Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Nafila El-Sa'idah
Membebaskan
pendidikan dari rejim buruk
By
Nafila El Sa’idah
Hakikat
belajar
Belajar
merupakan suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subyek
dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan dan menetap yang
dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru, misalnya dari tidak tahu
menjadi tahu, timbulnya pengertian-pengertian baru, perubahan dalam sikap dan
perkembangan, sifat-sifat sosial, emosional dan pertumbuhan jasmani Winkel
(1983) dan Hamalik (2001).
Indonesia
adalah negara yang sangat kaya akan budaya, perbedaan suku, agama, etnis, ras,
dan bahasa. Demikian adalah keanekaragaman yang sangat indah di
alam yang kaya ini. Keanekaragaman hidup
selaras dengan makhluk yang hidup di negeri tercinta ini. Agama islam, budha, kristian, katolik tetap
hormat pada sang merah putih. Etnis
jawa, sunda minang, padang, dan yang lainnya bersatu dalam “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan negara indonesia pendorong bangsa
untuk menjadi satu, menyatu dalam 1 tujuan.
Namun, sudahkah perbedaan itu bersatu untuk kemajuan bangsa. Perbedaan yang ada di negara ini memang hidup
tetapi tidak dikatakan terhadap sistem pendidikan.
Sistem
pendidikan untuk menyatukan belum berhasil untuk memajukan dan mengembangkan
bangsa. Masih ada konflik sosial yang
terjadi seperti Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi,
karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura.
Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang
mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan
tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah
kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi
Kalimantan Tengah. Suku Dayak
merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang
semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol
terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan,
penambangan dan perkebunan. Konflik
itu muncul karena proses belajar yang tidak dapat kuat menbangun moral yang
baik. Padahal dalam proses belajar harus
dapat merubah sikap buruk dan sikap sosial menjadi peka sehingga interaksi
untuk individu, masyarakat dan warga negara dapat terhubung menjadi masyarakat
demokrasi.
Pada article classroom discourse dari buku “pokoknya rekayasa
literasi” yang dituliskan oleh
prof. Chaedar Al wasilah ini membukakan
kenyataan yang sedang terjadi di negeri ini.
Indikasi penyakit sosial terjadi di bumi pertiwi ini. Ketidak harmonisan agama, radikalisme,
pembentukan karakter manusia dari dasar tidak diterapkan. Kemampuan menjaga hubungan sangat penting
untuk keberhasilan individu karena jika tidak mempunyai kemampuan menjaga
hubungan maka akan merugikan individu sendiri dan akan menyebabkan tingkat
tertentu konflik sosial di dunia masyarakat.
Penanaman sikap menerima perbedaan harus diterapkan di pengajaran dasar. Pendidikan adalah pembentukan pertama untuk
kelanjutan penghuni negri ini. Sekolah
harus berfungsi sebagai laboraterium untuk latihan masyarakat sipil. Pengajaran dasar berindikasi mengenai : 1)
menyimak (attensive listening), 2) berpendapat,3) bertanya,4) berargumen
(setuju atau tidak setuju), 4) mencapai mufakat dengan penuh rasa hormat. Praktik ke 4 indikasi ini akan
diimplementasikan pada beberapa mata pelajaran.
Di lembaga sekolah berfungsi sebagai “peer interaction” yang akan
dikembangkan di pendidikan. Seperti pada
mata pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraan.
Contohnya guru yang memfasilitasi siswa berinteraksi dengan siswa dari
agama, etnis dan sosial yang berbeda.
Peer interaction dalam mata pelajaran sosial. Oleh karena itu, peer interaksi harus direalisasikan untuk
kegiatan kelas rutin. Siswa harus diberi
kesempatan untuk membiasakan mengeluarkan pendapat, bertukar pikiran, bertukar
argumen, menghargai pendapat, menyimak dan yang lainnya. Pembiasaan itu diajukan untuk mencetak
generasi bangsa yang demokrasi.
Pendidikan multikultural yang diajarkan dari pendidikan dasar tidak
dapat menanamkan rasa toleransi terhadap sesama manusia. Sebenarnya peluang interaksi sosial tidak
hanya dari interaksi teman sebaya.
Namun, dapat dimulai di lingkungan keluarga. Orang tua juga bisa menjadi seorang guru dari
anak-anak yang belum menginjak di bangku sekolah. Orang tua dapat mengajarkan perbedaan pada
anaknya dengan sikap saling menghormati, orang tua juga berkemungkinan sangat
besar untuk mempengaruhi karakter anak didik.
Contohnya orang tua dapat menerapkan “legowo” pada anak pertamanya jika kasih sayang yang
diberikan orang tua kepada anak keduanya lebih disayangi. Orang tua bisa mengajak nggobrol anak
pertamanya dengan ucapan maaf serta memberikan pengertian kepadanya bahwa ada
waktunya untuk bergiliran. Dulu anak
pertamanya juga disayang, diperhatikan lebih sperti anak keduanya agar anak
pertama mengetahui perbedaan dengan situasi dan kondisi yang dinamis.
Kepada anak keduanya juga bsa melakukan pendekatan dan menjelaskan
apa yang dirasakan anak keduanya kurang adil.
Misalnya orang tua memberikan uang jajan yang lebih besar kepada anak
pertamanya yang duduk di bangku SMP senilai Rp. 10.000 misalanya, dan anak
keduanya yang duduk dibangku kelas 5 SD hanya diberi Rp 4000. Perbedaan uang jajan mereka dapat orng tua
jelaskan tentang alasannya. Alasannya
yaitu jika anak kedua yang duduk di bangku SD masih belum banyak
pengeluaran. Sedangkan, anak pertama
yang duduk di bangku SMP ia harus memotocopy lembaran buku pelajarannya atau
sumbangan wajib setiap hari jumat misalnya.
Dari praktik kecil seperti itu saja orang tua dapat memberi
pelajaran kepada anak-anaknya untuk menerima perbedaan. Pada waktu itu pula orang tua memberikn waktu
kepada anaknya untuk menyampaikan setuju dan ketidak setujuan anaknya terhadap
kebijakan orang tuanya, mengajarkan anak-anaknya untuk menyimak dan menghargai
alasan orang tuanya. Praktik kecil itu
dapat dilakukan dari lingkungan kecil,
pendidikan dasar yang tidak ada dalam ikatan institusi apapun. Ini akan lebih sangat berpengaruh juga untuk
moral mereka. Sehingga, ketika dewasa
mereka akan terbiasa dengan perbedaan dan mempraktikannya di ruang yang lebih
besar. Tindakan-tindakan radikalisme,
non toleransi tidak akan terjadi apalagi kericuhan seperti tawuran dalam status
pelajar karena mereka telah dididik dari orang tuanya. Maka dari itu sebagai orang tua harus
memberikan pendidikan yang terbaik dan lebih baik dari sistem pendidikan
nasional yang dulu mereka tempuh. Sebab
sistem pendidikan sudah tidak lagi optimal dengan banyaknya campur tangan dari
sisi manapun.
“Apa yang salah dengan bangsa ini” pertanyaan itu tdak pernah
hilang dalam ingatan manusia. 2 faktor
yang menjadi indikator penyebab munculnya problematika yang ada. Yaitu: ilmu dan moral. Ilmu dan moral seyogyanya dikemas dengan baik
dan ada pada segumpal daging yang berfikir dan berbicara. “al insanu hayawanu natiq” (sulamul
munawaroq: ilmu mantiq), manusia adalah
makhluk yang dapat berbicara dan berfikir.
Jika manusia sudah memiliki pondasi yang kuat ilmu dan moralnya sangat mungkin
kehidupan akan sejahtera dengan banyak perbedaan itu. Tempatnya ilmu telah dirancang oleh negri ni
dalam sistem pendidikan.
“Istilah pendidikan mengandung fungsi yang luas
dari pemelihara dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa
warga masyarakat yang baru mengenal tanggung jawab bersama di dalam masyarakat.
Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang
berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial
yang memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang. Di dalam masyarakat yang
kompleks, fungsi pendidikan ini mengalami spesialisasi dan melembaga dengan
pendidikan formal yang senantiasa tetap berhubungan dengan proses pendidikan
informal di luar sekolah)” (Thedore Brameld). Pendidikan dimulai ketika manusia
terlahir. Langkah pertama yang manusia
masuki ke dalam dunia pendidikan yaitu di SD (Sekolah Dasar). Pendidikan dasar di sekolah dasar menjadi basic
utama untuk menbentuk SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas dan pembentukan
karakter seseorang. Bagaimana seseorang kaya akan ilmu pengetahuan dan
berinteraksi sosial dengan baik. Ilmu
bergerak untuk intelektual mereka dan moral mendukung mereka untuk hidup
bermasyarakat.
Hubungan
dari sistem pendidikan di Indonesia. Pendidik
dan siswa belum satu tujuan. Banyak
faktor yang mempengaruhi ketidaksinambungannya bisa dari ekonomi, kekayaan,
jabatan, harta dan tahta. Hanya
kesenangan yang menjadi orientasi bangsa saat ini. Sebagai buktinya krisis multidimensi yang dialami bangsa ini diyakini banyak kalangan
akibat gagalnya sistem pendidikan yang digunakan, juga merosotnya indeks pembangunan manusia
(IPM) atau Human Deveopment Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari
rendahnya kualitas pendidikan di negeri kita ini.
Data UNDP tahun 2000 tentang Human Development Report atau Human Development Indeks menunjukkan
dari 174 negara, Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan bahkan
memprihatinkan. indonesia berada pada posisi ke-109, hanya 1 (satu)
tingkat di atas Vietnam. Sementara Malaysia pada posisi ke-56, Brunai di posisi
ke-25 dan Singapura berada diperingkat ke-22. pendeknya semua negara ASEAN
berada pada kisaran angka ke-100. Kecuali negara kita tercinta, bahkan Jepang
satu-satunya negara ASEAN yang mampu bertengger di atas, yakni pada posisi
ke-4. Dari kenyataan pahit itulah
telah terbukti pendidikan indonesia sangat kurang baik.
Tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan
pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang
selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi
aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Namun, pendidikan hanya sebagai formalitas belaka. Jiwa bangsa saat ini tidak sangat mendukung
perkembangan negeri tercinta ini.
Banyaknya indikasi penyakit sosial seperti konflik sampit dan
banyak lagi konflik yang terjadi dikarenakan moral mereka yang tidak
terdedikasi dengan baik. Jika guru dapat
mengajarkan yang baik untuk pembentukan karakter siswa maka siswa akan lebih
bermoral. mengamati tingkah laku
siswa dalam situasi sehari-hari, mengenal para siswa yang memerlukan bantuan
khusus, mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orangtua siswa baik secara
individu maupun secara kelompok untuk memperoleh saling pengertian tentang
pendidikan anak, bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga lainnya untuk
membantu memecahkan masalah siswa Membuat catatan pribadi siswa serta
menyiapkannya dengan baik, menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu,
bekerja sama dengan petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah
siswa, menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan
lainnya Meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah
(psikologi belajar)
Jika penduduk pendidikan masih berorientasi pada kesenangan atau hal-hal
yang yang hanya dapat dinikmati sesaat janganlah hidup berada di negara yang
ingin maju dan berkembang karena itu malah hanyamenjadi sampah negri. Negeri ini membutuhkan orang yang ingin
memperjuangkan kualitas bangsanya baik dari ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya,
dan sosial.
Terapkanlah pembiasaan dari pengajaran dasar di tingkat sekolah dasar,
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas untuk pembentukan karakter
baik mereka agar dapat bersosial satu sama lainnya di masa dewasa mereka hingga
menjadikan negri ini aman, damai, sejahtera tanpa ada konflik dalam
perbedaan. Tidak hanya terpengaruh oleh
gaya westernisasi semata. Seperti
berpakaian, gaya hidup yang glamor, dan menjunjung tinggi bahasa
internasional. Tetapi juga, menerapkan
pola pikir mereka karena sungguh beda jauh pola pikir bangsa ini dengan negeri
lain. Hal ini berkaitan dengan
pembentukan karakter yang telah siswa bentuk semenjak pendidikan dasar.
Seyogyanya pendidikan mampu membangun kesadaran setiap siswa untuk
mencintai keilmuan dan mencintai moral individu, warga masyarakat dan bangsa
baik dalam kelasnya, rumahnya, masyarakat dan di tengah-tengah negeri ini. Bagaimanapun kesadaran adalah hal yang sangat
emplisit untuk segala aspek kehidupan.
pembiasaan dari sejak dini akan menumbuhkan kesadaran dan revolusi
sistem pendidikan. Secara
berangsur-angsur siswa akan haus akan ilmu pengetahuan dan bermasyarakat yang
baik, toleransi, brtanggung jawab, kreatif, dan inovatif. Sehingga mampu bersaing di kancah dunia.
Pembentukan karakter seharusnya ditanamkan
sejak masih di bangku sekolah dasar,
dari kelaslah siswa membentuk karakternya karena disanalah mereka mulai
menemukan peluang sosial, dari kelas mereka mempunyai teman sebaya yang sama
psikologi, pemikiran, dan keinginanya. Mulailah
dengan hal yang paling kecil pada pendidikan dasar seperti saling menghormati sesama teman
dengan tidak berkata kotor, tidak mengejek temannya, makan dengan duduk,
membiarkn temannya memilih tempat duduk yang ia ingikan dengan tidak mengganggu
orang lain serta mengajarkan siswa untuk menerima perbedaan. Demikian itu bertujuan agar siswa memiliki
moral yang baik. Masa kecil adalah
periode emas untuk kecerdasan manusia, “
menuntut ilmu di masa kecil bagaikan mengukir di atas batu” pepatah islam
mengatakan. di masa itulah pembentukan
karakter harus sudah dimulai, diajarkan bagaimana ia dapat menerima perbedaan
contohnya dalam menulis, tulisan siswa yang satu dan yang lain tidak akan sama
rapihnya tetapi mereka bisa menerima perbedaan itu. Dari sanalah mereka harus belajar agar bisa
menerima perbedaan.
Pengajaran moral tidak kalah penting dengan ilmu pengetahuan karena banyak
sekali masalah yang ada diakibatkan karena bobroknya moral manusia. Contohnya seperti korupsi, terorisme,
radikalisme, penyuapan, pencurian, kasus asusila dan yang lain sebagainya. Jika pendidikan dapat menanamkan moral dari
pendidikan dasarnya akan lebih baik lagi bangsa ini. Sistem pendidikan yang
menetukan kualitas bangsa dengan benar-benar menjiwai apa dan bagaimana
pendidikan yang sebenarnya. Orientasi pendidikan selama ini lebih menuhankan ilmu dari pada budi. Ebtanas misalnya,
hampir-hampir terlepas dari sentuhan aspek moral; dari ebtanas pula seorang
anak dapat dinyatakan lulus atau tidak dari suatu jenjang pendidikan. Sedangkan
upaya penghalusan budi pekerti, pengembangan nilai-nilai moral dan estetika
semakin kehilangan pijakannya.
Selain itu, sistem pendidikan kita telah lama
mengorientasikan tujuannya pada kawasan kognitif, dan membiarkan kawasan
afektif untuk tidak diupayakan aplikasinya. Kebanyakan kita beranggapan, bahwa
jika aspek kognitif ini dikembangkan secara benar, maka aspek afektif akan ikut
berkembang secara positif. Asumsi ini sungguh merupakan kesalahan yang sangat
serius.
Pengabaian kawasan afektif merugikan perkembangan
peserta didik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tendensi
yang ada ialah bahwa peserta didik tahu banyak tentang sesuatu, namun mereka
kurang memiliki sikap mental, minat, sistem nilai (moral) dan juga apresiasi
(afektif) dalam bentuk prilaku keseharian; sebagai buah dari pengetahuan yang
dimilikinya.
Fenomena kognitif (pengetahuan) dalam diri
seseorang sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam
dirinya apakah melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam dunia keseharian,
betapa posisi afektif dapat berpengaruh kuat pada prilaku seseorang. Seperti
contoh, pada masa penjajahan melawan Belanda/Jepang, di mana para pemimpin
perang kita mampu dan berhasil menanamkan Sistem nilai kepada seluruh
rakyat Indonesia; yaitu: Lebih baik mati dari pada di jajah. Dari sistem
nilai itu timbul semboyan Merdeka atau mati.
Dunia pendidikan sangat luas apapun bermula dari pendidikan,
ekonomi, politik, sosial, budaya, sains, dan yang lain sebagainya dimulai dari
sistem pendidikan. Sangat disayangkan
sistem pendidikan yang ada belum berhasil dalam menjalankannya. Untuk meningkatkan SDM sistem pendidikan
indonesia belum bisa apalagi untuk meningkatkan kualitas bangsa. Dengan berbagai program, ujian, dan apresiasi
yang telah dijalankan dalam dunia pendidika, belum bisa mengkokohkan sistem pendidikan
untuk kuat dan berkibar dalam keberhasilan.
Syafi’i Maarif dalam pidato Dies Natalis
ke-39 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 13 September 2004
mengatakan bahwa pendidikan itu tidak hanya proses penyampaian pengetahuan (transfer
of knowledges), akan tetapi lebih jauh pendidikan adalah sebuah proses
panjang yang mengantarkan manusia menjadi seorang yang memiliki kekuatan
intelektual dan kekuatan spritual; yang bermuara pada pembentukan moral dan
kekuatan diri (integritas) peserta didik.
Tetapi kenyataanya, Pengajaran guru di sekolah saat-saat ini hanya
mentransformasikan ilmu, berbagi pengalaman dan mencegah siswanya untuk tidak
melakukan kesalahan yang pernah guru itu lakukan. Itu cerminan sistem pendidikan yang ada.
Indonesia akan lebih berhasil dengan pendidikan non politik, karena sistem pendidikan saat ini dirasakan
masih sangat terasa bhwa sistem pendidikan masih terikat dengan politik. Contohnya seperti Ujian Nasional. UN dikemas dalam kemasan politik, politiknya adalah dengan mendaftarkan jumlah
siswa peserta UN yang bekerjasama dengan internasional world bank. Anggaran yang akan dikeluarkan oleh bank
dunia akan turun pada sistem pendidikan.
Jadi pendidikan hanya cara berpolitik semata. Bandingkan dengan sistem pendidikan jepang
yang mempunyai prinsip netralis pada sistem pendidikannya.
Jepang mempunyai kewenangan dalam sistem pendidikannya untuk menjadi
independent yang tidak dipengaruhi dan diinterferensi oleh kekuatan politik. Dan hasilnya negara yang kalah pada perang ke
II ini telah mengeluarkan taringnya hingga menjadi negara maju dalam bidang
ilmu pengetahuan dan technologinya. Coba
saja jika indonesia juga bersikap netral dalam dunia pendidikannya sangat besar
kemungkinan bangsa akan berkualitas di bidang ilmu pengetahuan dan baik dalam
moralnya. Orientasi dari pendidikan
sendiri bukan untuk mencari materri tetapi mencari ilmu pengetahuan yang dapat
menjadi kekuatan untuk daya saing di dunia. Moral bangsapun akan tertanam
dengan baik karena murni didatangkan dari pengetahuan yang bangsa miliki. Tidak untuk sebuah materi.
Kesimpulannya sistem pendidikan diindonesia belum optimal dalam
menjalanankan peranan pentingnya sebagai tolak ukur suatu bangsa. Banyaknya konflik sosial yang terjadi di
tengah hirk pikuk globalisasi. Peran
warga negara yang seharusnya menjadi negara yang demokrasi tidak berjalan
semestinya karena orientasi dari pendidikan masih tercampuri oleh kekuatan
politik yang dicari hanya materi semata.
Oleh karena itu, sistem pendidikan yang ada harus juga menyentuh dalam
pembentukan karakter suatu bangsa dari sejak dini. Kenyataan yang ada sistem pendidikan lebih
mengutamakan koognitif daripada afektif dan hasilnyapun sangat mengejutkan
bahwa pendidikan yang menekankan pada koognitif tidak berhasil untuk bisa
bersaing di dunia internasional dan afektif, moral siswapun hancur berantakan
dengan bukti adanya tawuran sesama pelajar, Konflik Sampit adalah
pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, dan konflik sosial
yang lainnya. Yang lebih mencengangkan
lagi konflik yang banya terjadi di dunia pendidikan sepert menjadikan Ujian
Nasional sebagai saham untuk mengeruk ekonomi dari bank dunia. Sangat dramatis sekali terjadi di dunia
pendidikan saat ini yang berbuat ceroboh seperti itu. Yang ada nanti hutang negara akan makin besar
pada bank dunia. Sikap menghormati
terhadap perbedaan dapat dibangun dari sejak dini. Di lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Hal ini agar menjadikan sumber daya manusia yang tidak hanya berkualitas
tetapi juga punya jiwa perdamaian yang tinggi dengan tetap berada dalam koridor
kebenaran, tidak fanatisme dan bersikap toleransi karena pembentukan karakter
sudah dibangun baik untuk individu, masyarakat, dan bangsa sebagai warga negara
yang demokrasi. Sistem pendidikan harus
netral dari interferensi politik agar berjalan dengan baik sistem pendidikan
yang ada. Dengan itu pula akan menumbuhkan
kesadaran kepada setiap orang akan kebutuhan pendidikan. Bukan kewajiban pendidikan.
REFERENSI
Chaedar Alwasilah. Pokoknya rekayasa literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. 2012.
REPUBLIKA.CO.ID
Kompas


Subscribe to:
Post Comments (Atom)