Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Metta Hittoh Mu'awanah
Toleransi kunci
SUKSES Multikulturalisme
Indonesia memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah, begitu pun
dengan kebudayaannya yang beranekaragam. Keanekaragaman budaya yang dimiliki
bangsa ini melahirkan masyarakat multikultural. Kita mengenal masyarakat sebagai kelompok
manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu
mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan
sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep multikultural dapat
diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain
. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai
sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memilki
kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain. Multikulturalisme di Indonesia terbentuk akibat dari kondisi geografis yang sangat
beragam dan luas. Secara geografis Indonesia memiliki banyak pulau sehingga
kebudayaan yang ada di Indonesia sangat beragam.
Bangsa ini selain memiliki budaya yang beragam, masyarakatnya memiliki
kepercayaan yang berbeda-beda dengan enam agama yang secara resmi diakui
pemerintah. Seharusnya, dengan keadaan seperti ini masyarakat Indonesia telah
memiliki rasa toleransi yang tinggi. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18%
dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam,
6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu,
0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38%
tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto
atau semboyan Indonesia. Frasa ini
berasal dari bahasa Jawa kuno dan
seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka
ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti
"macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu".
Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika
diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan
Bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Multikulturalisme di Indonesia menimbulkan banyak konflik yang disebabkan karena perbedaan pendapat antara pihak satu dengan pihak
yang lain, kurangnya rasa saling menghormati dan toleransi mengenai perbedaan agama,
ras, suku dan budaya. Kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia, diantaranya
yaitu:
a)
Pembakaran pasar Glodok (Peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta,
yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis.
b)
Keturunan Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung,
Solo, dan Makasar).
c)
Peristiwa Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM
(Bugis-Buton-Makasar) dan Ambon Islam melawan Ambon Kristen). Peristiwa Sambas dan Palangkaraya
(Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak, Melayu dan Tionghoa melawan Madura)
d)
Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan
Kristen yang disertai oleh unsur-unsur dari luar),
e)
Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian
antara orang Sumbawa dan Bali,
f)
Peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa),
g)
Peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka
disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh
perbedaan agama, atau
h)
Konflik-konflik yang sudah agak lama tapi tetap masih menjadi
ingatan kita seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa gereja di Indonesia
atau kasus terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia.
Justru dari contoh dapat dilihat betapa kelompok-kelompok mayoritas menindas
kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat
antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul
sehingga ada benarnya apa yang dikatakan Rorty bahwa Spesies manusia akan mati
tercekik karena dengan klaim-klaim “universal” kebudayaan dan peradaban lokal
yang saling mengerkah.
Maka dari itu harus dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia
yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada
sebuah kesadaran masif yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan
kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga
orientasi politik. Sehingga akan terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan
yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau
kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu
pemahaman tentang Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan
menyeluruh. Sedangkan
kerukunan umat beragama adalah hubungan baik yang terjadi pada seluruh umat
beragama, hal ini dilandasi dengan rasa saling menghormati,menghargai dan
menyayangi antar umat beragama serta bisa bekerja sama dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Hendropuspito, konflik antar kelompok masyarakat Islam -
Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:
Pertama, perbedaan doktrin dan sikap mental semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam
bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang
menjadi penyebab dari benturan itu.Entah sadar atau tidak, setiap pihak
mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama
lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala
penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan
lawan dinilai menurut patokan itu. Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan
sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai
pemicu konflik.
Kedua, perbedaan suku dan ras pemeluk
agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa
perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan
suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk
menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah
Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang
beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu
hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang
merugikan ketentraman dan keamanan. Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan
seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah
penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat.
Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang
umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan
suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
Ketiga, perbedaan tingkat kebudayaan. Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan
membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara
sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya
tradisional dan budaya modern.Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok
masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan
antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki
budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki
budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih
berwajah budaya Barat yang mewah.Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat
yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor
pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di
Indonesia.
Keempat, masalah mayoritas dan minoritas
golongan agama. Fenomena
konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas
penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Di
berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam
sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami
kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia.
Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang
didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di
beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami
kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
Di dalam Negara Indonesia yang pluralitas agama, dialog
menjadi pilihan alternatif yang ideal dalam penyelesaian konflik antar umat
beragama. fenomena konflik antar umat beragama harus ditangai, karena berdampak
sangat negatif. Untuk menghadapi fenomena ini, para pemuka lintas agama tingkat
pusat melakukan dialog antar umat beragama.
Dialog antar umat beragama, bertujuan bukan untuk peleburan
agama menjadi satu, sinkretisme (menciptakan ajaran agama baru yang tergabung
dari unsur-unsur agama yang ada), supremasi agama satu ke agama yang lain bahwa
dirinya benar, dan meniadakan perbedaan agama. Akan tetapi tujuan dialog antar
umat beragama adalah positif, yakni
- Tumbuhnya saling pengertian yang objektif dan kritis;
- Menumbuhkan kembali alam kejiwaan yang tertutup oleh tirai pemisah karena tiadanya saling pengertian kepada alam dan bentuk kejiwaan yang otentik dan segar, yang memungkinkan dua belah pihak mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang sejati... (sehingga) Dialog yang baik akan mengarah kepada terciptanya pertemuan pribadi-pribadi yang bentuk konkretnya berupa kerja sama demi kepentingan bersama.
- Untuk menumbuhkan pengenalan yang lebih mendalam kepada orang lain dan kemudian melahirkan keperdulian kepada sesame manusia.
- Untuk menciptakan ketemtraman didalam masyarakat.
- Menjamin terbinanya kerukunan dan kedamaian yang terarah kepada suatu bebtuk kongkret.
- Untuk menanggapi penderitaan yang terus bertambah dan menakutkan serta menyakitkan.
- Untuk menolong dan melayani orang lain menghadapi krisis kemanusiaan.
Tujuan dialog begitu ideal, agar apa yang diharapakan
benar-benar nyata. Dalam dialog antar agama diciptakan pedoman-pedoman dalam
berdialog. Mengingat, anggota berasal dari berbagai macam agama, maka perlu
adanya pedoman untuk menjaga kelangsungan dialog itu sendiri.
Pedoman khusus dialog antar umat beragama agar dialog yang
dilakukan berhasil diantaranya : Pertama, Dasar pijakan yang sama, semua pemeluk agama memiliki kepercayaan yang sama
akan satu Tuhan. Adanya agama yang berbeda-beda merupakan bagian-bagian satu
keluarga umat manusia. Mereka tinggal dalam tempat yang sama baik daerah dan
Negara, sehingga perlu dibuatlah landasan hidup bersama untuk tebinanya
kerukunan dan kerja sama dalam hidup bersama. Kedua ,tujuan dialog adanya saling pengertian dan penghargaan yang
lebih baik antar pemeluk agama. Adanya perbedaan bukan direltiviskan
kebenarannya, melainkan untuk toleransi antar umat beragama. Ketiga, materi dialog merupakan tema-tema menarik untuk kepentingan nasional bangsa
Indonesia. Keempat, kode etik dialog antar umat beragama, yaitu
- Kesaksian yang jujur dan saling menghormati. Dalam dialog masing-masing umat beragama memberikan kesaksiannya tentang agamanya scar jujur. Juga tidak ada unsur saling menjatuhkan antar umat beragama yakni, simpati akan kesukaran, kemajuan agama lain.
- Prinsip Kebebasan Bersama. Prinsip kebebasan bersama meliputi kebebasan perorangan dan social. Setiap orang bebas memilih agama, tanpa ditekan oleh sistem social masyarakat berkembang, yang didominasi oleh agama tertentu.
- Prinsip penerimaan (acceptance). Prinsip ini bertujuan untuk menerima umat beragama lain apa adanya. Kita tidak memproyeksikan agama lain menurut agama kita dan pikiran kita.
- Berpikir positif dan percaya. Berpikir positif adalah melihat nilai-nilai positif dari agama lain. Percaya adalah sikap yang tidak menaruh prasangka-prasangka (prejudices). Perlu dikembangkan sikap saling percaya untuk mengawali dialog.
Dialog
antar umat beragama telah mereduksi nilai dan informasi tentang keagamaan dalam
berdialog antar umat beragama. Dialog yang bertujuan untuk menciptakan saling
mengerti dan menghargai akan sia-sia, karena dalam dialog kita tidak
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman umat beragama yang berbeda dengan kita
sebagaimana adanya. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialami oleh agama
lain. Dari sini otomatis, pengertian yang didapatkan sangat terbatas menjadikan
umat beragama lain memiliki pengetahuan dan pengalaman yang dialami oleh agama
lain sangat sedikit. Keterbatasan ini akan mudah menimbulkan kesalahpahaman di
antara pemeluk agama yang lain. Kesalahpahaman ini akan berujung pada konflik.
Maka dalam dialog antar agama secara fenomenologi mengajak kita untuk memahami
agama lain yang berbeda dan yang dipeluk oleh orang lain sebagaimana apa adanya
yang diarasakan, dipikirkan dan dialami. Apa adanya ini dibiarkan begitu saja,
tanpa sedikitpun kita mereduksi. Hingga akhirnya kita mengetahui hakikat
(eidos) dari agama orang lain yang berbeda dengan kita, yakni kita mampu
menjelaskan agama apa yang ada di dalamnya dari sudut pandangnya. Dengan
demikian, saling pengertian dan menghormati akan terwujud dengan sendirinya,
ketika kita mengerti dan memahami agama yang berbeda, secara langsung dan utuh.
kita akan mengetahui nilai-nilai baik dan informasi yang utuh akan agama
mereka. Dengan demikian kerukunan akan tercipta, karena masing-masing dari
agama sudah saling mengerti dan menghargai melalui dialog antar umat beragama
dalam fenomenologis.
Negeri
ini memerlukan evaluasi diri, adakah yang salah dalam sistem yang diterapkan
selama ini. A Chaedar
Alwasilah dalam wacananya yang berjudul “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony” (2011)
mengatakan bahwa kualitas suatu bangsa dapat dibentuk dari sistem
pendidikannya. Salah satu caranya adalah memberikan siswa dengan keterampilan
dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat
dan warga negara. Sehingga tidak akan terjadi masalah sosial seperti tawuran
pelajar, bentrokan pemuda, dan radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi
dari penyakit sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat
terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda.
Kerukunan dapat
diciptakan dengan baik melalui pendidikan dasar. Pendidikan dasar merupakan hal
penting yang dibutuhkan anak yang bisa dilakukan oleh seluruh pendidik baik
dari anggota keluarga ataupun guru sekolah. Pada sekolah dasar, guru kelas
berfungsi untuk mengawasi siswa
sepanjang hari di sekolah. Mereka harus tahu bagaimana merancang dan
memfasilitasi interaksi dengan teman sebaya yang benar, mereka juga harus bisa
mengembangkan wacana-wacana positif sebagai bagian
dari pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Interaksi secara berkelompok harus ditetapkan di sekolah,
hal ini dimaksudkan untuk membangun rasa hormat, saling tolong-menolong berbagi
dan secara umum lebih bersikap sopan terhadap yang lain. Siswa di sekolah
berasal dari agama, ras, suku dan latar belakang sosial yang berbeda, dan
paradigma mereka dibentuk oleh latar belakang tersebut, dan sekolah harus
memfasilitasi interaksi berkelompok yang bertujuan untuk mengembangkan wacana
sipil yang positif.
Indikator wacana sipil terdiri dari menyimak (attensive
listening), menyumbangkan ide-ide atau berpendapat, mengajukan pertanyaan,
menyatakan kepakatan atau ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara
yang hormat. Praktik ini akan diaplikasikan pada beberapa mata pelajaran di
sekolah. Pada tingkat SMP, guru berfungsi untuk meyakinkan bahwa kegiatan “
peer interaction” berjalan dengan benar, mereka bisa mengembangkan diskursus
pendidikan positif seperti yang diajarkan dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Hubungan yang baik sangat penting untuk kesuksesan individu, sebaliknya
hubungan yang buruk akan merusak kepribadian menimbulkan konflik sosial.
Peer interaction dalam mata pelajaran sosial bangsa
Indonesia dan Pancasila bukan penghancur kepribadian jika guru bisa memanagenya
dengan efektif. Untuk itu, peer interaction harus di implementasikan sebagai
kegiatan rutin. Siswa harus diberikan peluang untuk berinteraksi dengan grup
lain untuk mempraktikan menyimak, berpendapat dengan penuh hormat. Ini
dimaksudkan untuk mempersiapkan anak bangsa yang berfungsi sebagai bagian dari
negara yang demokratis.
Penelitian yang dilakukan Apriliaswati (2011) menunjukan
bahwa pendidikan tidak hanya mengenai pengajaran ilmiah, tetapi juga wacana
sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga
yang intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk
menciptakan warga negara yang beradab. Idealnya, kebijakan ini harus diterapkan
di sekolah yang mana memperkerjakan staff dan personel yang berbeda agama, ras,
suku dan budaya. Sekolah juga seharusnya menyediakan tempat beribadah untuk
semua agama. Siswa akan belajar, bagaimana masing-masing agama menjalankan
ritualnya. Ini akan menjadi cara yang efektif untuk menjalankan pendidikn agama
dalam sekolah multikultural.
Pentingnya liberal education adalah untuk membentuk manusia seutuhnya. Manusia yang mempunyai
pengetahuan untuk menghindari konflikm lokal. Dalam konteks Indonesia
Pendidikan Liberal harus menyangkut pengetahuan tentang etnik, agama, bahasa
minoritas dan budaya. Liberal education bertujuan untuk membebaskan siswa dari
kebutaan dan fanatik terhadap yang lain, dan mempersiapkan siswa dalam
menjalankan tugasnya sebagai warga yang demokratis.
Sekarang saatnya masyarakat Indonesia harus melek bahwa
toleransi adalah kunci bangsa ini agar bisa tetap bersatu dengan segala
keanekaragaman yang ada. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi disebabkan karena
minimnya kerukunan antar umat beragama dan rendahnya rasa sosial dalam bermasyarakat.
Maka dari itu pendidikan dasar sangat diperlukan untuk membentuk anak negeri
ini menjadi masayarakat yang bertoleransi tinggi, dimulai dari lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar.
Disini peran orang tua dan sekolah sangat penting untuk
membentuk anak yang
berpendidikan dan bertoleransi tinggi . Konflik-konflik yang
pernah terjadi di negeri ini
biar kita jadikan pembelajaran dan upaya keras untuk tidak terulang kembali. Kini indonesia mulai menunjukan peningkatan
yang positif dengan adanya bergotong royong dan adanya penerapan classroom
discourse
pada sekolah- sekolah. Berhentilah berpikir bahwa perbedaan adalah jurang pemisah, tetapi ingatlah
pada semboyan negeri ini yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”yang berarti
meskipun negeri ini berasal dari berbagai agama, ras, suku dan budaya yang
berbeda tetapi tetap satu.
A. Chaedar Alwasilah,
“Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, Oktober, 2011:The Jakarta Post
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
diakses pada hari Selasa tanggal 25 Februari 2014 pukul 19.00 WIB
http://dialog-antar-umat-beragama.blogspot.com/
diakses pada hari Selasa tanggal 25 Februari 2014 pukul 19. 25 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
diakses pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2014 pukul 20. 10 WIB
http://multikulturalisme12.blogspot.com/2013/05/multikulturalisme-di-indonesia.html
diakses pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2014 pukul 20. 20 WIB
Created by
Meta Hittoh Mu’awanah


Subscribe to:
Post Comments (Atom)