Thursday, February 27, 2014

Multikulturalisme Pendidikan Agama


“Multikulturalisme Pendidikan Agama”


Tak sulit membayangkan betapa rawannya Indonesia dengan konflik sosial karena beragamnya budaya, suku, bahasa, dan juga agama yang berada di sekitar 17.500 buah pulau dalam 3.200 mil lautan. Bangsa Indonesia kini berjumlah lebih dari 200 juta, mayoritas beragama Islam, dengan pengakuan lima agama lain di luar Islam secara formal.
Indonesia adalah negara republik yang menggunakan UUD 1945 sebagai dasar negaranya. Di Indonesia diakui 6 agama, yaitu: Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama pasal 1. “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”

Agama Hindu dan Budha sebagian besar berada di Bali dan di ujung timur pulau Jawa seperti Tengger. Katholik kebanyakan bermukim di Nusa Tenggara Timur terutama pulau Flores, kepulauan Kei di Maluku dan Jawa bagian Tengah. Protestan cenderung menyebar di Papua, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Maluku Tengah, dan Maluku bagian tenggara. Sedangkan Kong Hu cu yang biasa dianut oleh etnis China, menetap di kota-kota besar termasuk juga pedalaman.
Demikian juga dalam variasi suku dan ras. Suku Jawa menjadi etnis mayoritas dengan bahasa Jawa. Suku Sunda dengan bahasa Sunda, suku Madura dengan bahasa Madura, suku Melayu dengan bahasa Melayu, termasuk suku kelompok kecil semacam suku Bali, Batak, Minang, Aceh, Dayak, Banjar, Papua, Bugis, Makasar, Badui, dan Toraja.
Dari realita di atas, terbukti bahwa keberbedaan , dalam kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi pertikaian di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersimbolkan aneka perbedaan. Ironisnya, konflik yang disulut adanya pertentangan agama atau ideologi pemikiran keberagamaan yang masih mendominasi. Tapi perbedaan itu bisa diatasi, dengan meningkatkan rasa toleransi, toh “kita semua sama”. Itulah hal yang terpenting dalam kehidupan kita.
Contoh adanya toleransi perbedaan agama di Indonesia yaitu di Jalan Enggano No 52 Tanjung Priok, Jakarta Utara. Masjid dan gereja berdampingan. Masjid Al-Muqarrabin persis berdempetan dengan Gereja Protestan Mahanaim. Ketua Jemaat Gereja Mahanaim Pendeta Nyonya Tatalede Barakati menjelaskan, bangunan gereja sudah berdiri sejak tahun 1957. Menurutnya, Masjid Al-Muqarrabin berdiri dua tahun setelah gereja berdiri. Tatalede mengatakan, hubungan yang sudah terjalin antara pengurus gereja dan masjid tidak pernah menemui masalah. Apabila ada acara keagamaan, seperti bulan suci Ramadhan, Lebaran, atau Natal, mereka saling mendukung. Meskipun demikian, pihak gereja mengaku belum pernah membuat acara bersama.
Saat Lebaran pun, pihak gereja turut membantu mempersiapkan untuk shalat Idul Fitri. Misalnya, jika shalat Id bertepatan pada Minggu, pengurus gereja bersedia mengalah dengan cara meniadakan acara mereka. Sementara apabila pihak gereja menggelar ibadah, maka pihak pengurus masjid mempersilakan lahan parkirnya digunakan jemaat gereja.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Perbedaan bahkan benturan konsepsi itu terjadi pada hampir semua aspek agama, baik dibidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan semua aspek agama, baik dibidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini menyebabkan cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus dimana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kritsten adalah sejumlah contoh konflik yang sedikit banyak dipicu oleh perbedaan konsep diantara kedua agama ini. Perang salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam.
Multikulturalisme adalah sistem keyakinan dan perilaku yang mengakui dan menghormati kehadiran semua kelompok yang beragam dalam suatu organisasi atau masyarakat, mengakui sosial-budaya mereka yang berbeda, dan mendorong dan memungkinkan kontribusi melanjutkan mereka dalam konteks budaya inklusif yang memberdayakan semua dalam organisasi atau masyarakat.
Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, dan kelas (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993).
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek, dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996).
Mengembangkan paradigma multikulturalisme melalui dunia pendidikan di era sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” terutama atas pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama perlu segera menampilkan ajaran agama yang toleran melalui kurikulum pendidikan dengan tujuan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit.
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:
  1. Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam;
  2. Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, dan kelompok keagamaan;
  3. Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya;
  4. Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995).
Pendidikan memiliki peran strategis untuk membangun serta mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti kemajemukan bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang empati dan simpati terhadap problem kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian, dan sebagainya. Pendidikan agama yang berlangsung bukan sekadar penanaman wacana melalui proses indoktrinasi otak, tetapi melatih terampil beragama dan kesiapan menghadapi masalah konkret dalam masyarakat berupa perbedaan.
Dalam wacana Dr. Chaedar Alwasilah memaparkan beberapa hal mengenai beberapa konflik social kerukunan beragama serta multikulturalisme pendidikan agama di Indonesia. Itu terdapat dalam wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” (Wacana Kelas untuk Mendorong Kerukunan Beragama)
Akhir-akhir  ini muncul suatu pernyataan yang cukup fenomenal, yakni telah terjadi pemberlakukan hukum rimba dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pernyataan ini bukanlah omong kosong belaka, tetapi pernyataan ini merupakan respon spontan atas terjadinya kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Ada tawuran antar mahasiswa dalam satu universitas yang berbeda fakultas yang berujung kepada kematian dari salah satu mahasiswanya. Ada juga pertikaian antar kelompok pelajar di sekolah menengah yang mengakibatkan terenggutnya nyawa dari pelajar yang bertikai.
Ada juga pertawuran antar pelajar/mahasiswa dengan pihak kepolisian. Ada lagi pertikaian antar gank sekolah yang terjadi di lokasi sekolah, dan ada lagi kejadian pemukulan yang dilakukan oknum guru kepada beberapa siswanya. Di samping tindakan-tindakan anarkhis ini, ada lagi kejadian tindakan amoral yang mengotori dunia pendidikan yakni seperti kejadian perbuatan tidak senonoh dari oknum pendidik kepada anak didik yang hanya meluapkan nafsu hewaniyah semata, sex bebas para pelajar, dan lain-lain. Kejadian-kejadian di atas merupakan potret keprihatinan yang melanda dunia pendidikan kita.
Tidak heran, jika produk komunitas terpinggirkan itu akan senantiasa menghiasi forum tawuran pelajar, pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain. Bagi mereka, pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena kesadaran sosial kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya, dan secara tidak langsung tidak menghargai keberadaannya. Ada satu hal yang kiranya sama-sama memiliki andil besar atas terjadinya peristiwa tragis tersebut, yaitu dikembangkannya tradisi pendidikan berupa pendoktrinan materi dan pewarisan budaya, tanpa adanya semangat pembebasan untuk merespon alternatif pemecahan atas problem sosial yang ada. Entahlah kapan pelajar di Indonesia menghilangkan tradisinya untuk tidak lagi tawuran.
Jika ingin mengetahui kualitas suatu bangsa, bisa dilihat dari kualitas dan praktek sistem pendidikan. Untuk mewujudkan generasi warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik, harus dikembangkan kerukunan umat beragama dan saling BERTOLERANSI dikalangan awal usia pada pendidikan Sekolah Dasar (SD). Ini menjadi sangat penting, karena anak akan senantiasa memiliki pilihan sikap yang jelas atas dua pilihan yang berbeda, dan perbedaan yang ada tentu membutuhkan alasan perbedaannya. Misalnya tentang alas an cara wudhu yang berbeda, atau bisa juga tentang cara membaca satu kata tafsir namun memiliki makna yang banyak.
Pada Sekolah Dasar (SD) , guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa untuk hampir sepanjang hari. Tapi menurut survei yang didapatkan, ada sebuah kasus di salah satu Sekolah Dasar di daerah Cirebon. Ada beberapa murid kelas 6 SD yang mempunyai teman sebaya atau kelompok sebaya yang akhirnya membuat murid tersebut terbawa dan terjerumus ke lingkungan yang tidak baik. Murid itu hanya ikut-ikutan apa yang kelompok sebayanya lakukan, seperti merokok, tawuran, menghina gurunya , dan melakukan tindakan kenakalan lainnya. Padahal mereka masih sekolah dasar, bagaimana dengan masa depan generasi bangsa kita kalau murid SD saja sudah melakukan kenakalan seperti itu. Saat ini guru sangat lemah dalam pengawasan menghadapi anak didiknya. Sehingga kenakalan seperti itu mudah saja ditemui dikalangan pendidikan dasar.
Untuk mengembangkan kecerdasan sosial berupa proses interaksi sosial, siswa harus diberikan materi pengenalan lintas agama atau ideologi tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, tentang “puasa” yang ternyata juga dilakukan oleh pemeluk agama lain, seperti para bikhsu atau agamawan lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa puasa ternyata juga menjadi ritual agama lain. Dengan sendirinya akan berkembang pemahaman bahwa “di luar Islampun ada keselamatan”.
Dalam upaya memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bisa juga menanamkan kepedulian komunitas agama lain dengan saling bekerjasama membersihkan tempat keagamaan, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran multikulturalisme bukan sekadar memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa sekalipun berbeda keyakinan, namun sama-sama sebagai manusia yang mesti diperlakukan secara manusiawi. Hal ini seperti melatih peserta didik untuk bisa berbagi dengan orang terdekatnya.
Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin,2009). Teman sebaya adalah lingkungan kedua setelah keluarga, yang berpengaruh bagi kehidupan individu. Terpengaruh tidaknya individu dengan teman sebaya tergantung pada persepsi individu terhadap kelompoknya, sebab persepsi individu terhadap kelompok sebayanya akan menentukan keputusan yang diambil nantinya.

Kelompok sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu tempat teman sebayanya dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat dalam rangka menentukan jati dirinya, namun apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai negatif maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa individu.

Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya juga mengakibatkan melemahnya ikatan individu dengan orang tua, sekolah, norma-norma konvensional. Selain itu, banyak waktu yang diluangkan individu di luar rumah bersama teman-teman sebayanya dari pada dengan orang tuanya adalah salah satu alasan pokok pentingnya peran teman sebaya bagi individu.

Peranan penting kelompok sebaya terhadap individu berkaitan dengan sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku remaja seringkali meniru bahwa memakai model pakaian yang sama dengan anggota kelompok yang popular maka kesempatan bagi dirinya untuk diterima oleh kelompok sebaya menjadi besar. Kenakalan remaja muncul akibat terjadinya interaksi sosial diantara individu sosial dengan kelompok sebaya. Peran interaksi dengan kelompok sebaya tersebut dapat berupa imitasi, identifikasi, sugesti dan simpati.
Menurut Robbins, ada empat jenis kelompok sebaya yang mempunyai peranan penting dalam proses sosialisasi yaitu kelompok permaianan, gang, klub, dan klik (clique).
Kelompok permainan (play group) terbentuk secara spontan dan merupakan kegiatan khas anak-anak, namun di dalamnya tercermin pula struktur dan proses masyarakat luas, sedang gang, bertujuan untuk melakukan kegiatan kejahatan, kekerasan, dan perbuatan anti sosial. Klub adalah kelompok sebaya yang bersifat formal dalam artian mempunyai organisasi sosial yang teratur serta dalam bimbingan orang dewasa. Sementara itu klik (clique), para anggotanya selalu merencanakan untuk mengerjakan sesuatu secara bersama yang bersifat positif dan tidak menimbulkan konflik sosial.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kelompok sebaya sangat berperan penting dalam proses sosialisasi individu terutama kelompok sebaya remaja. Pengaruh kelompok sebaya tidak hanya berdampak negatif akan tetapi juga berdampak positif. Untuk itu pembentengan diri melalui keluarga masih sangat diperlukan bahwa ketika anak memiliki teman maka kenalilah siapa yang menjadi teman anak kita.
Sebagian besar politisi di Indonesia gagal untuk mendidik masyarakatnya, salah satu contoh atau model panutan yang jelek dari para politisi adalah di Tanah Air benar-benar sudah dalam tahap memprihatinkan. Sekelas pimpinan lembaga, yakni Ketua MK Akil Mochtar, ternyata juga terjerat dalam kasus korupsi.
Pengamat pendidikan Mohammad Abduzhen menilai, perilaku korupsi yang menyerang berbagai lini karena minimnya pendidikan moral dan agama pada individu. Kelemahan dua hal itu,seperti contoh diatas yang telah dijelaskan tentang kenakalan anak- anak sekolah dasar tak lepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan para guru pengajar.
Moral itu sukar untuk diuji, pengetahuan tentang moral dapat 10, itu bukan berarti paling dia paling bermoral. Siswa yang diuji pengetahuan, padahal moral perlu penilaian dari guru. Misalnya dari hasil ujian cuma dapat 7 tapi guru melihat anak suka menolong orang, maka nilainya bisa dievaluasi. Selama ini, guru lengah mengawasi moral anak didiknya. Menurutnya, mereka hanya diberi pengetahuan oleh guru tetapi tidak memesankan pada siswa untuk mengamalkannya.
Pendidikan moral seperti Pancasila bukan menjadi sikap tetapi berhenti pada tataran kognitif, tidak turun ke dalam jiwa dan menjadi daya menggerak perilaku.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud, Bambang Indriyanto sependapat guru jadi aktor utama dalam membentuk moral siswa. Kemendikbud pun telah memberikan kesempatan agar guru memanfaatkan nilai moral dan agama seorang siswa sebagai penentu kelulusan. Kelulusan ada yang namanya kelulusan dari kewarganegaraan, moral dan agama yang ditentukan oleh guru. Tetapi untuk menentukan seberapa besara anak tidak lulus dalam pendidikan moral harus ada bukti empirisnya.
Dalam negara Amerika, pendidikan Liberal harus mencakup pengetahuan etnis , agama dan minoritas bahasa dan budaya. Pendidikan liberal itu membebaskan mahasiswa dari kungkungan atau perbudakan yang timbl karena pembodohan dan kepicikan, serta berniat untuk menjadikan mahasiswa memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk menghadapi fakta , teori , dan tindakan melaui perbincangan rasional. Untuk mencapai tujuan itu mahasiswa harus belajar mengontrol emosi dan perilakunya. Pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis, bahkan mengapresiasi sastra. Karakteristik liberal arts college hampir sama dengan pesantren yang ada di Indonesia. Ukuran kampusnya cenderung kecil dengan jumlah mahasiswa sekitar dua ribu orang.
Jadi,perbedaan bukanlah sebuah penghalang besar bagi kita. Justru dengan adanya perbedaan itu membuat kita kaya akan pengetahuan. Keegoisan sifat yang hampir ada disetiap sanubari manusia, sulit untuk dihindari, tapi akan berarti jika seseorang mampu mengalahkannya. Bukan hanya untuk kepentingan pribadinya tetapi juga untuk orang-orang yang menyayanginya dan selalu ada untuknya. Karena Indonesia ini adalah negara yang multikultural beragamnya budaya, suku, bahasa, dan juga agama  Karena lambang negara kita adalah pancasila,  mengatakan bahwa Bhineka Tuggal Ika, Jadi walaupun berbeda-beda tapi tetap satu tujuan yang sama yaitu membangun kerukunan beragama di Indonesia negara tercinta.

REFERENSI

http://www.merdeka.com/peristiwa/pejabat-indonesia-korupsi-karena-sudah-tak-punya-moral.html
A.Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, October 22, 2011
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment