Sunday, February 16, 2014
Created By:
Suneti Alawiyah
CLASS REVIEW
APPETIZER
CLASS REVIEW
“SEBUAH PENGANTAR: WRITING FOR ACADEMIC PURPOSES”
Pukul 07.30. Bergegas.
Buru-buru. Semangat pagi, terukir
jelas pada setiap wajah PBI-D semester empat.
Baju merah jambu dipadukan dengan kerudung coklat dan rok merah,
mewarnai semangat jiwa mahasiswa jurusan Bahasa Inggris pagi itu. Jum’at yang menyenangkan, sebuah pengantar.
Lebih jauh, Writing empat berarti
persiapan fisik, mental dan ketertarikan yang lebih jauh lagi dalam proses
‘perang menulis’ ini. Bukan hanya itu,
ketika seseorang menyebutkan Writing empat, terpampang jelas dalam benak setiap
mahasiswa, akan ada tumpukan buku di setiap meja belajar masing-masing,
jari-jari yang memerah, persendian tangan yang membengkak, kurang tidur itu
pasti dijalani, lebih banyak lagi daftar jurnal yang ‘mengantri’ untuk dibaca,
lebih banyak lagi menghabiskan waktu di
kosan-kamar-home base daripada mondar-mandir tidak jelas, dan efek
samping yang ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah mahasiswa akan
lebih pintar dalam berfikir kritis dalam membangun pengalaman (baca: transfer
knowledge), titik!
Hmm...menghela napas panjang,
terlihat disetiap garis muka teman-teman seperjuanganku. Mencoba kembali berkonsentrasi dalam dunia
nyata dengan mengusir alam bawah sadarku, fokus. Dari penyampaian Mr. Lala tentang Writing
empat ini, ada beberapa poin yang akan saya jelaskan dalam Class Review kali
ini, yaitu:
Pertama, mengenai ‘apa
yang menjadi fokus utama dalam Writing 4 semester ini?’ Writing 4 (empat)
dalam semester ini terfokus dalam pembhasan Academic Writing (penulisan
akademik). Mendengarnya saja dapat
membuat telinga menjadi panas, hal ini dikarenakan penulisan dalam bidang akademik
biasanya identik dengan research (penelitian) dan pengambilan data
secara kualitatif dan kuantitatif. Ada
dua main point (fokus utama) yang akan kita pelajari dalam Academic
Writing ini, yaitu Critical Essay dan Argumentatif Essay.
Kedua, mengenai ‘Mengapa
kita harus mempelajari Academic writing?’
Tidak terelakkan, sebagai pelajar yang mempunyai kesadaran dalam gelar
‘mahasiswa’ yang identik sebagai agent of change (tokoh perubahan), kita
dituntut untuk mempertanggung-jawabkan gelar tersebut-salah satunya dengan menulis. Lebih jauh lagi, kita akan menghadapi
penulisan untuk skripsi sebagai syarat kelulusan dalam bidang
masing-masing. Untuk itu, Writing for academic Purposes sebagai
landasan menuju paper yang lebih tinggi lagi. Pernahkah kita membayangkan untuk
menerbangkan pesawat? Pasti sangat sulit
dan ribet, bukan? Menerbangkan pesawat, tidak hanya dilakukan dengna
duduk di kursi pilot, kemudian tarik tuas gas, lalu pesawat itu pun
terbang! Akan tetapi, menerbangkan
pesawat itu sangat kompleks, ada banyak hal yang perlu kita perhatikan, mulai
dari kecepatan, arah mata angin,
ketinggian dan masih banyak lagi. (www.kolomarie.wordpress.co.id). Kembali pada
pembahasan mengenai mengapa kita harus menulis akademik? Anggap saja, ini adalah buku manual untuk
dapat menerbangkan pesawat tadi, semakin mengenal dengan dunia tulis-menulis
dan faham bagaimana tekhnik menulis, maka kita akan dapat menerbangkan pesawat confidently,
titik!
Ketiga, mengenai ‘Apa yang
menjadi tantangan terbesar kita saat ini dalam menulis akademik?’ Percaya atau tidak-tantangan akan selalu datang kapanpun dan dimanapun. Bukan hanya dalam tulis-menulis, melainkan
juga dalam semua aspek kehidupan.
Seperti yang kita tahu, menulis adalah kegiatan yang sangat kompleks,
karena pikiran kita akan terfokus kedalam apa yang sedang kita bahas, bagaimana
teori-teori penulisan yang berkembang sangat pesat dan lain-lain. Menurut saya, tantangan terbesar dalam
kegiatan tulis-menulis berasal dari diri kita sendiri-kesadaran untuk mau menulis.
Keempat, mengenai ‘faktor
apa saja yang harus kita perhatikan dalam kegiatan tulis-menulis?’ ada beberapa faktor yang harus kita
perhatikan dalam memulai untuk menulis, yakni:
a)
Struktur
Bahasa (Language Structure)
Struktur bahasa adalah salah satu faktor yang harus kita
perhatikan ketika menulis, conntohnya struktur bahasa Inggris meliputi
pemilihan frasa, fonem, word, klausa dan lainnya. Pentingnya mengetahui struktur bahasa, akan
terlihat ketika kita membuat penulisan yang berbasis akademik. Bagaimana hubungan satu kata dengan kata yang
lain agar dapat memunculkan makna yang kita maksud.
b)
Fungsi
Teks (Text function)
Selain struktur bahasa, kita juga harus mengetahui dan
memahami fungsi dari teks yang akan kita buat itu untuk apa, karena kita berada
pada pembahasan Academic Writing, maka sebelum melangkah lebih jauh
dalam pembuatan kepenulisan itu sendiri, seharusnya kita mengetahui apa fungsi
dari kepenulisan akademik itu.
c)
Tema
(Theme)
Pemilihan tema yang menarik juga dapat membantu kita
dalam penulisan itu sendiri. Tema
merupakan gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal (www.wikipedia-tema.org). Tema adalah pondasi bagi berdirinya suatu bangunan,
jadi pemilihan tema dalam sebuah karya sastra akan sangat penting.
d)
Ekspresi
Kreatif (Creative Expression)
Dalam menlis, baik itu puisi, novel, cerpen maupun
penulisan akademik, kita dituntut untuk dapat memberikan ide-ide ‘segar’ dalam
penulisan tersebut. Nah, di sinilah
pentingnya ide-ide kreatif yang dapat menarik pembaca.
e)
Proses
Menulis (Composing Processes)
Menulis
merupakan sebuah proses kreatif.
Berlatih dan terus berlatih menulis sehingga akan tercipta ‘masakan’
yang pas.
f)
Isi
(Content)
Perhatikan
isi dari topik yang kita bahas dan akan berkembang seperti apa topik yang kita
pilih. Isi atau Content adalah bagian
inti dari tulisan kita, dimana terdapat poin-poin penting hasil analisa kita
terhadap topik yang kita bahas.
Sekali lagi, menulis merupakan suatu proses yang akan melahirkan keterampilan
dan kemampuan menulis. Mari kita ubah
kata ‘malas menulis’ menjadi ‘cinta menulis’. Kita bisa memulai dengan menulis puisi,
kemudian memulai mempelajari bagaimana menulis dalam wacana Academic Writing. Menulislah dengan hati dan nikmati setiap
prosesnya, karena hati senantias mengerti, menuntun jiwa untuk memberi dan
berbagi dan jadikan guru yang paling baik adalah sebuah pengalaman dari proses
pembelajaran itu sendiri. Jadikan bahasa
untuk menguasai dunia dan jadikan tulisan sebagai prasasti tak ternilai dalam
rotasi kehidupan. Tetap semangat dalam
menulis!
MENGIKAT KATA DENGAN MENULIS, TITIK!
Pendidikan adalah
salah atu hal yang paling penting dalam perkembangan dan pembangunan suatu
bangsa. Berkualitasnya suatu negara dan
dikatakan bahwa negara itu maju, salah atu indikatornya adalah dilihat dari
budaya baca-tulisnya. Dengan
keterampilan baca-tulis, seseorang akan lebih siap dalam menghadapi arus
globalisasi yang ditandai melajunya perkembangan ilmu dan teknologi. Kemampuan baca-tulis dapat mendorong
seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan dapat menggali potensinya dalam hal
apapun. Berikut ini adalah tanggapan
mengenai tiga wacana yang akan dibahas dalam ctical essay, yaitu: a). (Bukan)
Bangsa penulis (Prof. Chaidar Alwasilah), b). Powerful Writers Versus
The Helpless Readers (Prof. Chaidar Alwasilah), dan c). Learning and
Teaching process: More about Readers and Writers (CW Watson).
Indonesia dengan segala kekayaan
alam dan budaya nya. Indonesia dengan
begitu banyaknya lembaga-lembaga pendidikan dari sabang hingga merauke, yang
terdiri dari 2.598 Sekolah Dasar (SD), 1.521 Sekolah Menengah Pertama (SMP),
1.270 Sekolah Menengah Atas (SMA), 1.021 Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) dan 3.150
Perguruan Tinggi (http//:kemendiknas.go.id), belum mampu menghasilkan lulusan
yang ‘bisa’ menulis, pertanyaannya adalah “apa yang terjadi dengan lulusan
negeri-yang katanya ‘berkembang’ ini?”
Mengenai surat edaran dari Dirjen
Pendidikan Tinggi yang mewajibkan syarat kelulusan S1, S2, dan S3 dengan
menulis karya ilmiah dalam jurnal terakreditasi adalah salah satu cara
peningkatan kualitas pendidikan dewasa ini, menuai pro dan kontra terhadap
pelaku-pelaku pendidikan-terutama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang
tergabung dalam APTISI secara terang-terangan menolak keras aturan
tersebut. Menurut Edy Suandi Hamid (Ketua
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), kebijakan ini dinilai tidak
realistis jika diterapkan sebagai syarat lulus S1, sebab jumlah jurnal ilmiah
itu terbatas, hanya sekitar 2000-an, sedangkan jumlah mahasiswa yang lulus
setiap tahunnya sekitar 800 ribu, seperti yang dilansir detik.com, jum’at
(10/02/2012). Kebijakan ini sangat bagus
dan bertujuan untuk meningkatkan atau paling tidak menyamakan dengan
negara-negara berkembang lainnya yang lebih dulu maju dalam literasinya. Sebut saja negara tetangga, Malaysia. Jumlah penduduk Malaysia sekarang sekitar 25
juta orang, hampir sepersepuluh populasi indonesia. Akan tetapi, mereka mampu menerbitkan buku
dan jurnal per tahun dengan peningkatan yang signifikan, maka untuk mengimbangi
Malaysia, mestinya kita mampu menerbitkan buku 10 kali lipat, yaitu 80 ribu
judul per tahun, (A. Chaedar: 2012).
‘Knowledge accumulates through
reading, while writing is putting the knowledge into paper...,’ (A. Chaedar
: 2012). Jurnal adalah salah satu produk
literasi tingkat tinggi-yang seharusnya dibuat dengan kesadaran sendiri, bukan
karena adanya ‘pemaksaan’ yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan, karena
sebagai manusia terdidik (baca: mahasiswa) yang sudah mengenyam pendidikan dari
mulai SD, SMP, SMA dan dilanjutkan dengan program khusus sarjana selama 4
(empat) tahun yang mendapatkan berbagai informasi dan pengalaman yang lebih
banyak dibandingkan orang-orang yang tidak memiliki kesempatan untuk mencicipi
bangku perkuliahan di luar sana.
Seharusnya, kaum intelektual ini (baca: mahasiswa) mampu mereproduksi
ilmu pengetahuan berdasarkan teori pengalaman yang pernah ia lewati. Hal ini menunjukkan bahwa adanya produk
literasi tingkat tinggi yang bertujuan untuk memperkaya koleksi pengetahuan
dalam penambahan informasi khususnya dalam bidang karya sastra. Selain itu, para sarjana juga harus
bertanggung jawab akan gelar akademik yang ia dapatkan. Sehingga, akan adanya rasa kebutuhan dalam
memproduksi informasi baru dalam sebuah jurnal atau penulisan ilmiah lainnya.
‘Jadi, yang tidak bisa menulis, sebaiknya jangan bermimpi jadi dosen!, (A.
Chaedar : 2012). Rasanya
statement tersebut tidak berlebihan, mengingat pentingnya dosen dan
mahasiswa yang berkualitas yang dapat membantu negara ini tumbuh dan berkembang
ke arah yang lebih baik. Hal ini selaras
dengan Mendikbud yang mengatakan bahwa menulis jurnal ilmiah itu sebenarnya
tugas dari sarjana PT (Perguruan Tinggi), dan sudah seharusnya pula sarjana itu
bisa menulis. Rendahnya pengajar yang
mampu menerbitkan sebuah buku teks sebagai referensi untuk mahasiswa yang ia
didik, memberikan alternatif lain dengan merekomendasikan buku teks impor
sebagai ganti nya. Hal ini secara tidak
sadar menunjukkan bahwa buku asing (impor)-katakanlah derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan
buku-buku teks yang berbahasa Indonesia.
Padahal, banyak sekali buku-buku yang layak dijadikan sumber bacaan
untuk mahasiswa, yang kualitasnya tidak kalah bagus dengan penulis-penulis
luar. Bahkan, boleh jadi penulis kita
lebih unggul dalam menyampaikan informasi.
Seperti yang kita ketahui dan rasakan, penerapan konsep reading-oriented
di sekolah-sekolah adalah hal yang sangat fatal. Karena, seperti yang Prof. Chaedar ungkapkan
bahwa penundaan menulis setelah kegiatan membaca teks telah mengindikasikan
sikap bahwa membaca lebih unggul daripada menulis. Seharusnya, sebagai pendidik yang berkarakter
harus berupaya mengarahkan siswanya dalam pembiasaan menulis. Sebagai contoh, dalam tingkatan sekolah dasar,
siswa diarahkan untuk membaca suatu teks, kemudian coba arahkan untuk menulis
ulang apa yang telah mereka baca dengan pemahaman masing-masing dalam sebuah
tulisan. Hal ini dapat membantu
mengembangkan kemampuan anak didik dalam bidang writing-oriented. Untuk
itu, kegiatan membaca dan menulis harus berjalan berdampingan, tidak perlu
menunggu peserta didik sampai pada tingkat SMA, akan tetapi memulai pembiasaan
baca-tulis berorientasi sedini mungkin-pada tingkatan Sekolah Dasar misalnya.
Penelitian di Amerika Serikat terhadap Perguruan Tinggi
di sana, menunjukkan bahwa para penulis produktif dewasa adalah mereka yang
sewaktu SMA-nya, antara lain banyak membaca karya sastra, berlangganan koran
atau majalah dan memiliki perpustakann di rumah. Hal ini menjadi ironi tersendiri, jika
anak-anak pada tingkat SMA di Amerika yang berlangganan koran dan semacamnya
merupakan penulis produktif dewasa pada 5 (lima) tahun mendatang, maka ini
sangat berbeda dengan di Indonesia.
Jangankan untuk memiliki perpustakaan di rumah atau berlangganan koran
setiap minggunya, beberapa orang-bahkan tidak mampu mencicipi bangku SMA karena mahalnya
biaya pedidikan dewasa ini. Selain itu,
latar belakang keluarga yang rendah akan kesadaran pengetahuannya, menganggap
bersekolah adalah hal yang sia-sia-menghamburkan uang saja.
Hal itu berkaitan dengan ‘Powerful Writers versus the Helpless Readers.’
Dalam hal apapun, pembaca dinilai sebagai orang yang bersalah. Dalam peneitian yang dilakukan oleh Prof.
Chaedar Alwasilah kepada 40 siswa Matematika dan 60 siswa bahasa di Bandung
mengenai ‘If you do not understand the text you are reading, what is the
reason?’ Hampir 95 persen siswa
menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka
mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai latar belakang membaca berorientasi,
keahlian penulis yang sangat tinggi, retorikanya penulisannya terlalu rumit,
atau mereka tidak bisa berkonsentrasi ketika membaca, (A. Chaedar: 2012). Dari survey tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pembaca menjadi makhluk yang tak berdaya dalam memahami teks yang bersumber
dari penulis yang kuat. Sebenarnya, sebuah
teks akan sangat berguna jika ia mendapatkan pembaca yang tepat. Jadi, pemilihan teks untuk pembaca juga
mempengaruhi dalam proses transfer informasi yang terkandung di dalam sebuah
teks. Sekali lagi ‘siapa yang salah,
pembaca? atau penulis?’
Di sisi lain, analisis yang diambil oleh mahasiswa Indonesia yang disajikan
oleh Dr Imam Bagus dalam sebuah makalah pada tanggal 2 Februari kemarin,
menunjukkan bukti mengejutkan bahwa siswa tidak mammpu mengidentifikasi tema
utama dalam sebuah potongan prosa yang berbahasa Indonesia dalam pilihan ganda,
seperti yang dikutip oleh CW Watson. Apa
yang salah? Menurutnya, kesalahan yang paling mendasar adalah sistem dan
silabus. Guru-guru di sekolah dipaksa
untuk mengikuti sistem yang ada, dan hal ini merugikan perkembangan pemikiran
kritis dan kompetensi bahasanya, (CW Watson: 2012). Akan tetapi, bukankah silabus dan kurikulum
membantu pengajar dalam mentransfer ilmunya dengan sistematis dan tidak
terkesan-asal mengajar saja.
Dari ketiga wacana tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan yang
ada di Indonesia harus di ubah.
Walaupun, saat ini sistem yang ada di Indonesia sudah berjalan dengan
baik, akan tetapi dalam prakteknya tidak begitu. Masih banyak permasalahan-permasalahan yang
belum teratasi. Untuk itu, mahasiswa
sebagai calon-calon pendidik masa depan, seharusnya mampu mengubah model
pembelajaran kita saat ini, bukan lagi reading-oriented, akan tetapi
reading-writing oriented. Selain itu,
mewajibkan dosen membuat jurnal atau essay adalah salah satu cara dalam
peningkatan mutu pendidikan, pembenahan pembelajaran baca-tulis hendaknya
dimulai sejak tingkatan sekolah dasar.
Selain itu, perlunya menyadarkan peserta didik mengenai budaya literasi,
agar sepuluh tahun mendatang kita akan menyaksikan penulis-penulis yang
berkarakter, tidak hanya asal menulis, akan tetapi bagaimana mentransfer ilmu
yang ia dapat pada generasi selanjutnya.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)