Sunday, February 23, 2014
Created By:
Moh. Chaerul Anwar
Name :
Moh. Chaerul Anwar
Writing
for academic purpose
“Tulisan
hanyalah sebuah kuburan semata yang memendam makna di dalamnya. Namun kuburan
tersebut akan menjadi harta karun (gudang informasi) bagi yang
menggalinya(membacanya) ” Mr. Lala.
Petualangan kami berlanjut ke tantangan
berikutnya, yaitu pertemuan ke-dua. Di pertemuan ke-dua ini, sebelum kami
beranjak lebih jauh, kami kembali mendapatkan bekal dari pemandu kami, Mr. Bumela.
Memang, disaat situasi seperti ini, kami masih sangat membutuhkan bekal-bekal
yang dapat membantu kami dalam menelusuri perjalanan dan menghalau semua tantangan
yang siap menghadang.
Pemberian
bekal dari sang Pemandu berjalan dengan kritis. Namun, kami harus menyerahkan
terlebih dahulu persyaratan-persyaratan untuk mendapatkan bekal tersebut, yaitu
hasil dari tantangan yang pertama, berupa Logbook. Sangat disesali jika kami
tak menyelasaikannya, selain kami tidak akan mendapatkan bekal, kami juga dianggap
gagal dalam menghalau tantangan yang pertama. Sungguh ironis, bisa saja kami
terhenti dari perjalanan kami ini yang baru saja dimulai. Jika itu terjadi,
kami akan semakin jauh dari harapan kami, yaitu menjadi academic writer dan
critical reader, seperti yang tertuliskan di Logbook yang pertama. “I will be
ready to be academic writer and critical reader” (Kutipan dari Logbook pertama)
Bekal kedua yang kami
dapatkan dari pertemuan ke dua, yaitu membahas tetang Teaching Orientation.
Tentunya ini masih mempunyai hubungan dengan academic writing. Selain itu, kami
mengulas kembali santapan di awal pertemuan.
Teaching orientation
mempunyai tiga elemen penting, yaitu Academic Writing (Menulis Academic),
Critical Thinking (Berfikir kritis) dan Writing. Academic Writing sendiri
mengandug empat unsure, yaitu Impersonal, References, Formal dan “Rigid”.
-
Impersonal, dimana author tidak melibatkan
dirinya dalam teks wacana yang ia tulis. Namun masih terlihat dalam teks wacana
tersebut. Contohnya dalam subjeck “I” – I take information from that research.
Bisa diubah menjadi – Information is token from that research.
-
References, Sudah semestinya suatu penelitian
itu mempunyai banyak referensi yang dijadikan sebagai data pembantu dan
pelengkap suatu penelitian. Dengan adanya referensi juga membuktikan bahwa
penulis merupakan penulis akademik (Academic Writer) Referensi juga berfungsi
sebagai tolak ukur keberadaan penjelasan ilmiah. Seringkali terdapat fakta
sosial untuk dijelaskan. Untuk itu sangat perlu menengok dokumentasi penjelasan
yang pernah ada yang berupa proposisi atau pernyataan, teori, bahkan hipotesis
yang belum sempat diuji.
-
Formal, aturan untuk penulisan dalam bentuk formal cukup ketat, meskipun sering tak tertulis. Menulis formal digunakan
dalam pengaturan akademik dan ilmiah setiap kali kita ingin menyampaikan ide-ide kita ke khalayak luas, dengan berbagai latar
belakang dan asumsi. Tidak
seperti percakapan santai atau email ke teman-teman, menulis formal perlu jelas,
ambigu, literal dan terstruktur dengan baik. Menulis formal justru harus berdiri sendiri,
menyampaikan tesis penulis jelas melalui kata-kata saja. Akibatnya, menulis
formal membutuhkan usaha yang cukup besar untuk membangun kalimat bermakna,
paragraf, dan argumen yang relevan dengan tesis yang jelas. Tulisan resmi
terbaik akan sulit untuk menulis tetapi sangat mudah dibaca. Waktu penulis dan
usaha yang dihabiskan untuk menulis akan dilunasi dengan waktu dan usaha diselamatkan
oleh (banyak ) pembaca .
-
“Rigid”, penulisan dalam academic writing
tidaklah kaku. Dalam monteks bacaan suatu karya ilmiah akan dianggap tidak etis
jika penulisan gaya bahasanya kaku.
Elemen yang kedua yaitu
Critical Tinking atau berfikir kritis. Elemen ini melibatkan Critical Reader
dan Critical Writer. Critical Thinking ialah suatu pemikiran yang relatif peka
terhadap apa yang difikirkan. Seseorang yang berfikir kritis umumnya mempunyai
banyak kelebihan dalam mencari solusi suatu masalah, mudah menemukan makna yang
terkandug serta biasanya mempunyai banyak referensi dalam otaknya untuk
dijadikan sebagi perbandingan.
Berpikir kritis
merupakan salah satu keterampilan tingkat tinggi yang sangat penting bagi
seseorang khususnya mahasiswa. Menurut Beyer (1985) : Berpikir kritis adalah
kemampuan (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang
relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4)
mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5)
mengidentifikasi yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7)
mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan. Berfikir Kritis
sangat dibutuhkan oleh orang yang literat. Berpikir
kritis juga merupakan sebuah cara untuk memutuskan apakah klaim itu benar,
sebagian benar, atau salah. Berpikir kritis
adalah sebuah proses yang mengarah pada keterampilan yang dapat dipelajari,
dikuasai dan digunakan. Berpikir kritis adalah
alat yang dengannya seseorang dapat terjadi kesimpulan beralasan berdasarkan
proses beralasan. Proses ini menggabungkan
semangat dan kreativitas, tetapi membimbing dengan disiplin, kepraktisan dan
akal sehat.
Elemen yang ketiga yaitu
Writing. Dalam teaching orientation, menulis dianggap sebagai sebuah cara untuk
mengetahui sesuatu(a way of knowing something), cara untuk mempresentasikan
sesuatu (a way of representing), dan cara untuk memproduksi sesuatu (a way of
reproducing). Sesuatu di sini bisa merupakan informasi, pengetahuan maupun
pengalaman.
Pada pertemuan ke-dua
bukan hanya membahas tentang Teaching Orientation, melainkan juga sedikit
membahas tentang Literasi. Literasi atau biasa disebut dengan Keaksaraan dapat
mempengaruhi qualitas hidup seseorang. Jika orang ber-literasi tinggi, maka
akan tinggi pula qualitas hidupnya, sebaliknya jika orang ber-literasi rendah,
maka akan rendah pula qualitas hidupnya. Melihat tingkat SDM/Sumber daya
Manusia, akan terlihat jauh berbeda orang yang ber-literasi dan orang yang
tidak berliterasi. Daya saingpun bisa dipengaruhi oleh Literasi seseorang.
Seorang literer mampu bersaing ketat untuk mempertahankan hidupnya.
Demikianlah bekal yang
diberikan oleh Mr. Lala kepada kami. Bekal ini sangat berharga bagi kami untuk
melanjutkan petualangan kami ke tntangan berikutnya. Kami menyadari bahwa,
tantangan akan semakin besar dengan berjalannya petualangan kami. Namun kami
yakin bahwa kami akan bisa melewati tantangan yang menghadang kami.
Literacy, where is it?
Literasi, dalam
dunia pendidikan atau education zone membaca dan menulis selalu ada
mengikutinya. Namun literasi bukanlah sekedar membaca dan menulis semata.
Memang, dahulu literasi dikenal sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dahulu,
orang yang bisa membaca dan menulis dianggap cukup untuk membekali dirinya
masuk ke dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Kini jaman telah berubah,
seiring melesat pesatnya teknologi di sekeliling manusia. Seorang literat tidak
bisa mengandalkan hanya dengan kemampuan membaca dan menulisnya. Itu tidaklah
cukup untuk membekali dirinya dalam menghadapi tantangan jaman saat ini. Kita
tahu bahwa banyak orang yang bisa membaca dan menulis, tapi sedikit sekali
orang yang literat. Seperti yang dikatakan diawal bahwa, membaca dan menulis belum
dikatakan sebagai literasi. Seorang literer umumnya ialah seorang yang selalu
melakukan penelitian, membuat karya ilmiah, dan mengikuti perkembangan jaman.
Kemampuan membaca dan menulis merupakan modal awal yang sangat untuk menjadi
literer.
Tak tergantinya
kebiasaan lama
Ketika kita tahu
bahwa Masyarakat Indonesia lebih mengutamakan lisannya dibandingkan tulisan.
Itu dibuktikan dengan maraknya perdebatan di kursi politik Negara ini. Namun
tak sangka orang “kecil”pun sama saja, lebih mengutamakan lisannya. Coba kita
berfikir sejenak, di waktu senggang mereka lebih melakukan ngobrol “ngerumpi”
dibandingkan membaca. Demikian juga yang sering terjadi di dalam angkutan umum,
khususnya bis. Jarang sekali pemandangan di dalam bis para penumpang
memfokuskan fikirannya ke teks bacaan, walaupun hanya sejenak. Namun Mereka
hanya asik berbincang-bincang satu sama lain. Itu merupakan kebiasaan lama yang
dimiliki oleh masyarakat kita. Ketika kebiasaan lama tak tergantikan oleh
kebiasaan baru yang lebih baik, maka tidak ada yang namanya “Kemajuan”.
Bagaimana
mau ber-literasi, membaca dan menulis saja masih sungkan untuk dilakukan.
Banyak sekali lulusan sarjana di Indonesia, namun tidak banyak lulusan sarjana
yang meneruskan membaca dan menulisnya. Mereka berfikir bahwa menulis dan
membaca hanya kegiatan waktu berada di bangku kuliah saja, setelah lulus mereka
bebas dari kegiatan membaca dan menulis. “Emang menulis itu tuntutan?” Ini merupakan penyakit bagi di Indonesia.
Terjangkit
penyakit Alterasi
Adanya fenomena
Alterasi di Negara ini. Alterasi ialah individu yang sudah mampu membaca dan
menulis namun ia tidak memanfaatkan kemampuannya itu. Individu tersebut
berhenti belajar dengan alasan yang tidak jelas. Di tingkat masyarakat, banyak
orang yang b0erhenti membaca dan belajar, karena kuliah selesai. Kuliah selesai
maka selesailah membaca dan belajar. (Fikirkan, lulusan sarjananya saja tidak
membaca dan menulis, apalagai yang lulusan SMA, SMP, SD dan yang tidak
berpendidikan. Parah sekali!). Dengan demikian belajar kemuadian hanya menjadi
gaya hidup (Life style) semata, bukanlah menjadi cara hidup (Way of life).
Penyakit Alterasi ini banyak menjangkiti waraga Negara Indonesia, dan dalam
perspektif jangka panja ng, penyakit inilah yang menyebabkan kemunduran Negara
ini.
Anak dibesarkan
oleh lingkungannya
Budaya
membaca dan menulis harus ditanamkan kepada anak belia. Para ahli pendidikan
telah sepakat bahwa otak-otak anak belia merupakan lahan yang subur untuk
menanamkan kebiasaan, termasuk kebiasaan membaca dan menulis. Orang tua yang
benar-benar terpelajar tentunya akan menyediakan banyak teks bacaan untuk
anaknya, bukan memperbanyak mainan, kaset VCD, video game dan lain sebagainya.
Ketika anak
tumbuh dengan segala kemampuannya dalam membaca dan menulis, ini akan menjadi
modal awal yang penting. Anak tersebut akan menjadi genarasi pembangun literasi
dengan segala kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Namun apa yang terjadi
jika anak tumbuh dengan membawa keahlian bermain video game? Di sini peran
orang tua sangat penting dalam mendidik anak yang masih membutuhkan didikan
untuk menanamkan jati diri yang gemar membaca dan menulis. Satu-satunya harapan
untuk meningkatkan literasi di Indonesia ialah generasi baru. Bukan sekadar
generasi, melainkan generasi yang bertekad tinggi dalam ber-literasi.
Penulis Semakin
Terkikis
Setelah teks
bacaan yang berjudul “Rekayasa Literasi” dibaca dan dipahami, ternyata Negara
ini sangat ketinggalan jauh oleh negara-negara lain, dari daya saingnya,
pendapatannya maupun teknologinya. Itu Semua diakibatkan karena tingkat
literasi di Negara ini masih rendah. Coba kita bayangkan jika tingkat literasi
di Negara ini berada di tingakat tinggi, sudah pasti pendapatan, daya saing dan
teknologiya-pun akan lebih maju disbanding sekarang ini. Namun apalah daya.
Mungkin penulis semakin terkikis. Untuk itu perlu adanya suatu dorongan dan
gebrakan baru untuk Indonesia. Andai saja setiap lulusan minimalnya S1
diwajibkan untuk membuat judul buku setiap enam bulan sekali, ini akan membantu
tingkat literasi Indonesia. Untuk menjadi penulis, maka harus menjadi pembaca
terlebih dahulu, karena kenapa? Prestasi menulsi sangat tergantung pada
kemampuan membaca. Tanpa kegiatan membaca, orang sulit untuk menjadi penulis.
Kilasan
“Rekayasa Literasi”
Dengan
perkembangan jaman modern ini, Literasi tidak cukup digambarkan sebagai
keterampilan membaca dan menulis. Dengan demikian, para pakar pendidikan dunia
berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigm baru dalam upaya memaknai
literasi serta pembelajarannya. Sekarang ini ada ungkapan literasi computer,
literasi virtual, lityerasi matematika, literasi IPA dan sebagainya. Ada beberap
hakikat ber-literasi secara kritis, antara lain memahami, melibatkan,
menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks.
Makna dan
rujukan literasi terus-menerus berevolusi, dan saat ini maknanya semakin meluas
dan kompleks. Di lain hal, rujukan linguistic dan sastra relative konstan.
Namun literasi tetap berhubungan dengan penggunaan bahasa. Terdapat tujuh
dimensi lietrasi yang saling berkaitan, antara lain:
-
Dimensi geografis, Literasi seseorang dapat
dikatakan berdimensi local, nasional, regional atau internasional bergantung
pada tingkat pendidikan dan jejaring social serta vokasionalnya.
-
Dimensi bidang, Literasi bangsa tampak di bidang
pendidikan, komunikasi, administrasi, militer dan sebaginya. Pendidikan yang
berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.
-
Dimensi keterampilan, Literasi seseorang tampak
dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung dan berbicara. Setiap sarjana pasti
mampu membaca, tapi tidak semua sarjana mampu menulis. Kualitas menulis
tergantung pada “gizi” bacaan yang disantapnya.
-
Dimensi fungsi, Orang yang lierat karena
pendidikannya mam[u memecahkan persoalan, tidak sulit untuk mendapatkan
pekerjaan, memiliki potensi untuk
mencapai tujuan hidupnya, dan gesit mengembangkan serta mereproduksi ilmu
pengetahuan.
-
Dimensi media, untuk menjadi literat pada zaman
sekarang, orang tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks
alfabeis, melainkan juga harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks
cetak, vidual, dan digital.
-
Dimensi jumlah, orang multilaterat mampu
berinteraksi dalam berbagi situasi. Kemampuan ini tumbuh karena proses
pendidikan yang berkualitas tinggi. ;iterasi, seperti halnya kemampuan
berkomunikatsi, bersifat relative.
-
Dimensi bahasa, hal ini beranalogi ke dimensi
monolingual, bilingual, dan multilateral.
Pendidikan berbasis litersi seyogyanya
dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebgai berikut:
-
Literasi adalah kecakapan hidup (life style)
yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan bahasa sejak tingkat dasar melatih dan memberdayakan siswa
mempungsikan bahasa konvensinya dalam kehidupan nyata.
-
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan
produktif dalam upaya berwacana secara tertulismaupun
lisan. Pendidikan bahasa sejak dini membiasakn siswa berekspresi, baik secara
lisan maupun tulisan.
-
Literasi sdalah kemampuan memecahkan masalah.
Baca-tulis ada;ah kegiatan mengetahui hugungan antarkata dan antar unit bahasa
dalam wacana, serta antar teks dan dunia
tanpa batas. Mengajarkan bahasa seygyanya melatih siswa menggunakan bahasa
dengan nalar.
-
Literasi adalh refleksi penguasaan dan apresiasi
budaya. Berbaca-tulis selalu ada dalam system budaya: kepercayaan, sikap, cara,
dan tujuan budaya. Pendidikan bahasa seyogyanya mengajarkan pengetahuan budaya.
-
Literasi adalah kegiatan refleksi diri. Penulis
dan pembaca senantiasa berpikir tentang bahasa dan mengaitkannya dengan
pengalaman subyektif dan dunianya. Pendidikan bahasa seyogyanya menanamkan pada
diri mahasiswa kebiasaan mlekukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahsa
orang lain.
-
Literasi adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis
selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi. Pendidikan
bahsa sejak dini melatih melatih siswa menggunakan bahasa melalui kegiatan
kolaboratif. Segala keterampilan berbahasa sebaiknya dibangun lewat kegiatan
kolaborasi.
-
Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Penulis memaknai alam semesta dan pengalaman subjektifnya lewat kata-kata, dan
pembaca memaknai interpretasi penulis. Pendidikan bahasa sejak dini seyogyanya
melatih mahasiswa melakukan interpretasi atas berbagai jenis teks dalam wacana
tekstual, visual maupun digital di berbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu.
Mengajarkan
literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca
tulis, terdidik, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra. Dalam garis
besarnya, ada tiga paradigm pembellajaran literasi, yaitu antara lain:
-
Paradigma 1: decoding, menyatakan bahwa
grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulai
dengan menguasai bagaian-bagian bahasa. Dalam paradigm ini berlaku rumus:
perkembangan literai = belajar tentang literasi – belajar literasi – belajar
melalui literasi.
-
Paradigma 2: keterampilan, bahwa penguasaan
morfem dan kosak kata adalah dasar untuk membaca. Fokus pembelajaran diletakkan
pada penguasaan system morfemik bahasa. Dengna proses ini, pembelajar
diharapkan mamu ber-literasi secara mandiri. Dalam paradigm ini berlaku rumus:
perkembangan literasi = belajar tentang literasi – belajar literasi – belajar
melalui literasi
-
Paradigm 3: bahasa secara utuh, dilihat dari
namanya, paradigm ini menolak pembelajaran yang meletakkan fokus pada bagian
atau serpihan bahasa. Pengajaran bahasa mesti berfokus pada pembelajaran makna,
yaitu kegiatan mengajarkan makna secara utuh, tidak perdial/ paradigm ini
menolak urutan: belajar tentang literasi – belajar literasi – belajar melalui
literasi. Paradigma ini mengajukan rumus sebagai berikut: perkembangan literasi
adalah belajar melalui literasi -
belajar litersi – belajar tentang literasi.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)