Thursday, February 27, 2014

Edukasi dan Pengikisan Toleransi Bangsa


Eka Ramdhani Niengsih
PBI-D Semester 4
Critical Review 1

Edukasi dan Pengikisan Toleransi Bangsa
Pendidikan adalah ujung tombak kemajuan suatu bangsa. Jika rendah tingkat pendidikan suatu negara maka tidak heran jika negara tersebut belum dikatakan negara yang maju. Pendidikan erat kaitannya dengan budaya literasi. Di Indonesia budaya literasi kita masih terbilang rendah. Bisa jadi ini adalah salah satu yang membuat negara kita belum termasuk negara maju. .
Pentingnya pendidikan yaitu untuk menentukan kualitas hidup seseorang atau bangsa yang memang sudah menjadi kebutuhan mutlak. Di indonesia pendidikan mempunyai dua jenis yaitu pendidikan intelektual dan pendidikan moral. Keduanya dibutuhkan untuk saling melengkapi. Kedua jenis pendidikan tersebut dikhususkan untuk generasi muda yaitu pelajar dan mahasiswa. Kaum muda merupakan generasi penerus yang akan menentukan jalannya bangsa ini untuk kedepannya.
Namun disinilah yang menjadi kekhawatiran, karena pendidikan intelektual tidak sebanding dengan pendidikan moral, padahal kedua objek ini seharusnya saling berbanding lurus. Semakin tinggi intelektual seharusnya semakin baik pula moralnya. Namun banyak pula kita temukan seseorang yang berprestasi akan tetapi tidak bermoral. Sistem pembelajaran di indonesia ini harus diberlakukan dengan seimbang agar peserta didik tidak hanya berprestasi tetapi juga mempunyai moral yang baik.
Masalah pendidikan bangsa kita cukup komplek. Dimulai dari sistem kurikulum pendidikan, konflik antar teman sekelas yang merujuk pada konflik antar budaya dan agama. Kurangnya pendidikan moral siswa dapat menyebabkan masalah-masalah tersebut. Masalah sosial yang berulang terjadi yaitu tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Konflik sosial dan ketidakharmonisan khususnya merupakan tantangan bagi tenaga pendidik untuk mengamati dan mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokrasi dengan karakter yang baik sebagaimana telah diatur dalam UU Sisdiknas. Untuk mewujudkan hal ini, kerukuan umat beragama harus dikembangkan di sekolah sejak usia dini mungkin.
Teori Rubin (2009) " …that school-age children prefer to interact with their peers. In the school context, it is the relationship where peers respect, help, share, and generally are polite toward one another." Dalam hasil penelitian menyebutkan bahwa anak usia sekolah lebih memilih berinteraksi dengan teman sebaya. Hal ini dimaksudkan untuk membangun rasa percaya, saling menghormati, saling menolong, berbagi, dan secara umum lebih bersikap sopan terhadap yang lainnya.  Interaksi dengan teman sebaya ini adalah komponen penting dalam pembangunan sosial. Disini, guru berperan sebagai pengawas siswa. Dalam pengembangan wacana sipil siswa harus dilatih menyumbangkan ide, berbicara, mengerjakan tugas dalam kelompok, mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan, menyampaikan persetujuan atau tidak dengan cara yang sopan.
Sementara itu, Indonesia adalah negara multikultural sehingga siswa-siswanya berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda serta dominasi yang kuat terhadap latar belakang mereka. Menjadikan tantangan tersendiri untuk pihak sekolah agar memberikan fasilitas guna mengembangkan wacana sipil positif. Salah satunya adalah upaya penyempurnaan sistem kurikulum pendidikan.
Kurikulum pendidikan Indonesia dituntut agar memberikan kesempatan pada siswanya untuk aktif, kreatif dalam  upaya pengembangan wacana sipil positif. Tugas mencerdaskan bangsa berada di tangan para guru, ujung tombak pendidikan. Kurikulum bisa dikembangkan oleh guru, tidak selalu mengandalkan buku paket atau modul yang sudah jadi. Kurikulum dapat dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi kelas dan perubahan zaman. Di dalam kurikulum, pemerintah hanya menetapkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang menjadi acuan. Pengembangan SK dan KD untuk pembelajaran di kelas sepenuhnya berada di tangan guru. Guru harus membuat ide-ide kreatif dan cemerlang agar siswa bisa terlatih mengeluarkan pendapat dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Diskusi dalam kelompok kecil bisa jadi langkah awal interaksi dengan teman sebaya. Mereka akan saling mengeluarkan pendapat, menemukan perbedaan pendapat dari masing-masing siswa guna mewujudkan kondisi demokrasi dikelas. Pada akhirnya mereka akan mendapat pelajaran bahwa mereka hadir dengan beragam perbedaan dan tugas mereka adalah menghargai perbedaan tersebut. Ketika mereka menyelesaikan pendidikan formal, siswa memasuki dunia dimana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan indvidu dan dapat menyebabkan tingkat konflik sosial tertentu dalam suatu masyarakat tertentu.
Di tengah kesimpangsiuran penggunaan kurikulum pendidikan di Indonesia yang terus mengalami pembaharuan, saat ini sedang dalam masa uji coba penggunaan Kurikulum 2013 yang tengah dicanangkan Mendikbud, ada dua perubahan yang menarik untuk disimak. Kedua hal itu adalah ditambahnya jumlah jam pelajaran Agama untuk SD dan SMP dan diberlakukannya kembali pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Beberapa kalangan menilai maksud dari penambahan jam pelajaran Agama adalah untuk meningkatkan karakter dan kerohanian para peserta didik. Mungkin, beberapa kasus tawuran yang terjadi di antara pelajar belakangan ini bisa dijadikan contoh merosotnya karakter generasi muda. Sementara PPKn selama ini disebut PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) diharapkan dapat menggiring peserta didik untuk menemukan kembali nilai-nilai luhur dalam Pancasila. Ketua umum PGRI Sulistyo menyebutkan bahwa nilai-nilai Pancasila didunia pendidikan setelah reformasi terkesan diabaikan.
Bila nantinya jumlah jam pelajaran Agama memang jadi ditambah, diperlukan sebuah kurikulum yang inklusif, tidak semata-mata eksklusif. Kurikulum yang eksklusif hanya mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan agamanya atau pembinaan rohani dalam agamanya sendiri misalnya rajin berdoa dan beribadah, sejarah para nabi, atau kebesaran dan kemuliaan agama tertentu yang diajarkan. Sementara kurikulum yang inklusif lebih mengedepankan nilai-nilai agama yang bersifat universal. Sementara itu, lewat pembelajaran Pancasila, siswa dapat mempelajari lagi nilai-nilai penting yang dulu pernah digariskan oleh Soekarno, bapak bangsa ini. Dalam pidatonya yang terkenal tentang Pancasila, pada 1 Juni 1945, Soekarno berkata, “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia… tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”.
Dua hal ini bila direnungkan lebih jauh, sangat berkaitan dengan toleransi antar umat beragama. Tak bisa dipungkiri, salah satu PR yang tak dapat dihindarkan untuk dikerjakan adalah masalah toleransi di bangsa ini. Bangsa ini memiliki daftar konflik antar agama yang panjang beberapa tahun terakhir, contohnya: kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah, penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin dan beberapa gereja lainnya, atau masalah boleh atau tidak mengucapkan ucapan selamat Natal yang terus berulang dari tahun ke tahun.
Karenanya, kurikulum yang inklusif dalam pelajaran Agama diharapkan mampu mengajak peserta didik melihat perbedaan agama sebagai sebuah cara mewujudkan kehidupan yang harmonis. Nilai-nilai toleransi dapat ditemukan dalam tiap agama. Tentu dalam masing-masing kitab suci ada kisah atau ayat tentang hidup bersama dengan rukun dan damai. Hal inilah yang perlu digali dan dipelajari lebih mendalam. Demikian pula dengan Pancasila, yang di dalamnya terkandung warisan yang luhur dan mulia tentang kebangsaan dan demokrasi, sudah tiba waktunya bagi generasi muda untuk mempelajarinya (lagi). Pancasila adalah hasil kerja keras para pendahulu bangsa kita. Secara lahiriah, bangsa kita memang sudah merdeka maka dari pada itu, generasi muda saat ini harus mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang ada didalam pancasila.
Prof. Chaedar Al-wasilah lewat artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” menjelaskan bahwa ketidakharmonisan antar umat bergama di indonesia saat ini disebabkan oleh  gagalnya lembaga pendidikan dalam menumbuhkan sikap toleransi. Pendidikan seharusnya  memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu  interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Idealnya kebijakan seperti itu harus ditegakkan di sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Jika memungkinkan sekolah seharusnya menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama, karena melalui itu siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
Terhampar di garis 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan, dan Garis Bujur 9 derajat hingga 141 derajat timur, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dunia. Total luas wilayah, 1.919.404 km persegi. Jumlah pulau sebanyak 19.108 (berdasar data satelit oleh Institute Penerbangan dan Antariksa pada 2003); lima pulau utama dan 30 kelompok pulau-pulau yang lebih kecil. Kelima pulau utama itu Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi dan Jawa.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Religiusitas itu ditunjukkan dalam konstitusi, UUD 1945, yang meletakkan “Ketuhanan” sebagai aspek dasar dari negara. Pasal 29 ayat (1) disebutkan: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari ayat tersebut bisa dipahami, negara harus dikelola dengan prinsip-prinsip ketuhanan. Pasal 29 ayat (2) menyebutkan: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hubungan kuat agama dan negara itu juga terlihat di Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan, “… Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji…,” Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan, “… meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”.
Dengan berpegang pada prinsip “Negara Ketuhanan” itu, umumnya pandangan menilai jika konstitusi negara tidak memberi kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.
Total penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 mencapai 237,641,326 jiwa, naik 24,266,039 jiwa 24 juta jiwa dibanding tahun 2005 yang mencapai 213.375.287 jiwa. Berdasarkan agama, komposisi penduduk yaitu  Islam 207,176,162 (87.18%), Kristen Protestan 16,528,513 (6.96%), Katolik 6,907,873 2.91%, Hindu 4,012,116 1.69%, Budha  1,703,254 (0.72%), Konghucu 117,091 (0.05%), lainnya 299,617 0.13%.  BPS juga menambahkan dua kategori lain yang sebelumnya tidak ada, yakni “tidak terjawab” sebanyak 139,582 jiwa (0.06%), “tidak ditanyakan” 757,118 (0.32%). Pada dasarnya semua agama pasti mengajarkan kebaikan, toleransi dan perbedaan. Alangkah indahnya jika kita bisa merealisasikannya dalam praktik kehidupan kita.
Dunia sekarang sedang  diuji oleh kelaparan dan kemiskinan dari satu segi dan di segi lain dengan penghamburan kekayaan dan kesombongan. Banyak manusia saat ini sudah lupa akan peristiwa sejarah masa lalu yang kelam, dunia dirusak oleh manusia-manusia yang serakah. Lalu bagaimana dengan negeri kita Indonesia? Masihkah kita mengingat peristiwa yang memalukan bangsa kita, yang seharusnya tidak perlu terjadi. Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati kita. Peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Dari penjabaran soal penganggulangan permasalahan kurang harmonisnya kehidupan masyarakat karya Prof. Chaedar sudah dikatakan baik. Di era reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, Prof. Chaedar juga berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini telah gagal mendidik para siswanya dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat dengan pendidikan yang telah mereka peroleh datang ke Parlemen. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Masih segar dalam ingatan kita insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri. Alih-alih mendidik anak-anak sekolah, politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku. Kejadian ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan politik belum cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil. Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal. Sekolah menjalankan fungsinya untuk mendidik para siswa.
            Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi horizontal toleransi antar pengikut agama yang berbeda. Pak Chaedar menyetujui adanya pendidikan liberal di Indonesia. Menurut beliau dalam pendidikan liberal, seorang memberi kesempatan pada para siswanya untuk berinteraksi dengan temannya dari agama, ras, suku, dan budaya yang berbeda. Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diinginkan untuk memperluas wawasan yang bukan sekedar pelatihan teknis dan ‘profesional’. (A. Chaedar Alwasilah: Pokoknya Rekayasa Literasi). Pendidikan liberal memberikan keterampilan dasar tata bahasa, retorika, serta logika. Ini selalu mendorong siswa agar terus belajar dalam segala kondisi. Akan tetapi, ada hal negatif dari pendidikan liberal ini yaitu menjadikan siswa berpikir untuk diri sendiri sehingga lebih individualis.
Pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis bahkan mengapresiasi sastra. Bagaimana mungkin seseorang mampu membebaskan dirinya dari kebodohan jika tidak menguasai keterampilan membaca dan menulis. Pendidikan liberal menjadikan seseorang menjadi literat, karena dengan keterampilan literasi seseorang akan lebih mudah membaca situasi dalam keberagaman budaya maupun agama. Sehingga ia bisa mempraktikan budaya toleransi antar umat manusia.
Sebuah laporan penelitian oleh Apriliaswati (2011) menyebutkan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Disamping itu, pendidikan harus mengembangkan wacana sipil positif, tidak hanya penalaran ilmiah yang mengembangkan masyarakat intelektual. Wacana sipil positif juga perlu untuk menciptakan masyarakat yang beradab.
Jauh dari pada itu, kita harus mengingat bahwa keluarga berperan penting dalam pembangunan moral seseorang. Pendidikan di keluarga bisa dikatakan sebagai pondasi utamanya menuju masyarakat sipil. Keluarga mengajarkan toleransi dalam skala kecil, misalnya anak pertama mempunyai hobi menyanyi sementara anak kedua tidak menyukainya karena ia lebih suka menari. Anak kedua akan kesal atau marah jika anak pertama bernyanyi didekatnya. Jika dibiarkan, ini akan menjadi pertengkaran hebat. Akan tetapi, ibu mengambil bagian menengahi permasalahan ini. Ibu memainkan musik, menyuruh anak pertama menyanyi lalu menyuruh anak kedua menari sesuai keinginannya. Ibu mengajarkan sikap saling toleran dalam keluarga.
Namun dalam praktiknya, masih saja ada keluarga yang belum menjalankan fungsinya sebagai pondasi utama pendidikan moral seseorang. Dengan alasan kesibukan bekerja mereka mengabaikan itu semua. Padahal keluarga adalah pendidikan utama pembentukan masyarakat sipil. Tidak heran jika banyak anak yang lebih memilih terjerumus dalam hal-hal negatif.
Dari semua itu, Marilah kita renungkan dan amati suasana perikehidupan bangsa Indonesia. Kita harus merasa bangga akan tanah air kita dan juga kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita telah dikaruniai tanah air yang indah dengan aneka ragam kekayaan alam yang berlimpah ditambah lagi beraneka ragam suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama dan lain-lainnya. Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistis menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti masalah Agama, paham separatisme, tawuran ataupun kesenjangan sosial. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kerukunan hidup antar umat beragama harus selalu dijaga dan dibina. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah belah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Toleransi antar umat beragama bila kita bina dengan baik akan dapat menumbuhkan sikap hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta suasana yang tenang, damai dan tenteram dalam kehidupan beragama termasuk dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya melalui toleransi diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu akan terbina peri kehidupan yang rukun, tertib, dan damai.
Sejatinya pendidikan mengajarkan kita untuk saling bertoleransi. Pendidikan di sekolah juga untuk membentuk karakter tiap individu. Agama berfungsi untuk meyakinkan setiap tindakan dan perilaku kita bukan untuk memaksa kita dalam bertingkah laku. Budaya literasi menjadi titik awal kita belajar toleransi. Disamping itu, tanamkanlah dalam diri bahwa secara fitrah kita diciptakan dengan perbedaan. Jangan heran jika ketika kita bersekolah akan bertemu dengan teman yang berbeda, berbeda bahasa, beda budaya, beda warna kulit dan lainnya. Akan lebih berharga lagi masa-masa sekolah kita jika dilalui dengan menghargai semua perbedaan itu dan menerimanya dengan tangan terbuka. Pada akhirnya, sikap toleransi dan tingkat literasi yang tinggi tidak menutup kemungkinan akan memberikan citra baik negara Indonesia dimata dunia internasional. Pendidikan dan tingkat literasi tinggi dengan sendirinya akan menciptakan budaya bagi suatu bangsa.

Referensi:
UUD 1945
Alwasilah. A Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat
BPS Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005, dikutip dari Perencanaan Perogram dan Anggaran Departemen Agama tahun 2010. (Biro Perencanaan Depatemen Agama tahun 2009)
The Wahid Institute Lampu merah kebebasan Beragama. Laporan kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia tahun 2010.
diakses pada 26 februari 2014 pukul 16.00 WIB
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment