Thursday, February 27, 2014

Religious Harmony : Panglima menciptakan Keharmonisan, Bangsa Membuka Jendela Dunia

Critical Review:


Religious Harmony : Panglima menciptakan Keharmonisan, Bangsa Membuka Jendela Dunia
Teringat dengan sebuah Beatboxer, perpaduan musik yang berasal dari mulut manusia yang berbeda sehingga menghasilkan musik yang seirama. Dari perbedaan itu bisa menghasilkan suatu karya musik yang luar biasa dengan alunan nada yang begitu cepat tetapi menghasilkan nada yang unik dan tidak berbeda jauh dengan alat musik yang lainnya. Begitupun dengan bangsa kita yang berbeda budaya, suku, ras, bahasa, agama ataupun kebiasaan tetapi dengan perbedaan itu, tidaklah menjadi suatu perkara yang besar hingga merusak bangsa kita sendiri. Jika musik Beatbox bisa menjadi satu dan menghasilkan karya musik yang unik, mengapa kita sebagai makhluk hidup tidak menjadikan perbedaan itu menjadi satu kesatuan sehingga bisa menghasilkan sebuah karya yang luar biasa? Bangsa kita cukup sulit untuk mempersatukan sebuah perbedaan tersebut, untuk mempersatukannya hanyalah kesadaran dalam benak, jiwa mapun raga kita. Untuk itu, seharusnya bangsa kita menyampingkan semua bentuk ego, vested interests (mengharapkan keuntungan pribadi), dan kesombongan demi kemajuan sistem pendidikan. Bangsa kita juga harus siap mengatasi semua rintangan, menghadapi semua resiko, dan berkorban, demi kemajuan pendidikan. Misi utama bangsa ini adalah memberikan pendidikan yang terbaik, dan menghantarkan bangsa kita ke masa depan yang lebih baik. “The task of the leader,” kata  Henry A. Kissinger, “is to get his people from where they are to where they have not been.”

Untuk itu, dengan adanya wacana Classroom Discourse to Foster Religious Harmony Karya Prof. Chaedar Alwasilah, berharap bangsa kita bisa memupuk kerukunan beragama untuk menghasilkan kualitas negara yang baik dan untuk menghasilkan kualitas negara kita yang baik, maka kita sebagai pendidik harus bertanggung jawab dalam membentuk generasi penerus sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diterapkan dalam hukum pendidikan nasional. Karena itu Prof. Chaedar mengatakan bahwa salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar, untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia dini. Hal ini paling mendesak bahwa sekolah mempromosikan program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa.
Teori Rubin : 2009 mengatakan berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan ini dimana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya “Peer Interaction” adalah komponen penting dalam teori pembangunan social. Konsep interaksi tersebut terjadi ketika semasa Sekolah Dasar yang memang lingkungan berbeda agama bahkan seorang Gurupun beragama Kristen. Ketika Guru tersebut mengajarkan kepada siswanya, guru tersebut tidak menunjukkan perbedaan agama bahkan guru itu membuat para siswa semangat dalam pembelajaran serta berinteraksi dengan teman sebaya tetap berjalan dengan baik, karena guru tersebut selalu mengontrol para siswanya. Dengan perbedaan agama tersebut tak membuat para siswa bercekcok tetapi membuat perbedaan itu menjadi kesatuan dalam pembelajaran. Serta guru tersebut, selalu memberikan tugas-tugas kelompok agar siswanya terbentuk dalam jiwa kesatuan. Bahkan para siswa dituntut untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti degung, drama dan lainnya. Hal ini, untuk lebih memperkuat tali persaudaan agar lebih dekat dan menghindari konflik sosial. Inilah salah satu contoh dan bukti real bahwa “peer interaction” sangat penting untuk diterapkan. Karena justru guru yang berbeda agama lebih menghormati perbedaan dan tak menjadikan perbedaan itu sebagai persaingan tetapi menjadi siswa yang berkreatif, saling menghormati, bisa beradaptasi dengan lingkungan tersebut serta bisa berinteraksi dengan baik pula.
Dengan adanya karya tulis ini, akan membongkat paradigma generasi muda di balik keadaan bangsa kita yang terjadi saat ini dan apa yang mesti dirubah dalam persoalan seperti ini. Bahkan dalam UU Sisdiknas Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan begara.”
Bagian ini memperlihatkan tujuan dan sekaligus falsafah dari pendidikan yang harus diselenggarakan oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Tidak ada yang bermasalah secara esensial kelihatannya. Bukti yang paling kasat mata adalah kurikulum dan proses pembelajaran yang dipraktikkan di berbagai sekolah. Kalau memang pendidikan di negeri ini ingin mewujudkan pribadi yang “memiliki kekuatan spiritual, beragama, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, berakhlak mulia, cerdas, dan terampil”, apakah kurikulum pendidikan yang dirancang sudah memadai? Dari sisi struktur pelajaran saja sama sekali tidak menunjukkan itu. Pelajaran agama hanya diberi porsi sangat rendah. Bagaimana mungkin dengan pengajaran agama yang hanya 2 jam per minggu dapat mengajarkan agama dengan baik? Apalagi bercita-cita mewujudkan pribadi yang beragama dan berakhlak mulia.
Baru dilihat dari jumlah jam pelajaran saja disangsikan apakah kurikulum di sekolah-sekolah yang ada saat ini mampu mewadahi tujuan yang begitu luhur. Apalagi kalau kurikulum yang dijalankan dibedah sampai ke akar epistemologinya. Akan segera semakin nyata ditemukan ketidakmungkinan kurikulum itu mengantarkan peserta didik sesuai dengan tujuan Sisdiknas di atas. Buktinya telah nyata di hadapan mata: secara moral kualitas keluaran pendidikan di negeri ini tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang diharapkan! Kalaupun cerdas cenderung merusak. Kecerdasannya tidak mampu menemukan esensi kesejatian dirinya sehingga lahir pribadi-pribadi yang terpecah (split personality).
Selain itu, Prof.Chaedar mengatakan bahwa untuk mewujudkan kerukunan umat beragama  harus dikembangkan mulai dari sekolah sedini mungkin, karena pada usia tersebut anak-anak tidak mungkin mengerti tentang perbedaan yang mereka tahu hanyalah kesenangan semata dan pemikiran anak-anak masih belum mengetahui sepenuhnya. Sedangkan peran keluarga maupun lingkungan yang mengayomi dan mengajari mereka dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan usianya. Ketika di sekolah, mereka akan mengenal perbedaan agama, budaya, latar belakng sosial yang berbeda dan lainnya, disinilah mereka terbentuk dengan lingkungan tersebut dan seharusnya sekolah memfasilitasi interaksi berkelompok sehingga mereka lebih mengenal perbedaan tersebut dengan sendirinya yang bertujuan untuk mengembangkan warga negara yang baik maupun positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganagaraan. Serta sebagai guru harus bisa mengamplikasikan yang menyangkut tentang Clasroom Discourse yaitu menyimak, berpendapat, bertanya, menyatakan setuju atau tidak setuju. Hal ini adalah salah satu praktek untuk mencapai warga negara yang baik dan memupuk rasa hormat terhadap sesama manusia walaupun dengan adanya perbedaan agama maupun perbedaan lainnya. Mereka juga harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung dan juga melatih berbicara. Serta mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Pada sekolah dasar, guru berfungsi untuk mengawasi siswa sepanjang hari dengan tujuan untuk mengontrol mereka dalam berinteraksi dengan teman sebayanya atau disebut dengan “peer interaction”.

Ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan formal, mereka memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu. Sebagai guru berfungsi untuk meyakinkan bahwa kegiatan yang mempengaruhi orang sebaya berjalan dengan benar, mereka juga bisa mengembangkan diskursus pendidikan positif seperti yang diajarkan dalam mata pelajaran PKN yang mengajarkan bahwa sebagai siswa harus berinterksi dengan agama, etnik maupun sosial yang berbeda. Karena inilah yang menjadi landasan kita sebagai warga negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Walaupun berbeda tetapi tetap satu tujuan khususnya untuk membangun negara Republik Indonesia agar lebih maju dan memiliki intelektual yang tinggi serta attitute yang baik pula, sehingga tidak akan terjadi persaingan ataupun ketidakharmonisan antar agama yang terjadi di negeri ini. Untuk itu, kegiatan “Interaksi sebaya (Peer Interaction)” harus diimplementasikan sebagai kegiatan kelas yang rutin. Semua harus diberikan peluang untuk berinteraksi dengan kelompok lain untuk mempraktekan menyimak dan berpendapat. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak bangsa yang berfungsi sebagai bagian dari negara yang demokratis. Dengan bukti sebuah laporan penelitian oleh Apriliaswati (2011) menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi juga menciptakan murid yang berkarakter. Ilmu pengetahuan berperan penting dalam membentuk kaum intelektual, sementara “Civil Discourse” berperan dalam membentuk kaum yang berkarakter. Idealnya, kebijakan ini harus diterapkan di sekolah yang mana mempekerjakan staf dan personel yang berbeda agama, etnik, kelompok sosial dan lainnya. Kampus juga seharusnya menyediakan tempat beribadah untuk semua agama. Siswa akan belajar bagaimana masing-masing agama menjalankan ritualnya. Hal inilah yang akan menjadi cara efektif untuk menjalankan pendidikan agama dalam sekolah yang multikultural.
Disamping itu, terdapat bukti lain dari pemerintah yaitu dengan adanya “TRI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA”. Dalam hal ini menyadari fakta kemajemukan Indonesia, pemerintah telah mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era tahun 1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Tujuan utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia adalah agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep ini dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Pada gilirannya, dengan terciptanya tri kerukunan itu akan lebih memantapkan stabilitas nasional dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
1.      Pertama: Kerukunan Intern Umat Beragama
Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan ormas keagamaan.
2.      Kerukunan Antar Umat Beragama
Konsep kedua ini mengandung makna kehidupana beragama yang tentram, harmonis, rukun dan damai antar masyarakat yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak ada sikap saling curiga tetapi selalu menghormati agama masing-masing.
Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah agar tidak terjadi saling mengganggu umat beragama lainnya. Semaksimal mungkin menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun, damai, tentram dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai negara kesatauan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Karena itu ada empat pilar pokok yang sudah disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai nilai-nilai perekat bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat nilai tersebut merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia. Kerukunan dan keharmonisan hidup seluruh masyarakat akan senantiasa terpelihara dan terjamin selama nilai-nilai tersebut dipegang teguh secara konsekwen oleh masing-masing warga negara.
3.      Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Undang Undang Dasar 1945 bab IX Pasal 19 Ayat (1) menyiratkan bahwa agama dan syariat agama dihormati dan didudukkan dalam nilai asasi kehidupan bangsa dan negara. Dan setiap pemeluk agama bebas menganut agamnya dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Hal ini dapat dibuktikan mengenai pengaruh agama dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat besar, yaitu sentuhan dan pengaruhnya tampak dirasakan memberi bekas yang mendalam pada corak kebudayaan Indonesia. Bahkan, ketahanan nasional juga harus berangkat dengan dukungan umat beragama, artinya bagaimana agar kaum beragama mempunyai kemampuan dan gairah untuk tampil dan kreatif membina dan meningkatkan ketahanan nasional khususnya, dan pembinaan sosial budaya pada umumnya sehingga nilai-nilai agama dan peranan umat beragama benar-benar dirasakan dan mempengaruhi pertumbuhan masyarakat.
PERANAN PEMERINTAH DALAM MEMBINA KEHIDUPAN BERAGAMA
Peranan pemerintah dalam membina kehidupan beragama sangat penting, karena pemerintah menyelenggarakan tugas pokok Departemen Agama itu,diantara lain berbentuk bimbingan, pemnbinaan dan pelayanan terhadapa kehidupan beragama, sama sekali tidak mencampuri maslah aqidah dan kehidupan intern masing-masing agama dan pemeluknya. Namun, pemerintah perlu mengatur kehidupan ekstern mereka, yaitu dalam hubungan kenegaraan dan kehidupan antar pemeluk agama yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada buku Pedoman Dasar Kehidupan Beragama tahun 1985-1986 Bab IV halaman 49 disebutkan hal-hal sebagai berikut :
1) Kerukunan hidup beragama adalah proses yang dinamis yang berlangsung sejalan  dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.
2) Pembinaan kerukunan hidup beragama adalah upaya yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengan:
a) menanamkan pengertian akan nilai kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama.
b) mengusahakan lingkungan dan keadaan yang mampu menunjang sikap dan tingkahlaku yang mengarah kepadakerukunan hidup beragama.
c) menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan hidup beragama.
3) Kondisi umat beragama di Indonesia. Pelaksanaan pembinaan kerukunan hidup beragama dimaksudkan agar umat beragama mampu menjadi subjek pembangunan yang bertanggung jawab, khususnya pembinaan kerukunan hidup beragama.
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MENCIPTAKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Setelah peranan pemerintah dalam membina kerukunan beragama telah menyelenggarakan tugasnya masing-masing, tetapi untuk menjalankannya terdapat hambatan-hambatan dalam menciptakan kerukunan umat beragama ini, hal ini dikarenakan beberapa alasan, yaitu :
1) Semakin meningkat kecenderungan umat beragama untuk mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan agama dari pada mengejar kualitas umat beragama.
2) Kondisi sosial budaya masyarakat yang membawa umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga kerukunan dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun maknanya.
3) Keinginan mendirikan rumah ibadah tanpa memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung perasaan umat beragama yang memang mayoritas di tempat itu.
4) Menggunakan mayoritas sebagai sarana penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah. Misalnya, pemilikan dana dan fasilitas pendidikan untuk memaksakan kehendaknya pada murid yang belajar.
5) Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan kekeluargaan atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis.
Dari berbagai kondisi yang mendukung kerukunan hidup beragama maupun hambatan-hambatan yang ada, agar kerukunan umat beragama dapat terpelihara maka pemeritah dengan kebijaksanaannya memberikan pembinaan yang intinya bahwa masalah kebebasan beragama tidak membenarkan orang yang beragama dijadikan sasaran dakwah dari agama lain, pendirian rumah ibadah, hubungan dakwah dengan politik, dakwah dan kuliah subuh, batuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia, peringatan hari-hari besar agama, penggunaan tanah kuburan, pendidikan agama dan perkawinan campuran.
Jika kerukunan intern, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara harmonis, niscaya perhatian dan konsentrasi pemerintah membangun Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT akan segera terwujud, berkat dukunag umat beragama yang mampu hidup berdampingan dengan serasi. Sekaligus merupakan contoh kongkret kerukunan hidup beragama bagi masyarakat dunia. Dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS DALAM MEMANTAPKAN KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA
Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama, diarahkan kepada 4 (empat) strategi yang mendasar yakni:
a. Para pembina formal termasuk aparatur pemerintah dan para pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan komponen penting dalam pembinaan kerukunan antar umat beragama.
b. Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus ke sikap primordial.
c. Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat adanya kurang informasi atau saling pengertian diantara sesama umat beragama.
d. Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat beragama.
Inilah salah satu bukti bahwa pemerintahpun memiliki konsep Tri kerukunan umat beragama dengan tujuan agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep inipun dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Upaya-upaya berkaitan kegiatan kerukunan umat beragama tersebut merupakan sebuah proses tahap demi tahap yang harus dilalui secara seksama agar perwujudan kerukuanan umat beragama benar-benar dapat tercapai. Di samping itu, ia juga merupakan upaya terus-menerus tanpa henti dan hasilnya tidak diperoleh secara instan.
Dengan adanya “Classroom Discourse” inilah menjadi salah satu metode pengajaran yang efektif untuk diimplikasikan di bangsa ini. Sistem pendidikan di Indonesia ini harus dibenahi dengan metode tersebut, karena latar belakang Classroom Diccourse ini banyak perbedaan yang muncul dari konflik ras, agama dan lainnya yang terjadi pada siswa. Prof.Chaedar pun menyuruh mahasiswa untuk membuat Classroom Discourse dengan tujuan untuk saling menghormati, tolong menolong, saling berbagi, harus lebih sopan ketika mengeluarkan pendapat agar bisa direalisasikan dalam masyarakat dan sosial juga.
Selain itu, Prof.Chaedar juga mengatakan bahwa jika kita ingin mengetahui kualitas bangsa, maka kita hanya melihat dari segi kualitas dan praktek sistem pendidikan. Hal ini terbukti bahwa  “Education,” kata Nelson Mandela, “is the most powerful weapon which you can use to change the world.”  Sebaliknya, bangsa yang sistem pendidikannya amburadul atau karut marut akan menjadi bangsa pesakitan, tanpa keunggulan, martabat, dan kedaulatan. Bangsa seperti ini akan selalu kalah sebelum berperang dan gampang dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Jangankan mengubah dunia, bangsa seperti ini tidak akan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Sedangkan krisis pendidikan yang dihadapi umat manusia termasuk di Indonesia, sudah sampai pada taraf yang begitu mengkhawatirkan. Kita lihat saja kasus di Indonesia, selain soal anggaran yang selalu saja setiap waktu menjadi perbincangan hangat, sesungguhnya krisis terjadi pada tubuh pendidikannya itu sendiri. Dari sisi pembiayaan pendidikan, pendidikan di Indonesia sedang sampai pada titik yang begitu mengkhawatirkan. UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang beberapa waktu lalu disahkan diprediksi akan semakinn melegitimasi pendidikan Indonesia yang sudah semakin berhaluan neoliberal dan diselenggarakan sebagai pasar. Seharusnya, pendidikan Indonesia menjadi pendidikan liberal karena pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswa dari kebutaan dan fanatik terhadap yang lain dan mempersiapkan siswa dalam menjalankan tugasnya sebagai warga negara yang demokratis. Serta pendidikan liberal ini sangatlah penting untuk membentuk manusia seutuhnya dan mempunyai pengetahuan untuk menghindari konflik sosial. Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus menyangkut pengetahuan tentang etnik, agama, bahasa, budaya maupun yang lainnya. Inilah salah satu cara yang sangat mudah untuk memprediksi masa depan suatu bangsa adalah dengan berkaca pada sistem pendidikannya. Melihat dan memahami sistem pendidikan suatu bangsa sama halnya dengan meneropong masa depan bangsa tersebut. Apa yang terjadi hari ini dalam sistem pendidikan satu bangsa mencerminkan apa yang akan terjadi pada bangsa tersebut di masa yang akan datang. Jika bangsa yang memiliki sistem pendidikan bermutu dapat diperkirakan akan menjadi bangsa yang kuat dan berdaya saing tinggi. Sebaliknya, bangsa yang sistem pendidikannya tidak bermutu dapat diperkirakan akan menjadi bangsa yang lemah dan sistem pendidikan yang bermutu ini maka akan melahirkan generasi muda bangsa yang bermutu pula, yaitu generasi muda yang beriman, berilmu, dan berkarakter, yang mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, memahami berbagai permasalahan yang dihadapi bangsanya, dan memiliki komitmen serta kompetensi tinggi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi bangsanya. Generasi muda bermutu akan menjadi bagian dari pemecahan masalah (part of problem solvers) bagi bangsanya. Pada saatnya, generasi muda bangsa yang beriman, berilmu, dan berkarakter akan menjadi pemimpin yang visioner dan mampu menginspirasi bangsanya untuk terus bekerja keras dan cerdas, dengan penuh semangat, motivasi, komitmen, dan disiplin tinggi. Mereka akan menjadi agen perubahan (agent of change) dan lokomotiof pengembangan bagi bangsanya menuju destinasi masa depan yang lebih baik, sebagai bangsa yang unggul, berdaulat, bermartabat, dan berperadaban tinggi. Sebaliknya, sistem pendidikan yang tidak bermutu akan melahirkan generasi muda bangsa yang tidak bermutu pula, yaitu generasi yang tidak beriman, tidak berilmu dan tidak berkarakter.
Generasi muda seperti ini tidak punya visi yang jelas tentang masa depan bangsanya. Mereka tidak memahami siapa dirinya, permasalahan bangsanya, dan apa yang harus dilakukan untuk bagsanya. Mereka akan selalu menjadi bagian dari masalah (part of the prolems). Ketika kelak menjadi pemimpin, generasi bangsa yang tidak bermutu akan menjadi pemimpin yang selalu ragu, cemas, dan berkeluh kesah, karena tidak memahami apa yang terjadi, tidak tahu pasti apa yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan, dan selalu tidak siap menerima resiko dari keputusan dan tindakannya. Para pemimpin seperti ini tidak akan mampu menjadi penyemangat dan inspirator bagi bangsanya untuk maju dan berubah. Mereka hanya akan berkeluh kesah, saling menyalahkan, dan meratapi setiap permasalahan. Mereka tidak punya landasan idiil untuk menatap masa depan bangsanya. Mereka tidak punya karakter untuk secara disiplin, konsisten, adil, dan bertangung jawab memperjuangkan kepentingan bangsanya. Mereka tidak punya agenda strategis untuk mengubah peruntungan bangsanya. Pada saatnya para pemimpin seperti ini hanya akan mewariskan bangsa yang “penakut,” “peniru,” dan “pengekor,” yang masa depannya ditentukan atau didikte oleh bangsa lain, sehingga lambat laun akan menjadi bangsa yang “tergadai” dan “terjajah.”
Hubungan antara mutu sistem pendidikan kita hari ini dan masa depan bangsa kita sangatlah jelas dan akan terbukti. Hubungan tersebut dilandasi oleh logika yang sangat sederhana, bahwa pendidikan bermutu akan melahirkan SDM bermutu pula, dan SDM bermutu dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa, dan untuk membangun peradaban bangsa. Dengan logika tersebut, jelaslah bahwa pendidikan yang bermutu adalah elan vital bagi kemajuan satu peradaban. Bangsa-bangsa berperadaban tinggi adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem pendidikan sangat bermutu. Membangun sistem pendidikan bermutu adalah satu-satunya cara untuk membangun bangsa yang kuat dan berperadaban tinggi.
Jadi, untuk para calon generasi penerus bangsa yang mempunyai literasi yang tinggi dan intelektual harus bisa mengamanahkan urusan pendidikan kepada orang-orang yang memahami pendidikan, mencintai pendidikan, dan berkomitmen terhadap kemajuan pendidikan adalah langkah awal yang sangat penting bagi para pemimpin suatu bangsa khususnya untuk para calon generasi penerus ini, untuk mewujudkan sistem pendidikan yang baik dan bermutu. Sebaliknya, mengamanahkan urusan pendidikan kepada orang-orang yang tidak memahami dan mencintai pendidikan adalah awal bagi kehancuran sistem pendidikan, yang pada akhirnya secara perlahan akan menyebabkan kehancuran bangsa. Dan seandainya kondisi ideal kerukunan tersebut sudah tercapai bukan berarti sudah tidak diperlukan lagi upaya untuk memelihara dan mempertahankannya. Justru harus ditingkatkan kewaspadaan agar pihak-pihak yang secara sengaja ingin merusak keharmonisan kerukunan hidup atau kerukunan umat beragama di Indonesia tidak bisa masuk. Karena itu kerukunan umat beragama sangat tergantung dan erat kaitannya dengan ketahana nasional Indonesia.
Dalam hal ini pendidikan benar-benar menjadi faktor yang menentukan (determinant factor) bagi masa depan satu bangsa. Serta pendidikan merupakan jendela dunia (window of the world) karena pendidikan menuntun kita untuk menjelajah, memahami, dan memaknai dunia di sekitar kita. Bangsa yang membiarkan sistem pendidikan nasionalnya terpuruk dan penuh problematika adalah bangsa yang tidak bertanggung jawab dan pasrah terhadap masa depannya. Mencermati kondisi pendidikan nasional kita hari ini secara seksama bukanlah upaya mencari-cari kesalahan, tetapi sebuah langkah penting untuk menemukan rancangan yang tepat bagi masa depan kita. Merancang dan menata sistem pendidikan berarti merenda masa depan. Jika hari ini kita belum puas dengan sistem pendidikan nasional kita dan terus membiarkan kita tidak puas dengannya, dapat dipastikan bahwa masa depan yang tidak bahagia telah menanti kita. Jika kita menginginkan sebuah masa depan yang bahagia bagi bangsa kita, maka hanya ada satu cara, yaitu memastikan bahwa hari ini kita memiliki sistem pendidikan nasional yang bermutu, yaitu sistem pendidikan yang membahagiakan dan membanggakan kita.


REFERENCE
Alwasilah, A.Chaedar.  2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung : PT Kiblat Buku Utama.


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment