Sunday, February 16, 2014
Created By:
Nafila El-Sa'idah
Class Review 1
First Meeting
Friday
cloudy morning we begin our learning in 43 room. It was really nice first meeting for PBI
D. Our class got the high score of
phonology class. 86.96, that was great score for our class. Hopely,
our class are going to be more competent , compact, amazing in ech oppurtunity
around us as student IAIN Syekh Nurjati Cireon,
I was very happy I could meet with academician lecturer like Mr Lala
Bumela, M. Pd. I could revise my writing
in his class because when I was second semester I did not get satisfied score
for me and now it is the time for changging.
The oppurtunity for me to study with Mr Lala Bumela and I am ready to be
transfered knowledge by Mr Lala Bumela, M. Pd.s
In writing and composition 4,
movement le\vel of writing was changing.
From writing and composition as one of skill in English to be writing
for academic purpose. It has plus plus
advantages. With academic writing we do
not only have the skill of English but also catch the world by using pen and
paper.
As
Mr. LalaBumela said that he would lead
us for academic writing in order that next generation of our nation could have
writing skill in their life. I
remembered what Mr. Lala said in writing
and composition II course that a great
nation is they are be able to product knowledge.
By writing it can be…
Academic
writing is one way to product knowledge because student are going to work out
thinking in creating knowledge then they are prosecuted how they can share
their knowledge in writing. The students
are prosecuted to make an essay, paper, argumentative
essay and another form to develop their knowledge.
Why should academic writing?
It is REAL WRITING in this term
Mr.Lala said that in the fourth
semester we would not deepen narrative essay, descriptive essay and soon. So for like writing course in the second
semester again but he would teach us and create the habitual to write academic
writing. If one year ago Mr. Lala assigned us to write our imagination in
narrative essay. But, now he would give
us assignment which more seriously than last semester.
Write
an academic writing is different. In the
previous course we could tell the story about our self or we appear character
about whoever in our writing but in academic writing we tried to loss the
character.
Foer example:
I conducted this research
in a year.
We have to make disappear the
character by losing character. It will
be :impersonal.
This research was conducted
in a year.
That makes writing to be more fullfiedged.
By
losing the character in academic writing
it looks more seriously to knoe the knowledge that writer have. With the writer’s research , analyzing,
arguments until the writer ensure reader.
In
this time our writing is still just for Mr.
Lala not another reason. We just
make our writing great in Mr. LalaBumela
sight first. Do not think about other
people who are going to read our writing but only just for Mr. LalaBumela.
·
Learning
how to write in a second language is one of the most challenging aspect of
second language learning (Hylland 2003)
·
Writing
is something that requires EXENSIVE and SPECIALISED INSTRUCTION (Hylland 2003, 2004)
Everyone could
write. Writing is the most importance
thing to write in a second language is challenging. Because Hylland said that writing needs many
times. Itcompels to have a lot of times. It requires EXENSIVE and SPECIALISED
INSTRUCTION.
CHALLENGES BOX
1. Evolving
between theories of writing and the teaching of writing
|
2. Nature of
great writing
|
3. Reflection of
nature texts and genre in particular discourse communities
|
4. Relationship
between writing in 1st and 2nd language
|
5. To develop a
curriculum by writing
|
6. To develop instructional materials for writing
class
|
7. Using
computer by writing
|
8. Create
approaches to feedback and assessment.
|
Those 8 challenges thatwhat we
have to pass succesfuly
Mr Lala Bumela said that we have
to change something bad to be great to show up that education is very
academic. Those challenges have to be
able to be passed succesfuly because writing should show how far we are alive
in academic world.
In this meeting Mr Lala Bumela
explained us how to change from teacher of language to be teacher of writing
because writing is better than only became teacher of language. Writing needs mix of language and language
would relate with others knowledge.
Someonne who master in many languages he/she is not guarranted can write.
But, someone who can write he must be known about all aspects what he
write such as language, culture, theory, etc.
So, teacher of writing is more competitive, it is because of that
teacher also could make active classroom and combaned student to know theory
and make research.
Ther is simple reminder in writing
in trilateral form
Text Context
Theory
Research
Reader
Class Activity
For a lecturer or someone who ever master or depeen about
writing he/she should know how text and context can be received by a reader and
the orientation is areader. But, for us
as student is we have to creat a little trilateral when we could make active,
turn on the classroom activity with theory and do some research. By doing that we learn how to provide paper
in a sure theory and evidence research.
Writing and conversation 4 includes :
ü Language structures
ü Text function
ü Themes and topics
ü Creative expression
ü Composing processes
ü Content
ü Genre and contexts of writing
Those Mr
Lala will teach the student in writing and conversation 4
currently. He asked us to do not only
know about how to write but also he asked us for talking during learning
process in his class because it is writing and conversation 4. It is not writing and composition again.
So, our intraction change to
academic writing with those above challenges, changging, we are ready to go
ahead.
Bangun Budaya Literasi
Artikel pertama (Bukan Bangsa Penulis)
Artikel ini mengabarkan keadaan buruk bangsa indonesia. Orang –
orang yang berpendidikan, akademisi – akademisi yang telah mempunyai gelar
sarjana atau master atau doktor atau bahkan 3 gelar sekaligus yang mereka
sandang. Skripsi, tesis, dan disertasi yang telah dibuat para akademisi –
akademisi bangsa indonesia tidak mampu bersaing dalam memproduksi karya ilmiah
ditataran karya ilmiah yang telah ditulis sedunia. Menengok malaysia yang
jumlah penduduknya sepersepuluh dari indonesiapun tetap indonesia ada dibawah
negara malaysia yang mempunyai jumlah penduduk yang sedikit itu dalam produksi
karya ilmiahnya.
Adanya karya ilmiah membuktikan bahwa masyarakat yang ada dalam
suatu negara gemar membaca dan menulis, itu tandanya mereka peduli dengan
perkembangan keilmuan yang semakin berkembang, mereka berusaha untuk
mendokumenkan apa yang telah mereka kuasai dalam bentuk tulisan sehingga
keilmuan yang telah didapatkan terus disimpan, diperbaharui, dan ditransfer
kepada generasi – generasi selanjutnya. Jika akademisi – akademisi membuat
karya tulisnya dalam bentuk tulsan diakhir kuliahnya. Ini bukan kepedulian dan
kesadaran mereka untuk menulis. Karena ada sebuah tuntutan belaka yang harus
para akademisi penuhi untuk menyelesaikan kuliahnya diperguruan tinggi. Menulis
adalah kunci awal dari banyak pintu – pintu yang akan membuka jalan untuk
kedepannya. Dengan pena manusia dapat menggenggam “Dunya Wasibuha” (istilah
arab) yang artinya dunia dan segala isinya. Meningkatkan budaya literasi yang
tinggi haruslah menghidupkan kesadaran pentingnya menulis. Tidak hanya membuat
skripsi, tesis atau disertasi. Tetapi menulis dapat dilakukan dalam bentuk
apapun. Contohnya: Essay, Jurnal Umum, Jurnal Tulisan Pribadi, Wacana, Opini,
dan bentuk feature yang lainnya.
Dalam artikel ini juga Pak Chaidar Al-Wasilah menuliskan bahwa di
US. Anak SMA pun dipaksa untuk mencintai sastra. Ini sangat membantu
perkembangan menulisnya di usia produktif siswa – siswi.
Menulis dibiasakan dari sekolah karena untuk menjadi seorang dosen
ia harus dapat memproduksi karya ilmiah. Seorang dosen harus bisa menulis.
Benang merah dari artikel pertama ini adalah hidup dalam dunia
akademik itu harus bisa menulis. Jangan pernah bermimpi menjadi seorang dosen
jika tidak bisa menulis. Persaingan global dalam karya tulis indonesia sudah
ketinggalan jauh.
Menurut arti kedua Bapak Chaedar Al-Wasilah dalam artikel penulis
kuat dibandingkan pembaca tak berdaya membicarakan ketidak seimbangan antara
pembaca dengan penulis, pembaca dianggap tidak mampu menjangkau ilmu yang
penulis sampaikan. Karena tata bahas atau retorika keilmuan yang penulis
tuliskan dalam bukunya itu terlalu sulit untuk dipahami sehingga pembaca
berfikir tidak seimbang dengan apa yang disampaikan oleh penulis.
Telah gagalnya sistem pendidikan bahasa bangsa indonesia dalam
pengembangan berfikir kritis. Pembaca selalu berdalih bahwa ia tidak mampu
mencapai keilmuan yang penulis sampaikan dalam tulisan yang terlalu tinggi.
Kemudian, hasil survei yang mengatakan bahwa kerap pembaca menyalahkan dirinya
sendiri karena ketika membaca ia tidak dapat berkonsentrasi. Sehingga, ia tidak
bisa mendapatkan dan memahami apa yang ia baca dari buku yang dianggapnya sulit
untuk dipahami.
3 indikator yang menyebabkan ketidak seimbangan pembaca dan
penulis. Pertama, pendekatan koneksi membaca – menulis. Kurang adanya
pembiasaan bagi siswa untuk melakukan hal itu mulai dari ketika ia menjadi
siswa sampai kelak ketika ia memasuki usia produktifnya ia akan terbiasa
menulis. Jika pendekatan ini telah dilakukan oleh sistem pendidikan kita maka
sedikitnya jumlah orang – orang yang akan mempunyai produksi knowledge akan
meningkat.
Kedua adalah
orientasi sistem pendidikan bangsa Indonesia bukan menulis berorientasi tetapi,
membaca berorientasi yang diberikan kepada siswa-siswi adalah seharusnya
pengembangan kesadaran kritis bahasa seperti sensitivitas kekuasaan dan
ideologi yang mendasari penggunaan bahasa. Nyatanya bangsa Indonesia hanya dilatih
untuk membaca kritis bukan untuk berlatih menulis.
Ketiga, membaca berorientasi siswa tidak dibentuk menjadi
intelektual menulis orientasi. Buku-buku teks yang disebut perbanyak oleh
orang-orang yang telah mempunyai gelar PhD adalah buku yang ketika ia belajar
di luar negeri. Hal seperti itu adalah
pelecehan intelektual karena siswa pun belum siap untuk menerima yang belum ia
ketahui seperti adanya dzalim dalam sistem kependidikan KUA karena orang-orang
yang dianggap berpendidikan karena telah menyelesaikan doktornya di luar negeri
melakukan pelecehan itu. Buku yang ia akan ajarkan buka pada tempatnya.
Akibatnya buku-buku import yang dituntut untuk mempelajari bahasa asing ini
akan menhapuskan kecintaan terhadap bahasa sendiri secara tidak langsung mereka
akan melakukan perlawanan terhadap sumpah pemuda yang mengakui bahasa Indonesia
adalah bahasa nasional. Kejadian yang sangat dramatis dan ironik.
Artikel ketiga
dari Belajar dan Proses Mengajar lebih lanjut tentang pembaca dan penulis.
Kritikan-kritikan
yang dituliskan Chaedar Al Wasilah dalam artikel ketiganya disampaikan untuk
Sistem Pendidikan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas
pemikiran kritis di negara ini. Analisis hasil tes yang diambil oleh mahasiswa
dari Dr Imam Bagus dalam konferensi pada tanggal 2 februari di UPI Bandung
. hasilnya sangat mengejutkn bahwa siswa
tidak bisa mengidentifikasi tema utama
potongan indonesia langsung dalam pemeriksaan pilihan ganda. Karna guru yang kurang kompeten.
Namun, pada
artikel ini juga Chedar Alwasilah menuliskan alasan-alasan yang lain. Ia menuliskan kacaunya sistem kurikulum
Indonesia. Seperti silabus dan
pemeriksaan sistem yyang harus diikuti oleh guru melumpuhkan perkembangan
kompetisi bahasa. Begitupun apa yang
dikatakan Mr Kanita( guru bahasa SMA) bahwa anak-anak indonesia tidak
dianjurkan untuk menulis.
Untuk
menyelesaikannya dibangku sekolah sampai kuliah mereka hanya diminta memilih
satu pilihan yang dianggap benar dari empat pilihan. Mereka mengisi soal pilihan ganda ketika
ujian nasional.. padahan menulis dapat
mengembangkan kompetensi bahasa mereka, menghidupkan rasa peduli mereka dan
membangunkan kesadaran siswa-siswi untuk menjjadi generasi yang kompeten.
Salahnya metode guru atau dosen yang dianggap memperbaiki sistem
pendidikan indonesia. Banyak guru atau
dosen yang menggunakan buku impor pada sistem pembelajaran di kelasnya. Karena guru atau dosen tersebut lulusan dari
universitas di luar negri sehingga ia menyamakan sumber buku yang dipelajarinya
dan memberikan pengajaran itu kepada siswa di Indonesia. Akibatnya adalah siswa
lebih banyak membaca buku dari bahasa asing ketimbang bahasa nasional.
Kesimpulan dari 3
artikel di atas adalah bahwa sistem pendidikan indonesia tidak menuntut siswa
untuk bisa menulis, literasi siswa bangsa Indonesia sangat rendah. Karena bukan hanya siswanya yang rendah
literasinya. Namun, dosen-dosen dan
akademisi-akademisi yang tingkatannya lebih tinggipun mempunya literasi yang
rendah. Bangsa indonesia tidak mempunya
kesadaran membaca-menulis. Rasa egisme
dosen yang menggunakan teks teks asing dalam pengajarannya adalah hanya
menggeserkan kecintaan bangsa indonesia terhadap bahasa nasional.
Perbedaannya adalah teks pertama lebih mengamati penduduk indonesia
dalam pandangan luas yang bersaing dengan negara lain dalam membaca-menulis.
Bandingan dari angka jumlah penduduknya serta produk karya ilmiah yang
dihasilkan 2 negara, yaitu : Indonesia dan Malasyia. Sedangkan teks kedua lebih mengkritik sistem
pendidikan indonesia yang keliru dalam menerapkan orientasi membaca lebih utama
dibandingkan orientasi menulis. Teks
yang ketiga lebih menekankan pada kurikulum yang dibuat oleh sistem pendidikan indonesia. Dari teks kedua dan ketiga kedua duanya
mempunya kesamaan yaitu kedua duanya memberikan kenyataan realistis tentang
dosen-dosen yang telah mendapatkan gelar phD lebih sering memberikan teks yang
berbahasa asing kepada mahasiswa indonesia yang belum saatnya mempelajari
itu. Karena untuk bahasa nasionalnya pun
belum tertanam kuat dalam diri siswa siswa bangsa indonesia. Oleh sebab itu bahasa asing akan menggeserkan
posisi bahasa nasional yang seharusnya siswa kuasai.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)