Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Ummi Kulsum
Critical Review:
Religious Harmony : Panglima menciptakan Keharmonisan,
Bangsa Membuka Jendela Dunia
Teringat dengan
sebuah Beatboxer, perpaduan musik yang berasal dari mulut manusia yang berbeda
sehingga menghasilkan musik yang seirama. Dari perbedaan itu bisa menghasilkan
suatu karya musik yang luar biasa dengan alunan nada yang begitu cepat tetapi
menghasilkan nada yang unik dan tidak berbeda jauh dengan alat musik yang
lainnya. Begitupun dengan bangsa kita yang berbeda budaya, suku, ras, bahasa,
agama ataupun kebiasaan tetapi dengan perbedaan itu, tidaklah menjadi suatu
perkara yang besar hingga merusak bangsa kita sendiri. Jika musik Beatbox bisa
menjadi satu dan menghasilkan karya musik yang unik, mengapa kita sebagai
makhluk hidup tidak menjadikan perbedaan itu menjadi satu kesatuan sehingga
bisa menghasilkan sebuah karya yang luar biasa? Bangsa kita cukup sulit untuk
mempersatukan sebuah perbedaan tersebut, untuk mempersatukannya hanyalah
kesadaran dalam benak, jiwa mapun raga kita. Untuk itu, seharusnya bangsa kita menyampingkan semua bentuk ego, vested interests (mengharapkan keuntungan
pribadi), dan kesombongan demi kemajuan sistem pendidikan. Bangsa kita juga
harus siap mengatasi semua rintangan, menghadapi semua resiko, dan berkorban,
demi kemajuan pendidikan. Misi utama bangsa ini adalah memberikan pendidikan
yang terbaik, dan menghantarkan bangsa kita ke masa depan yang lebih baik. “The
task of the leader,” kata Henry A.
Kissinger, “is to get his people from where they are to where they have not
been.”
Untuk itu, dengan
adanya wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” Karya Prof. Chaedar Alwasilah, berharap
bangsa kita bisa memupuk kerukunan beragama untuk menghasilkan kualitas negara
yang baik dan untuk menghasilkan kualitas negara kita yang baik, maka kita
sebagai pendidik harus bertanggung jawab dalam membentuk generasi penerus
sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana
diterapkan dalam hukum pendidikan nasional. Karena itu Prof. Chaedar mengatakan
bahwa salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah
untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar, untuk mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan
dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Untuk mewujudkan
tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal
usia dini. Hal ini paling mendesak bahwa sekolah mempromosikan program-program
kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan
siswa.
Teori Rubin : 2009 mengatakan berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan ini dimana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya “Peer Interaction” adalah komponen penting dalam teori pembangunan social. Konsep interaksi tersebut terjadi ketika semasa Sekolah Dasar yang memang lingkungan berbeda agama bahkan seorang Gurupun beragama Kristen. Ketika Guru tersebut mengajarkan kepada siswanya, guru tersebut tidak menunjukkan perbedaan agama bahkan guru itu membuat para siswa semangat dalam pembelajaran serta berinteraksi dengan teman sebaya tetap berjalan dengan baik, karena guru tersebut selalu mengontrol para siswanya. Dengan perbedaan agama tersebut tak membuat para siswa bercekcok tetapi membuat perbedaan itu menjadi kesatuan dalam pembelajaran. Serta guru tersebut, selalu memberikan tugas-tugas kelompok agar siswanya terbentuk dalam jiwa kesatuan. Bahkan para siswa dituntut untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti degung, drama dan lainnya. Hal ini, untuk lebih memperkuat tali persaudaan agar lebih dekat dan menghindari konflik sosial. Inilah salah satu contoh dan bukti real bahwa “peer interaction” sangat penting untuk diterapkan. Karena justru guru yang berbeda agama lebih menghormati perbedaan dan tak menjadikan perbedaan itu sebagai persaingan tetapi menjadi siswa yang berkreatif, saling menghormati, bisa beradaptasi dengan lingkungan tersebut serta bisa berinteraksi dengan baik pula. Dengan adanya karya tulis ini, akan membongkat paradigma generasi muda di balik keadaan bangsa kita yang terjadi saat ini dan apa yang mesti dirubah dalam persoalan seperti ini. Bahkan dalam UU Sisdiknas Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa :
Teori Rubin : 2009 mengatakan berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan ini dimana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya “Peer Interaction” adalah komponen penting dalam teori pembangunan social. Konsep interaksi tersebut terjadi ketika semasa Sekolah Dasar yang memang lingkungan berbeda agama bahkan seorang Gurupun beragama Kristen. Ketika Guru tersebut mengajarkan kepada siswanya, guru tersebut tidak menunjukkan perbedaan agama bahkan guru itu membuat para siswa semangat dalam pembelajaran serta berinteraksi dengan teman sebaya tetap berjalan dengan baik, karena guru tersebut selalu mengontrol para siswanya. Dengan perbedaan agama tersebut tak membuat para siswa bercekcok tetapi membuat perbedaan itu menjadi kesatuan dalam pembelajaran. Serta guru tersebut, selalu memberikan tugas-tugas kelompok agar siswanya terbentuk dalam jiwa kesatuan. Bahkan para siswa dituntut untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah, seperti degung, drama dan lainnya. Hal ini, untuk lebih memperkuat tali persaudaan agar lebih dekat dan menghindari konflik sosial. Inilah salah satu contoh dan bukti real bahwa “peer interaction” sangat penting untuk diterapkan. Karena justru guru yang berbeda agama lebih menghormati perbedaan dan tak menjadikan perbedaan itu sebagai persaingan tetapi menjadi siswa yang berkreatif, saling menghormati, bisa beradaptasi dengan lingkungan tersebut serta bisa berinteraksi dengan baik pula. Dengan adanya karya tulis ini, akan membongkat paradigma generasi muda di balik keadaan bangsa kita yang terjadi saat ini dan apa yang mesti dirubah dalam persoalan seperti ini. Bahkan dalam UU Sisdiknas Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa :
“Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan begara.”
Bagian ini
memperlihatkan tujuan dan sekaligus falsafah dari pendidikan yang harus
diselenggarakan oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Tidak ada yang
bermasalah secara esensial kelihatannya. Bukti yang paling kasat mata adalah
kurikulum dan proses pembelajaran yang dipraktikkan di berbagai sekolah. Kalau
memang pendidikan di negeri ini ingin mewujudkan pribadi yang “memiliki
kekuatan spiritual, beragama, mampu mengendalikan diri, berkepribadian,
berakhlak mulia, cerdas, dan terampil”, apakah kurikulum pendidikan yang
dirancang sudah memadai? Dari sisi struktur pelajaran saja sama sekali tidak
menunjukkan itu. Pelajaran agama hanya diberi porsi sangat rendah. Bagaimana
mungkin dengan pengajaran agama yang hanya 2 jam per minggu dapat mengajarkan
agama dengan baik? Apalagi bercita-cita mewujudkan pribadi yang beragama dan
berakhlak mulia.
Baru dilihat dari
jumlah jam pelajaran saja disangsikan apakah kurikulum di sekolah-sekolah yang
ada saat ini mampu mewadahi tujuan yang begitu luhur. Apalagi kalau kurikulum
yang dijalankan dibedah sampai ke akar epistemologinya. Akan segera semakin
nyata ditemukan ketidakmungkinan kurikulum itu mengantarkan peserta didik
sesuai dengan tujuan Sisdiknas di atas. Buktinya telah nyata di hadapan mata:
secara moral kualitas keluaran pendidikan di negeri ini tidak menghasilkan
pribadi-pribadi yang diharapkan! Kalaupun cerdas cenderung merusak.
Kecerdasannya tidak mampu menemukan esensi kesejatian dirinya sehingga lahir
pribadi-pribadi yang terpecah (split
personality).
Selain itu, Prof.Chaedar
mengatakan bahwa untuk mewujudkan kerukunan umat beragama harus dikembangkan mulai dari sekolah sedini
mungkin, karena pada usia tersebut anak-anak tidak mungkin mengerti tentang
perbedaan yang mereka tahu hanyalah kesenangan semata dan pemikiran anak-anak
masih belum mengetahui sepenuhnya. Sedangkan peran keluarga maupun lingkungan yang
mengayomi dan mengajari mereka dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan
usianya. Ketika di sekolah, mereka akan mengenal perbedaan agama, budaya, latar
belakng sosial yang berbeda dan lainnya, disinilah mereka terbentuk dengan
lingkungan tersebut dan seharusnya sekolah memfasilitasi interaksi berkelompok
sehingga mereka lebih mengenal perbedaan tersebut dengan sendirinya yang
bertujuan untuk mengembangkan warga negara yang baik maupun positif sebagai
bagian dari pendidikan kewarganagaraan. Serta sebagai guru harus bisa
mengamplikasikan yang menyangkut tentang Clasroom
Discourse yaitu menyimak, berpendapat, bertanya, menyatakan setuju atau
tidak setuju. Hal ini adalah salah satu praktek untuk mencapai warga negara
yang baik dan memupuk rasa hormat terhadap sesama manusia walaupun dengan
adanya perbedaan agama maupun perbedaan lainnya. Mereka juga harus dilatih
untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung dan
juga melatih berbicara. Serta mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk
menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Pada sekolah dasar,
guru berfungsi untuk mengawasi siswa sepanjang hari dengan tujuan untuk
mengontrol mereka dalam berinteraksi dengan teman sebayanya atau disebut dengan
“peer interaction”.
Ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan formal, mereka memasuki dunia
di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan
individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat
merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam
suatu masyarakat tertentu. Sebagai guru berfungsi untuk meyakinkan bahwa
kegiatan yang mempengaruhi orang sebaya berjalan dengan benar, mereka juga bisa
mengembangkan diskursus pendidikan positif seperti yang diajarkan dalam mata
pelajaran PKN yang mengajarkan bahwa sebagai siswa harus berinterksi dengan
agama, etnik maupun sosial yang berbeda. Karena inilah yang menjadi landasan
kita sebagai warga negara Indonesia yaitu Bhineka
Tunggal Ika. Walaupun berbeda tetapi tetap satu tujuan khususnya untuk
membangun negara Republik Indonesia agar lebih maju dan memiliki intelektual
yang tinggi serta attitute yang baik pula, sehingga tidak akan terjadi
persaingan ataupun ketidakharmonisan antar agama yang terjadi di negeri ini.
Untuk itu, kegiatan “Interaksi sebaya (Peer Interaction)” harus
diimplementasikan sebagai kegiatan kelas yang rutin. Semua harus diberikan
peluang untuk berinteraksi dengan kelompok lain untuk mempraktekan menyimak dan
berpendapat. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak bangsa yang berfungsi
sebagai bagian dari negara yang demokratis. Dengan bukti sebuah laporan
penelitian oleh Apriliaswati (2011)
menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi juga
menciptakan murid yang berkarakter. Ilmu pengetahuan berperan penting dalam
membentuk kaum intelektual, sementara “Civil Discourse” berperan dalam
membentuk kaum yang berkarakter. Idealnya, kebijakan ini harus diterapkan di
sekolah yang mana mempekerjakan staf dan personel yang berbeda agama, etnik,
kelompok sosial dan lainnya. Kampus juga seharusnya menyediakan tempat
beribadah untuk semua agama. Siswa akan belajar bagaimana masing-masing agama
menjalankan ritualnya. Hal inilah yang akan menjadi cara efektif untuk
menjalankan pendidikan agama dalam sekolah yang multikultural.
Disamping itu,
terdapat bukti lain dari pemerintah yaitu dengan adanya “TRI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA”. Dalam hal ini menyadari fakta kemajemukan Indonesia, pemerintah telah
mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era tahun
1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan intern umat
beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama
dengan pemerintah.
Tujuan utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat Beragama
di Indonesia adalah agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan,
sekalipun banyak perbedaan. Konsep ini dirumuskan dengan teliti dan bijak agar
tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan
kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Pada gilirannya, dengan
terciptanya tri kerukunan itu akan lebih memantapkan stabilitas nasional dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
1.
Pertama:
Kerukunan Intern Umat Beragama
Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan
konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah
satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan ormas
keagamaan.
2.
Kerukunan
Antar Umat Beragama
Konsep kedua ini mengandung makna kehidupana beragama
yang tentram, harmonis, rukun dan damai antar masyarakat yang berbeda agama dan
keyakinan. Tidak ada sikap saling curiga tetapi selalu menghormati agama
masing-masing.
Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah agar tidak
terjadi saling mengganggu umat beragama lainnya. Semaksimal mungkin menghindari
kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat
bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun, damai, tentram dan harmonis
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai negara
kesatauan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Karena itu ada empat pilar pokok yang sudah disepakati bersama oleh
seluruh rakyat Indonesia sebagai nilai-nilai perekat bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Keempat nilai tersebut merupakan kristalisasi nilai-nilai yang
digali dari budaya asli bangsa Indonesia. Kerukunan dan keharmonisan hidup
seluruh masyarakat akan senantiasa terpelihara dan terjamin selama nilai-nilai
tersebut dipegang teguh secara konsekwen oleh masing-masing warga negara.
3.
Kerukunan Umat Beragama dengan
Pemerintah
Undang Undang Dasar 1945 bab IX Pasal 19 Ayat (1) menyiratkan bahwa
agama dan syariat agama dihormati dan didudukkan dalam nilai asasi kehidupan
bangsa dan negara. Dan setiap pemeluk agama bebas menganut agamnya dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Hal ini dapat dibuktikan mengenai pengaruh agama dalam kehidupan bangsa
Indonesia yang sangat besar, yaitu sentuhan dan pengaruhnya tampak dirasakan
memberi bekas yang mendalam pada corak kebudayaan Indonesia. Bahkan, ketahanan
nasional juga harus berangkat dengan dukungan umat beragama, artinya bagaimana
agar kaum beragama mempunyai kemampuan dan gairah untuk tampil dan kreatif
membina dan meningkatkan ketahanan nasional khususnya, dan pembinaan sosial
budaya pada umumnya sehingga nilai-nilai agama dan peranan umat beragama
benar-benar dirasakan dan mempengaruhi pertumbuhan masyarakat.
PERANAN PEMERINTAH DALAM
MEMBINA KEHIDUPAN BERAGAMA
Peranan pemerintah dalam membina kehidupan beragama sangat penting,
karena pemerintah menyelenggarakan tugas pokok Departemen Agama itu,diantara
lain berbentuk bimbingan, pemnbinaan dan pelayanan terhadapa kehidupan beragama,
sama sekali tidak mencampuri maslah aqidah dan kehidupan intern masing-masing
agama dan pemeluknya. Namun, pemerintah perlu mengatur kehidupan ekstern
mereka, yaitu dalam hubungan kenegaraan dan kehidupan antar pemeluk agama yang
berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada buku Pedoman
Dasar Kehidupan Beragama tahun 1985-1986 Bab IV halaman 49 disebutkan hal-hal
sebagai berikut :
1) Kerukunan hidup beragama adalah proses yang dinamis yang
berlangsung sejalan dengan pertumbuhan
masyarakat itu sendiri.
2) Pembinaan kerukunan hidup beragama adalah upaya yang
dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab
untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengan:
a) menanamkan pengertian akan nilai kehidupan bermasyarakat
yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama.
b) mengusahakan lingkungan dan keadaan yang mampu menunjang
sikap dan tingkahlaku yang mengarah kepadakerukunan hidup beragama.
c) menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah laku
yang mewujudkan kerukunan hidup beragama.
3) Kondisi umat beragama di Indonesia. Pelaksanaan
pembinaan kerukunan hidup beragama dimaksudkan agar umat beragama mampu menjadi
subjek pembangunan yang bertanggung jawab, khususnya pembinaan kerukunan hidup
beragama.
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM
MENCIPTAKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Setelah peranan pemerintah dalam membina
kerukunan beragama telah menyelenggarakan tugasnya masing-masing, tetapi untuk
menjalankannya terdapat hambatan-hambatan dalam menciptakan kerukunan umat
beragama ini, hal ini dikarenakan beberapa alasan, yaitu :
1) Semakin meningkat kecenderungan umat beragama untuk
mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan agama dari pada
mengejar kualitas umat beragama.
2) Kondisi sosial budaya masyarakat yang membawa umat mudah
melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga kerukunan dapat
tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun maknanya.
3) Keinginan mendirikan rumah ibadah tanpa memperhatikan
jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung perasaan umat beragama yang
memang mayoritas di tempat itu.
4) Menggunakan mayoritas sebagai sarana penyelesaian
sehingga akan menimbulkan masalah. Misalnya, pemilikan dana dan fasilitas
pendidikan untuk memaksakan kehendaknya pada murid yang belajar.
5) Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan kekeluargaan
atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis.
Dari berbagai kondisi yang mendukung kerukunan hidup beragama maupun hambatan-hambatan
yang ada, agar kerukunan umat beragama dapat terpelihara maka pemeritah dengan
kebijaksanaannya memberikan pembinaan yang intinya bahwa masalah kebebasan
beragama tidak membenarkan orang yang beragama dijadikan sasaran dakwah dari
agama lain, pendirian rumah ibadah, hubungan dakwah dengan politik, dakwah dan
kuliah subuh, batuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia,
peringatan hari-hari besar agama, penggunaan tanah kuburan, pendidikan agama
dan perkawinan campuran.
Jika kerukunan intern, antar umat beragama, dan antara umat beragama
dengan pemerintah dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara secara harmonis, niscaya perhatian dan konsentrasi pemerintah
membangun Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT akan segera terwujud, berkat dukunag umat beragama yang
mampu hidup berdampingan dengan serasi. Sekaligus merupakan contoh kongkret
kerukunan hidup beragama bagi masyarakat dunia. Dalam memantapkan kerukunan
hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya
kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat
beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam
bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun
dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap
toleransi.
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif
dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan
agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat
beragama.
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya
nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang
fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip
berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan
adanya sikap keteladanan.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang
implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan,
agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan
maupun sosial keagamaan.
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama
dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain,
sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu.
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam
kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang
dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS
DALAM MEMANTAPKAN KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA
Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam memantapkan kerukunan
hidup umat beragama, diarahkan kepada 4 (empat) strategi yang mendasar yakni:
a. Para pembina formal termasuk aparatur pemerintah dan
para pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan
komponen penting dalam pembinaan kerukunan antar umat beragama.
b. Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat
heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama
serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus ke sikap primordial.
c. Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat
beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh
seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi
kesalahpahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat
adanya kurang informasi atau saling pengertian diantara sesama umat beragama.
d. Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah
musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat
beragama.
Inilah salah satu bukti bahwa pemerintahpun memiliki konsep Tri
kerukunan umat beragama dengan tujuan agar masyarakat Indonesia bisa hidup
dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep inipun dirumuskan dengan
teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak
manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Upaya-upaya
berkaitan kegiatan kerukunan umat beragama tersebut merupakan sebuah proses
tahap demi tahap yang harus dilalui secara seksama agar perwujudan kerukuanan
umat beragama benar-benar dapat tercapai. Di samping itu, ia juga merupakan
upaya terus-menerus tanpa henti dan hasilnya tidak diperoleh secara instan.
Dengan adanya “Classroom
Discourse” inilah menjadi salah satu metode pengajaran yang efektif untuk
diimplikasikan di bangsa ini. Sistem pendidikan di Indonesia ini harus dibenahi
dengan metode tersebut, karena latar belakang Classroom Diccourse ini banyak
perbedaan yang muncul dari konflik ras, agama dan lainnya yang terjadi pada
siswa. Prof.Chaedar pun menyuruh mahasiswa untuk membuat Classroom Discourse
dengan tujuan untuk saling menghormati, tolong menolong, saling berbagi, harus
lebih sopan ketika mengeluarkan pendapat agar bisa direalisasikan dalam
masyarakat dan sosial juga.
Selain itu, Prof.Chaedar juga mengatakan bahwa jika kita
ingin mengetahui kualitas bangsa, maka kita hanya melihat dari segi kualitas
dan praktek sistem pendidikan. Hal ini terbukti bahwa “Education,”
kata Nelson Mandela, “is the most
powerful weapon which you can use to change the world.” Sebaliknya, bangsa
yang sistem pendidikannya amburadul atau karut marut akan menjadi bangsa
pesakitan, tanpa keunggulan, martabat, dan kedaulatan. Bangsa seperti ini akan
selalu kalah sebelum berperang dan gampang dijajah oleh bangsa-bangsa lain.
Jangankan mengubah dunia, bangsa seperti ini tidak akan mampu mengatasi
masalahnya sendiri. Sedangkan krisis
pendidikan yang dihadapi umat manusia termasuk di Indonesia, sudah sampai pada
taraf yang begitu mengkhawatirkan. Kita lihat saja kasus di Indonesia, selain
soal anggaran yang selalu saja setiap waktu menjadi perbincangan hangat,
sesungguhnya krisis terjadi pada tubuh pendidikannya itu sendiri. Dari sisi
pembiayaan pendidikan, pendidikan di Indonesia sedang sampai pada titik yang
begitu mengkhawatirkan. UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang beberapa waktu lalu
disahkan diprediksi akan semakinn melegitimasi pendidikan Indonesia yang sudah
semakin berhaluan neoliberal dan
diselenggarakan sebagai pasar. Seharusnya, pendidikan Indonesia menjadi
pendidikan liberal karena pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswa
dari kebutaan dan fanatik terhadap yang lain dan mempersiapkan siswa dalam
menjalankan tugasnya sebagai warga negara yang demokratis. Serta pendidikan
liberal ini sangatlah penting untuk membentuk manusia seutuhnya dan mempunyai
pengetahuan untuk menghindari konflik sosial. Dalam konteks Indonesia,
pendidikan liberal harus menyangkut pengetahuan tentang etnik, agama, bahasa,
budaya maupun yang lainnya. Inilah salah satu cara
yang sangat mudah untuk memprediksi masa depan suatu bangsa adalah dengan
berkaca pada sistem pendidikannya. Melihat dan memahami sistem pendidikan suatu
bangsa sama halnya dengan meneropong masa depan bangsa tersebut. Apa yang
terjadi hari ini dalam sistem pendidikan satu bangsa mencerminkan apa yang akan
terjadi pada bangsa tersebut di masa yang akan datang. Jika bangsa yang
memiliki sistem pendidikan bermutu dapat diperkirakan akan menjadi bangsa yang
kuat dan berdaya saing tinggi. Sebaliknya, bangsa yang sistem pendidikannya
tidak bermutu dapat diperkirakan akan menjadi bangsa yang lemah dan sistem
pendidikan yang bermutu ini maka akan melahirkan generasi muda bangsa yang
bermutu pula, yaitu generasi muda yang beriman, berilmu, dan berkarakter, yang
mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, memahami berbagai
permasalahan yang dihadapi bangsanya, dan memiliki komitmen serta kompetensi
tinggi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi bangsanya. Generasi muda
bermutu akan menjadi bagian dari pemecahan masalah (part of problem solvers) bagi bangsanya. Pada saatnya, generasi
muda bangsa yang beriman, berilmu, dan berkarakter akan menjadi pemimpin yang
visioner dan mampu menginspirasi bangsanya untuk terus bekerja keras dan
cerdas, dengan penuh semangat, motivasi, komitmen, dan disiplin tinggi. Mereka
akan menjadi agen perubahan (agent of change) dan lokomotiof
pengembangan bagi bangsanya menuju destinasi masa depan yang lebih baik,
sebagai bangsa yang unggul, berdaulat, bermartabat, dan berperadaban tinggi. Sebaliknya,
sistem pendidikan yang tidak bermutu akan melahirkan generasi muda bangsa yang
tidak bermutu pula, yaitu generasi yang tidak beriman, tidak berilmu dan tidak
berkarakter.
Generasi muda seperti ini tidak punya visi yang jelas tentang masa depan
bangsanya. Mereka tidak memahami siapa dirinya, permasalahan bangsanya, dan apa
yang harus dilakukan untuk bagsanya. Mereka akan selalu menjadi bagian dari
masalah (part of the prolems). Ketika
kelak menjadi pemimpin, generasi bangsa yang tidak bermutu akan menjadi
pemimpin yang selalu ragu, cemas, dan berkeluh kesah, karena tidak memahami apa
yang terjadi, tidak tahu pasti apa yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan, dan
selalu tidak siap menerima resiko dari keputusan dan tindakannya. Para pemimpin
seperti ini tidak akan mampu menjadi penyemangat dan inspirator bagi bangsanya
untuk maju dan berubah. Mereka hanya akan berkeluh kesah, saling menyalahkan,
dan meratapi setiap permasalahan. Mereka tidak punya landasan idiil untuk
menatap masa depan bangsanya. Mereka tidak punya karakter untuk secara
disiplin, konsisten, adil, dan bertangung jawab memperjuangkan kepentingan
bangsanya. Mereka tidak punya agenda strategis untuk mengubah peruntungan
bangsanya. Pada saatnya para pemimpin seperti ini hanya akan mewariskan bangsa
yang “penakut,” “peniru,” dan “pengekor,” yang masa depannya ditentukan atau
didikte oleh bangsa lain, sehingga lambat laun akan menjadi bangsa yang
“tergadai” dan “terjajah.”
Hubungan antara mutu sistem pendidikan kita hari ini dan masa depan bangsa
kita sangatlah jelas dan akan terbukti. Hubungan tersebut dilandasi oleh logika
yang sangat sederhana, bahwa pendidikan bermutu akan melahirkan SDM bermutu
pula, dan SDM bermutu dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai persoalan
bangsa, dan untuk membangun peradaban bangsa. Dengan logika tersebut, jelaslah
bahwa pendidikan yang bermutu adalah elan vital bagi kemajuan satu
peradaban. Bangsa-bangsa berperadaban tinggi adalah bangsa-bangsa yang memiliki
sistem pendidikan sangat bermutu. Membangun sistem pendidikan bermutu adalah
satu-satunya cara untuk membangun bangsa yang kuat dan berperadaban tinggi.
Jadi, untuk para calon generasi penerus bangsa yang mempunyai literasi yang
tinggi dan intelektual harus bisa mengamanahkan urusan pendidikan kepada
orang-orang yang memahami pendidikan, mencintai pendidikan, dan berkomitmen
terhadap kemajuan pendidikan adalah langkah awal yang sangat penting bagi para
pemimpin suatu bangsa khususnya untuk para calon generasi penerus ini, untuk
mewujudkan sistem pendidikan yang baik dan bermutu. Sebaliknya, mengamanahkan
urusan pendidikan kepada orang-orang yang tidak memahami dan mencintai
pendidikan adalah awal bagi kehancuran sistem pendidikan, yang pada akhirnya
secara perlahan akan menyebabkan kehancuran bangsa. Dan seandainya kondisi ideal kerukunan tersebut sudah
tercapai bukan berarti sudah tidak diperlukan lagi upaya untuk memelihara dan
mempertahankannya. Justru harus ditingkatkan kewaspadaan agar pihak-pihak yang
secara sengaja ingin merusak keharmonisan kerukunan hidup atau kerukunan umat
beragama di Indonesia tidak bisa masuk. Karena itu kerukunan umat beragama
sangat tergantung dan erat kaitannya dengan ketahana nasional Indonesia.
Dalam hal ini pendidikan benar-benar menjadi faktor yang menentukan (determinant
factor) bagi masa depan satu bangsa. Serta pendidikan merupakan jendela
dunia (window of the world) karena pendidikan menuntun kita untuk
menjelajah, memahami, dan memaknai dunia di sekitar kita. Bangsa yang membiarkan sistem pendidikan nasionalnya terpuruk dan penuh
problematika adalah bangsa yang tidak bertanggung jawab dan pasrah terhadap
masa depannya. Mencermati kondisi pendidikan nasional kita hari ini secara
seksama bukanlah upaya mencari-cari kesalahan, tetapi sebuah langkah penting
untuk menemukan rancangan yang tepat bagi masa depan kita. Merancang dan menata
sistem pendidikan berarti merenda masa depan. Jika hari ini kita belum puas
dengan sistem pendidikan nasional kita dan terus membiarkan kita tidak puas
dengannya, dapat dipastikan bahwa masa depan yang tidak bahagia telah menanti
kita. Jika kita menginginkan sebuah masa depan yang bahagia bagi bangsa kita,
maka hanya ada satu cara, yaitu memastikan bahwa hari ini kita memiliki sistem
pendidikan nasional yang bermutu, yaitu sistem pendidikan yang membahagiakan
dan membanggakan kita.
REFERENCE
Alwasilah,
A.Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa
Literasi. Bandung : PT Kiblat Buku Utama.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)