Thursday, February 27, 2014

Lunturnya Sang Pusaka



 Critical Review 1

Lunturnya Sang Pusaka
(By: Susi Nurjanah)
Di atas tanah ini berdiri sang pusaka merah-putih dengan segala bentuk kehormatannya, disini pula tergambar kokohnya cengkraman garuda pada helaian pita putih bertuliskan BHINEKA TUNGGAL IKA. Kedua simbol yang tak terbantahkan lagi kesakralannya, perlambang negara kesatuan perlambang negara multikultural. Saat diajukan sebuah pertanyaan tentang negara dengan jumlah pulau terbanyak, pastilah akan muncul jawaban Indonesia. Ya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik sosial, budaya dan bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang berbeda. Hal ini tercermin dari 300 lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia sehingga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya terbanyak.

Kini bangsa yang besar ini tengah menahan rasa sakit karena keras terpental oleh pukulan sadis bernama ‘zaman’. Bhineka tunggal ika dan merah-putihpun perlahan kehilangan maknanya karena ulah manusia yang terlalu egois, mengaku dirinya benar dibawah payung agama. Seperti apa yang pernah terjadi di Poso, Maluku, Madura, dan Aceh pada level nasional, dan di Palestina, Afghanistan, Irak, Mesir dan Suriah pada level internasional. Untuk bangkit saja rasanya susah, terlalu banyak luka hunusan akibat perang konflik yang terjadi di seantaro negeri. Lihat saja serentetan berita konflik antar pelajar yang notabene mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda-beda.  Tergabung kedalam suatu kelompok tertentu dan menyerang kelompok lain yang dianggap tidak sejalan dengan aliran mereka. Apa yang terjadi dengan anak bangsa sekarang adalah prediksi masa depan, ini bukan hanya tentang masalah moral tentunya.
Sebuah cerita datang dari ibu kota Jakarata, dimana kekerasan sering kali terjadi.  Fakta menunjukan bahwa konflik yang sering terjadi bukan semata-semata mempertahankan eksistensi anggota, namun ini adalah budaya tahunan yang harus diteruskan ke generasi selanjutnya. Salah satu website okezone.com menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antara SMA 70 dan SMA 6 diwariskan sejak tahun 80-an. Disebutkan pula hasil wawancara dengan salah satu alumni SMA 70, Muhammad Ikhsan yang menilai konflik turunan ini tidak mudah untuk diselesaikan mengingat generasi bawah yang masih kuat sekali menyimpan dendamnya. Meskipun beberapa kali menggelar acara bersama antara kedua sekolah tersebut namun tetap saja pagelaran budaya tahunan berdarah masih lenggang berjalan.
Pusparagam ini terjadi pada zaman nenek moyang jauh sebelum Indonesia mengenal proklamasi yang seharusnya menjadikan bangsa ini lebih dewasa dalam menyikapi setiap tantangan heteroginitas, bukannya malah membenturkan hal yang memang jelas-jelas berbeda. Ditamabah fanatik terhadap kelompok agama tertentu menambah serentetan daftar panjang konflik yang terjadi di bumu pertiwi, dari mulai hinaan hingga hancurnya tempat peribadatan nampaknya legal bagi orang-orang yang mengaku dirinya pembela agama. Jika sudah begini lantas kemanakah fitrah manusia yang katanya “mahluk sosial” dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi?? Parahnya lagi Indonesia sudah benar-benar krisis sosok panutan, lihat saja jajaran kemeja berdasi yang duduk dikursi berlabel ‘uang rakyat’. Di tengah krisis kepercayaan ini, rakyat mencari perekat alternatif yang dapat menimbulkan rasa aman. Repotnya, pengalaman yang ditemukan para kerah berdasi itu bukanlah berskala nasional, tetapi lokal atau partikular. Agama, bahasa, etnisitas, dan lokalitas adalah simbol-simbol yang mereka pandang lebih konkret ketimbang simbol-simbol nasional, seperti Garuda Pancasila, bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia Raya. Identitas pluralisme tadi lebih mudah dicerna, dekat dengan kehidupan sehari-hari, cepat membangkitkan kolektifitas, dan dapat menjadi faktor pendorong gerakan massa, bahkan revolusi.
Maka dari sini muncullah esensi pendidikan sebagai wadah utama yang menopang tiang persatuan negara lewat hasil produknya yaitu (maha)siswa. Sebagian masih mengaggap bahwa next generation adalah calon pemegang tongkat estafet dari pelari sebelumnya, anggapan ini nampaknya kurang sesusai mengingat apa yang terjadi pada ‘tongkat’ turun temurun tersebut. 
Layakanya jaringan perusahaan, prinsip ekonomi yang selalu ditawarkan adalah ‘saling menguntungkan’. Sama halnya dengan pendidikan, ketika sekolah memproduksi benih-benih akademisi maka kualitas yang dihasilkan seharusnya berbanding lurus dengan modal yang ditanam baik dari wilayah mikro (keluarga) maupun makro (negara). Biaya yang dihabiskan untuk menyekolahkan seorang anak menyedot anggran keuangan keluarga yang tidak sedikit, tim keluarga cerdas Indonesia melakukan survey sederhana biaya dalam beberapa sekolah bonafit di Jakarta. Data dari hasil penelitian menyatakan ternyata uang sekolah untuk pendidikan naik sekitar 20% setiap tahunnya, biaya pendaftaran dari mulai playgroup, TK, SD, SMP dan SMA mencapa kisaran 11-15 juta bahkan untuk jenjang SMP dan SMA biaya pendaftaran bisa mencapai 40 hingga 50 juta.
            Akan jauh lebih panjang lagi jika bercerita tentang budget pemerintah yang telah menganggarkan 20 persen dari total APBN untuk pendidikan setiap tahunnya. Untuk itu kesadaran akan kualitas pendidikan harus diprioritaskan sebisa mungkin, karena inilah titik pusat peradaban suatu bangsa. Salah satu poin yang dikatakan A.Chaedar Alwasilah dalam artikelnya bahwa kualitas suatu negara ditentukan oleh kualitas system pendidikannya sangatlah tepat apalagi ditambah dengan bukti negara tetangga yang mampu melejit sebagi negara maju lewat hasil poduksi institusi pendidikan.
Seperti halnya di singapura, Mesir, Australia dan Jepang. Negara – Negara tersebut membangun sebuah system yang canggih untuk memajukan negaranya, yaitu memberikan perhatian yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Memperbanyak jumlah sekolah, meningkatkan kualitasnya secara sistematis, dan memberikan beasiswa besar – besaran kepada warganya yang memilki kemampuan memadai. Jepang yang dulu pernah dihantam bom atom pada saat perang dunia II, sekarang menjadi Negara maju. Negara industry terbesar setelah amerika serikat dengan tingkat perekonomian yang tinggi. Jepang menjadi sehebat itu karena pemimpinnya sangat perhatian pada dunia pendidikan.
Pemaparan chaedar alwasilah dalam bukunya terlihat sangat nyata bahwa implikasi pendidikan mampu menyentuh segala dimensi. Classroom discourse merupakan salah satu subsistem yang diyakini dapat menekan terjadinya konflik serta permasalahan yang terjadi di berbagai bidang social, dengan pengembangan metode ini diharapakan peserta didik mampu mengembangkan segala potensinya dengan kecerdasan social yang lebih baik. Tepatnya jenis metode ini lebih memberdayakan siswa dalam hal kemampuan interaksi dan saling mengahargai sesama, disamping itu kemampuan mengeluarkan pendapat sebagai latihan berfikir kritis juga lebih terasah dan poin plusnya adalah siswa terlatih menjadi warga negara yang demokratis dengan sendirinya.
Idealnya classroom discourse dimulai dari tingkat middle-school atau SMP dengan tingkatan diskusi yang bertahap.  Tertulis dalam artikel Chaedar-meskipun siswa tingkat SMP masih belum memiliki background knowledge yang cukup namun mereka bisa mengungkapkan pendapatnya lewat pernyataan “setuju” atau “tidak setuju”, keberhasilan classroom discourse tidak akan didapat secara instan tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Hal ini dibuktikan di salah satu middle-school di Amerika yang menerapkan classroom discourse dalam kelas matematika, ditahun pertama peserta didik kesulitan untuk menjalankan peran dan menyampaikan pendapatnya tetapi berkat kekuatan prinsip “learning by doing” akhirnya di tahun ke dua peserta didik mampu berkontribusi di dalam kelas secara natural.
Kegiatan ini berfokus pada peran penting seorang guru dan tingkat keaktifan peserta didik di dalam kelas. Mau tidak mau guru yang berfungsi sebagai fasilitator harus mampu mengatur jalannya classroom discourse, keahlian pedagogic yang dimiliki oleh seorang guru harus dimaksimalkan sebisa mungkin. Oral communication memang dianggap sebagai kebutuhan utama dalam pembelajaran dan perhatian pedagogic, salah satu fatkor inilah yang melatarbelakangi terjadinya classroom discourse yang bertujuan dalam membentuk communication skill.
Interaksi yang berlangsung selama pembelajaran melibatkan guru dengan peserta didik dan siswa dengan siswa. Selama proses ini berlangsung peserta didik akan mengatahui bagaimana cara untuk membangun ilmu pengetahuan, memahami peran dan hubungan yang dijalankan masing-masing individu. Sistem norma yang terbangun akan menumbuhkan kesadaran siswa betapa pentingnya rasa saling mengahargai karena mereka dituntut untuk berperan sebaik mungkin sebagai bagian dari warga kelas. Siswa perlu tahu kapan mereka mendengarkan dan kapan mereka mengambil bagian untuk berkontribusi dengan segala bentuk argumen yang telah mereka siapkan.  
Dihasilkan pula seperangkat nilai sosial yang terjadi dalam proses pembelajaran, dimana rasa saling menghargai akan hadir seiring gaduhnya proses classroom discourse. Hal ini dikarenkan bentuk pengajaran yang menyuguhkan nilai take and give dimana jika salah satu berbicara maka wajib bagi yang lain mendengarkan, tidak hanya itu keunikan classroom disoursepun memfasilitasi peserta didik untuk ber-argumen dan mencari solusi dari scenario masalah yang dibuat oleh pengajar dalam kelas. Kedua hal ini memiliki peran penting dalam kehidupan social yang nyata, dimana nilai dan rasa saling menghargai juga sikap tolong menolong sangat dibutuhkan ketika paserta didik menjalankan fungsi sebanarnya yaitu masyrakat sosial.
Adapun indikasi classroom discourse menyangkut lima dimensi kecakapan peserta didik, diantaranya :
1.      Menyimak
2.      Berpendapat
3.      Bertanya
4.      Menyatakan pernyataan “setuju” maupun “tidak setuju”
5.      Menacari solusi untuk mencapai mufakat dengan saling menghargai.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara siswa classroom discourse dengan non-classroom discourse. Penelitian yang berlangsung dikelas sastra dengan melibatkan dua kelompok belajar (besar dan kecil), siswa diminta menganalisis teks yang sama dan mempresntasikan hasil anlisisnya. Fakta menemukan bahwa siswa classroom discourse mempercayai esensi dari kegiatan diskusi literature yang berlangsung dalam kelompok kecil mereka, mereka lebih mampu mngembangkan kreatifitas secara gotong royong dan saling menghormati.
Meskipun penerapan classroom discourse mungkin berbeda dari satu guru ke guru lain-dari sekolah satu ke sekolah lain namun ada satu rangkaian pola umum yang menjadi acuan, yaitu Initiation—Response—Evaluation (IRE). Contoh kecilnya ketika guru bertanya kepada siswa dan diharapkan siswa mapu menjawab dengan tepat, kemudian guru akan mengevaluasi jawaban dari masing-masing peserta didik dengan menggunakan jenis frase seperti “bagus”, “jawabanmu benar”, atau “jawabanmu belum benar”.
Kegiatan yang sama juga akan berlangsung dalam interaksi antara siswa dengan siswa, mereka diharapakan mampu ber-argumentasi dan kemudian mengevaluasi satu sama lain dengan sikap yang positif. Sejalan dengan Chaedar bahwa metode positif ini harusnya berjalan secara rutin dalam beberapa mata pelajaran, bukan hanya untuk membentuk akademisi yang pintar namun juga mencetak output yang berkarakter sosial dalam masyarakat demokratis.
Tentu saja penting hukumnya untuk menegakkan rasa saling menghargai dan gotong royong antar sesama, mengingat tanah yang kita pijak ini beridentitas multikultural. Hal sepenting ini perlu ditancapkan pada generasi penerus bangsa sedini mungkin, dan pastinya pengalaman pendidikan yang diemban selama bertahun-tahun akan menentukan kualitas individu pada masa mendatang. Nilai gotong royong dan saling menghargai yang merekat dalam sendi-sendi pendidikan atau yang biasa ditemukan dalam classroom discourse akan dapat menecetak lulusan yang berjiwa sosial tinggi, hal ini menunjukan bahwa kepintaran bukan satu-satunya jawaban atas segala tantangan global dewasa ini.
Tantangan pluralisme yang berjalan seiring pembangunan bangsa masih menyisakan rangkaian produk aturan bermasalah, seperti Undang-Undang ataupun Perda bernuansa syariah di sejumlah daerah. Memang, hal yang paling sensitif ketika membicarakan isu pluralisme adalah agama. Meskipun konteks pluralisme tidak hanya bersinggungan dan konsen pada bidang teologi, hanya saja memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat pada keyakinan, iman, dan kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang memprihatinkan. Hamparan segala jenis perbedaan dari titik sabang sampai merauke menjadi lahan subur tumbuhnya disintegrasi.
Adanya berbagai konflik ini biasanya terkait dengan konsep Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.
Hilangnya satu faktor kuat yang dapat menumbuhkan kebanggaan kolektif bangsa atau pemersatu bangsa menjadi masalah krusial. Sesekali perasaan menjadi satu muncul, seperti saat beberapa atlet negeri memenangkan kejuaraan internasional, tsunami di Aceh, atau ketika Malaysia “merampas” pulau dan budaya Indonesia. Namun semua itu hanya letupan api sesaat yang mudah hilang. Pada momen lain, kebersamaan itu tercabik-cabik oleh konflik horisontal antar kelompok, seperti saat pemilu. Pluralisme yang terkait dengan karakter dan jatidiri bangsa, dalam realitas aktual juga menunjukkan suatu “kebangkrutan moral” diberbagai bidang : korupsi, mafia hukum, tawuran dan kemunafikan dalam politik. Hal ini tidak relevan untuk mengacu pada tata nilai tradisional yang dianut oleh etnik nusantara dengan sikap dan tatakrama terhadap sesama dan lingkungan.
Titik terang dari sekelumet permaslahan ini telah disampaikan Chaedar secara gamblang. Keterhubungan nilai-nilai pendidikan dengan semangat persatuan harusnya mengakar kuat pada satu pohon, bertunas dan berbuah secara bersama-sama. (maha)siswa sebagai produk dari pendidikan harus mengambil andil sedini mungkin dalam terciptanya kerukunan diatas pusparagam. Penerapan metode classroom discourse yang akan mencetak lulusan berpengetahuan sekaligus berbudi pekerti, kedua hal yang saat ini sangat mahal dan jarang sekali ditemui.
Jika pendidikan di Indonesia tidak segera diperbaharui, maka bangsa ini akan semakin terisolir dengan sendirinya. Lihat saja Jepang dengan bangganya memeperkenalkan pendidikan moral yang selama bertahun-tahun diyakini sebagai sesuatu yang bernilai. Hebatnya lagi mereka mengaku bahwa intisari berbagai macam agama dan etika yang ada di dunia adalah landasan dibentuknya pendidikan moral di Jepang, selain khusus ada jam pelajaran tentang moral (doutoku), pesan-pesan moral juga terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran. Untuk meniali  pemahaman siswa tentang pelajaran moral yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan, atau menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang  tema moral tertentu (proses menilai-handan ryoku). Kadang para siswa juga diputarkan film yang memiliki muatan moral yang akan diajarkan, dan diajak untuk berdiskusi isi dari film tersebut.
Sebenarnya indonesiapun telah mengadopsi pendidikan moral yang berasal dari nilai-nilai pancasila, namun entah mengapa negara ini seperti memiliki penghapus super canggih yang dengan sekejap waktu menghilangkan eksistensi moral itu sendiri. Hampir saja terlupakan ketika Bung Karno pernah berkata bahwa dari lima sila Pancasila jika diperas maka akan menjadi Tri Sila yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan. Dari Tri Sila tersebut jika diperas lagi maka akan menjadi satu perkataan yaitu gotong-royong, dan gotong-royong adalah dasar dari semua sila Pancasila. Walaupun pada dasarnya kita semua memiliki perberbedaan, namun semua itu harusnya tidak mengurangi semangat kegotong-royongan dalam membangun bangsa.
Naasnya semangat gotong royong (persatuan) dan saling menghargai nampaknya hanya mitos belaka bagi generasi muda sekarang. Derasnya arus globalisasi menjadikan aktualisasi dari pameo tersebut terseret jauh dari kehidupan masyarakat saat ini.  Tak perlu menutup mata pada kenyataan hari ini, bahwa gotong royong dan rasa saling menghargai telah menjadi ‘budaya langka’, nilai luhur yang pernah menjadi jati diri bangsa kini menjadi asing di negerinya sendiri.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, tentunya sangat mudah memprediksi apa yang akan terjadi jika semangat integrasi semakin tersingkirkan, digantikan nilai-nilai individualisme yang lahir dari perkawinan antara kapitalisme dan neoliberalisme. Apa yang terjadi kemudian adalah semakin mudahnya bangsa ini dipecah-belah, dikotak-kotakan, dan diadu-domba oleh pihak asing yang tentu akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Imbasnya, warna merah putih yang sejatinya identitas kita akan terancam pudar, seiring dengan pudarnya semangat gotong royong itu sendiri. Senada dengan hal tersebut, Djuyoto Suntani telah menuangkan gagasannya dalam buku berjudul Tahun 2015, Indonesia “Pecah”. Menurutnya, Indonesia kini juga sedang digarap untuk dipecah-pecah menjadi sekitar 17 negara bagian oleh kekuatan kelompok kapitalisme dan neoliberalisme, yang berakar pada paham sekularisme. Sebabnya adalah tidak ada figur atau tokoh pemersatu yang berperan menjadi Bapak Seluruh Bangsa, pertengkaran sesama anak bangsa yang terus terjadi di tengah upaya strategis dari konspirasi global, dan adanya nama Indonesia yang bukan asli dari Nusantara.
Manusia yang belajar dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan bahwa hidup bermasyarakat secara damai dan penuh keselarasan adalah suatu kebutuhan yang kemudian akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Bahwa sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, maka pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap yang lain. Hal tersebut menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang mendambakan keselarasan berujung perdamaian, bukan kekerasan berujung perpecahan seperti yang sering terjadi hari ini. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya diperlukan upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi dengan sesama.
Harapan besar negara kesatuan ini terletak pada genearsi muda, sesuatu yang akan dipersembahkan dari serangakaian pendidikan yang dijalani anak bangsa. Modal harus terbayar dengan nilai kualitas, produk akdemisi yang tercetak harus mampu mempertahankan integrasi bangsa. Rasanya sudah bukan zamannya lagi jika terus-menerus berbicara tentang pluralitas, toh judulnya saja “Negara Multikultural”. Tanggungjawab besar ini milik anak bangsa, lewat pengalaman dan pengetahuannya mereka dituntut menjaga persatuan ideology bangsa. Kerjasama antara system pendidikan dalam membangun integritas bangsa lewat keunikan classroom discourse yang dtawarkan menjadi pilihan yang patut diambil, dengan konsepsi yang mengedepankan nilai-nilai kerjasama dan saling menghargai semoga Indonesia mampu bertahan dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia.


References
Okezone.com
KeluargaCerdas.com
Alwasilah,A.Chaedar.2004.Pokoknya Rekayasa Literasi.Bandung-PT Kiblat Buku Utama.









           
           
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment