mengajak semua orang untuk
turut berjuang bersama-sama untuk memperbaiki kondisi ini. Tujuan utama adalah merancang bentuk penilaian pendidikan
yang menjunjung kemampuan bernalar tinggi untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Kegagalan Ujian Nasional
Pengalaman bapak Heru widianto,
Ph.D bekerja lebih 5 tahun di Puspendik-Balitbang (Indonesia), belajar
penilaian pendidikan (educational assessment) sampai Ph.D di University of
Iowa, ditambah bekerja lebih 10 tahun di American College Testing (Amerika)
menyakinkan bahwa sistem ujian di Indonesia bermasalah, terutama Ujian Nasional
(UN). Ujian ini telah menjadi racun pada proses belajar-mengajar di sekolah.
Alih-alih meningkatkan mutu, justru UN mendorong proses pencerdasan generasi
muda harapan bangsa menuju jurang kehancuran.
Ketidakmampuan pemerintah
mendongkrak mutu pendidikan melalui UN jelas terbukti dari laporan tes-tes kredibel
berstandar international PISA (Program for International Student
Assessment) dan TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study , yang selalu menunjukan siswa kita
berada di kisaran juru kunci, jauh di bawah Malaysia, apalagi Singapura. Fakta
ini sering dikaburkan oleh laporan segelintir siswa kita yang meraih medali
emas, perak, atau perunggu dalam ajang olimpiade “Internasional”. Keberhasilan
mereka di olimpiade bukan menjadi bukti jika mutu pendidikan kita berkualitas,
karena mereka dipersiapkan khusus selama lebih dari 6 bulan untuk menjawab
soal-soal olimpiade yang mungkin tidak dilakukan oleh peserta dari
negara-negara lain.
Penilaian Pendidikan Indonesia (PPI): Sebuah Bentuk Solusi
Berdasarkan fakta ini dan ingin
ikut terlibat aktif memperbaiki sistem pendidikan dari sisi penilaiannya, Heru Widiatmo, Ph.D
bertemu dengan Ellin Driana (dosen
UHAMKA), Iwan Pranoto (guru besar ITB), Rohmani (anggota DPR), dan Kreshna
Aditya (Pendiri Bincang Edukasi) di fX Senayan pada saat liburan di Indonesia
awal Juni 2013. Salah satu ide tim dari Heru Widianto.Ph.D pada saat itu adalah merancang dan membuat
model penilaian pendidikan di Indonesia sebagai model alternatif dari UN.
Sebagai langkah awal, karena
paham matpel matematika (S1 Matematika ITB) dan bekerja sebagai penulis,
peneliti, dan pengembang tes matematika, beliau bapak Heru Widiatmo, Ph.D lebih confident menyusun soal-soal
matematika untuk proyek ini. Setelah beberapa bulan bekerja dibantu teman-teman
Indonesia yang sedang sekolah di Amerika (antara lain, Asih Asikin Garmager,
Ph.D. student dari University of Iowa, dan Iwan Syahril, Ph.D. student dari Michigan
State University) , Heru Widiatmo, Ph.D nyatakan
soal-soal tes yang susun siap digunakan. Tes ini disebut Penilaian Pendidikan
Indonesia (PPI). Diharapkan pada saatnya nanti PPI meliputi komponen seperti
Tabel 1.
Sebagaimana tercantum pada tabel di samping, PPI
dibuat bukan untuk menentukan kenaikan kelas apalagi kelulusan sekolah, tapi
digunakan sebagai feedback bagi siswa, guru, sekolah, dan pemerintah
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Melalui
PPI akan terjaring informasi tentang kelemahan dan keunggulan dari siswa dan
sekolah berdasarkan hasil tes dan questioner yang menyertainya. Apa yang diukur
oleh PPI adalah kecakapan bernalar yang perlu dimiliki oleh siswa agar optimal
hidupnya baik di sekolah/pendidikan tinggi, tempat kerja, atau di masyarakat.
Khusus untuk matematika, kompetensi yang diukur meliputi kemampuan membaca,
manganalisis, dan memecahkan masalah matematika yang sering dihadapi siswa
dalam hidup sehari-hari melalui soal-soal yang dikemas berupa cerita, fakta
lingkungan sekitar, data ilmiah, tabel dan/atau grafik. Materi PPI mengacu pada
meteri tes standar internasional yang merupakan materi dasar tapi penting
dikuasai oleh semua siswa seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Contoh-Contoh Soal PPI
Walaupun sama-sama tes
matematika, tapi bentuk dan model soal-soal PPI berbeda dengan soal-soal di UN
dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPT di Indonesia). Sebagian besar soal-soal
matematika UN dan UMPT menuntut siswa memperoleh jawabannya melalui komputasi
rumit, hapalan rumus/konten, dan hapal jalan atau cara mengerjakannya.
Sedangkan melalui PPI, siswa tidak diuji untuk mengerjakan komputasi rumit,
karena angka-angka yang ditampilkan sederhana dan yang paling penting sebagian besar
soal-soal tidak memerlukan jawaban hasil komputasi. Juga, siswa tidak perlu
hapal rumus, karena rumus tidak diperlukan. Selain itu, model dan bentuk
soal-soalnya tidak memungkinkan dipelajari melalui bimbingan belajar yang
acapkali menggunakan sistem drill latihan soal, karena siswa
dituntut paham materi, cakap mengolah informasi dan dapat menerapkannya pada
permasalahan yang kontekstual.
Contoh soal PPI
Perhatikan soal no.31 yang menanyakan materi persen
(%). Semua siswa SMP mungkin tahu jika ada 20 orang yang tidak lulus ujian dari
100 orang, maka ini dapat dikatakan bahwa 20% siswa tidak lulus. Namun, mereka
banyak yang kurang paham kalau konsep persen tidak dapat digunakan pada fakta
atau data yang tidak dapat dikuantifikasikan.
Bisa dipastikan mereka akan kesulitan dan perlu
waktu lama bila pertanyaan yang sama diajukan melalui soal yang memerlukan
kecakapan membaca data berupa table. Maka dari itu perlu juga kita menanamkan
pendidikan karakter karena pendidikan karakter sangat diperlukan pada saat ini.
Dewasa ini dunia pendidikan
Indonesia telah mengalami penurunan kualitas secara signifikan. Indikatornya
jelas, jika dilihat dari faktor sekolah. Masih banyak sekali sekolah – sekolah
yang kekurangan tenaga pendidik. Kemudian minimnya infrastruktur yang menunjang
proses pembelajaran. Hal tersebut jelas berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa.
Adanya kesenjangan antara sekolah – sekolah pinggiran dengan
Rintisan sekolah Bertaraf Internasional atau yang biasa disebut RSBI adalah
bentuk permasalahan yang paling terlihat jelas dari sekian banyaknya
permasalahan yang ada dalam ranah dunia pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak,
dengan adanya sekolah tersebut maka sudah jelas kualitas pendidikan akan
menjadi yang paling utama.
Memang, RSBI menjamin kualitas
pendidikan mereka akan sama dengan negara – negara lain yang lebih maju
pendidikannya. Namun, ketika kualitas pendidikan telah mereka gembor –
gemborkan. Ironisnya, hanya segelintir anak yang dapat mencicipi bagaimana
rasanya sekolah di RSBI. Mengapa Demikian? Hal tersebut berkaitan dengan
mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk dapat bersekolah disitu. Harapan para
orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat yang terbaik harus membentur
tembok tebal bertuliskan biaya.
Sebenarnya sekolah – sekolah biasa
juga tidak dapat dikatakan kualitasnya buruk. Banyak pula sekolah – sekolah
biasa yang mampu menghasilkan siswa – siswa berprestasi. Namun tentu saja,
masalah sarana prasarana dan prestasi sekolah tersebut tentunya juga
menjadi pertimbangan untuk orang tua memilih sekolah bagi anaknya.
Dengan demikian, maka sekolah –
sekolah pinggiran akan semakin terpinggirkan sehingga sekolah tersebut hanya
memiliki sedikit kesempatan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di sekolah
tersebut. Seharusnya pemerintah turut berupaya dalam membangun kembali citra
sekolah – sekolah yang semakin tertinggal. Adanya kerja nyata pemerintah akan
sangat mempengaruhi kualitas pendidikan sekolah – sekolah yang terpinggirkan.
Kemudian, Faktor penurunan kualitas
pendidikan di Indonesia juga disebabkan oleh lemahnya karakter dari para siswa.
Sudah menjadi hal biasa ketika siswa berkelahi bahkan melakukan tawuran antar
sekolah hanya disebabkan hal – hal yang sepele. Sangat disayangkan sekali
melihat hal tersebut masih sering kita jumpai di sekitar kita. Tidak sedikit pula siswa – siswa yang
tertangkap polisi karena sedang asik berpacaran di warnet ataupun di sudut –
sudut pantai. Hal ini menunjukan adanya degradasi moral pada siswa saaat ini.
Dan sudah seharusnya ada suatu tindakan untuk membentuk mental para siswa
menjadi lebih baik.
Seperti yang sudah selama ini mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Pendidikan
karakter menjadi hal yang banyak diperbincangkan. Melalui pendidikan karakter
tersebut diharapkan nantinya siswa dapat membentuk karakter – karakter yang
kuat dan berjati diri pada tiap siswa.
Berbagai referensi mendeskripsikan
berbagai indikator keberhasilan pendidikan karakter. Namun demikian, ada
karakter universal yang berlaku di semua bangsa. Paling tidak ada 13 karakter
utama yaitu jujur, bertanggungjawab, dapat dipercaya, peduli, berintregritas,
rajin, hati – hati, taat, penganpun, teratur, ,menghargai orang lain,
bekerjasama, dan bersahabat.
Suroso ( 2011 ) mengatakan ada
berbagai cara membangun karakter baik yang dilakukan di sekolah maupun di luar
sekolah. Pertama, dengan mengenalkan tokoh yang ada dalam kitab suci. Kedua, dengan
pembelajaran dari cerita rakyat. Ketiga, dengan mengenalkan tokoh lokal,
regional, nasional dan internasional melalui biografi dan autobiografinya.
Dari berbagai cara tersebut, maka
pendidikan karakter sebenarnya dapat diajarkan dengan mengambil contoh dalam
kehidupan sehari – hari. Dengan demikian, jika pendidikan karakter dapat
diterapkan dengan baik di sekolah. Maka hal tersebut mampu meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia melalui pendidikan karakter yang
berkesinambungan. Karena dengan terbentuknya
karakter yang kuat dari siswa maka minat untuk terus memperbaiki diri menjadi
lebih baik semakin besar. Sehingga hal tersebut akan berpengaruh terhadap
kemajuan bangsa Indonesia menuju bangsa yang berkeadilan dan berkarakter kuat.
Ganti menteri ganti kurikulum. Itulah yang terjadi di dalam
sistem pendidikan di negeri ini. Kebijakan perubahan kurikulum untuk tahun
ajaran 2013/2014 kapanpun menuai kritik dari para pengamat pendidikan dan juga
para guru yang nantinya akan menjadi ujung tombak dalam penerapannya. Ini
menunjukkan, pendidikan di Indonesia tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Pengamat pendidikan H.A.R Tilaar menilai, perombakan
kurikulum yang terjadi di Indonesia dinilai kerap menyusahkan anak didik.
Bayangkan saja, belum selesai menyerap ilmu dari sebuah kurikulum yang dianggap
unggul, anak-anak ini harus beradaptasi lagi dengan kurikulum baru. “Perubahan
kurikulum yang ada justru mengorbankan anak-anak Indonesia.”
Dikatakan, guru adalah ujung tombak pemberlakuan kurikulum
baru ini. Namun jika guru-guru ini tidak memahami konsep kurikulum dengan baik,
maka tujuannya tak dapat dicapai.”Ini diubah lagi. Berarti sudah 10 kali
kurikulum di negara ini berubah. Ada kesalahan konseptual di sini. Anak-anak
Indonesia yang akhirnya dikorbankan dari perubahan kurikulum ini,” kata Tilaar.
Dalam diskusi dengan tema “Kritik atas kebijakan perubahan
kurikulum” yang digelar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), berkembang
rumor bahwa perubahan kurikulum pendidikan nasional 2013 dikarenakan adanya pesanan
Wakil Presiden RI, Boediono.
Terkait perubahan kurikulum 2013, Menteri Pendidikan
Mohammad Nuh, pernah mengatakan manfaatnya bagi siswa adalah, mereka tidak
perlu lagi membawa banyak buku, sehingga kurikulum yang menggunakan tematik
integratif ini juga mengatasi keluhan yang selama ini terjadi akibat banyaknya
buku pelajaran yang harus dibeli siswa. “Murid tidak usah bawa 10 buku.
Sehingga keluhan bukunya banyak. Guru akan jadi andalan, meski bukan
satu-satunya sumber,” tambah Mohammad Nuh.
Kurikulum Berubah
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah akan mengubah
kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, serta
Sekolah Menengah Kejuruan dengan menekankan aspek kognitif, afektif,
psikomotorik melalui penilaian berbasis test dan portofolio saling melengkapi.
“Siswa untuk mata pelajaran tahun depan sudah tidak lagi banyak menghafal, tapi
lebih banyak kurikulum berbasis sains,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh kepada pers di Kantor Wapres di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut disampaikan Nuh usai memberikan presentasi
mengenai pengembangan kurikulum 2013 yang dihadiri Wakil Presiden Boediono.
Hadir dalam jumpa pers itu Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar
Kasim. Dikatakan Nuh, orientasi
pengembangan kurikulum 2013 adalah tercapainya kompetensi yang berimbang antara
sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya yang
holistik dan menyenangkan.
Untuk tingkat SD, katanya, saat ini ada 10 mata pelajaran
yang diajari, yaitu pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa
Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan keterampilan, pendidikan
jasmani olahraga dan kesehatan, serta muatan lokal dan pengembangan diri. Tapi mulai tahun ajaran 2013/2014 jumlah mata
pelajaran akan diringkas menjadi tujuh, yaitu pendidikan agama, pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, seni budaya dan
prakarya, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, serta Pramuka.”Khusus
untuk Pramuka adalah mata pelajaran wajib yang harus ada di mata pelajaran, dan
itu diatur dalam undang-undang,” kata Nuh.
Salah satu ciri kurikulum 2013, khususnya untuk SD, adalah
bersifat tematik integratif. Dalam pendekatan ini mata pelajaran IPA dan IPS
sebagai materi pembahasan pada semua pelajaran, yaitu dua mata pelajaran itu
akan diintegrasikan kedalam semua mata pelajaran. Dikatakan untuk IPA akan menjadi materi
pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia dan matematika, sedangkan untuk IPS akan
menjadi pembahasan materi pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKN).
Mendikbud mengatakan, kurikulum 2013 itu diharapkan bisa
diterapkan mulai tahun ajaran baru 2013, tapi sebelumnya akan diuji publik
sekitar November 2012.”Masyarakat bisa memberikan masukan atas setiap elemen
kurikulum mulai dari standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses
hingga standar evaluasi. Adanya uji publik ini diharapkan kurikulum yang
terbentuk telah menampung aspirasi masyarakat,” papar Nuh.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan melakukan uji publik terhadap
kurikulum 2013 pada akhir November 2012. Meski demikian, implementasi kurikulum
baru tersebut tidak serta merta akan dilakukan. Selain itu ada beberapa
alternatif yang dapat dipilih untuk proses penerapan kurikulum 2013.
Menurut
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh, pihaknya memiliki beberapa
alternatif terkait implementasi kurikulum 2013. Pertama, kata M Nuh, tidak
diterapkan pada semua kelas tapi hanya kelas 1, 4, 7, dan 10 untuk tahun
pertama 2013.
"Tahun
kedua, diterapkan pada kelas 1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, dan 11. Tahun ketiga lunas,
bisa diterapkan di semua jenjang. Tapi kalau punya usaha luar biasa, di tahun
kedua bisa diterapkan di semua kelas," tutur M Nuh usai upacara Peringatan
Hari Guru Nasional 2012 di Kemendikbud, Jakarta Selatan, Senin (26/11/2012).
Alternatif
kedua, tambahnya, kurikulum baru itu diterapkan pada kelas 1, 4, 7, dan 10
hanya di beberapa sekolah saja di seluruh wilayah. Kemudian, alternatif ketiga,
kurikulum itu diterapkan pada kelas 1, 4, 7, dan 10 di beberapa sekolah di
beberapa wilayah. Dari ketiga alternatif penerapan kurikulum tersebut, M Nuh
menyebutkan, Kemendikbud akan mengambil opsi pertama.
"Kecenderungan kami akan
memakai alternatif pertama. Tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Dari segi
sumber daya, opsi pertama lebih terjangkau. Kalau seluruh kelas 2,9 juta guru,
upayanya luar biasa. Kemudian, jika diterapkan di semua sekolah di seluruh
wilayah ada kebersamaan. Sehingga anggapan diskriminasi bisa diminimalisasi,"
kata mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) itu M Nuh
menambahkan, untuk beradaptasi dengan kurikulum baru, sosialisasi tidak hanya
diberikan kepada para murid, ettapi juga para guru. Dia mengungkap, guru yang
dilatih untuk kurikulum adalah para guru SD.
Saya sangat setuju dengan pendapat bapak Chaedar Alwasilah yaitu dengan adanya perubahan kurikulum dan penenaman pendidikan karakter sejak dini diharapkan para siswa bisa berhubungan baik dan hidup harmonis antar hidup kerukunan beragama, dan indikasi class room discourse yaitu: menyimak,(attentive learning), berpendapat, bertanya, menanyakan setuju dan tidak setuju, serta mencapai mufakat dengan penuh hormat, jika semua hal ini bisa berjalan dengan lancar yakni kurikulum yang baru bisa berjalan dengan lancar (kurirkulum 20130), penanman pendidikan berkarakter yaitu ada 13 karakter utama yaitu jujur, bertanggungjawab, dapat dipercaya, peduli, berintregritas, rajin, hati – hati, taat, penganpun, teratur, ,menghargai orang lain, bekerjasama, dan bersahabat. Maka classroom discourse akan berjalan dengan baik. Selain itu memberdayakan pemelajar juga sangat perngaruh dalam classroom discourse yaitu melalalui pendekatan-pendekatan dan pemberdayaan pemelajar. 1. Memperoleh pengetahuan yang relevan(knowledge), 2. Berfikir untuk dapat memahami(thinking), serta melakukan(doing). Pendidikan di Indonesia akan semakin maju, karena adanya toleransi beragama dan perubahan pendidikan maka pendidikan kita akan maju seperti Negara lain.
Saya sangat setuju dengan pendapat bapak Chaedar Alwasilah yaitu dengan adanya perubahan kurikulum dan penenaman pendidikan karakter sejak dini diharapkan para siswa bisa berhubungan baik dan hidup harmonis antar hidup kerukunan beragama, dan indikasi class room discourse yaitu: menyimak,(attentive learning), berpendapat, bertanya, menanyakan setuju dan tidak setuju, serta mencapai mufakat dengan penuh hormat, jika semua hal ini bisa berjalan dengan lancar yakni kurikulum yang baru bisa berjalan dengan lancar (kurirkulum 20130), penanman pendidikan berkarakter yaitu ada 13 karakter utama yaitu jujur, bertanggungjawab, dapat dipercaya, peduli, berintregritas, rajin, hati – hati, taat, penganpun, teratur, ,menghargai orang lain, bekerjasama, dan bersahabat. Maka classroom discourse akan berjalan dengan baik. Selain itu memberdayakan pemelajar juga sangat perngaruh dalam classroom discourse yaitu melalalui pendekatan-pendekatan dan pemberdayaan pemelajar. 1. Memperoleh pengetahuan yang relevan(knowledge), 2. Berfikir untuk dapat memahami(thinking), serta melakukan(doing). Pendidikan di Indonesia akan semakin maju, karena adanya toleransi beragama dan perubahan pendidikan maka pendidikan kita akan maju seperti Negara lain.
BALAI
PUSTAKA
Taufik M Amir . 2009. Inovasi Pendidikan Melalui
Problem Based Learning. Kencana Prenada Media Group.
Alwasilah,
A. Chaedar. 2004. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)