Sunday, February 16, 2014
Created By:
Susi Nurjanah
Appetizer 1
8
februari 2014
1st
class review
Welcome
home: Menuliskan sebuah cerita masa depan di ‘kencan’ pertama.
Bukan
tentang ontology percintaan remaja SMA, melainkan sebuah rajutan cinta yang
akan terjalin antara mahasiswa dengan mahakarya yang sangat luarbiasa. Jumat, 7 februari 2014 merupakan titik awal menuju akselerasi yang lebih
menantang, menegangkan dan tentu saja harus lebih siap untuk berkorban.
Pertemuan perdana kelas writing
for academic purposes ini saya namai ‘kencan’ pertama. Romantisme yang dibangun teman-teman kelas
PBI-D dengan sebuah peta petualangan baru yang ada dalam lembaran silabus. Sepertinya petualangan kali ini akan
memerlukan banyak sekali energi dan cadangan makanan, begitupun dengan susunan
buku diatas meja belajar yang tidak mungkin pernah rapih lagi setiap malamnya, dan
akan selalu ada pena dan buku catatan yang menjadi sahabat setia penyimpan
sejuta inspirasi yang saya temukan siang dan malam.
Tepat pukul 07.30 pertemuan dimulai antara
mahasiswa dengan SAP (Satuan Acara Perkuliahan). Sebagian teman-teman dikelas saya mengaku
bahwa ‘kencan’ hari ini sangat menegangkan, terlebih lagi Poin-poin yang
ditawarkanpun bertambah kompleks, hal ini mungkin karena sebelumnya kami belum
pernah menjelajahi dunia baru ini, academic
writing. Satu yang lebih menarik adalah
akan ada sensasi baru yang saya rasakan, publishing
by blogging. Dan mungkin inilah jalan dimana mahasiswa bisa benar-benar
berkontribusi untuk melambungkan nama IAIN Syekh Nurjati Cirebon dengan
mahakarya tulisan-tulisan berkualitas yang terpampang disetiap layar monitor;
mahasiswa dari jurusan dan univeritas lain mungkin membaca,para dosen mungkin
membaca, dekan dan rector juga bukan pengecualian, pun dengan penerbit major
yang bisa saja tertarik dengan salah satu karya dari mahasiswa IAIN atau bisa
saja ada orang ‘bule’ jatuh cinta pada apa yang saya dan rekan-rekan tuliskan.
Meskipun semuanya terlihat hanya seperti gundukan harapan kosong, namun
tidak ada yang tidak mungkin bukan?
Kontur
jalan yang akan saya laulipun nampaknya semakin terjal, menulis tidak lagi sebebas
menulis pada umumnya, akan ada banyak aturan di lahan garapan. Mata kuliah ini menjadi salah satu proyek
besar yang harus dihadapi, dimana saya harus menulis dengan benar dan mengacu pada kaidah-kaidah
yang telah disebutkan oleh beberapa sang ahli;
A.Chaedar alwaislah, Anderson, Bailey, Bordman, Hyland, dan masih banyak
lagi. Sulit memang namun saya masih bersyukur karena memiliki host yang sangat qualified , mumpini dalam banyak bidang akademik bahasa inggris,
dengan gelar dan kualitas ilmu yang dimilikinya saya yakin harapan beliau untuk
mencetak mahasiswa yang lebih baik akan tercapai, so then I say thank you for Mr. Lala Bumela M.pd.
Beralih
ke bahan silabus yang sudah berada ditangan, ketika lembaran-lembarannya
menunjukan betapa jauhnya lintasan yang akan saya tempuh disemester ini. Puluhan lembar kertas akan selalu terisi
penuh sebagai visa pemberangkatan jam terbang kuliah disetiap minggunya, terdapat
beberapa minggu special setelah tiga kali pertemuan yang dikenal sebagai progress
test, dan pada akhirnya pesawat akan landing di bandara bernama final examination dengan gaya students
conference ala konferens yang biasa dilakukan oleh para dosen.
Apa
yang disebut kencan ini tidak hanya menunjukan peta silabus namun juga terdapat
suntikan-suntikan semangat yang saya
lihat dalam power point;
team position on the table last season
- Class D = 86,96
- Class C = 84,59
- Class B = 82,87
- Class A = 69,05
What does this fixture tell you?
euphoria yang sangat ramai mengiringi tampilan
tepat di slide nomor dua tersebut, namun pertanyaan yang diajukan dosen saya
adalah “mana yang akan menjadi lebih berat antara mencapai dan
mempertahankan?”. Dan sekali lagi, ini
adalah tantangan besar.
Selanjutnya
mari lihat ketiga nutrisi yang harus terjadi selama proses pembelajaran di kelas writing 4, ketika profrsional teacher
harus menghadirkan:
·
Research
·
Thesis
·
Class activity
Begitu
juga saya selaku learner sebisa mungkin menghadirkan :
Ø Text
Ø Context
Ø reader
Bagaimana
saya harus sealu siap diatas semua kompleksitas adalah jawaban sekligus
kesimpulan singkat pada akhir cerita kali ini.
Cerita fakta yang akan menjadi potongan karya bersejarah setidaknya
untuk empat bulan kedepan; dimana kita harus terus membuka peta silabus,
mengingat daftar-daftar resolusi yang sudah disetujui pada awal kontrak
belajar. Semangat juang sangat
diperlukan untuk membantu saya berakselerasidan menilai seberapa tangguhkan
saya dalam mengukir sejarah.
Appetizer 1
ASET PENDIDIKAN
Sebuah refleksi telah diperkenalkan
dengan sangat anggun dalam karya alwaisah a.chaedar dan C.W Watson. Apa yang terjadi pada system pendidikan di
Negeri bahari ini memang nampaknya berada dijalur yang salah. Seperti yang sudah tertulis bahwa kita tak
seharusnya menyalahkan para guru atau pelajar namun paymaster yang berhubungan
dengan kurikulumlah yang harus diperbaiki.
saya perkenalkan teks saya kali ini sebagai ajang untuk menyimpan opini
pada salah satu artikel pak chaedar yang berjudul (bukan) bangsa penulis, Powerful writers versus the helpless
readers dan learning and teaching process: more about readers and writers) . Wacana yang membahas tentang system pendidikan
di Indonesia diuraikan secara tegas oleh penulis, isu-isu seputar dunia kampus yang
ditampilkanpun terlihat sangat jelas dan memang merupakan kebenaran yang kita
alami saat ini.
Sudut pandang terjelas yang bisa
diambil dari ketiga artikel adalah bahwa system pacuan pendidikan kita yaitu
kurikulum mestinya harus diperbaharui.
Sistem yang sudah terimplementasi
diniliai kurang efektif dalam membangun peradaban akademik yang ideal. Khususnya untuk perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta rasanya sulit untuk
menemukan akademisi yang produktif menulis. Inilah yang melatarbelakangi munculnya peraturan
yang berbentuk surat direktur jendral pendidikan tinggi nomor 152/E/T/2012,
pada tanggal 27 januari 2012.
Pendapat mengenai kewajiban membuat
jurnal untuk lulusan S1 dan S2 yang dirasa tidak tepat oleh pak chaedar memang
benar. Pemerintah ternyata kurang
memperhatikan aspek-aspek pendukung kebijakannya, di Indonesia memangnya ada
berapa banyak jumlah tim ahli yang akan mengelola puluhan ribu jrnal yang akan
diterbitkan mahasiswa setiap tahunnya?
Akan ada berapa macam target yang harus ditujukan dalam penulisan
jurnal? Bukankah semua kompleksitas yang
ada dalam penyusunan skripsi sudah menjadi loncatan paling tinggi bagi
mahasiswa dalam akhir masa perkuliahnnya.
Belum lagi ketika dalam artikel
tersebut menunjukan tentang kualitas yang harus dicapai oleh sang empunya
jurnal, dimana jurnal adalah lahan untuk literasi tingkat tinggi yang biasanya
hanya akan dimengarti oleh sesame pakar yang jumlahnya relative terbatas. Jurnal bukan sekadar kumpulan artikel
ringkasan hasil skripsi, tesis ataupun disertasi namun ini merupakan hasil
penelitian luar biasa yang akan mengahasilkan inovasi terbarukan dalam bentuk
rumus atau teori baru yang tentu saja harus menggunkaan cara pelaporan dan
etika akademik yang benar. Akankah kuantitas ribuan jurnal menjamin kualitas
kemajuan pendidikan suatu negara?
Dalam artikel kedua yang berjudul Powerful
writers versus the helpless readers disebutkan bahwa salah satu permasalahan
yang kita hadapi saat ini adalah begitu banyaknya pembaca yang tidak bisa
memahami teks yang sedang mereka baca.
Ini dibuktikan dengan penelitian yang berlangsung di Bandung dengan melibatkan 100 siswa, yaitu
60 siswa bahasa dan 40 siswa matematika.
95% siswa objek penelitian menyalahkan diri mereka sendiri, mereka menagatakan
bahwa; tidak mempunyai latarbelakang memebaca yang tepat, retorika yang terlalu
tinggi, keahlian penulis sangat tinggi dan tidak bisa berkonsentrasi saat
membaca. Padahal jika dilihat dari sisi
psikologisnya anak-anak yang berada di fase remaja akan memilih buku-buku
bacaannya sesuai dengan apa yang menarik minat mereka.
Penelitian ini dikaitkan dengan
fakta apa yang kita temui disendi-sendi pendidikan nasional, dimana orientasi
membaca lebih unggul daripada orientasi menulis. Padahal jika ingin memiliki pembaca yang
baik, kita juga harus terbiasa untuk menuliskan apa yang sudah kita dapatkan
dari buku yang sudah dibaca karena hal ini merupakan pengalaman pembaca yang
akan dituangkan kedalam catatannya masng-masing. karena orientasi membaca lebih diprioritaskan
daripada orientasi menulis akhirnya menghasilkan siswa yang fatalistic terhadap
teks, dimana teks dianggap unggul dari pembacanya.
Yang dibutuhkan adalah pembaca
kritis, bukan pembaca pasif yang hanya menyalahkan diri sendiri. Bagi mereka yang merupakan pembaca kritis,
jika mereka kesulitan untuk memahami apa yang sedang mereka baca, dengan
senangnya mereka akan menjawab “penulis tida cukup kompeten dalam menyampaikan
ide-ide dan menghibur pembaca” . Hal ini
ditunjukan bahwa antara penulis dan pembaca sama-sama bertanggung jawab dalam
pembuatan makna.
Dampak yang dihasilkan dari
orientasi membaca adalah ketika siswa dituntut untuk menulis, mereka akan
menetapkan standar sesuai dengan apa yang mereka baca bukan melihat dari
sensitivitas psikologi dari target pembacanya.
Ketika keahlian mereka tidak dimengerti maka tidak akan mendatangkan
manfaat, terlebih lagi hal ini disimpulakn sebaga sikap sombong dan asocial.
Buku-buku teks impor yang diberika
dosen PhD luar negeri kepada mahasiswanya seringkali dianggap terlalu berat dan
merasa kewalahan. Untuk itulah dalam
artikel kedua pak chaedar ini, beliau ingin menunujukan bahwa buku-buku
nasionallah yang layak menempati jendela pendididkan nasioanal sebagi asset
yang harus dibanggakan.
Adapun dalam artikel ketiga dengan judul
learning and teaching process: more about readers and writers yang ditulis oleh
C.W Watson dosen tamu disekolah bisnis dan manajemen Institut Teknologi Bandung
dan professor emeritus disekolah antropologi dan konservasi, university of
kent, ingrris mengomentari tentang bahasan pak cahedar yang terdapat dalam
artikel satu dan dua. Watson mengaggap
bahwa masalah yang timbul akibat pelajar tidak menulis lebih berat lagi, dan
dia pun menyetujui bahwa seharusnya yang dilakukan para siswa itu adalah
menulis sebanyak mungkin bukan mempersiapkan satu kemungkinan centang jawaban
untuk empat kotak yang ada dalam lemabaran soal ujian nasional. Maka dari sinilah, banyak dosen-dosen luar
berdatangan ke Indonesia untuk membantu menrubah system kurikulum yang diniliai
kurang efektif.
Menurut saya dalam mewujudkan
cita-cita nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika kita melihat begitu banyak masalah
dalam roda pendidikan, apa salahnya jika kita merubah system yang pada kenyataanya
sudah tidak efektif lagi. Menulis adalah
ajang dimana akdemisi dapat mempertanggungjawabkan pengetahuan dan
pengalamannya, proses menulispun ternyata lebih efektif dalam hal evaluasi
pembalajaran dibandingkan sekedar menilai kelulusan lewat hasil ujian yang
berlangsung sesaat ditambah lagi Menulis merupakan ajang membentuk
intelekualitas yang ideal.
Merubah system bukan berarti kita
melecehkan peraturan, justru inilah yang memang seharusnya kita lakukan. Karena tujuan akhir dari semuanya adalah
pendidikan yang lebih baik, mutu yang lebih baik, lulusan yang lebih baik yang
pada akhirnya akan mencipatakan Negara yang lebih baik pula. Ketika jurnal hanya menjadi beban tambahan
bagi lulusan dan ribuan kumpulan artikel terabaikan apa perlu kita memaksakan
kuantitas tinggi yang ditujukan hanya untuk bersaing produksi tulisan dengan Negara tetangga? Yang dibutuhkan adalah proses bukan hasil
dari ujian sekejap mata. menciptakan
intelektual tidak hanya cukup bisa membuat hasil penelitian yang hanya dilakukan
pada akhir periode pendidikan, namun bagaimana mengasah rasa intelektual
akademisi dengan membiasakan menuangkan pengalaman diatas kertas sejak tahapan
sekolah pemula (SD,SMP dan SMA).
Warm
regard,
Susi
Nurjanah


Subscribe to:
Post Comments (Atom)