Thursday, February 27, 2014

PEMBUDIDAYAAN KEHARMONISAN BERBASIS MULTIKULTURAL


1st Critical Review
About “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”
By RASDENI


PEMBUDIDAYAAN KEHARMONISAN BERBASIS MULTIKULTURAL

Hidup di dunia yang penuh dengan perbedaan mau tidak mau harus dijalani dengan mengikuti alur yang telah ditentukan Tuhan.  Jika dianalogikan sebagai sebuah rumah yang kokoh, terdapat banyak perbedaan unsur pembangunnya.  Dari mulai pondasi yang terbuat dari campuran antara semen dan batu, dinding dan bagian rumah yang terbuat dari kayu dan batu bata, sampai kepada bagian atas rumah, semuanya dibuat dari bahan yang berbeda-beda sampai akhirnya berdirilah sebuah rumah yang kokoh dan indah.  Begitu pula dengan bangsa ini, jika didalamnya terdapat beberapa perbedaan itu bukan untuk menghancurkan tetapi untuk mengokohkan serta memperindah kualitas Negara dan bangsanya. 
Ketika perbedaan menjadi sebuah masalah besar, maka satu-satunya cara untuk mengatasinya yaitu dengan kesadaran diri sendiri, bahwa hakikat diri kita tercipta dari beberapa sel, jaringan, organ, sistem organ yang berbeda bentuk dan fungsinya sampai terbentuk jasad yang utuh dan kokoh.  Kita hidup di dunia, spesifiknya di Negara Indonesia dimana terdapat banyak perbedaan di dalamnya.  Mulai dari perbedaan agama, adat, suku, budaya, bahasa dan lain sebagainya.  Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, sebagai warga Negara yang rukun dan toleran kita tentunya bisa bijaksana dalam menyikapinya.
Dunia pendidikan tidak dapat dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat beberapa perbedaan yang mestinya memberikan kesadaran kepada siswa untuk menerima dan hidup berdampingan dengan perbedaan tersebut.  Dalam sebuah lembaga, sebut saja sekolah tentu memiliki siswa-siswi dari latar belakang agama, budaya, etnis, adat, dan bahasa yang berbeda satu sama lain.  Tulisan ini berisi mengenai sebuah kritikan dari artikel yang ditulis oleh Prof. A. Chaedar Alwasilah pada bukunya yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi, artikel tersebut diterbitkan oleh The Jakarta Post, pada tanggal 22 October 2011.  Artikel tersebut berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony.
Pada artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony, sistem pendidikan memang menjadi tolak ukur untuk menentukan kualitas suatu Negara.  Peserta didik pada suatu lembaga pendidikan berasal dari berbagai etnis yang berbeda.  Mereka berbaur pada suatu lingkungan yang sama dimana tidak ada jeda bagi mereka dalam berinteraksi dan bergaul satu sama lain.   UU Sisdiknas telah mengatur dan menerapkan kebijakannya untuk membangun siswa yang secara kepribadiannya berlandaskan demokratis dengan karakter yang baik.  Tugas guru sekolah sangat crucial untuk mendukung kebijakan undang-undang tersebut.  Penanaman karakter untuk dapat menghantarkan pendidikan yang berbasis ilmu dan akhlak agar siswa menjadi pribadi yang baik di kalangan sekolah dan lingkungan, salah satunya dengan mengajak dan mengajarkan siswa berinteraksi sosial dengan baik kepada teman sebayanya.  Pada saat duduk di bangku sekolah, teman sebaya berpengaruh besar terhadap sikap dan karakter anak.  Seorang pendidik tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga akhlak yang baik.  Anak yang tidak mendapatkan asupan akhlak yang baik, tidak dipungkiri bahwa akan menimbulkan sebuah konflik sosial yang fatal bagi diri dan hubungan sosialnya.
Masalah sosial yang muncul di kalangan pelajar dan warga Negara, salah satunya ditimbulkan karena adanya sebuah perbedaan.  Pentingnya pendidikan dasar mengenai interaksi harus dilakukan sejak dini sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik sosial.  Konflik sosial yang muncul diakibatkan karena kurangnya interaksi dan hubungan yang baik antara siswa yang memiliki perbedaan agama, etnis, maupun adat.  Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).  Dalam lingkungan sekolah yang memiliki perbedaan, penting akan adanya kemampuan untuk menjaga hubungan baik antar sesama, karena pada masa sekolah siswa endrung lebih dekat dengan teman sebayanya.  Jika tidak adanya keharmonisan antar siswa, tidak menutup kemungkinan akan adanya kesenjangan sosial yang nantinya akan menyebabkan konflik sosial antar siswa.
Disebutkan dalam artikel tersebut, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Apriliaswati pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa interaksi antar teman sebaya di dalam kelas mendukung sebagai siswa yang memiliki sifat dan sikap yang positif.  Pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu untuk kebutuhan intelektual siswa, tetapi juga mengajarkan dan mendidik mengenai interaksi antar siswa.  Contoh untuk menimbulkan interaksi yang positif antara siswa satu dengan lainnya yaitu dengan memberikan metode mengajar untuk membentuk kelompok-kelompok kecil, memberikan wacana kepada siswa untuk didiskusikan secara bersama-sama, dan kerja kelompok.
Adanya perbedaan agama maupun etnis dalam kelompok-kelompok tertentu di kalangan pelajar, menuntut sekolah atau lembaga pendidikan membentuk sebuah kebijakan terkait masalah multikultural tersebut.  Lembaga pendidikan tidak seharusnya menganut sistem pembelajaran tradisional, yang lebih mementingkan pada aspek keagamaan, ataupun sistem pembelajaran yang liberal seperti yang diterapkan di Negara luar, misalnya Amerika Serikat.  Sistem pendidikan di Indonesia tentu harus mengarah ke modernisasi.  Berkembang sesuai dengan kondisi yang ada di Negara Indonesia tersebut. 
Artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony, penulis menguatkan bukti-bukti akibat kurangnya interaksi sosial siswa dengan teman sebayanya yang menyebabkan menonjolnya perbedaan multikultural dan perbedaan tersebut kurang bisa diterima oleh siswa, sehingga menimbulkan beberapa konflik sosial yang terjadi, diantaranya konflik di daerah-daerah yang ada di Indonesia seperti Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010), dan Singkawang (2010).  Tawuran terjadi dimana-mana bahkan banyak pula yang sampai kepada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pelajar terhadap teman sebayanya sendiri.
Wacana kelas yang diberikan pendidik kepada siswa memang menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan keharmonisan interaksi dengan teman sebayanya, khususnya untuk mengatasi masalah multikultural yang terjadi di kalangan pelajar yang dapat menimbulkan efek negatif seperti konflik sosial ataupun kesenjangan diantara siswa.  Classroom discourse menyangkut beberapa hal, diantaranya yaitu mengenai pentingnya interaksi murid dengan guru, guru dengan murid, ataupun murid dengan murid.  Bahasa yang digunakan dalam belajar maupun mengajar dibutuhkan hubungan yang baik agar interaksi yang terjadi dapat menerima perbedaan, khususnya perbedaan mulkikultural yang marak terjadi di Indonesia.
Masalah multikulturalisme agama yang penulis tekankan pada artikelnya, pada awalnya biasa saja sampai pada akhirnya menjadi sebuah masalah yang sangat dilematik dan problematik.  Multikulturalisme yang mula-mula hanya sebuah “fakta sosialogis” berubah menjadi masalah lain yang meresahkan bahkan sampai menimbulkan konflik sosial antar pelajar.  Pelajar yang kurang memahami tentang perbedaan yang ada disekitarnya bahkan cenderung tidak menerima perbedaan tersebut akan bersikap anarkis terhadap pelajar lain yang tidak sejalan dengannya, hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan multikultural yang seharusnya ditanamkan sejak masih duduk di bangku SD, melalui classroom discourse atau interaksi yang dibangun dengan siswa yang memiliki latar belakang berbeda dengan dirinya.
Pendidikan yang berasas kepada perbedaan sangat perlu untuk diterapkan oleh guru pendidik sejak dini.  Jika siswa sudah terbiasa menerima perbedaan-perbedaan yang senantiasa mengikuti kemana saja ia pergi dan berada, tentu tidak akan terjadi masalah-masalah sosial seperti tawuran antar siswa karena perbedaan etnis, agama, dan budaya mereka.  Penyebab tawuran antar siswa kebanyakan disebabkan karena mereka tidak bisa menghargai satu sama lain dalam lingkungan sosialnya.  Oleh karena itu, tawuran antar siswa harus diberantas, dan ini merupakan PR pemerintah untuk mewajibkan adanya pendidikan multikultural pada lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah. 
Sesuai dengan topik yang dibahas dalam Tribunnews.com, yang diunggah pada hari Selasa, 18 Februari 2014 pukul 13:17 WIB yang berjudul “Indonesia Perlu Adopsi Pendidikan Multikultural” dikatakan bahwa Berjangkitnya wabah radikalisme di kalangan generasi muda mengancam prinsip-prinsip kebhinekaan yang telah diletakkan para founding fathers. Pancasila sebagai tali perekat (common  denominator) yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin tidak dikenali sebagai warisan besar yang harus dilestarikan oleh generasi penerus.
Berbagai survei yang pernah dilakukan menunjukkan menguatnya gejala militansi keagamaan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kenyataan ini meresahkan, karena pemuda adalah tulang punggung masa depan bangsa. Karena itu, Indonesia perlu mengadopsi pendidikan multikultural untuk mengawal transformasi peradaban.
Pendidikan multikultural penting untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini, karena kamajemukan adalah fitrah keindonesiaan yang patut disyukuri. Sayangnya, fitrah kemajemukan ini hendak diingkari oleh ideologi radikalisme yang menjangkiti anak-anak muda yang termakan ideologi kekerasan.
"Indonesia akan besar dan jaya dengan mengakui perbedaan sebagai anugerah, bukan faktor pemecah belah," kata Capres yang mengusung visi Indonesia AMM (Adil, Makmur, dan ber-Martabat) ini.
            Sesuai dengan pendapat yang yang dikutip dari Tribun news tersebut, semakin jelas bahwa pendidikan multikultural perlu diadakan dan menjadi kebijakan lembaga pendidikan.  Penanaman pendidikan multikultural bertujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, mengurangi radikalisme di kalangan pelajar, serta meminimalisisir atau bahkan meniadakan konflik sosial yang sering terjadi karena adanya perbedaan agama dan budaya di kalangan pelajar dan masyarakat.  Konflik yang sering terjadi di kalangan pelajar disebabkan oleh kesalahan sistem pendidikan, khususnya dalam pengajaran dasar atau classroom discourse yang keliru.  Landasan pendidikan multikultural sangat crucial sebagai dasar pelajar supaya dikemudian hari tidak terjadi konflik-konflik yang tidak mencerminkan perilaku dirinya sebagai pelajar dan warga Negara Indonesia yang baik.
            Untuk mewujudkan kesadaran pelajar tentang multikultural yang menjadi inti permasalahan atau konflik sosial yang terjadi di Indonesia, pembangunan pada classroom discourse harus ditekankan sejak dini.  Classroom discourse of teaching and learning seperti menyimak, mendengarkan, memperhatikan, bertanya, :suruhan, memerintah, meminta, ajakan, desakan, larangan, menyarankan, dan bujukan sedangkan tindak tutur direktif ditemukan pada konteks pembelajaran pada kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, bagi pembelajaran siswa tidak boleh diabaikan, karena merupakan dasar pembentukan kepribadian siswa agar menjadi pelajar yang berperilaku terpuji.  Konflik-konflik sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya di kalangan pelajar Indonesia dikarenakan karena kurangnya pembelajaran classroom discourse dari pendidik mereka.  Para guru hanya mengajarkan tentang ilmu intelektual kepada siswanya dan mengabaikan interaksi sosial mereka terhadap sesama.
            Pendidikan di Indonesia semestinya memang perlu mengacu pada kurikulum 2013 dimana pendidikan lebih menekankan kepada sikap spiritual dan sosial siswa disamping pengetahuan dan keterampilan mereka.  Sikap spiritual dan sosial siswa akan melahirkan siswa yang saling menghormati antar sesama meskipun mereka hidup di lingkungan yang mempunyai banyak perbedaan.  Itu tidak akan menjadi kendala yang berarti bagi siswa untuk saling toleran terhadap agama dan etnis yang berbeda.
            Komunikasi dan interaksi sosial yang dibangun oleh guru kepada siswa-siswanya yaitu pada setiap pembelajaran, seorang guru wajib memberikan materi yang melibatkan “peer interaction.” Melalui kegiatan pembelajaran tersebut siswa dapat memiliki hubungan yang baik dengan rekan sebayanya.  Pendidikan multikultural yang dirintis di Indonesia sesuai dengan tujuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 3) mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya ditegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional memiliki misi mulia (mission sacre) terhadap anak didik, yaitu membangun pribadi yang memiliki ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan teknis, mengembangkan kepribadian yang kokoh dan membentuk karakter yang kuat. Terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal yang penting dan mutlak dimiliki setiap peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup di masa mendatang. Pengembangan karakter yang diperoleh melalui pendidikan, baik pada tingkat sekolah maupun perguruan tinggi dapat mendorong peserta didik menjadi anak-anak bangsa yang memiliki kepribadian unggul.
            Secara kontekstual dan imperatif hakikat dan tujuan pendidikan nasional harus merepresentasikan permasalahan kondisi objektif masyarakat bangsanya, representasi dari kebutuhan masyarakat, manifestasi tipologis masyarakatnya. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan UNESCO, tujuan pendidikan adalah manifestasi hasil refleksi filosofi tentang manusia, eksistensi manusia dalam konteks sejarahnya dan tentang sistem hubungan manusia dengan alam serta masyarakat di mana dia hidup, berkreasi, dan berbuat (Charles Hammel, UNESCO, 1977). Di Indonesia ditambah dengan hubungan manusia dengan Tuhannya.
            Sistem pendidikan di Indonesia belum begitu efektif karena belum memperbaiki moral dan sikap spiritual antar siswa.  Terjadinya kesenjangan sosial antar teman sebaya seperti tawuran antar pelajar, adanya kelompok-kelompok tertentu yang memicu timbulnya keributan antar sekolah maupun sesama sekolah, bahkan konflik yang terjadi di dalam kelas, didominasi akibat kurangnya rasa solidaritas mereka terhadap teman sebayanya.  Pendidikan yang mengarah kepada multikultural diharapkan agar pemerintah maupun tenaga pendidik mampu mengatasi masalah yang terjadi akibat kekurangan kesadaran pendidik dalam mendidik peserta didik.
            Meskipun penanaman pendidikan multikultural yang lebih menekankan pada interaksi dengan teman sebaya perlu diajarkan di sekolah, tetapi bukan hanya sekolah saja yang harus tanggung jawab terhadap pemecahan masalah ini, namun peran keluargapun ikut terlibat sebagai sarana pendekatan kepada siswa, dengan mengajarkan kepada peserta didik bagaimana cara untuk saling menghargai dan toleran terhadap lingkungan dan keadaan yang berbeda.  Contoh salah satu kasus yang terjadi akibat ketidakharmonisan pelajar dengan rekan sebaya mereka yaitu didominasi oleh konflik tawuran.  Berita di salah satu media jeraring sosial (internet) yang di upsate pada hari Minggu, menyebutkan bahwa konflik sosial tawuran pelajar dan geng motor menduduki peringkat ke-2 di Jawa Barat. 
            Sebuah fakta-fakta mengejutkan yang terjadi pada tahin 2013 silam, akibat kurangnya landasan pendidikan multikultural yang terfokus pada interaksi dan hubungan pelajar dengan teman sebayanya terpampang nyata seperti berikut:
Ø  IPW (Indonesia Police Watch) melaporkan ada 27 propinsi di Indonesia yang tingkat konflik sosialnya tinggi.  Jawa Barat menduduki peringkat ke-2 di bawah Papua (24 peristiwa, 29 tewas, 23 luka termasuk 10 polisi dan 1 TNI,  2 mobil dibakar dan 1 sepeda motor dibakar.  Dari jumlah tersebut, tawuran pelajar dan ulah geng motor yang paling dominan.
Ø  Konflik di Papua: 24 peristiwa, 59 tewas (termasuk 3 polisi dan 9 TNI), 92 luka (termasuk 6 polisi dan 4 TNI), 1 pos polisi dibakar, 11 rumah dibakar, 3 mobil dibakar, 1 mobil di rusak, 3 sepeda motor dibakar, dan 2 motor dirusak.
Begitu banyak permasalahan di Indonesia yang melibatkan konflik sosial antar sesama pelajar belum menemukan solusi yang terbaik untuk menanggulangi masalah ini.  Pemerintah seakan gelagapan dalam mempertanggung jawabkan tugasnya mengatur warga Negara terutama pelajar sebagai generasi penerus bangsa, untuk memperbaiki sikap dan sifat yang tidak sepatutnya ada dalam diri mereka.  Karena itulah A. Chaedar Alwasilah mengangkat classroom discourse sebagai kunci yang mungkin dapat mengatasi masalah konflik sosial yang marak terjadi di kalangann pelajar.
Sekali lagi ditegaskan bahwa sistem pendidikan di Indonesia perlu adanya pembangunan classroom discourse yang melibatkan siswa agar berpartisipasi dalam upaya pembebasan konflik sosial.  Classroom discourse dengan mengajarkan peer interaction atau interaksi dengan teman sebaya bertujuan agar siswa tidak hanya mamiliki kemampuan berpengetahuan intelektual saja, tetapi juga mampunyai pengetahuan praktik spiritual yang mengarah ke sikap siswa dalam menghadapi segala kendala dalam pembelajaran, salah satunya perbedaan etnis, agama, bahasa, dan budaya antar pelajar sekolah.
Dengan penerapan pendidikan multikultural, siswa akan mampu memahami dan menghormati perbedaan-perbedaan yang nyata tersebut dengan sikap yang bijaksana.  Pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai  istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Toleransi yang terealisasikan pada kehidupan nyata siswa merupakan dampak dari penerapan dan penanaman classroom discourse yang intens.  Terlalu banyaknya konflik sosial di kalangan pelajar menyebabkan classroom discourse wajib dijadikan salah satu pembelajaran yang terpenting bahkan diwajibkan untuk diberikan kepada siswa sejak dini oleh guru.  Guru sebagai fasilitator wajib memberikan pendidikan dan pengajaran sikap yang baik kepada siswanya melalui pendidikan multikultural ini, sehingga para pelajar Indonesia mempunyai kuantutas dan kualitas tinggi dalam hal kesadaran bahwa dirinya hidup di dunia dan lingkungan yang didalamnya terdapat banyak perbedaan.  Manusia termasuk pelajar merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk hidup berdampingan di dalam suatu perdamaian, ketenangan, dan kesejahteraan hidupnya.
Jika landasan pendidikan multikultural melalui peer interaction atau pembelajaran interaktif dengan teman sebaya dan pendidikan penalaran pengetahuan intelektual berjalan berdampingan, selaras, sejajar, dan seimbang, maka akan terbentuk para pelajar yang diidam-idamkan oleh Negara Indonesia.  Para pelajar yang selalu menjaga hubungan sosial mereka sekalipun mereka berbeda agama, etnis, budaya, dan bahasa, pelajar yang jauh dari anarkisme, terhindar dari konflik sosial, dapat menerima dan hidup berdampingan dalam perbedaan.  Indonesia dengan perbedaan menjadikannya semakin indah dan beragam. Semua perbedaan yang ada dan dapat diterima, tentu akan menghasilkan Indonesia yang kokoh dan indah layaknya sebuah rumah yang kokoh dan indah karena terbuat dari unsur yang berbeda, yang menjadikannya semakin indah.


References:
A.Chaedar Alwasilah, “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” Oktober, 2011:The Jakarta Post





Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment