Sunday, February 23, 2014
Created By:
Dwi Ayu Astri Bahari
Name
: Dwi Ayu Asri Bahari / 14121320235
Class
: PBI-D semester 4
Class
Review
Writing for Academic
Satu hal yang harus saya luruskan,
writing empat pada semester empat menjadi writing for academic. Mengapa? Karena kita menulisnya menjurus
keakademik, harus ada data yang valid, harus ada referensi-referensinya, tidak
seperti writing semester dua yang hanya sekedar membuat karangan seperti teks
ridding hood. Setelah saya mengerti saya
siap belajar hari ini.
Sekarang adalah hari jum’at pukul
07.30 pagi saya sudah berada di kelas PBI-D ruang 46 lantai tiga. Belum juga pembelajaran dimulai, namun
jantung saya mulai berdegup kencang.
Jantung saya tiga kali lipat berdetak lebih kencang ketika Mr. Lala
membagi kami kedalam dua kelompok.
Seperti biasanya, Mr. Lala men-check
buku password dan memberikan satu pertanyaan pada tiap-tiap
mahasiswa/mahasiswi. Antara beruntung
dan sial karena saya mendapat giliran terakhir.
Saya menjadi penutup untuk kegiatan ini.
Beruntungnya karena saya bisa tahu jenis dan ragam pertanyaan apa saja
yang muncul (yang diberikan Mr. Lala).
Sialnya, saya harus menahan detak jantung “Deg-deg-an” dan keringat
dingin sampai kegiatan berakhir. Kawan-kawan
PBI-D luar biasa, setiap Mr. Lala memberi satu pertanyaan simple mereka pasti menjawab
dengan santai dan panjang lebar.
Sementara saya? Kebalikan dari
mereka. Mr. Lala bertanya banyak namun saya hanya menjawab simple dan sangat
singkat. Itu sebabnya Mr. Lala terus menerus bertanya pada saya dan saya takut.
***
Mr. Lala membuka slide power point
dan explain tentang “Knowing who We Really”.
Ada teaching orientation yang terdiri
dari academic writing, critical thinking, dan writing. Academic
writing berarti karya tulis menjuru keakademik, ada referensi dan data
yang valid. Pada academic writing
meliputi impersonal, Referensi Based, Formal dan Rigid. Impersonal
berarti penulis tidak menggunakan sudut pandang orang pertama, kedua maupun
ketiga. Munculnya jatidiri penulis
melalui argumen atau opini-opini yang dipaparkan namun tidak menyabut kata
“I/the writer/the author dll. Reference Based
berarti tulisan yang dibuat oleh penulis harus merujuk pada referensi-referensi
dan data yang valid. Formal berarti penulis menggunakan bahasa personal
dan Rigid berarti gaya bahasa yang kaku.
Poin kedua dari teaching orientation adalah critical
thinking yang berarti berfikir kritis.
Bukan hanya penulis saja yang harus berfikir kritis, namun pembacanya
juga harus kritis. Poin ketiga adalah writing, ada tiga ayat tentang writing diantaranya
:
1. A
way of knowing something, bahwa dengan menulis kita dapat mengetahui banyak hal
yang sebelumnya tidak kita ketahui dan mengerti.
2. A
way of representing somthing, bahwa dengan menulis kita dapat menyajikan
kembali apa yang kita ketahui dalam tulisan kita.
3. A
way of reproducing something, berarti dengan menulis kita akan mampu dan bisa
menghasilkan suatu karya berupa jurnal dan karya tulis lainnya.
Semakin
banyak membaca, semakin banyak kita menemukan informasi yang benar.
Menurut Lehtonen, inti
dari bacaan adalah formasi meaning.
Reader menjadi tempat masuknya meaning.
Teks dan reader tidak pernah bisa berdiri sendiri tetapi saling
memproduksi satu sama lain. Setiap teks
yang dibaca oleh reader yang berbeda-beda tetapi tetap tertuju pada
meaning. Artinya bisa saja reader A dan
reader B membaca satu teks yang sama tetapi meereka berbeda menyimpulkan
pengertian. Misal, pada teks yang berisi
kalimat “Ani mencuri uang milik ibu lurah” bisa jadi reader A menyimpulkan
meaning dari teks dengan mengira bahwa “Ani si pencuri”. Namun, reader B berbeda kesimpulannya yaitu
“yang mencuri uang ibu lurah adalah Ani” walau berbeda tetapi tetap sang reader
tertuju pada meaning suatu teks.
Lehtonen (2000)
Texts – Context –
Reader – Writer – semua menuju Meaning.
Lehtonen
menghubungkan teks, konteks, reader, dan writer untuk menuju ke meaning. Tujuan dari semua itu adalah untuk
mengetahui, memproduksi, serta memahami meaning dari bacaan atau tulisan. Pembaca akan mengerti conteks/isi bacaannya,
namun dapat berbeda ataupun lebih luas dari apa yang penulis maksudkan.
Jadi, pada dasarnya writing merujuk
pada informasi, knowledge, dan experience.
Semakin banyak kita membaca dan menggali informasi maka menulis akan
terasa mudah. Sebenarnya kita kuliah
empat tahun bukan ilmu yang kita peroleh melainkan pengalaman/experience. Dengan pengalaman yang luas kita dapat dengan
mudah menulis sejarah hidup kita. Perlu
kita ingat bahwa teks dan reader tidak pernah berdiri sendiri tetapi saling
memproduksi satu sama lain.
***
Chapter
I
Rekayasa Literasi
Di masa lampau kemampuan membaca dan
menulis sudah dianggap cukup untuk membekali manusia menghadapi tantangan zaman. Literasi yang dapat diartikan sebagai
kemampuan membaca dan menulis, dapat diartikan juga sebagai educated atau
pendidikan. Munculnya teknologi yang canggih dan alat komunikasi yang luar
biasa membuat zaman berubah pesat. Bahkan
mengandalkan kemampuan membaca dan menulis sudah tidak cukup lagi karena
sekarang mulai muncul zaman “edan” alias zaman yang maju bahkan over maju. Tantangan demi tantangan mulai bertebaran,
sebagai bangsa yang berliterasi harusnya kita mampu menyesuaikan dan mengikuti
arus perkembangan ini. Dengan cara
menggali keterampilan dalam bidan apapun dan meningkatkan minat membac dan
menulis untuk menciptakan literasi yang lebih dahsyat lagi dan lebih
berintelektual.
Literasi adalah praktik kultural
berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Namun, pada hakikatnya literasi tidak hanya membaca dan menulis bahkan
kini ada ungkapan literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika,
literasi IPA dan sebagainya. Sementara
menurut Edition Oxford advanced learner dictionary, 2005:898), Literasi adalah
kemampuan membaca dan menulis. Masih
banyak definisi literasi lainnya yang tiap poinnya berbeda, perubahan makna
literasi ini sudah pasti mengakibatkan perubahan pengajaran. (makna literasi
semakin melias dan kompleks).
Literasi tetap berurusan dengan
penggunaan bahasa dan ini adalah kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh
dimensi yang saling terkait. Dimensi
geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional), Dimensi bidang
(pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer), Dimensi keterampilan
(membaca, menulis, menghitung, berbicara), Dimensi media (teks, cetak, visual,
digital), Dimensi jumlah dan Dimensi bahasa (etis, lokal, nasional, regional,
internasional).
Dari pengertian literasi ada 10 ide
kunci tentang literasi yang menunjukan perubahan paradigma literasi sesuai
tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Diantanya yakni ketertiban lembaga-lembaga
sosial, lembaga itu menjalankan perannya dengan fasilitas
bahasa, sehingga muncul bahasa birokrat atau bahasa politik yang menunjukan
kekuasaan birokrat terhadap rakyat.
Tingkat kefasihan (literasi) minimal atau literasi yang diperlukan untuk
memainkan peran fungsional dalam setiap interaksi. Pengembangan potensi diri dan pengetahuan,
padas tahap tinggi literasi membekali orang (mahasiswa) kemampuan memproduksi
dan mereproduksi ilmu pengetahuan.
Standar dunia, persaingan global dikembangkan ketingkat internasional
sehingga tinggat literasi suatu bangsa (baca : kualitas pendidikannya mudah
dibandingkan dengan bangsa lain). Warga
masyarakat demokrasi, pendidikan pada dasarnya menghasilkan manusia literat
yaitu manusia yang memiliki literasi memadani sebagai warga negara yang
demokratis. Media adalah salah satu
pilar demokrasi. Keragaman local,
manusia local membangun literasi dalam konteks lokalnya sebelumnya memasuki
konteks nasional, regional, dan global.
Dengan begitu semakin berwawasan global, semakin sensitive dan
antisifatif terhadap keragaman local.
Hubungan global, literasi tingkat dunia bergantung pada dua hal yaitu
penguasaan teknologi informasi dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang
tinggi. Kewarganegaraan yang efektif
yaitu warga Negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri, serta
berkontribusi bagi keluarga, lingkungan, dan negaranya. Bahasa inggris ragam dunia, kemampuan
berfikir kritis (menggunakan bahasa secara fasih, efektik dan kritis. Dan masyarakat semiotic, semiotic adalah ilmu
tentang tanda termasuk persoalan ikon, tipologi tanda, kode, stuktur, dan
komunikasi. Budaya adalah system tanda,
untuk memaknai tanda manusia harus menguasai literasi semiotic. Sintaksis budaya mengkaji cara aspek-aspek
budaya saling terkait dalam system budaya.
Semantic budaya mengkaji hubungan tanda-tanda dengan rujukannya, dan
pragmatic budaya mengkaji hubungan antara tanda dan pengirim. (dalam mengkaji budaya mengkaji hubungan
antara tanda dan pengirim dan penerima. (dalam mengkaji budaya para ahli
menggunakan istilah ini, semantic – sintaksis – pragmatic ).
Pendidikan
bahasa berbasis literasi dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip, antara
lain yaitu literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
Memfungsikan bahasa sesuai dengan konvensinya dalam kehidupan nyata
seperti membaca jadwal, membuat CV, dll.
Literasi mencangkup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana
secara tertulis maupun secara lisan.
Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Pendidikan bahasa mengajarkan pengetahuan
budaya. Literasi adalah kegiatan
refleksi diri. Penulis dan pembaca senantiasa
berfikir tentang bahasa dan mengaitkannya dengan pengalaman subjektif dan
dunianya. Refleksi adalah konstruk atau
pemahaman yang terus berkembang dan semakin canggih (developmental
construct). Literasi adalah hasil
kolaborasi. Berbaca-tulis selalu
melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi. Literasi adalah kegiatan melakukan
interpretasi. Penulis memaknai
(menginterpretasikan) alam sementara dan pengalaman subjektifnya lewat
kata-kata, dan pembaca memaknai interpretasi penulis. Pendidikan bahasa sejak dini sebenarnya
melatih mahasiswa melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan membangun makna)
atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual, visual, dan digital diberbagai
ranah kehidupan dan bidang ilmu. Selain
itu mengintegrasikan bahasa sebagai media dengan pusparagam konten untuk
membangun literasi diberbagai bidang ilmu (content area literacy).
***
Rapor Merah
Literasi Anak Negeri
penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress
in International Reading Literacy Study) dan temuan-temuan terpenting dari
PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni prestasi
membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa dari
Negara lainnya. Indonesia menempati peringkat kelima dari bawah untuk
prestasi membaca, dengan skor 407 (untuk semua siswa). Negara yang skor prestasi membacanya diatas
rerata 500 ditandai oleh pendapatan kapita dan indeks pembangunan manusia (HDI)
yang lebih tinggi daripada negara yang prestasi membacanya dibawah 500. Mayoritas Negara dengan HID-nya diatas 0,9
mencapai prestasi membaca diatas 500.
Dalam studi PIRLS 2006, Indonesia memiliki HID 0,711 dan GNI/kapita 810
US $. Indonesia masuk kedalam kategori
posisi paling bawah, yaitu hanya sekitar 1% untuk category high, 62 % untuk
kategori medium, dan 37 % dalam kategiri low.
Negara yang memiliki siswa tertinggi pada kategori high (>20%) adalah Inggris, AS, Islandia, Norwegia,
Denmark, Swedia, Selandia baru, Jepang, Israel, dan Kanada.
Pelajaran
yang dapat kita ambil dari penelitian tersebut yakni tingkat literasi siswa
Indonesia massih jauh tertinggal oleh
negara lain. Artinya, pendidikan
nasional kita beum berhasil menciptakan warga Negara literat yang siap bersaing
dengan sejawatnya dari Negara lain.
Literasi siswa belum kompeitif.
Untuk meningkatkan HID dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. (Wagner, 1999 dan Barton, 2001 dalam setiadi,
2010). Pendidikan literasi pasti
mengubah pendapat dan pendapatan.
Dalam
laporan PIRLS tidak ditemukan skor prestasi menulis, sehingga kita tidak
mengetahui bukti korelasi antara skor prestasi membaca dan menulis. Namun, dapat diprediksi bahwa prestasi
menulis bergantung pada kemampuan membaca.
Tanpa kegiatan membaca orang sulit menjadi penulis. Sampai dengan 2003, Indonesia setiap tahun
memproduksi 6000 buku, Malaysia 8500, Korea 45000 dan Amerika 90000 judul. Di Indonesia tercatat sekitar 74.845 orang
berpendidikan S-2, 12.231 orang berpendidikan S-3, 2.667 orang berpendidikan
S-1 dan masih banyak lagi orang-orang yang berpendidikan. Jika setiap dosen menjalankan kewajibannya
untuk menulis sebuah buku dalam setiap tiga tahun, pasti akan terbit 77.000
buah jurnal, belum termasuk buku-buku yang ditulis oleh kalangan non-dosen. Dengan cara ini, Indonesia akan mampu menyamai
Jepang bahkan menggeser kedudukan Amerika, Korea dan Malaysia.
Implementasi
Rekayasa Literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk
menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal. Penggunaan bahasa adalah pintu
masuk menuju kependidikan dan pembudayaan salah satu lembaga yang dapat
membangun literasi yaitu sekolahan. Dari
sekolahan kita dapat belajar bahasa untuk mengukur tingkat literasi. Kegiatan pembangunan literasipun biasa
melalui keluarga atau masyarakat.
Perbaikan rekayasa literasi meliputi empat dimensi yaitu linguistik atau
focus teks, kognitif atau focus minda sosiokultural atau focus kelompok dan
perkembangan atau focus pertumbuhan (kucer 2005 : 293-4). Rekayasa literasi berarti merekayasa
pengajaran menbaca dan menulis dalam empat dimensi.
Kegiatan
literasi selalu serempak melibatkan empat dimensi (Bahasa, Kognitif, Sosial,
dan Perkembangan). Literasi bukan
sekedar mengetahui alphabet atau mengerti hubungan antara bunyi dengan symbol
tulisan, tetapi symbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks sosial dan
kualitas literasi berkembang (kematangan diri).
-
Pengajarn
literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu
membaca-menulis, terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra.
-
Untuk
mempelajari literasi, setidaknya diawal tiga paradigm yang harus dimiliki,
yaitu :
1.
Decoding,
penguasaan kode bahasa. Awalnya diberi
pengetahuan tentang kode-kode bahasa.
2.
Keterampilan. Siswa menguasai sisitem morfamik bahasa.
3.
Bahasa secara
utuh. Siswa menguasai teks otentik yang
kontekstual sehingga mendapatkan makna baru bukan kosa kata baru.
-
Kita tidak boleh
mengulang kesalahan, yakni banyaknya sarjana ahli sastra dan linguistic yang
tidak bisa menulis. Atau ilmuan bergelar
professor dan dokter tapi tidak menulis buku teks sebagai tanda kepakarannya.
-
Yang salah pada
system pendidikan dan pengajaran literasi di negri ini, bisa jadi karena metode
dan teknik pengajaran selama ini kurang mencerdaskan.
-
Namun jangan menyalahkan
guru. Yang terpenting adalah menumbuhkan
jiwa literat dalam diri kita.
Berikut adalah table yang menggambarkan perubahan
sudut pandang ihwal pengajaran bahasa.
Tadinya …
|
Kini …
|
-
Bahasa
adalah system stuktur yang mandiri.
-
Focus
pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
-
Berorientasi
kehasil
-
Focus
pada teks sebagai display kosakata dan stuktur tata bahasa.
-
Mengajarkan
norma-norma preskriptif dalam berbahasa.
-
Focus
pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete).
-
Menekankan
makna denotative dalam konteksnya.
|
-
Bahasa
adalah fenomena sosial.
-
Focus
pada serpihan kalimat yang terhubung.
-
Berorientasi
keproses.
-
Focus
pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
-
Perhatian
pada variasi register dan gaya ujaran.
-
Focus
pada ekspresi diri.
-
Menekankan
nilai komunikasi.
|
***
Learning Literature From Elementary through High Scool
Dari
wacana 6.1 kita dapat mengetahui pendidikan literasi yang ada di USA. Dalam wacana tersebut terlihat jelas bahwa
system pendidikan di Amerika membiasakan siswanya dari mulai TK untuk selalu
menulis, pernyataan ini dapat terlihat jelas sesuai dengan paragraph lima,
yakni : Anne J. Arbani mulai menulis jurnal tentang kegiatan sehari-harinya dan
membaca essay yang sederhana. Kemudian
dia mencoba untuk menuliskan kembali apa yang telah dia baca tersebut. Hal ini mulai ia masukan sejak SD.
Selain
dukungan dari system pendidikan yang tertata, peran orang tua dan keluarga juga
mendorong mereka untuk meningkatkan budaya literasi sejak dini dengan cara
mengirimkan mereka ke perpustakaan umum setiap hari sekolah dari pukul 06.00
sampai dengan 09.00 malam. Bukan hanya
dari SD, SMP, SMA namun hal ini berlanjut sampai bangku kuliah, dimana dia
mengambil jurusan seni, yang menuntutnya untuk memperkaya pengetahuan kita dan menghasilkan
perspektif yang berbeda dari setiap sumbernya.
Dari
semua wacana dapat kita simpulkan bahwa kemampuan membaca dan menulis belum
cukup bagi kita, perlu mengikuti zaman yang modern ini dan mampu berteknologi. Untuk mengejar ketertinggalna Indonesia,
terus gali kemampuan dan keterampilan serta pendidikan yang berkualitas tinggi
akan menghasilkan literasi yang berkualitas juga. Indonesia berada ditingkat bawah, untuk itu
jadikanlah hal itu sebagai pelajaran bukan malah terpuruk dan semakin malas
berliterasi, bahkan tidak ada kemauan untuk berubah.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)